Subscribe
KERAJAAN
SAMUDRA PASAI
Sejarah
Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan
Samudera Pasai ini biasanya lebih dikenal dengan Kesultanan Pasai atau Samudera
Darussalam. Kerajaan Islam tertua ini merupakan kerajaan pertama sekaligus yang
tertua dalam sejarah Islam. Selain itu kerajaan tersebut terletak di daerah
pesisir pantai sebelah utara Pulau Sumatera yang lebih tepatnya lagi berada
diantara kota Lhokseumawe dengan Aceh Utara (sekarang bernama Geudong).
Kerajaan ini dibangun
setelah terjadi runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, tepatnya dibangun sekitar abad ke
13 M. Selain itu Kerajaan Samudera Pasai juga didirikan oleh yang bernama
Sultan Malik As-Shaleh yang sebelum memeluk Islam lebih dikenal dengan
nama Meurah Silu.
Adanya berita tentang Kerajaan Samudera
Pasai ini ditemukan oleh seorang sejarawan dari maroko yang bernama Ibnu
Butatah saat ia berlayar dan kemudian ia berkunjung ke Kerajaan Samudera Pasai
pada tahun 1345 – 1346. Kemudian Ibnu Butatah menyebutnya dengan “Sumutrah” atau ejaannya untuk nama Samudera
yang sekarang berubah menjadi Sumatera.
Ketika sampai di pelabuhan Pasai, Ibnu
Butatah lalu dijemput oleh laksamana muda dari Pasai yang bernama Bohruz.
Kemudian laksamana tersebut memberitakan kedatangan Butatah kepada raja. Tak
lama kemudian Butatah diundang oleh sang raja untuk bertemu dengan Sultan
Muhammad (cucu Malik As-Shaleh). Kemudian Butatah pun singgah sebentar di
Samudra Pasai.
Pernah diberitakan bahwa
Sultan Pasai ini melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi dan juga
Kesultanan Usmani Ottoman. Selain itu juga diberitakan pula bahwa ada pegawai
kerajaan yang berasal dari Isfahan (Kerajaan Safawi) yang datang ke Istana
Pasai untuk mengabdi. Oleh sebab itu, karya sastra yang berasal dari Persia
begitu sangat populer di Kerajaan Samudera Pasai. Tak heran jika sastra Persia
sangat berpengaruh terhadap kesusastraan di Melayu pada saat itu.
Tak lama kemudian masa
pemerintahan Sultan Malik As-Shaleh pun digantikan oleh putranya yang bernama
Sultan Muhammad Malik Az-Zahir. Pada masa pemerintahannya, koin emas digunakan
sebagai mata uang di Kerajaan Samudera Pasai. Seiring dengan perkembangan
zaman, Pasai menjadi salah satu tempat untuk berdagang dan sekaligus untuk
pengembangan dakwah Islam
Kemudian pada tahun
1326 Sultan Muhammad Malik Az-Zahir pun meninggal dan kemudian
pemerintahan Kerajaan Samudera Pasai di pimpin oleh putranya yang bernama
Sultan Mahmud Malik Az-Zahir dan ia hanya memerintah sampai tahun 1345 saja.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (putra
dari Sultan Mahmud Malik Az-Zahri) Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh
pasukan dari Kerajaan Majapahit antara tahun 1345 dan 1350. Dalam serangan itu
membuat Sultan Pasai harus melarikan diri dari ibukota kerajaan
Pada tahun 1383 Kerajaan
Pasai mulai bangkit lagi dibawah pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin dan ia
hanya memimpin sampai tahun 1405 saja. Kemudian dalam catatan sejarah ia pun
tewas dibunuh oleh Raja Nakur. Dan akhirnya Kerajaan Samudera Pasai dilanjutkan
oleh istrinya yang bernama Sultanah Narasiyah.
Kemudian pada tahun 1405,
1408 dan 1412 Kerajaan Samudera Pasai kedatangan armada Cheng Ho yang memimpin
sekitar 208 kapal. Menurut catatan Cheng Ho, Kerajaan Samudera Pasai ini
memiliki batas wilayah pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur. Sementara
itu disebelah barat dan utara memiliki berbatasan dengan dua kerajaan, yaitu
Nakur dan Lide. Dalam kunjungannya tersebut Cheng Ho juga memberikan hadiah
dari Kaisar China yang berupa Lonceng Cakra Donya.
Menjelang akhir pemerintahan
Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian yang berujung dengan perang
saudara. Sulalatus Salatin menceritakan bahwa Sultan Pasai meminta bantuan
kepada Sultan Malaka untuk menghentikan pertikaian tersebut.
Kemudian pada abad ke 16,
bangsa Portugis berhasil masuk didaerah Selat Malaka dan berhasil menguasai
Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1521 sampai 1541. Selanjutnya wilayah
Kerajaan Samudera Pasai direbut kembali oleh Kerajaan Aceh yang berpusat di
Bandar Aceh Darussalam. Dimana waktu itu Kerajaan Aceh dipimpin oleh Raja
Sultan Ali Mughayat.
Raja-raja
Kerajaan Samudera Pasai
No
|
Periode
|
Nama Sultan atau Gelar
|
Catatan dan peristiwa
penting
|
1
|
1267 – 1297
|
Sultan Malik
al-Saleh (Meurah Silu)
|
Pendiri Samudra Pasai
|
2
|
1297 – 1326
|
Sultan Al-Malik
azh-Zhahir I / Muhammad I
|
Menjadikan koin emas
sebagai mata uang
|
3
|
1326 – 133?
|
Sultan Ahmad I
|
Penyerangan
ke Kerajaan Karang Baru, Tamiang
|
4
|
133? – 1349
|
Sultan Al-Malik
azh-Zhahir II
|
Dikunjungi Ibnu
Batutah
|
5
|
1349 – 1406
|
Sultan Zainal Abidin I
|
Diserang Majapahit
|
6
|
1406 – 1428
|
Ratu Nahrasyiyah
|
Masa kejayaan Samudra
Pasai
|
7
|
1428 – 1438
|
Sultan Zainal Abidin II
|
|
8
|
1438 – 1462
|
Sultan Shalahuddin
|
|
9
|
1462 – 1464
|
Sultan Ahmad II
|
|
10
|
1464 – 1466
|
Sultan Abu Zaid Ahmad III
|
|
11
|
1466 – 1466
|
Sultan Ahmad IV
|
|
12
|
1466 – 1468
|
Sultan Mahmud
|
|
13
|
1468 – 1474
|
Sultan Zainal Abidin III
|
Digulingkan oleh
saudaranya
|
14
|
1474 – 1495
|
Sultan Muhammad Syah II
|
|
15
|
1495 – 1495
|
Sultan Al-Kamil
|
|
16
|
1495 – 1506
|
Sultan Adlullah
|
|
17
|
1506 – 1507
|
Sultan Muhammad Syah III
|
Memiliki 2 makam
|
18
|
1507 – 1509
|
Sultan Abdullah
|
|
19
|
1509 – 1514
|
Sultan Ahmad V
|
Malaka jatuh ke tangan
Portugis
|
20
|
1514 – 1517
|
Sultan Zainal Abidin IV
|
Kehidupan
Politik
Tercatat dalam sejarah bahwa Samudera
Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi silam di
daerah Selat Malaka. Banyak sekali pedagang dari luar daerah yang datang ke
Samudera Pasai, diantaranya ada yang datang dari India, Benggala, Gujarat,
Arab, China serta daerah lainnya.
Setelah semakin kuat dengan
pertahanannya, Samudera Pasai kemudian meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah
pedalaman, seperti: Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag,
Buloh Telang, Benua, Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan,
dan Pasai. Dengan perluasan wilayah tersebut bertujuan Islamisasi di daerah
pedalaman.
Kehidupan
Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat di
Kerajaan Samudera Pasai ini bersumber dari perdagangan dan pelayaran. Hal
tersebut disebabkan karena Kerajaan Samudera Pasai berada di dekat Selat Malaka
yang menjadi jalur utama pelayaran dunia saat ini. Samudera Pasai memanfaatkan
Selat Malaka untuk menghubungkan berbagai pedagang yang berasal dari Arab,
India dan China.
Selain itu Samudera Pasai juga
menyiapkan beberapa bandar-bandar dagang yang digunakan untuk menambah perbekalan
dalam berlayar selanjutnya, mengumpulkan berang dagangan untuk dijual ke luar
negeri, mengurus masalah perkapalan dan menyimpan barang-barang perdagangan
sebelum diantar ke beberapa tempat di wilayah nusantara.
Kehidupan
Sosial dan Budaya
Selain hanya berdagang, para pendatang
juga ada yang menetap sementara waktu di daerah Pasai. Sehingga para pedagang
dari berbagai negara pun saling bergaul dan juga menyebarkan berbagai budaya
dari daerah mereka masing-masing. Dengan demikian budaya masyarakat Kerajaan
Samudera Pasai semakin banyak dan banyak lahir karya-karya sastra disana yang
bernuansa Islam
Corak arsitektur yang terdapat di
Sumatera sendiri pun kebanyakan juga bernuansa Islam. Hal tersebut dibuktikan
dengan ditemukannya pahatan-pahatan yang terdapat di batu nisan makam Raja-raja
Kerajaan Samudera Pasai.
selain itu banyak juga karya-karya
sastra dan buku-buku Islam yang dikarang oleh para ilmuan-ilmuan Pasai.
Contohnya seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sulalatus Shalatin dan masih banyak
lagi.
Kejayaan
Kerajaan Samudera Pasai
Tepatnya pada tahun 1383 sampai tahun
1405 Kerajaan Samudera Pasai mulai bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain
Al-Abidin Az-Zahir. Selain itu menurut catatan dari negeri China dalam bentuk
kronik China Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir dikenal dengan nama
cina Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Kemudian masa pemerintahan Sultan
Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir berakhir dan saat itu kekuasaan Kerajaan Samudera
Pasai dipimpin oleh Janda Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yaitu
Sultanah Nahrasiyah, ia juga bisa disebut dengan raja perempuan pertama di
Kerajaan Samudera Pasai.
Dibawah kepemimpinan Sultanah
Nahrasiyah, Kerajaan Samudera Pasai berada dimasa kejayaannya. Pada saat itu ia
pernah didatangi seorang Laksamana Laut Cheng Ho. Armada Cheng Ho berkunjung
berkali-kali ke Kerajaan Samudera Pasai antaranya tahun 1405, 1408 dan 1412.
Selain itu juga banyak terdapat kemajuan yang besar dalam
berbagai bidang diantaranya:
- Perdagangan
- Pelayaran
- Perekonomian
- Hubungan
Internasional
Runtuhnya
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai ini menjadi
runtuh karena disebabkan oleh beberapa faktor Internal dan Eksternal. Runtuhnya
kerajaan tersebut berawal dengan adanya peperangan antar saudara di kerajaan
tersebut. Dalam peperangan tersebut terjadi sebuah perebutan kekuasaan dan
jabatan dalam kerajaan, hingga akhirnya peperangan tersebut tidak bisa
dihindari.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada
tahun 1521 Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh bangsa Portugis. Dan saat itu
menjadi sebab runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai dari faktor eksternal. Akan
tetapi bibit-bibit kejayaan kerajaan tersebut masih ada tahun 1524 Kerajaan
Samudera Pasai kerena menjadi bagian dari Kesultanan Aceh.
Peninggalan
Kerajaan Samudera Pasai
Dari beberapa raja yang pernah
memerintah di Kerajaan Samudera Pasai tentunya pasti ada beberapa peninggalan
yang paling berharga saat itu. Berikut beberapa peninggalan sejarah dari
Kerajaan Samudera Pasai:
- Lonceng
Cakra Donya, lonceng tersebut terbuat dari besi yang berbentuk
seperti stupa dan dibuat oleh China pada tahun 1409 M. Pada bagian lonceng
terdapat beberapa ukiran aksara Arab dan China yang sangat indah. Lonceng
tersebut diberikan oleh kaisar China ke raja Samudera Pasai pada
waktu itu.
- Koin Dirham, koin ini digunakan sebagai
mata uang Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu koin tersebut juga terbuat
dari beberapa campuran antara emas, perak dan tembaga. Disalah satu
dari koin tersebut terdapat aksara Arab yang bertuliskan Muhammad Malik
Az-Zahir dan di sisi lainnya bertuliskan Al-Sultan Al-Adil.
- Naskah
Surat Sultan Zainal Abidin, surat
ini ditulis oleh Sultan Zainal Abidin dan diberikan kepada Kapten Moran
sebelum ia meninggal. Surat tersebut ditulis pada tahun 1518 M dengan
menggunakan aksara Arab. Naskah surat tersebut berisi tentang keadaan
Samudera Pasai pada abad ke 16 M, tepatnya saat Portugis berhasil
menguasai Malaka pada tahun 1511 M.
- Makam Raja Pasai, para raja-raja Kerajaan Pasai
juga termasuk dalam salah satu peninggalan yang paling bersejarah. Untuk saat
ini makam tersebut dijadikan sebagai tempat wisata religi. Makam tersebut
terletak disekitar komplek makam raja Samudera Pasai, di desa
Beuringin, kecamatan Samudera.
KERAJAAN
ACEH DARUSALAM
Sepanjang
riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam
tercatat telah berganti sultan hingga tiga puluh kali lebih. Berikut ini
silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh
Darussalam :
·
Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
·
Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
·
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar
(1537-1568)
·
Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat
Syah (1568-1575)
·
Sulthan Muda (1575)
·
Sulthan Sri Alam (1575-1576)
·
Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
·
Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
·
Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah
Putra (1589-1596)
·
Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
·
Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
·
Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta
Alam (1607-1636)
·
Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
·
Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam
/ Puteri Sri Alam (1641-1675)
·
Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam
(1675-1678)
·
Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah
(1678-1688)
·
Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din
(1688-1699)
·
Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal
al-Din (1699-1702)·
Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui
(1702-1703)
·
Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir
(1703-1726)
·
Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
·
Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
·
Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
·
Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
·
Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
·
Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
·
Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
·
Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah
(1791-1795)
·
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah
(1795-1815)
·
Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
·
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah
(1818-1824)
·
Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
·
Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
·
Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
·
Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
·
Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh
Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )
Perangkat
Pemerintahan
·
Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin
oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan
Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
·
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga
yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga
orang, semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
·
Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin
Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri, seperti Dewan
Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah
Rakyat yang diangkat.
·
Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus
hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri
Paduka, seperti Departemen Perdagangan.
·
Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus
hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar
Laksamana Amirul Harb, kira-kira Departemen Pertahanan.
·
-Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang
mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang
bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan, seperti Departemen Kehakiman.
·
Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus
hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir
yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham, seperti
Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat
berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya
- Syahbandar,
mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
- Teuku
Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
- Wazir
Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang;
seperti tugas Menteri Dalam Negeri.
- Wazir
Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan
pengembangan hutan; seperti tugas Menteri Kehutanan.
- Teuku
Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara
termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama
Setia Kerukoen Katibul Muluk, seperti tugas Sekretaris Negara.
Ulèëbalang
& Pembagian Wilayah
Pada
waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée,
Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini
terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa
Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan
diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut
Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul
Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi
pembagian wilayah.
Kerajaan
Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe
dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe)
:
- Sagoe
XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem
Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud
Daulah (Menteri Negara).
- Sagoe
XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam.
Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama
Kerajaan.
- Sagoe
XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza.
Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri
Urusan Peperangan).
Dalam
setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah.
Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan
shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie. Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua
daerah memiliki hak otonom yang luas.
Ulèëbalang
yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah
pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng.
Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat
mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan
lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan
mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di
pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan
luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi
menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.
Ditegaskan
juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai
berikut :
Demi Allah, kami
sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan
masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian
kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini
thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami
semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang
hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada
serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada
sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh
empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan
mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi
Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada
anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi,
bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun.
Wassalam.
Sumpah
Ulee Balang
Dokumen
sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan
Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun
oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam
daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk
membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam
melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan
atasannya. Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat
lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid
dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa
melakukan ibadah haji.
Wilayah
Kekuasaan
Daerah-daerah
yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari
masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara
lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga,
Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan
Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat
Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai
mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Selain
itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli),
Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak,
Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh
Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga
Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu
menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:
1. Wilayah
Aceh Raja
Dibagi
dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan
kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar
Panglima Sagoe, yaitu:
Sagoe XXII Mukim,
Sagoe XXV Mukim
Sagoe XXVI Mukim.
Di
bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya
yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-kira
setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang
dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa
kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.
2. Daerah
Luar Aceh Raja
Daerah
ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala
yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama
dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
3. Daerah
yang Berdiri Sendiri
Di
dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah
yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh
Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk
kepada Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3)
Perekonomian
Aceh banyak memiliki
komoditas yang diperdagangkan diantaranya :
·
Minyak tanah dari Deli,
·
Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
·
Kapur dari Singkil,
·
Kapur Barus dan menyan dari Barus.
·
Emas di pantai barat,
·
Sutera di Banda Aceh.
Selain
itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang
mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung
beras bagi kesultanan. Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan
untuk diekspor adalah lada.
Produksi
terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang,
senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai
barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada
terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.
Kebudayaan
Gunongan
dan Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani.
Tidak
banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam
Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti
dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah
berubah menjadi Kraton Meuligoe yang digunakan sebagai Pedopo Gubernur Aceh.
Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena
ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya
Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli
telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada
masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng
Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta
Taman Ghairah yang luas dipusat Kota Banda Aceh.
Kesusateraan
Sebagaimana
daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk
hikayat. Hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang
berceritakan tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh
Angkatan Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta
Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat
Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang
Sabi. [12]
Salah
satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (taman
para raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat
al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula
penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar
al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala
Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang
Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang
Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya
Agama
Para
ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di
Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an
Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad
Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian
ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi
yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin
Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling
terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa
melayu.
Militer
Beberapa
catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis oleh C.R. Boxer, mengatakan
bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh Darussalam sudah
mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan mutakhir. Bahkan, sejarawan
Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda, menyebut bahwa Sultan Aceh
(Ali Mughayat Syah) lebih banyak memperoleh pasokan meriam dibandingkan dengan
benteng Portugis di Malaka sendiri. Selain itu, menurut pejalan dari Barat
lainnya, Veltman, salah satu rampasan paling berharga dari Samudera Pasai yang
berhasil dibawa pulang oleh Sultan Ali Mughayat Syah adalah lonceng besar yang
kemudian diberi nama “Cakra Dunia”. Lonceng bersejarah merupakan hadiah
dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja Samudera Pasai ketika
panglima besar dari Kekaisaran Tiongkok itu berkunjung ke Pasai pada awal abad
ke-15 (Said a, 1981:168).
Pada
masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan
pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan
mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.
KERAJAAN GOWA TALLO
Sejarah Kerajaan Gowa Tallo, Kesultanan Gowa atau
kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang
terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah
kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang
dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan
kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar
Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan
Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone
yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini
bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena di pihak Gowa ada
sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya.
Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini. Perang Makassar
ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad itu.
Sejarah
awal Kerajaan Gowa Tallo
Pada
awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan
nama Bate Salapang (Sembilan
Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung,
Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui
berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung
sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat
orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara
Guru dan saudaranya
Kesultanan
Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan
paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari
kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan
dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di
bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan
ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang
saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang
Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu
oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku
Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang
antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula
pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang
terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Letak
Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan
Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini
terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa
yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. Secara geografis Sulawesi Selatan
memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan
Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang,
baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal
dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan
Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa
atas jalur perdagangan Nusantara. Berikut adalah peta Sulawesi Selatan pada
saat itu
.
Silsilah
Raja Kerajaan Gowa Tallo
1.
Tumanurunga (+ 1300)
2.
Tumassalangga Baraya
3.
Puang Loe Lembang
4.
I Tuniatabanri
5.
Karampang ri Gowa
6.
Tunatangka Lopi (+ 1400)
7.
Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8.
Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9.
Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna
(awal abad ke-16)
10.
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung
Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11.
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data
Tunibatte
12.
I Manggorai Daeng Mameta Karaeng
Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13.
I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu
(1593).
14.
I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin
Tuminanga ri Gaukanna Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639.
Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
15.
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung
Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna Lahir 11 Desember 1605, berkuasa
mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16.
I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana Lahir tanggal 12 Juni 1631,
berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 17. I
Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' Lahir 31 Maret
1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
17.
I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo
Tuminanga ri Passiringanna
18.
Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga
ri Jakattara Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat
15 Agustus 1681
19.
I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone
Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
20.
La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail
Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
21.
I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri
Pasi
22.
I Manrabbia Sultan Najamuddin
23.
I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri
Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
24.
I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
25.
I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
26.
Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh
Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27.
I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu
Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
28.
I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan
Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
29.
I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
30.
I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang
Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
31.
La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri
Suangga (1825-1826)
32.
I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul
Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
33.
I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka
Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
34.
I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang
Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895,
dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan
terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan
paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di
Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.
35.
I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo
Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36.
Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang
Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir,
meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
Kondisi
sosial, ekonomi dan politik Kerajaan Gowa Tallo
Kondisi
sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo
Sebagai
negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan
pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan
tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran
hidupnya. Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha
dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat
terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat
Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan
masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping
norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri
dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan
masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari
segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya
yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal.
Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan
Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal
sampai mancanegara.
Kondisi
ekonomi Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan
Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di
Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :
• letak
yang strategis,
• memiliki
pelabuhan yang baik
• jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang
yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai
pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak
disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan
sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar. Pelayaran dan perdagangan di
Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING
BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka
perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain
perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga
menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Kondisi
politik Kerajaan Gowa Tallo
Penyebaran
Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari
Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi
Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama
memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin
kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada
masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya
kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta
daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil
menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut
sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur
perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal
sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia
menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa
di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia
Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi
tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan
menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah
Maluku.
Dalam
peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda
semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda
memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk
mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba
antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu
Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC
untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka
bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat
persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar.
Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan
kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya
antara lain:
b.
VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di
Makasar.
c.
Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
d.
Makasar harus melepaskan daerah-daerah
jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
e.
Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun
perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra
Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan
rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya
Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami
kehancurannya.
Proses
Kehancuran Kerajaan Gowa Tallo
Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama napasomba. Sama
seperti ayahnya, sultan ini menentang kehadiran belanda dengan tujuan menjamin
eksistensi Kesultanan Makasar. Namun, Mapasomba gigih pada tekadnya untuk
mengusir Belanda dari Makassar. Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama
menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran. Pasukan
Mapasomba berhasil dihancurkan dan Mapasomba sendiri tidak diketahui nasibnya.
Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan Makassar.
Peninggalan
– Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
Benteng
Fort Rotterdam
Fort
Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai
sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun
1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun
pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini
diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di
daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang
hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi
Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun
dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli
benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.
Masjid
Katangka
Mesjid
Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa
kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud
(1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan
Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian
paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Kompleks
makam raja gowa tallo
Makam
raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII
sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan
Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara
sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo.
Berdasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan
sejarah dan Purbakala (1976-1982) ditemukan gejala bahwa komplek makam
ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan,
dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks
makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempatkan di dalam bangunan kubah, jirat
semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok-balok
ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian
dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa
mempergunakan perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk
bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan
jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada
kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.
KERAJAAN TERNATE & TIDORE
Pada abad ke-15, para pedagang dan
ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam ke sana. Dari sini muncul empat
kerajaan Islam di Maluku yang disebut Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yaitu
Kesultanan Ternate yang dipimpin Sultan Zainal Abidin (1486-1500), Kesultanan
Tidore yang dipimpin oleh Sultan Mansur, Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh
Sultan Sarajati, dan Kesultanan Bacan yang dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko.
Pada masa kesultanan itu berkuasa, masyarakat muslim di Maluku sudah menyebar
sampai ke Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Halmahera. Kerajaan Ternate dan
Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) adalah dua
kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam
menghadapi kekuatan-kekuatan asing
yang mencoba menguasai Maluku. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kerajaan
ini bersaing memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku. Kerajaan Ternate
dan Tidore merupakan daerah penghasil rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh,
sehingga daerah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Wilayah Maluku
bagian timur dan pantai-pantai Irian (Papua), dikuasai oleh Kesultanan Tidore,
sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi,
dan sampai ke Flores dan Mindanao, dikuasai oleh Kesultanan Ternate. Kerajaan
Ternate mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Baabullah, sedangkan
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Nuku. Persaingan
di antara kerajaan Ternate dan Tidore adalah dalam perdagangan. Dari persaingan
ini menimbulkan dua persekutuan dagang, masing-masing menjadi pemimpin dalam
persekutuan tersebut, yaitu:
- Uli-Lima
(persekutuan lima bersaudara) dipimpin
oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan Ambon. Pada masa Sultan
Baabulah, Kerajaan Ternate mencapai aman keemasan dan disebutkan daerah
kekuasaannya meluas ke Filipina.
- Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dipimpin
oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo sampai ke Papua. Kerajaan Tidore
mencapai aman keemasan di bawah pemerintahan Sultan Nuku.
Kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang berkembang adalah Kesultanan
Palembang yang didirikan oleh Ki Gedeng Suro, Kerajaan Bima di daerah
bagian timur Sumbawa, dengan rajanya La Ka’i, Siak Sri Indrapura yang
didirikan oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, dan masih banyak lagi
Kerajaan Islam kecil lainnya di Indonesia.
Raja-Raja Kerajaan
Ternate & Tidore
Kerajaan Tidore terletak di sebelah
selatan Ternate. Menurut silsilah raja- raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate
pertama adalah Syahadati alias Muhammad Naqal yang naik takhta pada tahun 1081.
Baru saat Raja Ternate yang kesembilan, Cirililiyah bersedia memeluk agama
Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para
pembesar kerajaan, Cirililiyah mendapat gelar Sultan Jamalluddin. Putra
sulungnya Mansur juga masuk Islam. Agama Islam masuk pertama kali di Tidore
pada tahun 1471 (menurut catatan Portugis).
Peninggalan Kerajaan
Ternate & Tidore
Peninggalan kerajaan ternate :
- Istana
Sultan Ternate
- Benteng
Kerajaan Ternate
- Masjid
di Ternate
peninggalan kerajaan tidore :
- Benteng-benteng
peninggalan portugis
- Keraton
Tidore
Kehidupan Politik
Kerajaan Ternate & Tidore
Di kepulauan Maluku terdapat kerajaan
kecil, diantaranya kerajaan ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan
lima bersaudara. Uli Siwa yang berarti persekutuan sembilan bersaudara. Ketika
bangsa Portugis masuk, Portugis langsung memihak dan membantu Ternate, Hal ini
dikarenakan Portugis mengira Ternate lebih kuat. Begitu pula bangsa Spanyol
memihak Tidore akhirnya terjadilah peperangan antara dua bangsa kulit, untuk
menyelesaikan, Paus turun tangan dan menciptakan perjanjian Saragosa. Dalam
perjanjian tersebut bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan pindah ke
Filipina, sedangkan Portugis tetap berada di Maluku.
Untuk dapat memperkuat kedudukannya,
portugis mendirikan sebuah benteng yang di beri nama Benteng Santo Paulo. Namun
tindakan Portugis semakin lama di benci oleh rakyat dan para penjabat kerajaan
Ternate. Oleh karena itu Sultan Hairun secara terang-terangan menentang politik
monopoli dari bangsa Portugis. Sultan Baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit
menentang Portugis. Tahun 1575 M Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan
benteng.
Kehidupan
Ekonomi Kerajaan Ternate & Tidore
Tanah di kepulauan Maluku itu subur
dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh dan
di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke 12 M permintaan
rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang penting.
Pesatnya perkembangan perdagangan keluar Maluku mengakibatkan terbentuknya
persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian
masyarakat.
Kehidupan Sosial
& Budaya Kerajaan Ternate & Tidore
Kedatangan Portugis di Maluku yang
semula untuk berdagang dan mendapatkan rempah-rempah, juga menyebarkan agama
Katolik. Pada tahun 1534 missionaris Katolik, Fransiscus Xaverius telah
berhasil menyebarkan agama Katolik di Halmahera, Ternate, dan Ambon.
Telah kita ketahui bahwa sebelumnya di
Maluku telah berkembang agama Islam. Dengan demikian kehidupan agama telah
mewarnai kehidupan sosial masyarakat Maluku. Dalam kehidupan budaya, rakyat
Maluku diliputi aktivitas perekonomian, maka tidak banyak menghasilkan budaya.
Salah satu karya seni bangun yang terkenal ialah Istana Sultan Ternate dan
Masjid kuno di Ternate.
Kehancuran Kerajaan
Ternate & Tidore
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan
karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing (
Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa
mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan
berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun
kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate
dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk
organisasi yang kuat.
KERAJAAN
PAJANG
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad
ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja
Mataram dimana Pajang dilihat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri
sebagai kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan
ibukota dan sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena
memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak
ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina.
Ceritera mengenai sejarah Pajang malah
termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2
orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada
tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan
abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala
dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.
Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil
dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana
Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan
Adi Wijaya.
RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN PAJANG
Jaka Tingkir
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki
Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang
menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki
ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng
Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging
dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai
pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng
Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai
anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh
menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya
adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan
dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki
Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) +
Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai
Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih
dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli
waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur
dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh
Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18
dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah
Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu
pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama
ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas
ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya.
Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora
pada tahun 1554 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam
berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja
kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah
diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada
kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan,
Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh
Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa
Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya
bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja
keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian
diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara
yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan
berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri
dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan
sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun
1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran
Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan
Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga
tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan
takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi
bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad
Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun
1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya,
yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja
Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya
peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan
rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci
Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran
dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap
penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser
kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh
kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi
perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang
mengabdi pada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan
Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.
Pangeran Benawa adalah putra Sultan
Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia
dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan
Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah
Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati
bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar
Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki
putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan
Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa
dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki
kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya
Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan
pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh
seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan
keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang.
Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit
Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang
tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa
yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri
adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang
Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya
Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam
memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun
usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan,
sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang
sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi
mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin.
Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri
dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun
Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di
Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang
bergelar Sultan Prabuwijaya.
BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG
Aspek Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara
bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga
Pajang menjadi lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama
tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang
mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang
sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika
Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara
Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa
Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian
sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan
Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke
dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi
berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi
sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang
telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa
Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya
lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram,
supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.
Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air
melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena
pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami
pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore.
Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada
Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi
dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali
mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi
keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut
tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada
Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai
orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah
Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh
sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik
ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan
kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing.
Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali
terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata
rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi
sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah
tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah tidak punya
‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of
egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut
pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru
masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan.
Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai
alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan
keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman
atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak
Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan
Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya
Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan
Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang
berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi
tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram.
Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan
Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya
konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya
menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak
keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.
KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh
sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya,
yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri
didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan
dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan.
Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa
prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu
Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun
Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan
Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri
asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja
pertama bergelar Panembahan Senopati
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber
Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah
sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan
berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara
sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan
diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita
Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung
secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh.
Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari
sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang
dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
KERAJAAN MATARAM ISLAM
Nama
Mataram berasal dari nama bunga, sejenis bunga Dahlia yang berwarna merah
menyala. Ada juga nama Mataram yang dihubungkan dengan Bahasa Sansekerta, Matr yang berarti Ibu, sehingga nama
Mataram diberi arti sama dengan kata Inggris Motherland yang berarti tanah air atau Ibu
Pertiwi. Sebelum tahun 1000 M daerah ini telah berkembang suatu peradaban yang
ditinggalkan oleh kerajaan Hindu. Pada abad ke-14 sewaktu Majapahit mencapai
puncak kejayaan, bumi Mataram rupanya dipandang kurang penting. tidak terdapat
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa para raja Mataram kuno yang hidup beberapa
abad sebelumnya masih dikenang di Majapahit. Sampai saat ini pun belum ada
data-data yang mungkin dapat menghubungkan Mataram Islam yang berdiri akhir
abad 16 dengan Mataram kuno. Di cerita Babad Tanah Jawi hanya menyebutkan bahwa
tanah Mentaok yang berupa hutan belukar dan kosong penduduknya oleh raja Pajang
dihadiahkan kepada Ki Ageng Pemanahan untuk dibuka sebagai balas jasanya dalam
mengalahkan Aria Penagsang, musuh sultan Adiwijaya Pada abad ke-16 maka
berdirilah kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan di
Kotagede. Pada masa ini kerajaan Mataram masih di bawah kekuasaan raja Pajang.
Namun pada periode Sutawijaya, Mataram akhirnya dapat menjadi Kerajaan
Independent.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Pada
mulanya, Mataram adalah wilayah yang dihadiahkan oleh Sultan Adiwijaya kepada
Ki Gede Pemanahan. Sultan Adiwijaya menghadiahkannya karena Ki Gede Pemanahan
telah berhasil membantu Sultan Adiwijaya dalam membunuh Arya Penangsang di
Jipang Panolan. Ki Pamenahan, disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh
kepada sultan Pajang. Ia mulai naik tahta di Istananya di Kotagede pada tahun
1577 M. Di tangan Ki Gede Pemanahan, Mataram mulai menunjukkan kemajuan. Pada
tahun 1584 Ki Gede Pemanahan meninggal, maka usaha memajukan Mataram
dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya.
Sutawijaya
atau dikenal dengan nama Panembahan Senapati. Sepeninggal ayahnya, ia dilantik
sebagai penguasa penting di Mataram menggantikan Ayahnya. Ia seorang yang gagah
berani, mahir dalam hal berperang. Sehingga sejak ia masih sebagai pemimpin
pasukan pengawal raja Pajang ia telah diberi galar oleh Sultan Adiwijaya,
Senapati ing Alaga (panglima perang).
Senapati
memiliki cita-cita hendak mengangkat kerajaan Mataram sebagai penguasa
tertinggi di Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya itu,
Senapati mengambil dua langkah penting, pertama memerdekakan diri dari pajang
dan kedua untuk memperluas wilayah kerajaan Mataram keseluruh jawa. Konflik
antara raja Pajang dengan Sutawijaya menghasilkan kemenangan dipihak
Sutawijaya. Setelahnya, keturunan Adiwijaya, yaitu pangeran Benawa yang
seharusnya menjadi ahli waris kesultanan pajang, menyerahkan tahta kekuasaan kerajaan
Pajang kepada Senapati. Sejak saat itu Senapati mengambil gelar Panembahan
tahun 1586. Sutawijaya berhasil membangun Mataram pada tahun 1586.
Wilayah yang dikuasai Kesultanan Mataram adalah Mataram, Kedu, dan
Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan ia menguasai wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur.] Di
sebelah timur hanya Blambangan, Panarukan, dan Bali yang masih tetap merdeka.
Lainnya tunduk pada kekuasaan Senapati Sedangkan di pantai laut Jawa Rembang,
Pati, Demak, Pekalongan mengakui kekuasaan Mataram
Setelah
Sutawijaya meninggal, posisinya sebagai Sultan digantikan oleh putranya yaitu
Raden Mas Jolang. Ia diberi gelar Sultan Hanyakrawati. Ia memerintah pada tahun
1601-1613. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi perlawanan dari wilayah
pesisir, yang merupakan salah satu penyebab mengapa RM Jolang tidak mampu
memperluas wilayah Kesultanan Mataram. Dalam menjalankan roda pemerintahan, ia
cenderung mengadakan pembangunan dibanding ekspansi. Menjelang wafatnya, RM
Jolang menunjuk Raden Mas Rangsang sebagai penggantinya. Setelah dilantik, RM
Rangsang diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga
Ngabdurrahaman. Ia memerintah dari tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannya,
Kesultanan Mataram mengalami kejayaan.
Masa Kejayaan Mataram Islam
Raden
Mas Rangsang diangkat menjadi raja baru yang memakai nama Sultan Agung Senopati
Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Jika para pendahulunya mengambil ibukotanya di
Kotagede, maka Sultan Agung mengambil ibukotanya di Karta. Sultan Agung dikenal
dengan politik ekspansinya, sehingga bukan Jawa saja yang ingin dikuasainya
melainkan wilayah Nusantara. Musuh-musuh Sultan Agung bukan saja
kerajaan-kerajaan yang ada di pesisir dan kerajaan Hindu di Blambang,
tetapi juga para penguasa asing yang berkoloni di Nusantara. Misalnya, Portugis
dan Belanda. Oleh karena itu, wajarlah jika semenjak diangkatnya, ia selalu
mengangkat senjata dalam rangka menerapkan taktik ekspansi.
Sebagai
orang Islam, Sultan Agung selalu menaati ibadah dan menjadi contoh untuk
rakyatnya. Setiap hari Jum’at Sultan agung bersama rakyatnya melakukan shalat
Jum’at. Dalam tahun 1633 ia membuat tarikh (kalender baru) yaitu kalender
Jawa-Islam. Guna memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin Islam, Sultan Agung
mengirim utusan ke Mekkah untuk kembali ke Mataram dengan membawa gelar Sultan
untuknya dan ahli-ahli agama untuk menjadi penasihat baginya di istana. Gelar
dari Mekkah itu lengkapnya adalah Sultan Abu Muhammad Maulana Matarami.
Akan
tetapi setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, para penggantinya
lemah-lemah, kejam, dan mengadakan perjanjian dengan Belanda sehingga memberi
peluang kepada Belanda untuk berkoloni di Nusantara. Hal ini menimbulkan
berbagai kerusakan disana-sini. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan itu
muncul mengakhibatkan perpecahan di kalangan bangsa Mataram yang menguntungkan
Belanda.
Bidang
Perekonomian Kesultanan Mataram
Negara
Mataram tetap merupakan negara agraris yang tetap mengutamakan pertanian.
Selain beras, Mataram juga menghasilkan gula kelapa dan gula aren. Hasil gula
tersebut berasal dari daerah Giring di Guningkidul. Gula kelapa dan gula aren
itu diekspor ke luar melalui Tembayat dan Wedi.
Dasar-dasar
kehidupan maritim tidak dimiliki oleh Mataram. Pada hakikatnya Sutawijaya
memeriksa apakah laut Hindia dapat digunakan sebagai pelabuhan kesultanan
Mataram yang sedang dalam taraf pembentukan. Bagaimanapun laut Jawa masih
dikuasai oleh orang Tionghoa dari kesultanan Demak pada zaman pemerintahan
Dinasti Jin Bun. Selain itu, Ternyata gelombangnya terlalu besar sehingga
pembuatan pelabuhan di pantai selatan tidak mungkin. Kesultanan Mataram yang
sedang dalam taraf pembangunan tidak berhasil memiliki pelabuhan dan tidak akan
menjadi negara Maritim. Kesultanan Mataram hanya akan menjadi negara pertanian
karena pusat kerajaannya berada di pedalaman.
Kehidupan
Sosial, agama serta Peran Ulama dan Partisipasinya
Pada masa pemerintahan Sultan Agung,
para ulama yang ada di kesultanan Mataram dapat dibagi dalam tiga bagian. Yaitu
ulama yang masih berdarah bangsawan, ulama yang bekerja sebagai alat birokrsi,
ulama pedesaan yang tidak menjadi alat birokrasi. Sebagai penguasa Mataram,
Sultan Agung sangat menghargai para ulama karena mereka mempunyai moral dan
ilmu pengetahuan tinggi. Jika ingin membuat kebijakan, Sultan Agung selalu
memeinta nasihat dan pertimbangan kepada para ulama.
Ulama
pada saat itu sedang konsentrasi menggarap soal Islamisasi terhadap
budaya-budaya yang masih melekat di hati masyarakat Mataram. Sunan Kalijaga
misalnya, beliau adalah ulama yang selalu berusaha keras agar ajaran
Islam mudah diterima oleh masyarakat yang sudah kuat nilai kepercayaan terhadap
ajaran dan doktrin budaya sebelum Islam. Berbagai cara telah beliau tempuh
termasuk melalui karya seni yang telah mentradisi di masyarakat.
Memang disadari pindahnya pusat
pemerintahan dari pesisir utara Jawa ke daerah pedalaman yang agraris serta
telah dipengaruhi budaya pra Islam menimbulkan warna baru bagi Islam yang
kemudian disebut dengan Islam Sinkretisme. Demikianlah keadaan Islam semenjak
berpusat di Mataram campur tangan budaya setempat yang kemudian terkenal dengan
Islam Kejawen.
Penggunaan
gelar Sayidin Panatagama oleh Senopati menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya
Mataram telah dinyatakan sebagai negara Islam. Raja berkedudukan sebagai
pemimipin dan pengatur agama. Mataram menerima agama dan peradaban Islam dari
kerajaan-kerajaan Islam pesisir yang lebih tua. Sunan Kalijaga sebagai penghulu
terkenal masjid suci di Demak mempunyai pengaruh besar di Mataram. Tidak hanya
sebagai pemimpin rohani, tetapi juga sebagai pembimbing di bidang politik.
Hubungan-hubungan erat antara Cirebon dan Mataram memiliki peranan penting bagi
perkembangan Islam di Mataram. Sifat mistik Islam dari keraton Cirebon
merupakan unsur yang menyebabkan mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Jawa
di Mataram. Islam tersebut tentu adalah Islam Sinkretis yang menyatukan diri
dengan unsur-unsur Hindu-Budha
Namun
peran ulama menjadi tergeser semenjak Mataram dikuasai oleh Amangkurat I. Pada
saat itu terjadi de-islamisasi. Banyak ulama yang dibunuh sehingga kehidupan
keagamaan merosot, sementara dekadensi moral menghiasi keruntuhan pamor Mataram
akibat dari campur tangan budaya asing.
Peran
di bidang kebudayaan Islam
Peranan
kegiatan di bidang kebudayaan pada masa awal berdirinya Mataram, kurang
berkembang dikarenakan dua alasan. Pertama, para pendiri Mataram belum punya waktu
untuk memikirkan hal-hal yang spiritual. Perhatiannya lebih tercurah pada
soal-soal pembukaan dan pemanfaatan sumber daya alam demi kemajuan ekonomi dan
strategi pertahanan. Pengolahan tanah dan penggarapan daerah-daerah tandus
lebih banyak menyita waktu. Kedua, penanaman kekuasaan politik ternyata
hanya dapat dilakukan dengan kekuatan senjata. Oleh sebab itu seluruh masa
pemerintahan raja-raja pertama Mataram hanya dihabiskan dalam peperangan.
Demikianlah maka ki Gede Pemanahan Senapati dan Mas Jolang belum sempat untuk
mengembangkan kebudayaan yang sifatnya lebih rohaniah.
Baru
pada masa pemerintahan raja yang ketiga, Sultan Agung gagasan untuk
mengembangkan kebudayaan dapat dimulai. Diambillah unsur-unsur peradaban dari
daerah-daerah pesisir Utara dan Jawa Timur yang dapat mempertinggi martabat
keraton Mataram dibidang kebudayaan sesuai dengan kedudukannya sebagai istana
raja penguasa tertinggi diseluruh tanah Jawa juga dalam hal penyebaran agama
Islam, menyatukan diri dengan unsur-unsur Hindu-Budha yang disebut dengan islam
Sinkretis.
Sistem
Politik Kesultanan Mataram
Dalam
sistem politik di kerajaan Mataram periode Senopati hingga Susuhunan Amangkurat
I mengalami turun-naik secara drastis. Periode Raden Mas Jolang kemudian dengan
anaknya Raden Mas Rangsang. Kemudian Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang
dengan apa yang telah ditempuh pendahulunya.
Untuk
sistem politik yang sifatnya intern, terutama menyangkut konsolidasi tata pemerintahan,
seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-maasing mereka hampir
tidak mengalami perbedaan, akan tetapi dalam hal penguasaaan wilayah,
kadang-kadang mengalami naik-turun. Seperti pada masa Panembahan Senopati, ia
mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi, yakni menjadikan
Mataram berdiri sendiri (yang semula merupakan daerah bawahan Kerajaan Pajang).
Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan susuhunan amangkurat 1 martabat
mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaan mulai menciut karena
hubungannya dengan kolonial Belanda.
Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja
mataram, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti raja-raja
ditetapkan putra laki-laki dari istri selir pun biasa dinobatkan sebagai pengganti
raja. Apabila dari keduanya tidak mendapatkan anak laki-laki, maka.paman atau
saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.
Mengenai
sistem politik eksternalnya, diantara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan
yang mencolok dalam menerapkan sistem untuk menghadapi penetrasi barat. Ada
yang menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang anti pati sama sekali. Pada
masa panembahan senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini
disebabkan walaupun saat itu orang-orang Eropa sudah berada di Nusantara,
konsentrasi politik sedang dicurahkan untuk konsolidasi dan penguasaan
kerajaan-kerajaan disekitarnya. Sedangkan pada masa Raden Mas Jolang, kehadiran
belanda diterima dengan baik diakhir kekuasaannya. Beda hal dengan penguasa
Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau termasuk penguasa yang antipatis pada
kompeni. Berbagai usaha telah dikerahkan untuk mengusik keberadaan dan
membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi Nusantara. Dua kali sesudah
ekspansinya, pasukan militer, ia kirimkan ke Batavia untuk memukul mundur VOC,
masing-masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya memperoleh
kegagalan.
Masa Kemunduran Mataram Islam
Setelah
Sultan Agung wafat, Mataram kemudian diperintah oleh raja yang pro dengan
kompeni yaitu Susuhunan Amangkurat I. ia memerintah pada tahun 1645-1677.
Sebagai penguasa Mataram yang baru, Sultan Amangkurat I membuat kebijakan-
kebijakan yang kontrofersial yaitu pertama, tidak lagi menghargai para ulama
bahkan berusaha untuk menyingkirkannya. Pada masanya ribuan ulama Syahid
dibunuh Sultan Amangkuran I. kedua, menghapus lembaga-lembaga agama yang ada di
Kesultanan, seperti menghapus Mahkamah Syariah yang telah dibentuk oleh
Ayahnya. Ketiga, membatasi perkembangan islam dan melarang kehidupan Agama mencampuri
masalah kesultanan. Keempat, membangun kerjasama dengan penjajah Belanda yang
menjadi musuh bebuyutan Ayahnya.
Cara
Amangkurat I dalam memerintah yang tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan itu
telah mendatangkan kemarahan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, Raden
Kajoran, seorang ulama bangsawan yang hidup dalam pedesaan, melakukan
perlawanan. Ia menyusun kekuatan dari para santri dan rakyat pedesaan. Raden
Kajoran mendapat dukungan dari Raden Anom, anak Sultan Amangkurat I dan
Trunojoyo bangsawan dari Madura. Kekuatan semaki kuat ketika Karaeng Galesong
bangsawan dari Gowa. Namun perkembangan selanjutnya, Adipati Anom melakukan
pengkhianatan. Ia keluar dari aliansi, karena ia sudah di ampuni oleh ayahnya.
Pada tahun 1677, aliansi Raden Kajoran berhasil mengepung pusat pemerintahan
Amangkurat I di Pleret. Sedangkan Amangkurat I dan anaknya berhasil melarikan
diri ke Batavia dan meminta bantuan kepada Belanda. Dalam perjalanan menuju
Batavia, Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal.
Sebelum
Amangkurat I wafat, ia sudah menetapkan Adipati Anom sebagai Sultan Mataram
yang baru. Setelah dilantik, Adipati Anom diberi gelar Sultan Amangkurat II ia
segera melanjutkan kerjasamanya dengan Belanda untuk merebut kembali tahta
Mataram dalam perjanjian di Jepara yang mana Belanda mengiginkan wilayah timur
karawang dan upah dalam bentuk uang. Setelah perjanjian Jepara ditandatangani,
Amangkurat II dan Belanda melakukan penyerangan ke Mataram dan berhasil memukul
mundur aliansi Raden Kajoran. Dengan demikian, Sultan amangkurat II berhasil
merebut kembali tahta Mataram.
Walaupun Sultan Amangkurat
II meduduki Mataram dan mengembalikan fungsi ulama, tetapi persoalan Mataram
belum selesai. Sejak 1743 Mataram hanya memiliki wilayah-wilayah Begelen, Kedu,
Jogjakarta, Surakarta. Tragisnya lagi, Mataram terpecah menjadi dua kerajaan,
sesuai dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kedua kerajaan tersebut
adalah Kerajaan Surakarta dengan rajanya Susuhunan (Pakubuwono III) dan
Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Selanjutnya
pada tahun 1757, Kerajaan Surakarta dipecah lagi menjadi dua yaitu, wilayah
yang dirajai Pakubuwono III dan wilayah yang dirajai oleh Mangkunegara I.
Demikian juga pada tahun 1813 oleh Inggris, Yogyakarta dipecah menjadi dua,
yaitu wilayah Kesultanan yang dirajai oleh Sultan Hamengku Buwono III dan
Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Bendara Pangeran Natakusuma atau
dikenal dengan Pangeran Pakualam I.
KERAJAAN BANTEN DAN CIREBON
Sultan
pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun
1522-1570. Ia adalah putra Fatahillah, seorang panglima tentara Demak yang
pernah diutus oleh Sultan Trenggana menguasai bandar-bandar di Jawa Barat. Pada
waktu Kerajaan Demak berkuasa, daerah Banten merupakan bagian dari Kerajaan
Demak. Namun setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten akhirnya
melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Demak.
Jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat para pedagang muslim memindahkan jalur
pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin,
Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan. Hasanuddin memperluas
kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada, Lampung di Sumatra Selatan yang
sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia
telah meletakkan dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada.
Pada tahun 1570,
Sultan Hasanuddin wafat.
Penguasa
Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Di bawah
kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil menaklukkan dan menguasai
Kerajaan Pajajaran (Hindu). Akibatnya pendukung setia Kerajaan Pajajaran
menyingkir ke pedalaman, yaitu daerah Banten Selatan, mereka dikenal dengan
Suku Badui. Setelah Pajajaran ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk
agama Islam.
Maulana
Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir kekuasaannya,
Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang. Dalam usaha menaklukkan
Palembang, Maulana Muhammad tewas dan selanjutnya putra mahkotanya yang bernama
Pangeran Ratu naik takhta. Ia bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul
Kadir.
Kerajaan
Banten mencapai puncak kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda.Usaha
untuk mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai
pelabuhan Jayakarta yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa mengalami
kegagalan. Setelah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mulai dikuasai
oleh Belanda di bawah pemerintahan Sultan Haji.
Kehidupan Politik Kerajaan
Banten
Daerah
Banten berhasil dikuasai dan diislamkan oleh Fatahilah (Panglima Perang Demak).
Di samping menguasai Banten, Fatahilah juga berhasil merebut Cirebon dan Sunda
Kelapa yang kemudian namanya diubah menjadi Jayakarta (1527). Setelah Fatahilah
menetap di Cirebon, Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Maulana
Hasanuddin.
Banten
masih tetap menjadi daerah kekuasaan Demak, namun setelah di Demak terjadi
kegoncangan politik akibat perebutan kekuasaan, Banten akhirnya melepaskan
diri. Maulana Hasanudin sebagai peletak dasar dan menjadi Raja Banten yang
pertama (1552–1570). Daerah kekuasannya meluas sampai dengan Lampung dan
berhasil mengusai perdagangan lada. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal
dan digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf (1570–1580). Ia berhasil
menundukkan Kerajaan Pajajaran.
Raja
yang terbesar Banten ialah Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682). Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan Banten. Politik Sultan Ageng terhadap
VOC sangat keras, namun tidak disetujui oleh putranya Sultan Haji (Abdulnasar Abdulkahar)
sehingga terjadi perselisihan. Sultan Haji minta bantuan VOC sehingga Kerajaan
Banten yang jaya dan besar di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa kemudian
menjadi boneka Kompeni dengan rajanya, Sultan Haji.
Kehidupan
Ekonomi Kerajaan Banten
Banten
di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar
perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya, antara
lain sebagai berikut.
1) Letaknya
strategis dalam lalu lintas perdagangan.
2) Jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis sehingga para pedagang Islam tidak lagi singgah di
Malaka, namun langsung menuju Banten.
3) Banten
mempunyai bahan ekspor penting, yakni lada. Banten yang maju banyak dikunjungi
pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina, dan sebagainya. Di
kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal
bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung Pekojan, orang Cina
mendirikan Kampung Pecinan, orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya
mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa, dan sebagainya.
Kehidupan Sosial
Budaya Kerajaan Banten
Sejak
Banten diislamkan oleh Fatahilah (Faletehan) pada tahun 1527 maka kehidupan
sosial masyarakat Banten secara berangsur-angsur mulai berlandaskan
ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh
Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung setia Kerajaan Pajajaran
kemudian menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan. Mereka
kemudian di kenal sebagai suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan
Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama . Mereka mempertahankan
tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam.
Kehidupan
sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa meningkat pesat sebab
sultan mempehatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun, setelah Sultan
Ageng Tirtayasa meninggal, kehidupan sosialnya merosot tajam sebab adanya
campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan.
Kehidupan
seni budaya Islam dapat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang
lima) dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu, bangunan
istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda pelarian dari
Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana
raja di Eropa.
Pada
masa kekuasaan Kerajaan Pajajaran sekitar abad ke-16 M, Cirebon merupakan salah
satu daerah kekuasaannya. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pengaruh Kesultanan
Demak. Menurut cerita di Jawa Barat, pendiri kerajaan Cirebon adalah Sunan
Gunung Jati yang juga sebagai salah seorang walisongo yang menyebarkan Islam di
Jawa Barat. Nama Sunan Gunung Jati juga sering dikaitkan dengan berdirinya
Jayakarta atau Jakarta yang semula bernama Sunda Kelapa.
Menurut
cerita di Banten, Sunan Gunung Jati adalah Faletehan yang berkeinginan untuk
menyebarkan Islam di kota-kota penting Pajajaran. Akan tetapi, sumber-sumber
sejarah Cirebon mencatat bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan atau Fatahillah
adalah dua orang yang berbeda.
Menurut
sumber tersebut Faletehan adalah menantu Sunan Gunung Jati yang menikahi
anaknya Nyai Ratu Ayu. Faletehan kemudian menjadi Raja Cirebon setelah
mertuanya wafat tahun 1570. Pada masa pemerintahan Fatahillah, Kesultanan
Cirebon berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam
di Jawa Barat.
Dari
Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke Majalengka, Kuningan, Kawali,
Banten, dan daerah lainnya di Jawa Barat. Pada tahun 1570, Sunan Gunung Jati
wafat dan dimakamkan di Gunung Jati Cirebon Jawa Barat.
SEJARAH
KERAJAAN MALAKA
Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara antara tahun 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya, dan merupakan putra Raja Sam Agi. Saat itu, ia masih menganut agama Hindu. Ia melarikan diri ke Malaka karena kerajaannya di Sumatera runtuh akibat diserang Majapahit. Pada saat Malaka didirikan, di situ terdapat penduduk asli dari Suku Laut yang hidup sebagai nelayan.Mereka berjumlah lebih kurang tiga puluh keluarga.Raja dan pengikutnya adalah rombongan pendatang yang memiliki tingkat kebudayaan yang jauh lebih tinggi, karena itu, mereka berhasil mempengaruhi masyarakat asli. Kemudian, bersama penduduk asli tersebut, rombongan pendatang mengubah Malaka menjadi sebuah kota yang ramai. Selain menjadikan kota tersebut sebagai pusat perdagangan, rombongan pendatang juga mengajak penduduk asli menanam tanaman yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, seperti tebu, pisang, dan rempah-rempah.Rombongan pendatang juga telah menemukan biji-biji timah di daratan.Dalam perkembangannya, kemudian terjalin hubungan perdagangan yang ramai dengan daratan Sumatera.Salah satu komoditas penting yang diimpor Malaka dari Sumatera saat itu adalah beras.Malaka amat bergantung pada Sumatera dalam memenuhi kebutuhan beras ini, karena persawahan dan perladangan tidak dapat dikembangkan di Malaka.Hal ini kemungkinan disebabkan teknik bersawah yang belum mereka pahami, atau mungkin karena perhatian mereka lebih tercurah pada sektor perdagangan, dengan posisi geografis strategis yang mereka miliki.
Berkaitan
dengan asal usul nama Malaka, bisa dirunut dari kisah berikut. Menurut Sejarah
Melayu (Malay Annals) yang ditulis Tun Sri Lanang pada tahun 1565, Parameswara
melarikan diri dari Tumasik, karena diserang oleh Siam. Dalam pelarian
tersebut, ia sampai ke Muar, tetapi ia diganggu biawak yang tidak terkira
banyaknya. Kemudian ia pindah ke Burok dan mencoba untuk bertahan disitu, tapi
gagal. Kemudian Parameswara berpindah ke Sening Ujong hingga kemudian sampai di
Sungai Bertam, sebuah tempat yang terletak di pesisir pantai.Orang-orang
Seletar yang mendiami kawasan tersebut kemudian meminta Parameswara menjadi
raja. Suatu ketika, ia pergi berburu. Tak disangka, dalam perburuan tersebut,
ia melihat salah satu anjing buruannya ditendang oleh seekor pelanduk. Ia
sangat terkesan dengan keberanian pelanduk tersebut. Saat itu, ia sedang
berteduh di bawah pohon Malaka. Maka, kawasan tersebut kemudian ia namakan
Malaka.
Masa
Kejayaan Kesultanan Malaka
Sebagai
salah satu bandar ramai di kawasan timur, Malaka juga ramai dikunjungi oleh
para pedagang Islam.Lambat laun, agama ini mulai menyebar di Malaka. Dalam
perkembangannya, raja pertama Malaka, yaitu Prameswara akhirnya masuk Islam
pada tahun 1414 M. Dengan masuknya raja ke dalam agama Islam, maka Islam
kemudian menjadi agama resmi di Kerajaan Malaka, sehingga banyak rakyatnya yang
ikut masuk Islam.Selanjutnya, Malaka berkembang menjadi pusat perkembangan
agama Islam di Asia Tenggara, hingga mencapai puncak kejayaan di masa
pemeritahan Sultan Mansyur Syah (1459—1477).Kebesaran Malaka ini berjalan
seiring dengan perkembangan agama Islam.Negeri-negeri yang berada di bawah
taklukan Malaka banyak yang memeluk agama Islam.Untuk mempercepat proses
penyebaran Islam, maka dilakukan perkawinan antarkeluarga.
Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa.Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut:
Malaka juga banyak memiliki tentara bayaran yang berasal dari Jawa.Selama tinggal di Malaka, para tentara ini akhirnya memeluk Islam. Ketika mereka kembali ke Jawa, secara tidak langsung, mereka telah membantu proses penyeberan Islam di tanah Jawa. Dari Malaka, Islam kemudian tersebar hingga Jawa, Kalimantan Barat, Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).Dalam masa kejayaannya, Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah berikut:
·
Semenanjung Tanah Melayu (Patani, Ligor,
Kelantan, Trenggano, dan sebagainya).
·
Daerah Kepulauan Riau.
·
Pesisir Timur Sumatra bagian tengah.
·
Brunai dan Serawak.
·
Tanjungpura (Kalimantan
Barat).
Sedangkan daerah yang diperoleh
dari Majapahit secara diplomasi adalah sebagai berikut.
1.
Indragiri.
2.
Palembang.
3.
Pulau Jemaja, Tambelan, Siantan, dan
Bunguran.
Keadaan
MasyarakatKehidupan Politik
Dalam
menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para sultan menganut
paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang
dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan
melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan.Politik ini dilakukan untuk
menjaga keamanan internal dan eksternal Malaka.Dua kerajaan besar pada waktu
itu yang harus diwaspadai adalah Cina dan Majapahit.Maka, Malaka kemudian
menjalin hubungan damai dengan kedua kerajaan besar ini.Sebagai tindak lanjut
dari politik negara tersebut, Parameswara kemudian menikah dengan salah seorang
putri Majapahit.Sultan-sultan yang memerintah setelah Prameswara (Muhammad
Iskandar Syah)) tetap menjalankan politik bertetangga baik tersebutRaja – raja
yang memerintah Kerajaan Malaka antara lain :
1.
Iskandar Syah (1396-1414 M)
Pada abad ke-15 M, di Majapahit
terjadi perang paregreg yang mengakibatkan Paramisora (Parameswara) melarikan
diri bersama pengikutnya dari daerah Blambangan ke Tumasik (Singapura),
kemudian melanjutkan perjalanannya sampai ke Semenanjung Malaya dan mendirikan
Kp. MalakaSecara geografis, posisi Kp. Malaka sangat strategis, yaitu di Selat
Malaka, sehingga banyak dikunjungi para pedagang dari berbagai Negara terutama
para pedagang Islam, sehigga kehidupan perekonomian Kp. Malaka berkembang
pesat,Untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Malaka, maka Paramisora
menganut agama Islam dan merubah namanya menjadi Iskandar Syah, kemudian
menjadikan Kp. Malaka menjadi Kerajaan Islam.Untuk menjaga keamanan Kerajaan
Malaka, Iskandar Syah meminta bantuan kepada Kaisar China dengan menyatakan
takluk kepadanya (1405 M).
2.
Muhammad Iskandar Syah (1414-1424 M)
Merupakan putra dari Iskandar
Syah, pada masa pemerintahannya wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka
diperluas lagi hingga mencapai seluruh Semenanjung Malaya.Untuk menjadi Kerajaan
Malaka sebagai penguasa tunggal jalur pelayaran dan perdagangan di Selat
Malaka, maka harus berhadapan dengan Kerajaan Samudera Pasai yang kekuatannya
lebih besar dan tidak mungkin untuk bisa dikalahkan, maka dipilih melalui jalur
politik perkawinan dengan cara menikahi putri Kerajaan Samudera Pasai, sehingga
cita-citanya dapat tercapai.
3. Mudzafat Syah (1424-1458 M)
3. Mudzafat Syah (1424-1458 M)
Setelah berhasil menyingkirkan Muhammad Iskandar Syah, ia
kemudian naik tahta dengan gelar sultan (Mudzafat Syah merupakan raja Kerajaan
Malaka yang pertama bergelar Sultan).Pada masa pemerintahannya, terjadi
serangan dari Kerajaan Siam (serangan dari darat dan laut), namun dapat
digagalkan.Mengadakan perluasan wilayah ke daerah-daerah yang berada di
sekitar Kerajaan Malaka seperti Pahang, Indragiri dan Kampar.
4.
Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M)
Merupakan putra dari Sultan Mudzafat Syah.Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayaan sebagai pusat
perdagangan dan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Puncak kejayaan
dicapai berkat Sultan Mansyur Syah meneruskan politik ayahnya dengan memperluas
wilayah kekuasaanya, baik di Semananjung Malaya maupun di wilayah Sumatera
Tengah (Kerajaan Siam berhasil ditaklukan). Raja Siam tewas dalam
pertempuran , tetapi putra mahkotanya ditawan dan dikawinkan dengan putri
sultan sendiri kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Ibrahim. Indragiri
mengakui kekuasaan Malaka.Kerajaan Samudera Pasai, Jambi dan Palembang tidak
serang karena menghormati Majapahit yang berkuasa pada waktu itu, selain itu
Kerajaan Aru juga tetap sebagai kerajaan merdeka.Kejayaan Kerajaan Malaka tidak
lepas dari jasa Laksamana Hang Tuah yang kebesarannya disamakan
dengan kebesaran Patih Gajah Mada dari Kerajaan Mahapahit.Cerita Hang Tuah
ditulis dalam sebuah Hikayat, Hikayat Hang Tuah.
5.
Sultan Alaudin Syah (1477-188 M)
Merupakan putra dari Sultan Mansyur
Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka mulai mengalami
kemunduran, satu persatu wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka mulai melepaskan
diri.Hal ini disebabkan oleh karena Sultan Alaudin Syah bukan merupakan raja
yang cakap.
6.
Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M)
Pada tahun 1511 M, terjadi serangan
dari bangsa Portugis di bawah pimpinanAlfonso d’Alberquerque dan berhasil
Merebut Kerajaan Malaka.Akhirnya Malaka pun jatuh ke tangan Portugis.
Kehidupan
Sosial – Budaya
Pada
kehidupan budaya, perkembangan seni sastra Melayu mengalami perkembangan yang
pesat seperti munculnya karya-karya sastra yang menggambarkan tokoh-tokoh
kepahlawanan dari Kerajaan Malaka seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Hang Lekir
dan Hikayat Hang Jebat.Sedangkan kehidupan sosial Kerajaan Malaka dipengaruhi
oleh faktor letak, keadaan alam dan lingkungan wilayahnya.Sebagai masyarakat
yang hidup dari dunia maritim, hubungan sosial masyarakatnya sangatlah kurang
dan bahkan mereka cenderung mengarah ke sifat-sifat individualisme.Kelompok
masyarakat pun bermunculan, seperti adanya golongan buruh dan
majikan.
Kehidupan
Ekonomi
Malaka
memungut pajak penjualan, bea cukai barang-barang yang masuk dan keluar, yang
banyak memasukkan uang ke kas negara. Sementara itu, raja maupun
pejabat-pejabat penting memperoleh upeti atau persembahan dari pedagang yang
dapat menjadikan mereka sangat kaya.Suatu hal yang penting dari Kerajaan Malaka
adalah adanya undang-undang laut yang berisi pengaturan pelayaran dan
perdagangan di wilayah kerajaan.Untuk mempermudah terjalinnya komunikasi antar
pedagang maka bahasa Melayu (Kwu-lun) dijadikan sebagai bahasa perantara.
Keruntuhan
Kesultanan Malaka
Malaka
runtuh akibat serangan Portugis pada 24 Agustus 1511, yang dipimpin oleh
Alfonso de Albuquerque. Sejak saat itu, para keluarga kerajaan menyingkir ke
negeri lain.Raja/Sultan yang memerintah di Malaka adalah sebagai berikut:1.
Permaisura yang bergelar Muhammad Iskandar Syah (1380—1424) 2. Sri
Maharaja (1424—1444) 3.Sri Prameswara Dewa Syah (1444—1445) 4.Sultan
Muzaffar Syah (1445—1459) 5.Sultan Mansur Syah (1459—1477) 6.Sultan
Alauddin Riayat Syah (1477—1488) 7. Sultan Mahmud Syah (1488—1551)3.
Periode Pemerintahan Setelah Parameswara masuk Islam, ia mengubah namanya
menjadi Muhammad Iskandar Syah pada tahun 1406, dan menjadi Sultan Malaka I.
Kemudian, ia kawin dengan putri Sultan Zainal Abidin dari Pasai. Posisi Malaka
yang sangat strategis menyebabkannya cepat berkembang dan menjadi pelabuhan
yang ramai.Akhir kesultanan Malaka terjadi ketika wilayah ini direbut oleh
Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d’albuquerque pada tahun 1511.Saat itu,
yang berkuasa di Malaka adalah Sultan Mahmud Syah.
Usia
Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad.Sebenarnya, pada tahun
1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal
merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Merupakan putra dari Sultan Alaudin
Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka merupakan kerajaan yang
sangat lemah, wilayah kekuasaannya meliputi sebagian kecil Semenanjung Malaya,
hal ini menambah suram kondisi Kerajaan Malaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA