CLICK FOR CLAIM PROMO !

Rabu, 02 Mei 2018

SEJARAH KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

Subscribe

KERAJAAN SAMUDRA PASAI

Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai ini biasanya lebih dikenal dengan Kesultanan Pasai atau Samudera Darussalam. Kerajaan Islam tertua ini merupakan kerajaan pertama sekaligus yang tertua dalam sejarah Islam. Selain itu kerajaan tersebut terletak di daerah pesisir pantai sebelah utara Pulau Sumatera yang lebih tepatnya lagi berada diantara kota Lhokseumawe dengan Aceh Utara (sekarang bernama Geudong).
Kerajaan ini dibangun setelah terjadi runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, tepatnya dibangun sekitar abad ke 13 M. Selain itu Kerajaan Samudera Pasai juga didirikan oleh yang bernama Sultan Malik As-Shaleh yang sebelum memeluk Islam lebih dikenal dengan nama Meurah Silu.
Adanya berita tentang Kerajaan Samudera Pasai ini ditemukan oleh seorang sejarawan dari maroko yang bernama Ibnu Butatah saat ia berlayar dan kemudian ia berkunjung ke Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345 – 1346. Kemudian Ibnu Butatah menyebutnya dengan “Sumutrah” atau ejaannya untuk nama Samudera yang sekarang berubah menjadi Sumatera.
Ketika sampai di pelabuhan Pasai, Ibnu Butatah lalu dijemput oleh laksamana muda dari Pasai yang bernama Bohruz. Kemudian laksamana tersebut memberitakan kedatangan Butatah kepada raja. Tak lama kemudian Butatah diundang oleh sang raja untuk bertemu dengan Sultan Muhammad (cucu Malik As-Shaleh). Kemudian Butatah pun singgah sebentar di Samudra Pasai.
Pernah diberitakan bahwa Sultan Pasai ini melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi dan juga Kesultanan Usmani Ottoman. Selain itu juga diberitakan pula bahwa ada pegawai kerajaan yang berasal dari Isfahan (Kerajaan Safawi) yang datang ke Istana Pasai untuk mengabdi. Oleh sebab itu, karya sastra yang berasal dari Persia begitu sangat populer di Kerajaan Samudera Pasai. Tak heran jika sastra Persia sangat berpengaruh terhadap kesusastraan di Melayu pada saat itu.
Tak lama kemudian masa pemerintahan Sultan Malik As-Shaleh pun digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Malik Az-Zahir. Pada masa pemerintahannya, koin emas digunakan sebagai mata uang di Kerajaan Samudera Pasai. Seiring dengan perkembangan zaman, Pasai menjadi salah satu tempat untuk berdagang dan sekaligus untuk pengembangan dakwah Islam
Kemudian pada tahun 1326 Sultan Muhammad Malik Az-Zahir pun meninggal dan kemudian pemerintahan Kerajaan Samudera Pasai di pimpin oleh putranya yang bernama Sultan Mahmud Malik Az-Zahir dan ia hanya memerintah sampai tahun 1345 saja. Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (putra dari Sultan Mahmud Malik Az-Zahri) Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh pasukan dari Kerajaan Majapahit antara tahun 1345 dan 1350. Dalam serangan itu membuat Sultan Pasai harus melarikan diri dari ibukota kerajaan
Pada tahun 1383 Kerajaan Pasai mulai bangkit lagi dibawah pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin dan ia hanya memimpin sampai tahun 1405 saja. Kemudian dalam catatan sejarah ia pun tewas dibunuh oleh Raja Nakur. Dan akhirnya Kerajaan Samudera Pasai dilanjutkan oleh istrinya yang bernama Sultanah Narasiyah.
Kemudian pada tahun 1405, 1408 dan 1412 Kerajaan Samudera Pasai kedatangan armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal. Menurut catatan Cheng Ho, Kerajaan Samudera Pasai ini memiliki batas wilayah pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur. Sementara itu disebelah barat dan utara memiliki berbatasan dengan dua kerajaan, yaitu Nakur dan Lide. Dalam kunjungannya tersebut Cheng Ho juga memberikan hadiah dari Kaisar China yang berupa Lonceng Cakra Donya.
Menjelang akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian yang berujung dengan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan bahwa Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Malaka untuk menghentikan pertikaian tersebut.
Kemudian pada abad ke 16, bangsa Portugis berhasil masuk didaerah Selat Malaka dan berhasil menguasai Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1521 sampai 1541. Selanjutnya wilayah Kerajaan Samudera Pasai direbut kembali oleh Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Dimana waktu itu Kerajaan Aceh dipimpin oleh Raja Sultan Ali Mughayat.

Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai

No
Periode
Nama Sultan atau Gelar
Catatan dan peristiwa penting
1
1267 – 1297
Sultan Malik al-Saleh (Meurah Silu)
Pendiri Samudra Pasai
2
1297 – 1326
Sultan Al-Malik azh-Zhahir I / Muhammad I
Menjadikan koin emas sebagai mata uang
3
1326 – 133?
Sultan Ahmad I
Penyerangan ke Kerajaan Karang Baru, Tamiang
4
133? – 1349
Sultan Al-Malik azh-Zhahir II
Dikunjungi Ibnu Batutah
5
1349 – 1406
Sultan Zainal Abidin I
Diserang Majapahit
6
1406 – 1428
Ratu Nahrasyiyah
Masa kejayaan Samudra Pasai
7
1428 – 1438
Sultan Zainal Abidin II
8
1438 – 1462
Sultan Shalahuddin
9
1462 – 1464
Sultan Ahmad II
10
1464 – 1466
Sultan Abu Zaid Ahmad III
11
1466 – 1466
Sultan Ahmad IV
12
1466 – 1468
Sultan Mahmud
13
1468 – 1474
Sultan Zainal Abidin III
Digulingkan oleh saudaranya
14
1474 – 1495
Sultan Muhammad Syah II
15
1495 – 1495
Sultan Al-Kamil
16
1495 – 1506
Sultan Adlullah
17
1506 – 1507
Sultan Muhammad Syah III
Memiliki 2 makam
18
1507 – 1509
Sultan Abdullah
19
1509 – 1514
Sultan Ahmad V
Malaka jatuh ke tangan Portugis
20
1514 – 1517
Sultan Zainal Abidin IV

Kehidupan Politik

Tercatat dalam sejarah bahwa Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi  silam di daerah Selat Malaka. Banyak sekali pedagang dari luar daerah yang datang ke Samudera Pasai, diantaranya ada yang datang dari India, Benggala, Gujarat, Arab, China serta daerah lainnya.
Setelah semakin kuat dengan pertahanannya, Samudera Pasai kemudian meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah pedalaman, seperti: Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan, dan Pasai. Dengan perluasan wilayah tersebut bertujuan Islamisasi di daerah pedalaman.

 

Kehidupan Ekonomi

Kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Samudera Pasai ini bersumber dari perdagangan dan pelayaran. Hal tersebut disebabkan karena Kerajaan Samudera Pasai berada di dekat Selat Malaka yang menjadi jalur utama pelayaran dunia saat ini. Samudera Pasai memanfaatkan Selat Malaka untuk menghubungkan berbagai pedagang yang berasal dari Arab, India dan China.
Selain itu Samudera Pasai juga menyiapkan beberapa bandar-bandar dagang yang digunakan untuk menambah perbekalan dalam berlayar selanjutnya, mengumpulkan berang dagangan untuk dijual ke luar negeri, mengurus masalah perkapalan dan menyimpan barang-barang perdagangan sebelum diantar ke beberapa tempat di wilayah nusantara.

 

Kehidupan Sosial dan Budaya

Selain hanya berdagang, para pendatang juga ada yang menetap sementara waktu di daerah Pasai. Sehingga para pedagang dari berbagai negara pun saling bergaul dan juga menyebarkan berbagai budaya dari daerah mereka masing-masing. Dengan demikian budaya masyarakat Kerajaan Samudera Pasai semakin banyak dan banyak lahir karya-karya sastra disana yang bernuansa Islam
Corak arsitektur yang terdapat di Sumatera sendiri pun kebanyakan juga bernuansa Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya pahatan-pahatan yang terdapat di batu nisan makam Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai.
selain itu banyak juga karya-karya sastra dan buku-buku Islam yang dikarang oleh para ilmuan-ilmuan Pasai. Contohnya seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sulalatus Shalatin dan masih banyak lagi.

Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai

Tepatnya pada tahun 1383 sampai tahun 1405 Kerajaan Samudera Pasai mulai bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain Al-Abidin Az-Zahir. Selain itu menurut catatan dari negeri China dalam bentuk kronik China Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir dikenal dengan nama cina Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Kemudian masa pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir berakhir dan saat itu kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Janda Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yaitu Sultanah Nahrasiyah, ia juga bisa disebut dengan raja perempuan pertama di Kerajaan Samudera Pasai.
Dibawah kepemimpinan Sultanah Nahrasiyah, Kerajaan Samudera Pasai berada dimasa kejayaannya. Pada saat itu ia pernah didatangi seorang Laksamana Laut Cheng Ho. Armada Cheng Ho berkunjung berkali-kali ke Kerajaan Samudera Pasai antaranya tahun 1405, 1408 dan 1412.
Selain itu juga banyak terdapat kemajuan yang besar dalam berbagai bidang diantaranya:
  • Perdagangan
  • Pelayaran
  • Perekonomian
  • Hubungan Internasional

Runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Samudera Pasai ini menjadi runtuh karena disebabkan oleh beberapa faktor Internal dan Eksternal. Runtuhnya kerajaan tersebut berawal dengan adanya peperangan antar saudara di kerajaan tersebut. Dalam peperangan tersebut terjadi sebuah perebutan kekuasaan dan jabatan dalam kerajaan, hingga akhirnya peperangan tersebut tidak bisa dihindari.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1521 Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh bangsa Portugis. Dan saat itu menjadi sebab runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai dari faktor eksternal. Akan tetapi bibit-bibit kejayaan kerajaan tersebut masih ada tahun 1524 Kerajaan Samudera Pasai kerena menjadi bagian dari Kesultanan Aceh.

Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai

Dari beberapa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Samudera Pasai tentunya pasti ada beberapa peninggalan yang paling berharga saat itu. Berikut beberapa peninggalan sejarah dari Kerajaan Samudera Pasai:
  • Lonceng Cakra Donya, lonceng tersebut terbuat dari besi yang berbentuk seperti stupa dan dibuat oleh China pada tahun 1409 M. Pada bagian lonceng terdapat beberapa ukiran aksara Arab dan China yang sangat indah. Lonceng tersebut  diberikan oleh kaisar China ke raja Samudera Pasai pada waktu itu.
  • Koin Dirham, koin ini digunakan sebagai mata uang Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu koin tersebut juga terbuat dari beberapa campuran antara emas, perak dan tembaga. Disalah satu dari koin tersebut terdapat aksara Arab yang bertuliskan Muhammad Malik Az-Zahir dan di sisi lainnya bertuliskan Al-Sultan Al-Adil.
  • Naskah Surat Sultan Zainal Abidin, surat ini ditulis oleh Sultan Zainal Abidin dan diberikan kepada Kapten Moran sebelum ia meninggal. Surat tersebut ditulis pada tahun 1518 M dengan menggunakan aksara Arab. Naskah surat tersebut berisi tentang keadaan Samudera Pasai pada abad ke 16 M, tepatnya saat Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511 M.
  • Makam Raja Pasai, para raja-raja Kerajaan Pasai juga termasuk dalam salah satu peninggalan yang paling bersejarah. Untuk saat ini makam tersebut dijadikan sebagai tempat wisata religi. Makam tersebut terletak disekitar komplek makam raja Samudera Pasai, di desa Beuringin, kecamatan Samudera.


KERAJAAN ACEH DARUSALAM

Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tiga puluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
·         Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
·         Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
·         Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
·         Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
·         Sulthan Muda (1575)
·         Sulthan Sri Alam (1575-1576)
·         Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
·         Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
·         Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
·         Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
·         Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
·         Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
·         Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
·         Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
·         Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
·         Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
·         Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
·         Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)·         Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
·         Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
·         Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
·         Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
·         Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
·         Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
·         Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
·         Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
·         Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
·         Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
·         Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
·         Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
·         Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
·         Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
·         Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
·         Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
·         Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
·         Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )

Perangkat Pemerintahan
·         Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
·         Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang, semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
·         Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri, seperti Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
·         Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka, seperti Departemen Perdagangan.
·         Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb, kira-kira Departemen Pertahanan.
·         -Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan, seperti Departemen Kehakiman.
·         Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham, seperti Departemen Keuangan.



Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya
-       Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
-       Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
-       Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; seperti tugas Menteri Dalam Negeri.
-       Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; seperti tugas Menteri Kehutanan.
-       Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk, seperti tugas Sekretaris Negara.

Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. 
Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe) :
-       Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
-       Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
-       Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie. Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas.
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut :
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.

Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya. Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut: 

1. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoe, yaitu:
Sagoe XXII Mukim,
Sagoe XXV Mukim
Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.

2. Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.

3. Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3)

Perekonomian
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya :
·         Minyak tanah dari Deli,
·         Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
·         Kapur dari Singkil,
·         Kapur Barus dan menyan dari Barus.
·         Emas di pantai barat,
·         Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan. Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.


Kebudayaan
Gunongan dan Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani.
Tidak banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Kraton Meuligoe yang digunakan sebagai Pedopo Gubernur Aceh. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman Ghairah yang luas dipusat Kota Banda Aceh.

Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh Angkatan Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi. [12]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (taman para raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.

Militer
Beberapa catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis oleh C.R. Boxer, mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh Darussalam sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan mutakhir. Bahkan, sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah satu rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang berhasil dibawa pulang oleh Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang kemudian diberi nama “Cakra Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja Samudera Pasai ketika panglima besar dari Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15 (Said a, 1981:168).
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.


KERAJAAN GOWA TALLO


Sejarah Kerajaan Gowa Tallo, Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini. Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad itu.

Sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.

Letak Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan   berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Berikut adalah peta Sulawesi Selatan pada saat itu
.
Silsilah Raja Kerajaan Gowa Tallo
1.       Tumanurunga (+ 1300)
2.       Tumassalangga Baraya
3.       Puang Loe Lembang
4.       I Tuniatabanri
5.       Karampang ri Gowa
6.       Tunatangka Lopi (+ 1400)
7.       Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8.       Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9.       Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
10.    I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11.    I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
12.    I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13.    I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14.    I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
15.    I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16.    I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
17.    I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
18.    Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
19.    I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
20.    La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21.    I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
22.    I Manrabbia Sultan Najamuddin
23.    I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
24.    I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25.    I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26.    Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27.    I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28.    I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
29.    I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30.    I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
31.    La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
32.    I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
33.    I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
34.    I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.
35.    I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36.    Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.

Kondisi sosial, ekonomi dan politik Kerajaan Gowa Tallo
Kondisi sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.  Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.

Kondisi ekonomi Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :
      letak yang strategis,
      memiliki pelabuhan yang baik
      jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar. Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.

Kondisi politik Kerajaan Gowa Tallo
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
                                                                          
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
b.       VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
c.       Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
d.       Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
e.       Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.

Proses Kehancuran Kerajaan Gowa Tallo
            Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama napasomba. Sama seperti ayahnya, sultan ini menentang kehadiran belanda dengan tujuan menjamin eksistensi Kesultanan Makasar. Namun, Mapasomba gigih pada tekadnya untuk mengusir Belanda dari Makassar. Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan Mapasomba sendiri tidak diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan Makassar.

Peninggalan – Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
Benteng Fort Rotterdam
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang. 

Masjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud  (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.

Kompleks makam raja gowa tallo
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Berdasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976-1982) ditemukan gejala bahwa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
 Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempatkan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok-balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa mempergunakan perekat.  Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.


KERAJAAN TERNATE & TIDORE


Pada abad ke-15, para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam ke sana. Dari sini muncul empat kerajaan Islam di Maluku yang disebut Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate yang dipimpin Sultan Zainal Abidin (1486-1500), Kesultanan Tidore yang dipimpin oleh Sultan Mansur, Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh Sultan Sarajati, dan Kesultanan Bacan yang dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko. Pada masa kesultanan itu berkuasa, masyarakat muslim di Maluku sudah menyebar sampai ke Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Halmahera. Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) adalah dua kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam
menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang mencoba menguasai Maluku. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kerajaan ini bersaing memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh, sehingga daerah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Wilayah Maluku bagian timur dan pantai-pantai Irian (Papua), dikuasai oleh Kesultanan Tidore, sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan sampai ke Flores dan Mindanao, dikuasai oleh Kesultanan Ternate. Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Baabullah, sedangkan Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Nuku. Persaingan di antara kerajaan Ternate dan Tidore adalah dalam perdagangan. Dari persaingan ini menimbulkan dua persekutuan dagang, masing-masing menjadi pemimpin dalam persekutuan tersebut, yaitu:
  • Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan Ambon. Pada masa Sultan Baabulah, Kerajaan Ternate mencapai aman keemasan dan disebutkan daerah kekuasaannya meluas ke Filipina.
  • Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dipimpin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo sampai ke Papua. Kerajaan Tidore mencapai aman keemasan di bawah pemerintahan Sultan Nuku. Kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang berkembang adalah Kesultanan Palembang yang didirikan oleh Ki Gedeng Suro, Kerajaan Bima di daerah bagian timur Sumbawa, dengan rajanya La Ka’i, Siak Sri Indrapura yang didirikan oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, dan masih banyak lagi Kerajaan Islam kecil lainnya di Indonesia.
  •  

Raja-Raja Kerajaan Ternate & Tidore

Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja- raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama adalah Syahadati alias Muhammad Naqal yang naik takhta pada tahun 1081. Baru saat Raja Ternate yang kesembilan, Cirililiyah bersedia memeluk agama Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para pembesar kerajaan, Cirililiyah mendapat gelar Sultan Jamalluddin. Putra sulungnya Mansur juga masuk Islam. Agama Islam masuk pertama kali di Tidore pada tahun 1471 (menurut catatan Portugis).

Peninggalan Kerajaan Ternate & Tidore

Peninggalan kerajaan ternate :
  • Istana Sultan Ternate
  • Benteng Kerajaan Ternate
  • Masjid di Ternate
peninggalan kerajaan tidore :
  • Benteng-benteng peninggalan portugis
  • Keraton Tidore

Kehidupan Politik Kerajaan Ternate & Tidore

Di kepulauan Maluku terdapat kerajaan kecil, diantaranya kerajaan ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara. Uli Siwa yang berarti persekutuan sembilan bersaudara. Ketika bangsa Portugis masuk, Portugis langsung memihak dan membantu Ternate, Hal ini dikarenakan Portugis mengira Ternate lebih kuat. Begitu pula bangsa Spanyol memihak Tidore akhirnya terjadilah peperangan antara dua bangsa kulit, untuk menyelesaikan, Paus turun tangan dan menciptakan perjanjian Saragosa. Dalam perjanjian tersebut bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan pindah ke Filipina, sedangkan Portugis tetap berada di Maluku.
Untuk dapat memperkuat kedudukannya, portugis mendirikan sebuah benteng yang di beri nama Benteng Santo Paulo. Namun tindakan Portugis semakin lama di benci oleh rakyat dan para penjabat kerajaan Ternate. Oleh karena itu Sultan Hairun secara terang-terangan menentang politik monopoli dari bangsa Portugis. Sultan Baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit menentang Portugis. Tahun 1575 M Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan benteng.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Ternate & Tidore

Tanah di kepulauan Maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke 12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar Maluku mengakibatkan terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian masyarakat.

Kehidupan Sosial & Budaya Kerajaan Ternate & Tidore

Kedatangan Portugis di Maluku yang semula untuk berdagang dan mendapatkan rempah-rempah, juga menyebarkan agama Katolik. Pada tahun 1534 missionaris Katolik, Fransiscus Xaverius telah berhasil menyebarkan agama Katolik di Halmahera, Ternate, dan Ambon.
Telah kita ketahui bahwa sebelumnya di Maluku telah berkembang agama Islam. Dengan demikian kehidupan agama telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat Maluku. Dalam kehidupan budaya, rakyat Maluku diliputi aktivitas perekonomian, maka tidak banyak menghasilkan budaya. Salah satu karya seni bangun yang terkenal ialah Istana Sultan Ternate dan Masjid kuno di Ternate.

Kehancuran Kerajaan Ternate & Tidore

Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.


KERAJAAN PAJANG


Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dimana Pajang dilihat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina. 
Ceritera mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.
Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.

RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN PAJANG
Jaka Tingkir
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara  Pajang dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.

Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.
Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.

BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG
Aspek Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi  lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.

Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.

Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo.  Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai  para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi  sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan,  tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang  menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang  berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,  Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi  Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.

KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.


KERAJAAN MATARAM ISLAM


Nama Mataram berasal dari nama bunga, sejenis bunga Dahlia yang berwarna merah menyala. Ada juga nama Mataram yang dihubungkan dengan Bahasa Sansekerta, Matr yang berarti Ibu, sehingga nama Mataram diberi arti sama dengan kata Inggris Motherland yang berarti tanah air atau Ibu Pertiwi. Sebelum tahun 1000 M daerah ini telah berkembang suatu peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Hindu. Pada abad ke-14 sewaktu Majapahit mencapai puncak kejayaan, bumi Mataram rupanya dipandang kurang penting. tidak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa para raja Mataram kuno yang hidup beberapa abad sebelumnya masih dikenang di Majapahit. Sampai saat ini pun belum ada data-data yang mungkin dapat menghubungkan Mataram Islam yang berdiri akhir abad 16 dengan Mataram kuno. Di cerita Babad Tanah Jawi hanya menyebutkan bahwa tanah Mentaok yang berupa hutan belukar dan kosong penduduknya oleh raja Pajang dihadiahkan kepada Ki Ageng Pemanahan untuk dibuka sebagai balas jasanya dalam mengalahkan Aria Penagsang, musuh sultan Adiwijaya Pada abad ke-16 maka berdirilah kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan di Kotagede. Pada masa ini kerajaan Mataram masih di bawah kekuasaan raja Pajang. Namun pada periode Sutawijaya, Mataram akhirnya dapat menjadi Kerajaan Independent.

Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Pada mulanya, Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan oleh Sultan Adiwijaya kepada Ki Gede Pemanahan. Sultan Adiwijaya menghadiahkannya karena Ki Gede Pemanahan telah berhasil membantu Sultan Adiwijaya dalam membunuh Arya Penangsang di Jipang Panolan. Ki Pamenahan, disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh kepada sultan Pajang. Ia mulai naik tahta di Istananya di Kotagede pada tahun 1577 M. Di tangan Ki Gede Pemanahan, Mataram mulai menunjukkan kemajuan. Pada tahun 1584 Ki Gede Pemanahan meninggal, maka usaha memajukan Mataram dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya.
Sutawijaya atau dikenal dengan nama Panembahan Senapati. Sepeninggal ayahnya, ia dilantik sebagai penguasa penting di Mataram menggantikan Ayahnya. Ia seorang yang gagah berani, mahir dalam hal berperang. Sehingga sejak ia masih sebagai pemimpin pasukan pengawal raja Pajang ia telah diberi galar oleh Sultan Adiwijaya, Senapati ing Alaga (panglima perang).
Senapati memiliki cita-cita hendak mengangkat kerajaan Mataram sebagai penguasa tertinggi di Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Senapati mengambil dua langkah penting, pertama memerdekakan diri dari pajang dan kedua untuk memperluas wilayah kerajaan Mataram keseluruh jawa. Konflik antara raja Pajang dengan Sutawijaya menghasilkan kemenangan dipihak Sutawijaya. Setelahnya, keturunan Adiwijaya, yaitu pangeran Benawa yang seharusnya menjadi ahli waris kesultanan pajang, menyerahkan tahta kekuasaan kerajaan Pajang kepada Senapati. Sejak saat itu Senapati mengambil gelar Panembahan tahun 1586. Sutawijaya berhasil membangun  Mataram pada tahun 1586. Wilayah yang dikuasai Kesultanan  Mataram adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.] Di sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka. Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang, Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram
Setelah Sutawijaya meninggal, posisinya sebagai Sultan digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Jolang. Ia diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah pada tahun 1601-1613. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi perlawanan dari wilayah pesisir, yang merupakan salah satu penyebab mengapa RM Jolang tidak mampu memperluas wilayah Kesultanan Mataram. Dalam menjalankan roda pemerintahan, ia cenderung mengadakan pembangunan dibanding ekspansi. Menjelang wafatnya, RM Jolang menunjuk Raden Mas Rangsang sebagai penggantinya. Setelah dilantik, RM Rangsang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahaman. Ia memerintah dari tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Mataram mengalami kejayaan.

Masa Kejayaan Mataram Islam

Raden Mas Rangsang diangkat menjadi raja baru yang memakai nama Sultan Agung Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Jika para pendahulunya mengambil ibukotanya di Kotagede, maka Sultan Agung mengambil ibukotanya di Karta. Sultan Agung dikenal dengan politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya melainkan wilayah Nusantara. Musuh-musuh Sultan Agung bukan saja kerajaan-kerajaan  yang ada di pesisir dan kerajaan Hindu di Blambang, tetapi juga para penguasa asing yang berkoloni di Nusantara. Misalnya, Portugis dan Belanda. Oleh karena itu, wajarlah jika semenjak diangkatnya, ia selalu mengangkat senjata dalam rangka menerapkan taktik ekspansi.
Sebagai orang Islam, Sultan Agung selalu menaati ibadah dan menjadi contoh untuk rakyatnya. Setiap hari Jum’at Sultan agung bersama rakyatnya melakukan shalat Jum’at. Dalam tahun 1633 ia membuat tarikh (kalender baru) yaitu kalender Jawa-Islam. Guna memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin Islam, Sultan Agung mengirim utusan ke Mekkah untuk kembali ke Mataram dengan membawa gelar Sultan untuknya dan ahli-ahli agama untuk menjadi penasihat baginya di istana. Gelar dari Mekkah itu lengkapnya adalah Sultan Abu Muhammad Maulana Matarami.
Akan tetapi setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, para penggantinya lemah-lemah, kejam, dan mengadakan perjanjian dengan Belanda sehingga memberi peluang kepada Belanda untuk berkoloni di Nusantara. Hal ini menimbulkan berbagai kerusakan disana-sini. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan itu muncul mengakhibatkan perpecahan di kalangan bangsa Mataram yang menguntungkan Belanda.

 

Bidang Perekonomian Kesultanan Mataram

Negara Mataram tetap merupakan negara agraris yang tetap mengutamakan pertanian. Selain beras, Mataram juga menghasilkan gula kelapa dan gula aren. Hasil gula tersebut berasal dari daerah Giring di Guningkidul. Gula kelapa dan gula aren itu diekspor ke luar melalui Tembayat dan Wedi.
Dasar-dasar kehidupan maritim tidak dimiliki oleh Mataram. Pada hakikatnya Sutawijaya memeriksa apakah laut Hindia dapat digunakan sebagai pelabuhan kesultanan Mataram yang sedang dalam taraf pembentukan. Bagaimanapun laut Jawa masih dikuasai oleh orang Tionghoa dari kesultanan Demak pada zaman pemerintahan Dinasti Jin Bun. Selain itu, Ternyata gelombangnya terlalu besar sehingga pembuatan pelabuhan di pantai selatan tidak mungkin. Kesultanan Mataram yang sedang dalam taraf pembangunan tidak berhasil memiliki pelabuhan dan tidak akan menjadi negara Maritim. Kesultanan Mataram hanya akan menjadi negara pertanian karena pusat kerajaannya berada di pedalaman.

Kehidupan Sosial, agama serta Peran Ulama dan Partisipasinya

            Pada masa pemerintahan Sultan Agung, para ulama yang ada di kesultanan Mataram dapat dibagi dalam tiga bagian. Yaitu ulama yang masih berdarah bangsawan, ulama yang bekerja sebagai alat birokrsi, ulama pedesaan yang tidak menjadi alat birokrasi. Sebagai penguasa Mataram, Sultan Agung sangat menghargai para ulama karena mereka mempunyai moral dan ilmu pengetahuan tinggi. Jika ingin membuat kebijakan, Sultan Agung selalu memeinta nasihat dan pertimbangan kepada para ulama.
Ulama pada saat itu sedang konsentrasi menggarap soal Islamisasi terhadap budaya-budaya yang masih melekat di hati masyarakat Mataram. Sunan Kalijaga misalnya, beliau  adalah ulama yang selalu berusaha keras agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat yang sudah kuat nilai kepercayaan terhadap ajaran dan doktrin budaya sebelum Islam. Berbagai cara telah beliau tempuh termasuk melalui karya seni yang telah mentradisi di masyarakat.
Memang disadari pindahnya pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa ke daerah pedalaman yang agraris serta telah dipengaruhi budaya pra Islam menimbulkan warna baru bagi Islam yang kemudian disebut dengan Islam Sinkretisme. Demikianlah keadaan Islam semenjak berpusat di Mataram campur tangan budaya setempat yang kemudian terkenal dengan Islam Kejawen.
Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Senopati menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya Mataram telah dinyatakan sebagai negara Islam. Raja berkedudukan sebagai pemimipin dan pengatur agama. Mataram menerima agama dan peradaban Islam dari kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang lebih tua. Sunan Kalijaga sebagai penghulu terkenal masjid suci di Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram. Tidak hanya sebagai pemimpin rohani, tetapi juga sebagai pembimbing di bidang politik. Hubungan-hubungan erat antara Cirebon dan Mataram memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di Mataram. Sifat mistik Islam dari keraton Cirebon merupakan unsur yang menyebabkan mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Jawa di Mataram. Islam tersebut tentu adalah Islam Sinkretis yang menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha
Namun peran ulama menjadi tergeser semenjak Mataram dikuasai oleh Amangkurat I. Pada saat itu terjadi de-islamisasi. Banyak ulama yang dibunuh sehingga kehidupan keagamaan merosot, sementara dekadensi moral menghiasi keruntuhan pamor Mataram akibat dari campur tangan budaya asing.

Peran di bidang kebudayaan Islam

Peranan kegiatan di bidang kebudayaan pada masa awal berdirinya Mataram, kurang berkembang dikarenakan dua alasan. Pertama, para pendiri Mataram belum punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang spiritual. Perhatiannya lebih tercurah pada soal-soal pembukaan dan pemanfaatan sumber daya alam demi kemajuan ekonomi dan strategi pertahanan. Pengolahan tanah dan penggarapan daerah-daerah tandus lebih banyak menyita waktu. Kedua, penanaman kekuasaan politik ternyata hanya dapat dilakukan dengan kekuatan senjata. Oleh sebab itu seluruh masa pemerintahan raja-raja pertama Mataram hanya dihabiskan dalam peperangan. Demikianlah maka ki Gede Pemanahan Senapati dan Mas Jolang belum sempat untuk mengembangkan kebudayaan yang sifatnya lebih rohaniah.
Baru pada masa pemerintahan raja yang ketiga, Sultan Agung gagasan untuk mengembangkan kebudayaan dapat dimulai. Diambillah unsur-unsur peradaban dari daerah-daerah pesisir Utara dan Jawa Timur yang dapat mempertinggi martabat keraton Mataram dibidang kebudayaan sesuai dengan kedudukannya sebagai istana raja penguasa tertinggi diseluruh tanah Jawa juga dalam hal penyebaran agama Islam, menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha yang disebut dengan islam Sinkretis.

Sistem Politik Kesultanan Mataram

Dalam sistem politik di kerajaan Mataram periode Senopati hingga Susuhunan Amangkurat I mengalami turun-naik secara drastis. Periode Raden Mas Jolang kemudian dengan anaknya Raden Mas Rangsang. Kemudian Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang dengan apa yang telah ditempuh pendahulunya.
Untuk sistem politik yang sifatnya intern, terutama menyangkut konsolidasi tata pemerintahan, seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-maasing mereka hampir tidak mengalami perbedaan, akan tetapi dalam hal penguasaaan wilayah, kadang-kadang mengalami naik-turun. Seperti pada masa Panembahan Senopati, ia mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi, yakni menjadikan Mataram berdiri sendiri (yang semula merupakan daerah bawahan Kerajaan Pajang). Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan susuhunan amangkurat 1 martabat mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaan mulai menciut karena hubungannya dengan kolonial Belanda.
Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja mataram, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti raja-raja ditetapkan putra laki-laki dari istri selir pun biasa dinobatkan sebagai pengganti raja. Apabila dari keduanya tidak mendapatkan anak laki-laki, maka.paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.
Mengenai sistem politik eksternalnya, diantara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan yang mencolok dalam menerapkan sistem untuk menghadapi penetrasi barat. Ada yang menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang anti pati sama sekali. Pada masa panembahan senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini disebabkan walaupun saat itu orang-orang Eropa sudah berada di Nusantara, konsentrasi politik sedang dicurahkan untuk konsolidasi dan penguasaan kerajaan-kerajaan disekitarnya. Sedangkan pada masa Raden Mas Jolang, kehadiran belanda diterima dengan baik diakhir kekuasaannya. Beda hal dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau termasuk penguasa yang antipatis pada kompeni. Berbagai usaha telah dikerahkan untuk mengusik keberadaan dan membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi Nusantara. Dua kali sesudah ekspansinya, pasukan militer, ia kirimkan ke Batavia untuk memukul mundur VOC, masing-masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya memperoleh kegagalan.

Masa Kemunduran Mataram Islam

Setelah Sultan Agung wafat, Mataram kemudian diperintah oleh raja yang pro dengan kompeni yaitu Susuhunan Amangkurat I. ia memerintah pada tahun 1645-1677. Sebagai penguasa Mataram yang baru, Sultan Amangkurat I membuat kebijakan- kebijakan yang kontrofersial yaitu pertama, tidak lagi menghargai para ulama bahkan berusaha untuk menyingkirkannya. Pada masanya ribuan ulama Syahid dibunuh Sultan Amangkuran I. kedua, menghapus lembaga-lembaga agama yang ada di Kesultanan, seperti menghapus Mahkamah Syariah yang telah dibentuk oleh Ayahnya. Ketiga, membatasi perkembangan islam dan melarang kehidupan Agama mencampuri masalah kesultanan. Keempat, membangun kerjasama dengan penjajah Belanda yang menjadi musuh bebuyutan Ayahnya.
Cara Amangkurat I dalam memerintah yang tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan itu telah mendatangkan kemarahan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, Raden Kajoran, seorang ulama bangsawan yang hidup dalam pedesaan, melakukan perlawanan. Ia menyusun kekuatan dari para santri dan rakyat pedesaan. Raden Kajoran mendapat dukungan dari Raden Anom, anak Sultan Amangkurat I dan Trunojoyo bangsawan dari Madura. Kekuatan semaki kuat ketika Karaeng Galesong bangsawan dari Gowa. Namun perkembangan selanjutnya, Adipati Anom melakukan pengkhianatan. Ia keluar dari aliansi, karena ia sudah di ampuni oleh ayahnya. Pada tahun 1677, aliansi Raden Kajoran berhasil mengepung pusat pemerintahan Amangkurat I di Pleret. Sedangkan Amangkurat I dan anaknya berhasil melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan kepada Belanda. Dalam perjalanan menuju Batavia, Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal.
Sebelum  Amangkurat I wafat, ia sudah menetapkan Adipati Anom sebagai Sultan Mataram yang baru. Setelah dilantik, Adipati Anom diberi gelar Sultan Amangkurat II ia segera melanjutkan kerjasamanya dengan Belanda untuk merebut kembali tahta Mataram dalam perjanjian di Jepara yang mana Belanda mengiginkan wilayah timur karawang dan upah dalam bentuk uang. Setelah perjanjian Jepara ditandatangani, Amangkurat II dan Belanda melakukan penyerangan ke Mataram dan berhasil memukul mundur aliansi Raden Kajoran. Dengan demikian, Sultan amangkurat II berhasil merebut kembali tahta Mataram.
Walaupun Sultan Amangkurat II meduduki Mataram dan mengembalikan fungsi ulama, tetapi persoalan Mataram belum selesai. Sejak 1743 Mataram hanya memiliki wilayah-wilayah Begelen, Kedu, Jogjakarta, Surakarta. Tragisnya lagi, Mataram terpecah menjadi dua kerajaan, sesuai dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kedua kerajaan tersebut adalah Kerajaan Surakarta dengan rajanya Susuhunan (Pakubuwono III) dan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Selanjutnya pada tahun 1757, Kerajaan Surakarta dipecah lagi menjadi dua yaitu, wilayah yang dirajai Pakubuwono III dan wilayah yang dirajai oleh Mangkunegara I. Demikian juga pada tahun 1813 oleh Inggris, Yogyakarta dipecah menjadi dua, yaitu wilayah Kesultanan yang dirajai oleh Sultan Hamengku Buwono III dan Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Bendara Pangeran Natakusuma atau dikenal dengan Pangeran Pakualam I.


KERAJAAN BANTEN DAN CIREBON

Sultan pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun 1522-1570. Ia adalah putra Fatahillah, seorang panglima tentara Demak yang pernah diutus oleh Sultan Trenggana menguasai bandar-bandar di Jawa Barat. Pada waktu Kerajaan Demak berkuasa, daerah Banten merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Namun setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Demak.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat para pedagang muslim memindahkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan. Hasanuddin memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada, Lampung di Sumatra Selatan yang sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah meletakkan dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Pada tahun 1570,
Sultan Hasanuddin wafat.
Penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Di bawah kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil menaklukkan dan menguasai Kerajaan Pajajaran (Hindu). Akibatnya pendukung setia Kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yaitu daerah Banten Selatan, mereka dikenal dengan Suku Badui. Setelah Pajajaran ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam.
            Maulana Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir kekuasaannya, Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang. Dalam usaha menaklukkan Palembang, Maulana Muhammad tewas dan selanjutnya putra mahkotanya yang bernama Pangeran Ratu naik takhta. Ia bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir. 
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda.Usaha untuk mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai pelabuhan Jayakarta yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kegagalan. Setelah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mulai dikuasai oleh Belanda di bawah pemerintahan Sultan Haji.

Kehidupan Politik Kerajaan Banten
Daerah Banten berhasil dikuasai dan diislamkan oleh Fatahilah (Panglima Perang Demak). Di samping menguasai Banten, Fatahilah juga berhasil merebut Cirebon dan Sunda Kelapa yang kemudian namanya diubah menjadi Jayakarta (1527). Setelah Fatahilah menetap di Cirebon, Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Maulana Hasanuddin.
Banten masih tetap menjadi daerah kekuasaan Demak, namun setelah di Demak terjadi kegoncangan politik akibat perebutan kekuasaan, Banten akhirnya melepaskan diri. Maulana Hasanudin sebagai peletak dasar dan menjadi Raja Banten yang pertama (1552–1570). Daerah kekuasannya meluas sampai dengan Lampung dan berhasil mengusai perdagangan lada. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal dan digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf (1570–1580). Ia berhasil menundukkan Kerajaan Pajajaran.
Raja yang terbesar Banten ialah Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682). Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan Banten. Politik Sultan Ageng terhadap VOC sangat keras, namun tidak disetujui oleh putranya Sultan Haji (Abdulnasar Abdulkahar) sehingga terjadi perselisihan. Sultan Haji minta bantuan VOC sehingga Kerajaan Banten yang jaya dan besar di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menjadi boneka Kompeni dengan rajanya, Sultan Haji.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Banten
Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya, antara lain sebagai berikut.
1)      Letaknya strategis dalam lalu lintas perdagangan.
2)      Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis sehingga para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka, namun langsung menuju Banten.
3)      Banten mempunyai bahan ekspor penting, yakni lada. Banten yang maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina, dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung Pekojan, orang Cina mendirikan Kampung Pecinan, orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa, dan sebagainya.

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Banten
Sejak Banten diislamkan oleh Fatahilah (Faletehan) pada tahun 1527 maka kehidupan sosial masyarakat Banten secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung setia Kerajaan Pajajaran kemudian menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan. Mereka kemudian di kenal sebagai suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama . Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam.
Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa meningkat pesat sebab sultan mempehatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun, setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, kehidupan sosialnya merosot tajam sebab adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan.
Kehidupan seni budaya Islam dapat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima) dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu, bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.

Pada masa kekuasaan Kerajaan Pajajaran sekitar abad ke-16 M, Cirebon merupakan salah satu daerah kekuasaannya. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pengaruh Kesultanan Demak. Menurut cerita di Jawa Barat, pendiri kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati yang juga sebagai salah seorang walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat. Nama Sunan Gunung Jati juga sering dikaitkan dengan berdirinya Jayakarta atau Jakarta yang semula bernama Sunda Kelapa.
Menurut cerita di Banten, Sunan Gunung Jati adalah Faletehan yang berkeinginan untuk menyebarkan Islam di kota-kota penting Pajajaran. Akan tetapi, sumber-sumber sejarah Cirebon mencatat bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan atau Fatahillah adalah dua orang yang berbeda. 
Menurut sumber tersebut Faletehan adalah menantu Sunan Gunung Jati yang menikahi anaknya Nyai Ratu Ayu. Faletehan kemudian menjadi Raja Cirebon setelah mertuanya wafat tahun 1570. Pada masa pemerintahan Fatahillah, Kesultanan Cirebon berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke Majalengka, Kuningan, Kawali, Banten, dan daerah lainnya di Jawa Barat. Pada tahun 1570, Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Gunung Jati Cirebon Jawa Barat.


SEJARAH KERAJAAN MALAKA
      
            Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan.Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga.Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan.Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera.Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras.Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka.Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki.
Berkaitan dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah Melayu (Malay Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara melarikan diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan mencoba untuk bertahan disitu, tapi gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening Ujong hingga kemudian sampai di Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir pantai.Orang-orang Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta Parameswara menjadi raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan tersebut, ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia sangat terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan Malaka.

Masa Kejayaan Kesultanan Malaka 
Sebagai salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam.Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang ikut masuk Islam.Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459—1477).Kebesaran Malaka ini berjalan seiring dengan perkembangan agama Islam.Negeri-negeri yang berada di bawah taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam.Untuk mempercepat proses penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antarkeluarga.
             Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa.Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut:
·         Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor, Kelantan, Trenggano, dan sebagainya). 
·         Daerah Kepulauan Riau. 
·         Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
·         Brunai dan Serawak. 
·         Tanjungpura (Kalimantan Barat).        
Sedangkan daerah yang diperoleh dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut.
1.      Indragiri. 
2.      Palembang. 
3.      Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan Bunguran.

Keadaan MasyarakatKehidupan Politik       
Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan.Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka.Dua kerajaan besar pada waktu itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit.Maka, Malaka kemudian menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini.Sebagai tindak lanjut dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang putri Majapahit.Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad Iskandar Syah)) tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebutRaja – raja yang memerintah Kerajaan Malaka antara lain :
1.   Iskandar Syah (1396-1414 M)     
Pada abad ke-15 M, di Majapahit terjadi perang paregreg yang mengakibatkan Paramisora (Parameswara) melarikan diri bersama pengikutnya dari daerah Blambangan ke Tumasik (Singapura), kemudian melanjutkan perjalanannya sampai ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kp. MalakaSecara geografis, posisi Kp. Malaka sangat strategis, yaitu di Selat Malaka, sehingga banyak dikunjungi para pedagang dari berbagai Negara terutama para pedagang Islam, sehigga kehidupan perekonomian Kp. Malaka berkembang pesat,Untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Malaka, maka Paramisora menganut agama Islam dan merubah namanya menjadi Iskandar Syah, kemudian menjadikan Kp. Malaka menjadi Kerajaan Islam.Untuk menjaga keamanan Kerajaan Malaka, Iskandar Syah meminta bantuan kepada Kaisar China dengan menyatakan takluk kepadanya (1405 M).
2.   Muhammad Iskandar Syah (1414-1424 M)      
Merupakan putra dari Iskandar Syah, pada masa pemerintahannya wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka diperluas lagi hingga mencapai seluruh Semenanjung Malaya.Untuk menjadi Kerajaan Malaka sebagai penguasa tunggal jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, maka harus berhadapan dengan Kerajaan Samudera Pasai yang kekuatannya lebih besar dan tidak mungkin untuk bisa dikalahkan, maka dipilih melalui jalur politik perkawinan dengan cara menikahi putri Kerajaan Samudera Pasai, sehingga cita-citanya dapat tercapai.
3.   Mudzafat Syah (1424-1458 M)     
            Setelah berhasil menyingkirkan Muhammad Iskandar Syah, ia kemudian naik tahta dengan gelar sultan (Mudzafat Syah merupakan raja Kerajaan Malaka yang pertama bergelar Sultan).Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan dari Kerajaan Siam (serangan dari darat dan laut), namun dapat digagalkan.Mengadakan perluasan wilayah ke  daerah-daerah yang berada di sekitar Kerajaan Malaka seperti Pahang, Indragiri dan Kampar.
4.   Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M)      
            Merupakan putra dari Sultan Mudzafat Syah.Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayaan sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Puncak kejayaan dicapai berkat Sultan Mansyur Syah meneruskan politik ayahnya dengan memperluas wilayah kekuasaanya, baik di Semananjung Malaya maupun di wilayah Sumatera Tengah (Kerajaan Siam berhasil ditaklukan). Raja Siam  tewas dalam pertempuran , tetapi putra mahkotanya ditawan dan dikawinkan dengan putri sultan sendiri kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Ibrahim. Indragiri mengakui kekuasaan Malaka.Kerajaan Samudera Pasai, Jambi dan Palembang tidak serang karena menghormati Majapahit yang berkuasa pada waktu itu, selain itu Kerajaan Aru juga tetap sebagai kerajaan merdeka.Kejayaan Kerajaan Malaka tidak lepas dari jasa Laksamana Hang Tuah yang kebesarannya disamakan dengan kebesaran Patih Gajah Mada dari Kerajaan Mahapahit.Cerita Hang Tuah ditulis dalam sebuah Hikayat, Hikayat Hang Tuah.
5.   Sultan Alaudin Syah (1477-188 M)       
Merupakan putra dari Sultan Mansyur Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka mulai mengalami kemunduran, satu persatu wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka mulai melepaskan diri.Hal ini disebabkan oleh karena Sultan Alaudin Syah bukan merupakan raja yang cakap.
6.   Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M)      
Pada tahun 1511 M, terjadi serangan dari bangsa Portugis di bawah pimpinanAlfonso d’Alberquerque dan berhasil Merebut Kerajaan Malaka.Akhirnya Malaka pun jatuh ke tangan Portugis.

Kehidupan Sosial – Budaya
Pada kehidupan budaya, perkembangan seni sastra Melayu mengalami perkembangan yang pesat seperti munculnya karya-karya sastra yang menggambarkan tokoh-tokoh kepahlawanan dari Kerajaan Malaka seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Hang Lekir dan Hikayat Hang Jebat.Sedangkan kehidupan sosial Kerajaan Malaka dipengaruhi oleh faktor letak, keadaan alam dan lingkungan wilayahnya.Sebagai masyarakat yang hidup dari dunia maritim, hubungan sosial masyarakatnya sangatlah kurang dan bahkan mereka cenderung mengarah ke sifat-sifat individualisme.Kelompok masyarakat pun bermunculan, seperti adanya golongan buruh dan majikan.      

Kehidupan Ekonomi         
Malaka memungut pajak penjualan, bea cukai barang-barang yang masuk dan keluar, yang banyak memasukkan uang ke kas negara. Sementara itu, raja maupun pejabat-pejabat penting memperoleh upeti atau persembahan dari pedagang yang dapat menjadikan mereka sangat kaya.Suatu hal yang penting dari Kerajaan Malaka adalah adanya undang-undang laut yang berisi pengaturan pelayaran dan perdagangan di wilayah kerajaan.Untuk mempermudah terjalinnya komunikasi antar pedagang maka bahasa Melayu (Kwu-lun) dijadikan sebagai bahasa perantara. 

Keruntuhan Kesultanan Malaka         
Malaka runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke negeri lain.Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut:1. Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424) 2. Sri Maharaja (1424—1444) 3.Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445) 4.Sultan Muzaffar Syah (1445—1459) 5.Sultan Mansur Syah (1459—1477) 6.Sultan Alauddin Riayat Syah (1477—1488) 7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)3. Periode Pemerintahan Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya menjadi Muhammad Iskandar Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I. Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka yang sangat strategis menyebabkannya cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.Akhir kesultanan Malaka terjadi ketika wilayah ini direbut oleh Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511.Saat itu, yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah.         
Usia Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad.Sebenarnya, pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Merupakan putra dari Sultan Alaudin Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka merupakan kerajaan yang sangat lemah, wilayah kekuasaannya meliputi sebagian kecil Semenanjung Malaya, hal ini menambah suram kondisi Kerajaan Malaka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017