Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Upaya-upaya menuju demokratisasi
baik dalam bentuk sistem pemerintahan maupun peningkatan kesejahteraan rakyat
laksana sebuah taktik “coba-coba/trial and error”
dilaksanakan di Indonesia. Upaya menuju demokrasi dalam bentuk sistem
pemerintahan misalnya, setelah sukses menggelar Pemilihan Presiden secara
langsung, pengaturan pemilihan kepala daerahdalam konstitusi yang dipilih
secara demokratis menjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Secara
fatsoen politik hal ini wajar ketika presiden dipilih secara langsung maka
kepala daerah juga dipilih secara langsung. Namun secara konstitusional
berbeda, menurut UUD 1945 Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung
dan kepala daerah dipilih secara demokratis. Tentunya pemilihan secara
demokratis tidak menunjukkan pada mekanisme atau cara pemilihan, namun lebih
pada menunjuk esensi dan hasil dengan cara apapun dilakukan. Dengan
demikian ketika konstitusi ditafsirkan tunggal dengan melakukan pilkada secara
langsung oleh UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, resiko politik juga
harus dihitung terutama terkait dengan hubungan eksekutif dan legislatif serta
hubungan segi tiga pemerintahan yaitu rakyat dengan eksekutif maupun legislatif
dan sebaliknya.
Jelas dalam posisi kedepan rakyat
duduk sebagai pihak dalam hubungan segi tiga pemerintahan karena rakyat memilih
kepala daerah secara langsung. Ketika pasca pemilihan rakyat “balik kucing” ke
bilik rumah masing-masing dan menyerahkan sepenuhnya kedaulatannya pada
eksekutif maka yang terjadi adalah kekuasaan eksekutif yang sangat besar
laksana busur panah yang punya dua kemungkinan. Pertama, menancap pada dada
musuh sehingga mampu mengalahkan masalah-masalah rakyat berupa kemiskinan,
kebodohan, kesenjangan, dan lain sebagainya. Kedua, senjata makan tuan tatkala
mata panah yang buta itu berbalik arah menikam dada rakyat dengan memeras uang
rakyat dan menjalankan kuasa sewenang-wenang karena tidak peduli lagi dengan
DPRD yang tidak punya kuasa memberhentikan kepala daerah, dan pada rakyat
yang tidak ada hubungan struktural pasca pilkada langsung.
Dalam hal peningkatan kesejahteraan
rakyat juga demikian. Berbagai strategi dijalankan agar rakyat sejahtera mulai
dari JPS, KUT, Raskin, IDT, BLBI, Subsidi dan lainnya, namun apa yang terjadi
adalah justru rakyat diposisikan sebagai objek kebijakan yang menerima saja
apapun bentuk kebijakan yang menurut pembuatnya dapat meningkatkan
kesejahteraan mereka. Tidak peduli akhirnya rakyat juga harus belajar korupsi,
manipulasi data, ngemplang, dan berkelahi memperrebutkan bantuan beras. Dalam
konteks ini rakyat dalam posisi “narimo ing pandum” (menerima
pemberian) bukan posisi turut menentukan pengambilan kebijakan akibat terputusnya
hubungan rakyat dengan eksekutif dengan legislatif.
Keterputusan hubungan rakyat dengan
eksekutif lebih banyak diakibatkan tidak adanya mekanisme hukum yang
menghubungkan dan mengukuhkan hak-hak konstitusional rakyat dalam pemerintahan.
Belum ada mekanisme yang mengatur bagaimana rakyat berhubungan dengan eksekutif
agar eksekutif tidak seperti anak panah yang tidak terkendali dan melupakan
rakyat serta pengakuan hak-hak apasaja sehingga rakyat menjadi eksis.
Keterputusan hubungan rakyat dengan legislatif selama ini diakibatkan
menonjolnya sistem kepartaian dalam pemilu dan masih kuatnya peran fraksi di
gedung parlemen. Representasi rakyat di parlemen menjadi representasi partai
dan konstituen hanya sebagai pihak di luar pagar dewan tanpa merasa gedung dewan
sebagai rumahnya.
Dalam konteks inilah peraturan
daerah yang mengatur mekanisme hubungan antara rakyat dengan eksekutif maupun
rakyat dengan legislatif menjadi sangat penting. Ke depan, sistem pemilu juga
penting dirubah untuk lebih mendekatkan pada demokrasi yang menempatkan
kedaulatan rakyat sebagai pilar bukan kedaulatan partai sebagaimana selama ini
berjalan.
Peraturan daerah yang perlu dibentuk
dalam rangka mendekatkan hubungan antara rakyat dengan eksekutif maupun
legislatif. Maka dari itulah naskah akademik ini disusun dalam rangka membentuk
perda yang memungkinkan rakyat berperanserta dalam pengambilan kebijakan
pembangunan maupun pengelolaan pembangunan agar posisi rakyat daerah tidak
hanya sebagai objek kebijakan, namun lebih pada subjek yang turut menentukan
pembangunan daerahnya.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan naskah akademik
perda peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah
untuk memberikan landasan hukum dan akademik serta memperkuat kepastian hukum
bagi terjaminnya peranserta masyarakat yang sebenarnya dalam pemerintahan
daerah.
C. Metode
Metode yang dipergunakan dalam
menyusun naskah akademik ini adalah review literatur baik yang berupa textbook
maupun hasil penelitian empirik. Literatur yang dikumpulkan dan dipergunakan
dalam penyusunan naskah ini memiliki setting yang beragam, baik isu maupun
lokasinya sehingga mampu menjadi naskah akademik yang tidak semata bersifat
lokal tetapi juga bisa bersifat lebih luas.
BAB II
TELAAH AKADEMIK
A. Kajian Filosofis
Jika mengacu pada apa yang
diungkapkan oleh Rondinelli (1990: 493-4) bahwa
desentralisasi dan demokrasi tidaklah saling meniadakan tetapi juga tidak
terkait. Keduanya adalah konsep yang berbeda. Di dalam pemerintahan yang sangat
sentralistispun bisa saja terjadi demokrasi bila para pejabatnya dipilih secara
berkala oleh rakyatnya. Kondisi ini menjadi lebih demokratis apabila
dibandingkan dengan suatu negara yang memiliki sistem pemerintahan yang
desentralistis tetapi dikendalikan oleh satu partai politik yang otoriter.
Desentralisasi administrasipun dapat dipergunakan untuk melakukan kontrol
negara atas unit-unit wilayahnya guna meningkatkan peranserta politik yang
lebih besar dalam pembuatan keputusan.
Secara umum, meski desentralisasi
dan demokrasi adalah konsep yang berbeda namun desentralisasi memberikan sisi
positif jika ia dikaitkan dengan tujuan politik seperti yang diungkapkan
oleh Smith (1985: 4-5). Secara politik, desentralisasi
disebut memperkuat akuntabilitas, keterampilan politik, dan integrasi nasional.
Tiga hal tersebut merupakan sesuatu yang hendak dicapai pula oleh demokrasi.
Desentralisasi membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu
meningkatkan kebebasan, persamaan, dan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan
landasan bagi peranserta warga dan kepemimpinan politik baik untuk tingkat
lokal sendiri maupun nasional.
Selain itu, Smith (1985: 11) menjelaskan pula bahwa biasanya
desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi. Meski secara logis
desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi
desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (seperti akuntabilitas
penyediaan layanan masyarakat, kesejahteraan, dan peranserta) tetap memerlukan
adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan demokrasi maka muncul
para pengambil kebijakan yang merupakan wakil terpilih yang bertanggung jawab
pada pemilih dalam kehidupan politik.
Secara filosofis, desentralisasi
melahirkan pemerintahan daerah. Demokrasi bercirikan peran serta masyarakat. Demokrasi
dalam desentralisasi berarti jalannya pemerintahan daerah terfokus pada
tanggung jawab masyarakat. Istilah peranserta masyarakat kini juga
berarti citizen engagement (perikatan warga) secara aktif
dan disengaja oleh dewan atau pemerintah tidak hanya dalam proses pemilihan
umum, tetapi juga dalam pembuatan keputusan kebijakan masyarakat atau dalam
penyusunan arahan strategis lainnya. Peran serta masyarakat seyogyanya tidak
dilihat hanya dalam sekali atau serangkaian kejadian, tetapi dilihat dalam penentuan
berbagai hal penting secara bersama-sama antara politisi, administrator,
kelompok kepentingan, dan warga (Graham & Philips, 1998: 4-8). Dengan
demikian, secara filosofis peranserta masyarakat merupakan pengejawantahan
prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
B. Kajian Yuridis
Pemerintahan daerah kini telah
mempunyai landasan hukum yang lebih kuat karena telah diatur lebih rinci dalam
UUD 1945 yang telah diamandemen ketimbang sebelumnya. Dalam Bab VI UUD tersebut
telah diatur jenjang daerah otonom, azas pemerintahan, pemerintah daerah dan
cara pengisiannya, prinsip otonomi, pengakuan atas tradisi dan kekhususan serta
keragaman daerah, dan yang terpenting adalah penyelenggaraan pemerintahan
daerah tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Kemasyarakat Indonesia.
Rincian pengaturan tentang pemerintahan daerah ini diputuskan dalam amandemen
kedua UUD 1945.
Pengaturan lebih lanjut dari amanat
UUD 1945 tersebut terjabarkan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam konsideran UU ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
daerah diperlukan untuk lebih menekankan prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Dalam penjelasannya, hal-hal yang mendasar dalam UU ini
adalah mendorong untuk memberdayakan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan
peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Jadi, baik dari
konsideran maupun penjelasan UU ini tersurat adanya kehendak untuk mewujudkan
peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia melalui
penguatan pemerintahan daerah.
C. Kajian Politis
Secara normatif, memang tidak ada
mekanisme yang didukung oleh peraturan perundangan yang mengatur bagaimana
peranserta masyarakat dilaksanakan dalam pemerintahan daerah (Haris, 2001).
Selain itu, penelitian yang dilakukan Tim Peneliti FIKB (2002) menunjukkan
hasil bahwa memang ada perbedaan pemahaman mengenai makna daerah dan otonomi
daerah di kalangan masyarakat, serta ada kemajuan peranserta masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dibandingkan pada waktu masih berlakunya UU
nomor 5/1974. Namun kemajuan peranserta ini lebih disebabkan oleh peran elit
daerah sehingga belum ada jaminan terhadap keberlangsungan peranserta
masyarakat.
Dominasi elit daerah dibandingkan
dengan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah telah menjadi
fenomena umum setelah berlakunya UU Nomor 22/1999 (Jurnal Otonomi Daerah,
2001). Fenomena ini juga diakui oleh seorang pakar pemerintahan daerah
terkemuka di Indonesia Bhenyamin Hoessein dalam “Temu Refleksi Politik dan
Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2002 dan Proyeksi 2003” bahwa otonomi daerah
yang seharusnya mendorong peranserta masyarakat justeru dipahami sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan elit nasional kepada elit lokal. Akibatnya,
keberadaan masyarakat yang berotonomi bersifat pinggiran. Masyarakat bukan lagi
sebagai subyek tetapi obyek dari otonomi daerah. Secara keseluruhan, kebijakan
desentralisasi mengarah pada metamorfosis dari otonomi daerah menjadi quasi sovereignty dan dari pemerintahan daerah
menjadi local state (Kompas, 21-12-2002).
Dominasi elit lokal ini menyebabkan
kurang legitimate-nya pemerintah daerah dan berbagai kebijakan yang
dihasilkannya. Selain itu, tampak betul bahwa dukungan masyarakat terhadap
jalannya pemerintahan daerah kurang ideal. Masyarakat cenderung menjadi apatis
dan pemerintahan daerah sekedar menjalankan demokrasi semu. Peminggiran peran
masyarakat ini tentu disebabkan oleh kekurangpahaman akan makna desentralisasi,
otonomi daerah, dan peranserta masyarakat sebagai elemen utamanya. Oleh karena
itu, penguatan peranserta masyarakat merupakan hal yang mutlak agar
penyelenggaraan pemerintahan daerah diseleggarakan secara legitimate dan memperoleh dukungan nyata dari
masyarakat.
D. Kajian Teoritis
1. Asas dan Tujuan Peran serta
1.1. Asas Peran serta masyarakat
antara lain:
–
asas
demokrasi perwakilan,
–
asas
peranserta dalam bingkai NKRI,
–
asas
peranserta yang bertanggung jawab,
–
asas
peranserta yang efektif,
–
asas
keberlanjutan,
–
asas
supremasi hukum.
1.2. Pada dasarnya tujuan peranserta
masyarakat sangatlah beragam, yakni meliputi :
–
berbagi
informasi (information sharing),
–
akuntabilitas,
–
legitimasi,
–
pendidikan
politik,
–
pemberdayaan
masyarakat,
–
berbagi
kekuasaan secara nyata (power sharing).
2. Ruang Lingkup Masyarakat
Untuk memahami konsep peranserta
masyarakat maka pembahasan sebaiknya terlebih dahulu diarahkan pada siapa yang
berperanserta dan apa yang terkandung dalam istilah peranserta. Telaah mengenai
siapa yang berperanserta akan mengarah pada pembahasan tentang dua hal, yakni:
apa yang dimaksud dengan masyarakat dan bagaimana posisi masyarakat dalam
pemerintahan daerah.
Korten (1986:2) menjelaskan istilah
masyarakat yang secara populer merujuk pada sekelompok orang yang memiliki
kepentingan bersama. Namun kemudian ia justeru lebih memilih pengertian yang
berasal dari dunia ekologi dengan menerjemahkan masyarakat sebagai “an interacting population of organisms (individuals) living in a
common location”.
Pengertian terakhir yang diacu
oleh Korten tersebut telah menyentuh aspek spasial
dalam kehidupan sekelompok orang. Pendapat ini diperjelas oleh Midgley (1986: 24-5) yang mengungkapkan bahwa
konsep masyarakat jarang sekali didefinisikan dalam literatur meski ia menjadi
isu sentral. Pihak yang berwenangpun seringkali tidak memberikan batasan secara
formal meski menggunakan istilah masyarakat untuk merujuk pada socio-spatial entity.
Dengan mengacu pada apa yang
diungkapkan oleh PBB, Midgley kemudian
mengungkap bahwa penekanan pada aspek lokalitas tetap juga membingungkan karena
masyarakat secara bersamaan bisa mengacu pada ketetanggaan, desa, kecamatan,
kota bahkan kota besar. Untuk mengatasi persoalan ini lalu disarankan agar
peranserta masyarakat berlangsung dalam “small communities comprised of
individuals at the lowest level of aggregation at which people organize for
common effort”. Penekanan pada pengelompokan yang terendah ini
seringkali oleh banyak penulis diarahkan pada unit organisasi sosio-spasial
yang terendah, yakni desa (village).
Pembatasan pada lingkungan spasial
yang terendah tersebut masih menyisakan persoalan jika unit analisis peranserta
masyarakat berada pada tingkatan pemerintahan daerah, seperti kota atau
kabupaten. Pada kenyataannya, masyarakat juga dikelompokkan pada berbagai
tingkatan administrasi yang memiliki konsekuensi batas-batas teritorial tempat
masyarakat tersebut secara bersama-sama menjalankan peranserta dalam
pemerintahan daerah. Menghadapi persoalan ini, Leach & Percy–Smith (2001:
9-12) menawarkan dua pendekatan untuk mendefinisikan masyarakat.
Pendekatan pertama merumuskan
masyarakat dari pola kehidupan dan pekerjaan orang-orang (effective community). Pendekatan ini menyiratkan adanya
pembedaan antara masyarakat perkotaan atau pedesaan atau kesaling-tergantungan
ekonomis antara kota dan desa. Dengan demikian, masyarakat lebih diartikan
sebagai sekelompok orang yang memiliki kesamaan. Ini berarti menunjuk pada
penduduk dalam wilayah geografis tertentu dan diasumsikan mereka tinggal dalam
batas-batas teritorial pemerintah daerah tertentu. Mereka membayar pajak kepada
dan menerima layanan masyarakat dari pemerintah daerah tertentu, dan mereka
merasa menjadi bagian daripadanya.
Pendekatan kedua memusatkan
perhatian pada cara orang mengidentifikasikan dirinya dan cara mereka merasakan
loyalitas tertentu. Pendekatan ini seringkali disebut sebagai affective community. Masyarakat tidak dihubungkan
dengan wilayah, tetapi lebih dihubungkan dengan konteks tertentu yang
mempengaruhi identitas dan loyalitasnya. Ada pengaruh budaya dan pola kehidupan
yang kompleks. Seringkali terjadi seseorang yang bertempat tinggal di kota
tertentu, bekerja dikota yang lain, berbelanja di kota yang lain lagi, dan
berasal dari kota yang berbeda lagi. Pendekatan ini dipengaruhi oleh mobilitas
sosial dan geografis dari banyak orang yang memiliki beragam identitas dan
loyalitas.
Menghadapi kenyataan ini, Leach & Percy–Smith (2001: 35-36) mengakui bahwa masyarakat
tetap menjadi istilah yang elastis dan tak pasti. Ia masih menjadi istilah yang
problematis karena menyangkut beragam kepentingan dan perasaan orang-orang. Ia
bisa dibatasi berdasarkan area maupun perasaan seseorang. Untuk mengatasi hal
ini mereka berpendapat bahwa masyarakat dalam pemerintahan daerah lebih
diarahkan pada bagaimana orang-orang menyebut dirinya masyarakat, apakah
sebagai warga, konsumen, dan pengguna layanan. Selain itu, masyarakat bisa
lebih diarahkan pada cara mereka dipengaruhi dan mempengaruhi pelayanan
masyarakat yang mendukung kualitas hidupnya. Namun demikian, aspek kewilayahan
juga tidak dapat dihindari begitu saja karena menyangkut proses kebijakan.
3. Ruang Lingkup Peran serta
Dengan mengutip apa yang diungkapkan
dalam the Oxford English Dictionary, Rahnema (1992: 116) memulai pembahasannya mengenai
peranserta sebagai “the action or fact of
partaking, having or forming a part of”. Dalam pengertian ini,
peranserta bisa bersifat transitif atau intransitif, bisa pula bermoral atau
tak bermoral. Kandungan Pengertian tersebut juga bisa bersifat dipaksa atau
bebas, dan bisa pula bersifat manipulatif maupun spontan.
Peran serta transitif apabila ia
berorientasi pada tujuan tertentu. Sebaliknya, peranserta bersifat intransitif
apabila subyek tertentu berperan serta dengan tanpa tujuan yang jelas.
Peranserta memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan
etika. Dalam pengertian ini peranserta mengandung konotasi positif. Begitu pula
sebaliknya, jika kegiatan berperan serta ditujukan pada tujuan yang tidak
sesuai dengan etika maka ia disebut sebagai tak bermoral. Dalam perspektif yang
lain, peran serta juga berkonotasi positif apabila ia dipersepsi sebagai
tindakan bebas yang oleh subyek, bukannya terpaksa dilakukannya atas nama
peranserta.
Akhirnya peranserta juga bisa
dibedakan apakah ia bersifat manipulatif atau spontan. Partipasi yang
dimanipulasi mengandung pengertian bahwa partisipan tidak merasa dipaksa untuk
melakukan sesuatu namun sesungguhnya ia diarahkan untuk berperan serta oleh
kekuatan diluar kendalinya. Oleh karena itu, peranserta bentuk ini juga sering
disebut sebagai teleguided participation. Sementara
itu, Midgley (1986: 27) menjelaskan peranserta spontan
sebagai “a voluntary and autonomous action on the part of the people to
organize and deal with their problems unaided by government or other external
agents”.
Pengertian yang diacu oleh Rahnema di atas tentu masih bersifat terlalu umum,
sehingga diperlukan definisi yang lebih jelas dan khusus bagi studi
administrasi negara. Bryant & White (1988:
268-76) telah menggambarkan pengertian peranserta yang lebih mendalam pada
bidang administrasi pembangunan sebagai peranserta oleh masyarakat atau oleh
penerima manfaat proyek dalam pembuatan rancangan dan pelaksanaan proyek.
Selanjutnya mereka menguraikan kandungan makna yang tersirat dalam pengertian
peranserta ini bahwa ia merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan
perasaan orang lain, perhatian yang mendalam mengenai perbedaan atau perubahan
yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat, serta
kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak lain terhadap
suatu kegiatan.
Menurut Bryant & White (1988: 270-2), semula
peranserta hanya didefinisikan secara politis sepenuhnya sebagaimana yang
berkembang pada tahun 1950an dan 1960an. Dalam pengertian ini peranserta
diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan dalam partai, kegiatan dalam
perkumpulan sukarela, gerakan protes, dan lain sebagainya. Dengan mengutip
pendapat Joan Nelson, mereka mengungkap bahwa peranserta politis
ini dapat dibagi dalam dua arena, yakni peranserta horisontal dan vertikal.
Yang pertama melibatkan masyarakat secara kolektif untuk mempengaruhi keputusan
kebijakan. Sementara yang kedua terjadi ketika anggota masyarakat mengembangkan
hubungan tertentu dengan kelompok elit dan pejabat yang bermanfaat bagi
kedua-belah pihak.
Pada tahun 1970an, peranserta mulai
dihubungkan dengan proses administratif dengan menambahkan kegiatan peran serta
dalam proses implementasi sehingga individu dan kelompok dapat mengejar
kepentingan yang bertentangan dan bersaing memperebutkan sumber daya yang
langka. Dengan mengutip studi yang dilakukan Uma Lele pada
tahun 1975, Bryant & White (1988: 275)
menulis bahwa peranserta dalam perencanaan dan pelaksanaan program dapat
mengembangkan kemandirian yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat pedesaan demi
akselerasi pembangunan. Selain itu, mereka mengusulkan pula perluasan konsep
peranserta yang tidak hanya mencakup proses perencanaan dan pelaksanaan tetapi
juga peranserta dalam penerimaan manfaat. Argumen yang disampaikan adalah
adanya kemungkinan masyarakat tidak mendapat manfaat dari kontribusi yang
diberikannya. Bryant & White (1988: 276)
mengingatkan pula agar konsep peranserta tidak dipersempit hanya pada aspek
penerimaan manfaat belaka karena akan mengubah pengertian umum peranserta.
Aspek penerimaan manfaat merupakan pelengkap dari cakupan pada proses
perencanaan dan pelaksanaan sehingga membawa manfaat yang lebih besar bagi
masyarakat.
Selain peran serta dalam
perencanaan, implementasi, dan penerimaan manfaat, Griesgraber & Gunter (1996: 144-5) menambahkan
aspek yang lain yakni evaluasi dengan mengartikan peranserta sebagai “mechanism for enabling affected people to share in the creation
of a project or program, beginning with identification all the way through to
implementation and evaluation”. Dengan demikian, maka konsep
peranserta menjadi sedemikian luas mulai dari aspek perencanaan, implementasi,
evaluasi, sampai penerimaan manfaat.
Pengertian peran serta di atas tentu
sudah lebih mendalam dibandingkan definisi yang diuraikan pertama kali, akan
tetapi dari hal tersebut masih belum menunjukkan sentuhan dimensi spasial dari
pemahaman terhadap istilah peranserta. Midgley (1986:
23-4) telah membantu mengatasi persoalan ini dengan membedakan konsep
peranserta popular dengan peran serta masyarakat. Peranserta popular berkenaan
dengan isu yang luas tentang pembangunan sosial dan penciptaan peluang keterlibatan
rakyat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial dari suatu bangsa.
Selanjutnya Korten (1986: 9) menjelaskan
lebih jauh bahwa peran serta jenis ini didesain oleh ahli perencanaan dari
pusat dan dijalankan melalui badan pembangunan yang tersentralistis, hierarkis,
dan terikat oleh peraturan yang diikuti dengan wewenang yang kecil dari
fungsionaris lokal untuk menyesuaikan program dengan kebutuhan atau keinginan
lokal. Asumsi yang dipegang adalah pegembangan peranserta pada tingkat nasional
bertujuan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan trickle down effect atas manfaat pembangunan.
Sementara itu, peran serta
masyarakat berkonotasi “the direct involvement of
ordinary people in local affairs”. Midgley memperjelas
pengertian peranserta masyarakat ini dengan mengacu pada salah satu definisi
yang termuat dalam resolusi PBB pada awal tahun 1970an. Definisi tersebut
adalah: “the creation of opportunities to enable all members of a
community and the larger society to activley contribute to and influence the
development process and to share equitably in the fruits of development”.
Mengenai batasan apa yang tercakup
dalam peranserta masyarakat, Midgley (1986:
25-7) mengungkapkan adanya dua pandangan. Yang pertama berdasar pada United
Nations Economic and Social Council resolution 1929. Resolusi ini menyatakan
bahwa peranserta membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan
demokratis dalam hal: (a) sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, (b)
penerimaan manfaat secara merata, dan (c) pengambilan keputusan yang menyangkut
penentuan tujuan, perumusan kebijakan dan perencanaan dan penerapan program
pembangunan sosial dan ekonomi. Mengacu pada pandangan ini, peranserta dapat
dibedakan menjadi dua hal. Peranserta otentik (authentic participation)
yang merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria di atas. Jika tidak seluruh
kriteria tersebut dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut peranserta semu (pseudo-participation).
Tentu peran serta yang ideal adalah
peranserta otentik. Namun jenis peranserta ini dianggap terlalu ambisius karena
memerlukan perubahan struktur sosial yang nyata dan redistribusi kekuasaan
besar-besaran yang tentunya sulit dipenuhi oleh banyak negara berkembang. Oleh
karena itu, PBB pada tahun 1981 mengajukan pandangan yang berbeda tentang
definisi peranserta masyarakat dengan menekankan pada “autonomy and self-reliance in participation”.
Selanjutnya, dibedakan pula berbagai jenis peranserta berdasarkan pandangan
ini, yakni: coerced participation yang
sangat dikecam, induced participation yang
dianggap terbaik kedua, dan spontaneous participation sebagai
model ideal peranserta. Midgley (1986:
27) kemudian menegaskan bahwa peranserta masyarakat disebut tercapai apabila
program yang diinginkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara efektif
terpelihara oleh mereka setelah semua dukungan eksternal berakhir. Pandangan
ini secara praktek dianggap lebih relevan karena mempertimbangkan kapasitas
masyarakat dan mengakui adanya kebutuhan akan bantuan eksternal dalam
pengembangan peranserta masyarakat.
Dengan mempertimbangkan berbagai
uraian di atas maka, peranserta masyarakat mencakup peran serta dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan
mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat. Tampaknya pandangan
terakhir ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahrir (1988: 320) bahwa
: Pengertian peranserta dalam pembangunan bukanlah semata-mata
peranserta dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebijaksanaan pembangunan,
tetapi juga peranserta yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin penentuan
alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan, dari,
oleh, dan untuk rakyat.
Dari penjelasan mengenai cakupan
makna dari peranserta masyarakat di atas, maka dapat dipahami bahwa peranserta
dalam arti luasnya mencakup pula involvement dan empowerment. Peranserta berentang mulai dari pembuatan
kebijakan, implementasinya sampai dengan kendali warganegara terhadapnya.
Peranserta dapat terjadi bila ada demokrasi. Terjadi perubahan pandangan
masyarakat terhadap peranserta. Kini, masyarakat tidak lagi memandang
peranserta masyarakat sebagai sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemerintah
karena kemurahan hatinya. Peranserta lebih dihargai sebagai suatu layanan dasar
dan bagian integral dari local governance. Dalam citizen-centred government, peranserta masyarakat
merupakan alat bagi good governance (Antoft
& Novack: 1998: 81).
4. Area Kebijakan Partisipatif
Peranserta masyarakat dapat
berlangsung dalam beberapa area pengambilan keputusan (Burns, et al., 1994:
160), yakni : pertama, praktek operasional yang menyangkut perilaku dan kinerja
pegawai dalam institusi masyarakat, isu-isu yang berkaitan dengan aspek lainnya
dalam kualitas pelayanan masyarakat, keterandalan dan keteraturan pelayanan,
fasilitas bagi pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu dan lain sebagainya.
Kedua, keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang
didelegasikan, anggaran yang menyangkut modal besar, sampai pada anggaran
pendapatan menyeluruh yang mencakup gaji pegawai dan biaya rutin bagi kantor
tertentu dan pemeliharaannya, termasuk peningkatan pendapatan melalui
peningkatan pajak lokal. Ketiga, pembuatan kebijakan yang menyangkut
tujuan-tujuan strategis dari pelayanan tertentu, rencana strategis bagi
pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu, dan prioritas pembelanjaan dan
keputusan alokasi sumber daya lainnya.
5. Bentuk Peran serta
Masyarakat
Antoft dan Novack (1998) juga mengungkapkan
berbagai bentuk peranserta (dalam pengertian lebih sempit) yang bisa dilakukan
oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya
bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan bagi penduduk
menikmati akses peranserta yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada
waktu yang bersamaan, di tempat yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat
berperanserta secara langsung dan bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga, dan
sumber daya lainnya yang membatasi peranserta masyarakat ini. Bentuk-bentuk
peranserta tersebut meliputi : electoral participation,
lobbying, getting on council agenda, special purpose bodies, dan special purpose participation.
Berbagai bentuk peranserta
masyarakat (dalam arti luas) dalam pemerintahan daerah berdasarkan pengalaman
berbagai negara di dunia telah dijelaskan oleh Norton (1994: 103-9) yang
berkisar pada : pertama, referenda bagi isu-isu vital di daerah tersebut, dan
penyediaan peluang inisiatif warga untuk memperluas isu-isu yang terbatas dalam
referenda. Kedua, melakukan decentralization in cities (desentralisasi
di dalam kota) kepada unit-unit yang lebih kecil sehingga kebutuhan, tanggung
jawab dan pengambilan keputusan lebih dekat lagi kepada masyarakat. Ketiga, konsultasi
dan kerjasama dengan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka.
Dan yang keempat adalah peranserta dalam bentuk sebagai elected member (anggota yang dipilih). Semakin
banyak anggota dewan yang dipilih secara proporsional jumlah penduduk maka
semakin tinggi peransertanya. Semakin kecil rasio anggota dewan dibandingkan
dengan jumlah penduduk maka semakin besar derajat peransertanya. Meski
demikian, rasio tersebut bervariasi antar daerah di seluruh dunia bergantung
pada kondisi masing-masing.
BAB III
RUANG LINGKUP PENGATURAN
A. Asas dan Tujuan
Peranserta masyarakat
dilaksanakan berdasarkan asas persamaan kedudukan dalam pemerintahan,
kebebasan berpendapat dan berserikat, dan keterbukaan.
Peranserta masyarakat
bertujuan untuk :
1.
Meningkatkan
proses pertukaran informasi antara masyarakat, Pemerintah Kota, dan DPRD;
2.
Meningkatkan
pertagungjawaban masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
3.
Menyediakan
wahana pendidikan politik bagi masyarakat;
4.
Pemberdayaan
masyarakat dalam pengambilan kebijakan daerah.
B. Ruang Lingkup dan Bentuk
Peranserta
Peranserta masyarakat
meliputi:
1.
Peranserta
dalam pengelolaan pembangunan;
2.
Peranserta
dalam pembentukan peraturan daerah.
Peranserta masyarakat
berbentuk:
1.
dengar
pendapat umum;
2.
korespondensi;
3.
audiensi;
4.
diskusi
masyarakat;
5.
terlibat
dalam sidang terbuka di eksekutif maupun legislatif;
6.
rapat
umum;
7.
demonstrasi;
8.
bentuk-bentuk
lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban
umum.
C. Hak dan Kewajiban
Masyarakat berhak:
1.
Masyarakat
berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan keputusan
pengelolaan pembangunan.
2.
Masyarakat
berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan kebijakan
pembentukan peraturan daerah.
3.
Hak
untuk berperanserta dalam pengelolaan pembangunan maupun dalam
pengambilan kebijakan pembentukan peraturan daerah meliputi:
1.
Hak
mendapatkan informasi;
2.
Hak
menyampaikan saran, pendapat, keberatan, dan ikut terlibat dalam pengambilan
keputusan;
3.
Hak
untuk terlibat dalam persidangan terbuka yang dilakukan eksekutif maupun
legislatif;
4.
Hak
menolak atas rencana proyek pembangunan dan rancangan peraturan daerah
yang merugikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat
serta lingkungan hidup;
5.
Hak
gugat masyarakat atas proses pembentukan perda dan keputusan pengelolaan
pembangunan.
4. Kewajiban masyarakat:
1. Masyarakat yang
berperanserta wajib mengemukakan dan memberikan data dan bahan pendukung
yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Masyarakat yang
berperanserta wajib menyampaikan aspirasi dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum.
D. Kewenangan dan Kelembagaan
Walikota dan DPRD bertanggung jawab
atas pengembangan kelembagaan di bidang peran serta masyarakat. Komisi Daerah
Peranserta Masyarakat melaksanakan tugas peningkatan, penumbuhkembangan,
pemfasilitasian, dan pemotivasian peranserta masyarakat. Komisi Daerah
Peranserta Masyarakat berwenang untuk:
1.
memfasilitasi,
menyediakan informasi dan mendukung proses perumusan masalah kebijakan daerah
yang diusulkan masyarakat;
2.
mengakomodir,
menindaklanjuti, dan menyampaikan setiap aspirasi masyarakat yang
berkaitan dengan kebijakan daerah kepada instansi terkait;
3.
menguji
kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan pengambilan kebijakan daerah
yang diajukan oleh warga masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan,
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, serta kelayakan teknis dan standar
minimal bidang atau sektor yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing
instansi;
4.
menyelenggarakan
Referendum Warga Kota;
5.
membuat
laporan tentang dugaan adanya tindak pidana peranserta masyarakat kepada
pejabat penyidik pegawai negeri sipil;
6.
melaporkan
hasil pengujian kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan pengambilan
kebijakan daerah yang diajukan oleh warga masyarakat kepada Walikota.
7.
Pemda
berwenang melakukan pengelolaan dana kelembagaan
Komisi Daerah Peran
serta Masyarakat bersifat mandiri dalam melaksanakan tugasnya serta
beranggotakan 5 orang dipimpin oleh seorang koordinator bersifat kolektif
kolegial. Masa jabatan anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat adalah 5
tahun yang keanggotaannya mewakili unsur LSM, Masyarakat, Organisasi
Masyarakat, Akademisi, dan Pers. Anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat
dicalonkan oleh masyarakat kemudian dipilih oleh DPRD melalui tes kelayakan dan
kepatutan. Walikota mengesahkan anggota Komisi Daerah Peranserta
masyarakat sebagaimana yang dipilih oleh DPRD. Biaya operasional Komisi Daerah
Peranserta masyarakat dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. KOMDA Peran serta Masyarakat mempertanggungjawabkan laporan kegiatan
dan keuangan kepada DPRD setiap 1(satu) tahun sekali dan menginformasikan LPJ
kepada masyarakat setiap 1(satu) tahun sekali.
E. Bentuk Peran serta
dalam Pengelolaan Pembangunan
1. Tahap Perencanaan
Masyarakat di sekitar proyek
pembangunan harus dimintai persetujuan atas rencana pembangunan yang akan
dilaksanakan. Masyarakat disekitar proyek pembangunan juga dapat menolak
rencana pembangunan apabila akan merugikan kepentingan pendidikan, budaya,
agama, dan lingkungan. Peranserta masyarakat dalam perencanaan
pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
1.
merumuskan
permasalahan diberbagai bidang pembangunan dengan menganalisis, menentukan dan
merumuskan permasalahan pokok yang dihadapi;
2.
meminta
informasi tentang rencana pembangunan;
3.
merumuskan
alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan perlu diatasi oleh instansi yang
berwenang;
4.
merumuskan
rencana program dan kegiatan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
2. Tahap Pelaksanaan
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan
harus dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan Daerah. Peranserta
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
1.
ikut
melaksanakan pembangunan baik secara swadaya tenaga, pikiran dan materi;
2.
meminta
informasi tentang perkembangan pelaksanaan pembangunan;
3.
melaksanakan
pembangunan dari dana Pemerintahan Kota;
4.
membantu
kelancaraan pelaksanaan pembangunan;
5.
berperanserta
memberikan kejelasan mengenai maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat
luas.
3. Tahap Pengawasan
Masyarakat baik secara lembaga
maupun perorangan harus diberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan atas
setiap pelaksanaan pembangunan didaerahnya. Peranserta masyarakat dalam
pengawasan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
1.
mengamati
secara langsung pelaksanaan pembangunan;
2.
meminta
informasi tentang perkembangan hasil pelaksanaan pembangunan;
3.
melakukan
koreksi apabila ada kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan;
4. Tahap Evaluasi
Peranserta masyarakat
dalam evaluasi pembangunan Daerah dilaksanakan dengan mengkuti rapat atau
pertemuan evaluasi yang melibatkan Pemerintah Kota, DPRD, Pelaksana Proyek
Pembangunan dan pihak lain yang terkait.
5. Pelaporan
Setiap pelaksanaan pengelolaan
pembangunan dapat dilaporkan perkembangannya oleh masyarakat kepada Walikota
dan/atau Komisi Daerah Peranserta Masyarakat. Pelaporan tersebut meliputi
seluruh tahapan pengelolaan pembangunan daerah termasuk hambatan, kendala dan
perkembangan kemajuan serta keberhasilan dilakukan dalam bentuk lisan maupun
tertulis. Setiap laporan yang masuk wajib diteliti kebenarannya dan
ditindaklanjuti oleh Komisi Daerah Peranserta Masyarakat. Pelaksanaan
penelitian tersebut dilakukan dengan:
1.
mewawancari
secara mendalam pihak-pihak yang terkait;
2.
meminta
pendapat ahli;
3.
melakukan
survey atau jajak pendapat;
4.
melakukan
observasi atau pengamatan;
5.
mengkaji
aspek hukum, ideologi, politik, sosial, budaya, dan keamanan;
6.
cara-cara
lain yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan praksis dan teoritis.
6. Tahap Pemeliharaan
Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan dapatdilibatkan dalam pemeliharaan
hasil pembangunan didaerahnya. Peranserta masyarakat dalam pemeliharaan
pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan tindakan menjaga, mempertahankan
dan melestarikan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan.
7. Peran serta masyarakat dalam
Pembentukan Raperda
Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam
pembentukan rancangan peraturan daerah baik di tingkat Pemerintah Kota maupun
di tingkat DPRD Kota. Bentuk pelibatan tersebut antara lain:
1.
konsultasi
masyarakat;
2.
dengar
pendapat umum;
3.
jajak
pendapat; dan/atau
4.
lokakarya
lintas pelaku;
Perwakilan masyarakat baik lembaga
maupun perorangan diberi kesempatan untuk mengikuti persidangan pembahasan
rancangan peraturan daerah yang dinyatakan terbuka untuk umum sebagai pengamat.
Pemerintah Kota atau alat kelengkapan DPRD harus menyediakan tempat yang
memungkinkan perwakilan masyarakat dengan seksama mengamati seluruh proses
pembahasan rancangan peraturan daerah. Masyarakat baik lembaga maupun
perorangan mengajukan permohonan kepada Komisi Daerah Peranserta
Masyarakat untuk mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan daerah. Komisi
Daerah Peranserta masyarakat menentukan perwakilan masyarakat yang akan
mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan daerah mengigat keterbatasan
ruang dan tempat yang tersedia. Dalam hal rancangan peraturan daerah dibentuk
untuk mengatur masalah lingkungan hidup daerah, rencana tata ruang dan wilayah,
retribusi, dan pertanahan harus dengan persetujuan masyarakat melalui
Referendum Warga Kota. Referendum Warga Kota diselenggarakan oleh Komisi Daerah
Peranserta Masyarakat.
8. Sumber Dana
Sumber dana
peranserta masyarakat berasal dari:
1.
Swadaya
masyarakat;
2.
Alokasi
dana dari APBD;
3.
Sumber
lain yang sah dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
9. Mekanisme Gugatan Masyarakat
Masyarakat yang dirugikan karena akibat tidak dilibatkannya dalam
pembuatan kebijakan pembangunan dan atau pengelolaan pembangunan, dapat
melakukan gugatan kepada pemerintah daerah.
10. Ketentuan Penyidikan
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Kota
diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Hukum Acara Pidana. Wewenang penyidik tersebut adalah:
1.
menerima,
mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan agar keterangan atau
laporan menjadi lengkap dan jelas;
2.
meneliti,
mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan;
3.
meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan;
4.
memeriksa
buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain;
5.
melakukan
penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan
dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti;
6.
meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas;
7.
menyuruh
berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen
yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
8.
mengambil
gambar seseorang yang terkait dengan tindak pidana;
9.
memanggil
orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
10. menghentikan penyidikan;
Penyidik harus memberitahukan
dimulainya penyidikan (SPDP) dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum sesuai dengan hukum acara pidana.
11. Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana dikenakan pada perbuatan:
1.
menghalang-halangi
masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan pembangunan dan pembentukan
rancangan peraturan daerah;
2.
tidak
memberikan kesempatan masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan
pembangunan dan pembentukan rancangan peraturan daerah.
Instansi pemerintah yang melakukan tindak pidana juga
diancam dengan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bertolak dari paparan pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut:
1.
Sebagai
perwujudan esensi demokrasi dan tujuan desentralisasi, maka peranserta
masyarakat dalam pemerintahan daerah merupakan suatu keniscayaan.
2.
Untuk
merealisasi peranserta masyarakat yang bersifat nyata dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, maka diperlukan adanya payung hukum yang kuat dalam bentuk
peraturan daerah.
3.
Seyogyanya
perda tersebut mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat setempat tentang
penyelenggaraan peranserta masyarakat yang efektif.
4.
Peraturan
daerah tentang peranserta masyarakat ini harus dapat mengakomodasi segenap
aspirasi dan prakarsa masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pelayanan
masyarakat dan pembangunan di daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Remasyarakat
Indonesia.
B. Saran-Saran
Saran-saran yang penting dalam
naskah akademis sebagai berikut:
1.
DPRD
maupun Pemkot Malang perlu segera membahas raperda peran serta masyarakat ini
sehingga membuka peluang berkembangnya demokratisasi daerah.
2.
Diperlukan
adanya kesadaran bersama dari segenap stakeholder pemerintahan daerah untuk
mewujudkan peranserta masyarakat yang nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
3.
Diperlukan
adanya peluang advokasi masyarakat dalam penyusunan perda peranserta
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid Attamimi, Teori Perundang-undang Indonesia
Bagir Manan, Dasar-dasar
Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta,
1992
Maria Farida Indrati S, Ilmu
Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 1998
Undang-undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA