CLICK FOR CLAIM PROMO !

Kamis, 04 Mei 2017

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA MALANG TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT

Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Upaya-upaya menuju demokratisasi baik dalam bentuk sistem pemerintahan maupun peningkatan kesejahteraan rakyat laksana sebuah taktik “coba-coba/trial and error” dilaksanakan di Indonesia. Upaya menuju demokrasi dalam bentuk sistem pemerintahan misalnya, setelah sukses menggelar Pemilihan Presiden secara langsung, pengaturan pemilihan kepala daerahdalam konstitusi yang dipilih secara demokratis menjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Secara fatsoen politik hal ini wajar ketika presiden dipilih secara langsung maka kepala daerah juga dipilih secara langsung. Namun secara konstitusional berbeda, menurut UUD 1945 Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung dan kepala daerah dipilih secara demokratis. Tentunya pemilihan secara demokratis tidak menunjukkan pada mekanisme atau cara pemilihan, namun lebih pada menunjuk esensi dan hasil dengan cara apapun dilakukan.  Dengan demikian ketika konstitusi ditafsirkan tunggal dengan melakukan pilkada secara langsung oleh UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, resiko politik juga harus dihitung terutama terkait dengan hubungan eksekutif dan legislatif serta hubungan segi tiga pemerintahan yaitu rakyat dengan eksekutif maupun legislatif dan sebaliknya.
Jelas dalam posisi kedepan rakyat duduk sebagai pihak dalam hubungan segi tiga pemerintahan karena rakyat memilih kepala daerah secara langsung. Ketika pasca pemilihan rakyat “balik kucing” ke bilik rumah masing-masing dan menyerahkan sepenuhnya kedaulatannya pada eksekutif maka yang terjadi adalah kekuasaan eksekutif yang sangat besar laksana busur panah yang punya dua kemungkinan. Pertama, menancap pada dada musuh sehingga mampu mengalahkan masalah-masalah rakyat berupa kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, dan lain sebagainya. Kedua, senjata makan tuan tatkala mata panah yang buta itu berbalik arah menikam dada rakyat dengan memeras uang rakyat dan menjalankan kuasa sewenang-wenang karena tidak peduli lagi dengan DPRD yang tidak punya kuasa memberhentikan  kepala daerah, dan pada rakyat yang tidak ada hubungan struktural pasca pilkada langsung.
Dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat juga demikian. Berbagai strategi dijalankan agar rakyat sejahtera mulai dari JPS, KUT, Raskin, IDT, BLBI, Subsidi dan lainnya, namun apa yang terjadi adalah justru rakyat diposisikan sebagai objek kebijakan yang menerima saja apapun bentuk kebijakan yang menurut pembuatnya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Tidak peduli akhirnya rakyat juga harus belajar korupsi, manipulasi data, ngemplang, dan berkelahi memperrebutkan bantuan beras. Dalam konteks ini rakyat dalam posisi “narimo ing pandum” (menerima pemberian) bukan posisi turut menentukan pengambilan kebijakan akibat terputusnya hubungan rakyat dengan eksekutif dengan legislatif.
Keterputusan hubungan rakyat dengan eksekutif lebih banyak diakibatkan tidak adanya mekanisme hukum yang menghubungkan dan mengukuhkan hak-hak konstitusional rakyat dalam pemerintahan. Belum ada mekanisme yang mengatur bagaimana rakyat berhubungan dengan eksekutif agar eksekutif tidak seperti anak panah yang tidak terkendali dan melupakan rakyat serta pengakuan hak-hak apasaja sehingga rakyat menjadi eksis. Keterputusan hubungan rakyat dengan legislatif selama ini diakibatkan menonjolnya sistem kepartaian dalam pemilu dan masih kuatnya peran fraksi di gedung parlemen. Representasi rakyat di parlemen menjadi representasi partai dan konstituen hanya sebagai pihak di luar pagar dewan tanpa merasa gedung dewan sebagai rumahnya.
Dalam konteks inilah peraturan  daerah yang mengatur mekanisme hubungan antara rakyat dengan eksekutif maupun rakyat dengan legislatif menjadi sangat penting. Ke depan, sistem pemilu juga penting dirubah untuk lebih mendekatkan pada demokrasi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilar bukan kedaulatan partai sebagaimana selama ini berjalan.
Peraturan daerah yang perlu dibentuk dalam rangka mendekatkan hubungan antara rakyat dengan eksekutif maupun legislatif. Maka dari itulah naskah akademik ini disusun dalam rangka membentuk perda yang memungkinkan rakyat berperanserta dalam pengambilan kebijakan pembangunan maupun pengelolaan pembangunan agar posisi rakyat daerah tidak hanya sebagai objek kebijakan, namun lebih pada subjek yang turut menentukan pembangunan daerahnya.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan naskah akademik perda peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah untuk memberikan landasan hukum dan akademik serta memperkuat kepastian hukum bagi terjaminnya peranserta masyarakat yang sebenarnya dalam pemerintahan daerah.

C. Metode
Metode yang dipergunakan dalam menyusun naskah akademik ini adalah review literatur baik yang berupa textbook maupun hasil penelitian empirik. Literatur yang dikumpulkan dan dipergunakan dalam penyusunan naskah ini memiliki setting yang beragam, baik isu maupun lokasinya sehingga mampu menjadi naskah akademik yang tidak semata bersifat lokal tetapi juga bisa bersifat lebih luas.


















BAB II
TELAAH AKADEMIK

A. Kajian Filosofis
Jika mengacu pada apa yang diungkapkan oleh Rondinelli (1990: 493-4) bahwa desentralisasi dan demokrasi tidaklah saling meniadakan tetapi juga tidak terkait. Keduanya adalah konsep yang berbeda. Di dalam pemerintahan yang sangat sentralistispun bisa saja terjadi demokrasi bila para pejabatnya dipilih secara berkala oleh rakyatnya. Kondisi ini menjadi lebih demokratis apabila dibandingkan dengan suatu negara yang memiliki sistem pemerintahan yang desentralistis tetapi dikendalikan oleh satu partai politik yang otoriter. Desentralisasi administrasipun dapat dipergunakan untuk melakukan kontrol negara atas unit-unit wilayahnya guna meningkatkan peranserta politik yang lebih besar dalam pembuatan keputusan.
Secara umum, meski desentralisasi dan demokrasi adalah konsep yang berbeda namun desentralisasi memberikan sisi positif jika ia dikaitkan dengan tujuan politik seperti yang diungkapkan oleh Smith (1985: 4-5). Secara politik, desentralisasi disebut memperkuat akuntabilitas, keterampilan politik, dan integrasi nasional. Tiga hal tersebut merupakan sesuatu yang hendak dicapai pula oleh demokrasi. Desentralisasi membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat karena ia mampu meningkatkan kebebasan, persamaan, dan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan landasan bagi peranserta warga dan kepemimpinan politik baik untuk tingkat lokal sendiri maupun nasional.
Selain itu, Smith (1985: 11) menjelaskan pula bahwa biasanya desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi. Meski secara logis desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan masyarakat, kesejahteraan, dan peranserta) tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan demokrasi maka muncul para pengambil kebijakan yang merupakan wakil terpilih yang bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan politik.
Secara filosofis, desentralisasi melahirkan pemerintahan daerah. Demokrasi bercirikan peran serta masyarakat. Demokrasi dalam desentralisasi berarti jalannya pemerintahan daerah terfokus pada tanggung jawab masyarakat.  Istilah peranserta masyarakat kini juga berarti citizen engagement (perikatan warga) secara aktif dan disengaja oleh dewan atau pemerintah tidak hanya dalam proses pemilihan umum, tetapi juga dalam pembuatan keputusan kebijakan masyarakat atau dalam penyusunan arahan strategis lainnya. Peran serta masyarakat seyogyanya tidak dilihat hanya dalam sekali atau serangkaian kejadian, tetapi dilihat dalam penentuan berbagai hal penting secara bersama-sama antara politisi, administrator, kelompok kepentingan, dan warga (Graham & Philips, 1998: 4-8). Dengan demikian, secara filosofis peranserta masyarakat merupakan pengejawantahan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

B. Kajian Yuridis
Pemerintahan daerah kini telah mempunyai landasan hukum yang lebih kuat karena telah diatur lebih rinci dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ketimbang sebelumnya. Dalam Bab VI UUD tersebut telah diatur jenjang daerah otonom, azas pemerintahan, pemerintah daerah dan cara pengisiannya, prinsip otonomi, pengakuan atas tradisi dan kekhususan serta keragaman daerah, dan yang terpenting adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Kemasyarakat Indonesia. Rincian pengaturan tentang pemerintahan daerah ini diputuskan dalam amandemen kedua UUD 1945.
Pengaturan lebih lanjut dari amanat UUD 1945 tersebut terjabarkan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konsideran UU ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlukan untuk lebih menekankan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta  memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dalam penjelasannya, hal-hal yang mendasar dalam UU ini adalah mendorong untuk memberdayakan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Jadi, baik dari konsideran maupun penjelasan UU ini tersurat adanya kehendak untuk mewujudkan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia melalui penguatan pemerintahan daerah.

C. Kajian Politis
Secara normatif, memang tidak ada mekanisme yang didukung oleh peraturan perundangan yang mengatur bagaimana peranserta masyarakat dilaksanakan dalam pemerintahan daerah (Haris, 2001). Selain itu, penelitian yang dilakukan Tim Peneliti FIKB (2002) menunjukkan hasil bahwa memang ada perbedaan pemahaman mengenai makna daerah dan otonomi daerah di kalangan masyarakat, serta ada kemajuan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dibandingkan pada waktu masih berlakunya UU nomor 5/1974. Namun kemajuan peranserta ini lebih disebabkan oleh peran elit daerah sehingga belum ada jaminan terhadap keberlangsungan peranserta masyarakat.
Dominasi elit daerah dibandingkan dengan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah telah menjadi fenomena umum setelah berlakunya UU Nomor 22/1999 (Jurnal Otonomi Daerah, 2001). Fenomena ini juga diakui oleh seorang pakar pemerintahan daerah terkemuka di Indonesia Bhenyamin Hoessein dalam “Temu Refleksi Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri Tahun 2002 dan Proyeksi 2003” bahwa otonomi daerah yang seharusnya mendorong peranserta masyarakat justeru dipahami sebagai penyerahan wewenang pemerintahan elit nasional kepada elit lokal. Akibatnya, keberadaan masyarakat yang berotonomi bersifat pinggiran. Masyarakat bukan lagi sebagai subyek tetapi obyek dari otonomi daerah. Secara keseluruhan, kebijakan desentralisasi mengarah pada metamorfosis dari otonomi daerah menjadi quasi sovereignty dan dari pemerintahan daerah menjadi local state (Kompas, 21-12-2002).
Dominasi elit lokal ini menyebabkan kurang legitimate-nya pemerintah daerah dan berbagai kebijakan yang dihasilkannya. Selain itu, tampak betul bahwa dukungan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan daerah kurang ideal. Masyarakat cenderung menjadi apatis dan pemerintahan daerah sekedar menjalankan demokrasi semu. Peminggiran peran masyarakat ini tentu disebabkan oleh kekurangpahaman akan makna desentralisasi, otonomi daerah, dan peranserta masyarakat sebagai elemen utamanya. Oleh karena itu, penguatan peranserta masyarakat  merupakan hal yang mutlak agar penyelenggaraan pemerintahan daerah diseleggarakan secara legitimate dan memperoleh dukungan nyata dari masyarakat.

D. Kajian Teoritis
1. Asas dan Tujuan Peran serta
1.1. Asas Peran serta masyarakat antara lain:
        asas demokrasi perwakilan,
        asas peranserta dalam bingkai NKRI,
        asas peranserta yang bertanggung jawab,
        asas peranserta yang efektif,
        asas keberlanjutan,
        asas supremasi hukum.
1.2. Pada dasarnya tujuan peranserta masyarakat sangatlah beragam, yakni  meliputi :
        berbagi informasi (information sharing),
        akuntabilitas,
        legitimasi,
        pendidikan politik,
        pemberdayaan masyarakat,
        berbagi kekuasaan secara nyata (power sharing).

2. Ruang Lingkup Masyarakat
Untuk memahami konsep peranserta masyarakat maka pembahasan sebaiknya terlebih dahulu diarahkan pada siapa yang berperanserta dan apa yang terkandung dalam istilah peranserta. Telaah mengenai siapa yang berperanserta akan mengarah pada pembahasan tentang dua hal, yakni: apa yang dimaksud dengan masyarakat dan bagaimana posisi masyarakat dalam pemerintahan daerah.
Korten (1986:2) menjelaskan istilah masyarakat yang secara populer merujuk pada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Namun kemudian ia justeru lebih memilih pengertian yang berasal dari dunia ekologi dengan menerjemahkan masyarakat sebagai “an interacting population of organisms (individuals) living in a common location”.
Pengertian terakhir yang diacu oleh Korten tersebut telah menyentuh aspek spasial dalam kehidupan sekelompok orang. Pendapat ini diperjelas oleh Midgley (1986: 24-5) yang mengungkapkan bahwa konsep masyarakat jarang sekali didefinisikan dalam literatur meski ia menjadi isu sentral. Pihak yang berwenangpun seringkali tidak memberikan batasan secara formal meski menggunakan istilah masyarakat untuk merujuk pada socio-spatial entity.
Dengan mengacu pada apa yang diungkapkan oleh PBB, Midgley kemudian mengungkap bahwa penekanan pada aspek lokalitas tetap juga membingungkan karena masyarakat secara bersamaan bisa mengacu pada ketetanggaan, desa, kecamatan, kota bahkan kota besar. Untuk mengatasi persoalan ini lalu disarankan agar peranserta masyarakat berlangsung dalam “small communities comprised of individuals at the lowest level of aggregation at which people organize for common effort”. Penekanan pada pengelompokan yang terendah ini seringkali oleh banyak penulis diarahkan pada unit organisasi sosio-spasial yang terendah, yakni desa (village).
Pembatasan pada lingkungan spasial yang terendah tersebut masih menyisakan persoalan jika unit analisis peranserta masyarakat berada pada tingkatan pemerintahan daerah, seperti kota atau kabupaten. Pada kenyataannya, masyarakat juga dikelompokkan pada berbagai tingkatan administrasi yang memiliki konsekuensi batas-batas teritorial tempat masyarakat tersebut secara bersama-sama menjalankan peranserta dalam pemerintahan daerah. Menghadapi persoalan ini, Leach & PercySmith (2001: 9-12) menawarkan dua pendekatan untuk mendefinisikan masyarakat.
Pendekatan pertama merumuskan masyarakat dari pola kehidupan dan pekerjaan orang-orang (effective community). Pendekatan ini menyiratkan adanya pembedaan antara masyarakat perkotaan atau pedesaan atau kesaling-tergantungan ekonomis antara kota dan desa. Dengan demikian, masyarakat lebih diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki kesamaan. Ini berarti menunjuk pada penduduk dalam wilayah geografis tertentu dan diasumsikan mereka tinggal dalam batas-batas teritorial pemerintah daerah tertentu. Mereka membayar pajak kepada dan menerima layanan masyarakat dari pemerintah daerah tertentu, dan mereka merasa menjadi bagian daripadanya.
Pendekatan kedua memusatkan perhatian pada cara orang mengidentifikasikan dirinya dan cara mereka merasakan loyalitas tertentu. Pendekatan ini seringkali disebut sebagai affective community. Masyarakat tidak dihubungkan dengan wilayah, tetapi lebih dihubungkan dengan konteks tertentu yang mempengaruhi identitas dan loyalitasnya. Ada pengaruh budaya dan pola kehidupan yang kompleks. Seringkali terjadi seseorang yang bertempat tinggal di kota tertentu, bekerja dikota yang lain, berbelanja di kota yang lain lagi, dan berasal dari kota yang berbeda lagi. Pendekatan ini dipengaruhi oleh mobilitas sosial dan geografis dari banyak orang yang memiliki beragam identitas dan loyalitas.
Menghadapi kenyataan ini, Leach & PercySmith (2001: 35-36) mengakui bahwa masyarakat tetap menjadi istilah yang elastis dan tak pasti. Ia masih menjadi istilah yang problematis karena menyangkut beragam kepentingan dan perasaan orang-orang. Ia bisa dibatasi berdasarkan area maupun perasaan seseorang. Untuk mengatasi hal ini mereka berpendapat bahwa masyarakat dalam pemerintahan daerah lebih diarahkan pada bagaimana orang-orang menyebut dirinya masyarakat, apakah sebagai warga, konsumen, dan pengguna layanan. Selain itu, masyarakat bisa lebih diarahkan pada cara mereka dipengaruhi dan mempengaruhi pelayanan masyarakat yang mendukung kualitas hidupnya. Namun demikian, aspek kewilayahan juga tidak dapat dihindari begitu saja karena menyangkut proses kebijakan.

3.      Ruang Lingkup Peran serta
Dengan mengutip apa yang diungkapkan dalam the Oxford English DictionaryRahnema (1992: 116) memulai pembahasannya mengenai peranserta sebagai “the action or fact of partaking, having or forming a part of”. Dalam pengertian ini, peranserta bisa bersifat transitif atau intransitif, bisa pula bermoral atau tak bermoral. Kandungan Pengertian tersebut juga bisa bersifat dipaksa atau bebas, dan bisa pula bersifat manipulatif maupun spontan.
Peran serta transitif apabila ia berorientasi pada tujuan tertentu. Sebaliknya, peranserta bersifat intransitif apabila subyek tertentu berperan serta dengan tanpa tujuan yang jelas. Peranserta memenuhi sisi moral apabila tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan etika. Dalam pengertian ini peranserta mengandung konotasi positif. Begitu pula sebaliknya, jika kegiatan berperan serta ditujukan pada tujuan yang tidak sesuai dengan etika maka ia disebut sebagai tak bermoral. Dalam perspektif yang lain, peran serta juga berkonotasi positif apabila ia dipersepsi sebagai tindakan bebas yang oleh subyek, bukannya terpaksa dilakukannya atas nama peranserta.
Akhirnya peranserta juga bisa dibedakan apakah ia bersifat manipulatif atau spontan. Partipasi yang dimanipulasi mengandung pengertian bahwa partisipan tidak merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu namun sesungguhnya ia diarahkan untuk berperan serta oleh kekuatan diluar kendalinya. Oleh karena itu, peranserta bentuk ini juga sering disebut sebagai teleguided participation. Sementara itu, Midgley (1986: 27) menjelaskan peranserta spontan sebagai “a voluntary and autonomous action on the part of the people to organize and deal with their problems unaided by government or other external agents”.
Pengertian yang diacu oleh Rahnema di atas tentu masih bersifat terlalu umum, sehingga diperlukan definisi yang lebih jelas dan khusus bagi studi administrasi negara. Bryant & White (1988: 268-76) telah menggambarkan pengertian peranserta yang lebih mendalam pada bidang administrasi pembangunan sebagai peranserta oleh masyarakat atau oleh penerima manfaat proyek dalam pembuatan rancangan dan pelaksanaan proyek. Selanjutnya mereka menguraikan kandungan makna yang tersirat dalam pengertian peranserta ini bahwa ia merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan orang lain, perhatian yang mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat, serta kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak lain terhadap suatu kegiatan.
Menurut Bryant & White (1988: 270-2), semula peranserta hanya didefinisikan secara politis sepenuhnya sebagaimana yang berkembang pada tahun 1950an dan 1960an. Dalam pengertian ini peranserta diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan dalam partai, kegiatan dalam perkumpulan sukarela, gerakan protes, dan lain sebagainya. Dengan mengutip pendapat Joan Nelson, mereka mengungkap bahwa peranserta politis ini dapat dibagi dalam dua arena, yakni peranserta horisontal dan vertikal. Yang pertama melibatkan masyarakat secara kolektif untuk mempengaruhi keputusan kebijakan. Sementara yang kedua terjadi ketika anggota masyarakat mengembangkan hubungan tertentu dengan kelompok elit dan pejabat yang bermanfaat bagi kedua-belah pihak.
Pada tahun 1970an, peranserta mulai dihubungkan dengan proses administratif dengan menambahkan kegiatan peran serta dalam proses implementasi sehingga individu dan kelompok dapat mengejar kepentingan yang bertentangan dan bersaing memperebutkan sumber daya yang langka. Dengan mengutip studi yang dilakukan Uma Lele pada tahun 1975, Bryant & White (1988: 275) menulis bahwa peranserta dalam perencanaan dan pelaksanaan program dapat mengembangkan kemandirian yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat pedesaan demi akselerasi pembangunan. Selain itu, mereka mengusulkan pula perluasan konsep peranserta yang tidak hanya mencakup proses perencanaan dan pelaksanaan tetapi juga peranserta dalam penerimaan manfaat. Argumen yang disampaikan adalah adanya kemungkinan masyarakat tidak mendapat manfaat dari kontribusi yang diberikannya. Bryant & White (1988: 276) mengingatkan pula agar konsep peranserta tidak dipersempit hanya pada aspek penerimaan manfaat belaka karena akan mengubah pengertian umum peranserta. Aspek penerimaan manfaat merupakan pelengkap dari cakupan pada proses perencanaan dan pelaksanaan sehingga membawa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Selain peran serta dalam perencanaan, implementasi, dan penerimaan manfaat, Griesgraber & Gunter (1996: 144-5) menambahkan aspek yang lain yakni evaluasi dengan mengartikan peranserta sebagai “mechanism for enabling affected people to share in the creation of a project or program, beginning with identification all the way through to implementation and evaluation”. Dengan demikian, maka konsep peranserta menjadi sedemikian luas mulai dari aspek perencanaan, implementasi, evaluasi, sampai penerimaan manfaat.
Pengertian peran serta di atas tentu sudah lebih mendalam dibandingkan definisi yang diuraikan pertama kali, akan tetapi dari hal tersebut masih belum menunjukkan sentuhan dimensi spasial dari pemahaman terhadap istilah peranserta. Midgley (1986: 23-4) telah membantu mengatasi persoalan ini dengan membedakan konsep peranserta popular dengan peran serta masyarakat. Peranserta popular berkenaan dengan isu yang luas tentang pembangunan sosial dan penciptaan peluang keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial dari suatu bangsa. Selanjutnya Korten (1986: 9) menjelaskan lebih jauh bahwa peran serta jenis ini didesain oleh ahli perencanaan dari pusat dan dijalankan melalui badan pembangunan yang tersentralistis, hierarkis, dan terikat oleh peraturan yang diikuti dengan wewenang yang kecil dari fungsionaris lokal untuk menyesuaikan program dengan kebutuhan atau keinginan lokal. Asumsi yang dipegang adalah pegembangan peranserta pada tingkat nasional bertujuan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan trickle down effect atas manfaat pembangunan.
Sementara itu, peran serta masyarakat berkonotasi “the direct involvement of ordinary people in local affairs”. Midgley memperjelas pengertian peranserta masyarakat ini dengan mengacu pada salah satu definisi yang termuat dalam resolusi PBB pada awal tahun 1970an. Definisi tersebut adalah: “the creation of opportunities to enable all members of a community and the larger society to activley contribute to and influence the development process and to share equitably in the fruits of development”.
Mengenai batasan apa yang tercakup dalam peranserta masyarakat, Midgley (1986: 25-7) mengungkapkan adanya dua pandangan. Yang pertama berdasar pada United Nations Economic and Social Council resolution 1929. Resolusi ini menyatakan bahwa peranserta membutuhkan keterlibatan orang-orang secara suka rela dan demokratis dalam hal: (a) sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan, (b) penerimaan manfaat secara merata, dan (c) pengambilan keputusan yang menyangkut penentuan tujuan, perumusan kebijakan dan perencanaan dan penerapan program pembangunan sosial dan ekonomi. Mengacu pada pandangan ini, peranserta dapat dibedakan menjadi dua hal. Peranserta otentik (authentic participation) yang merujuk pada terpenuhinya ketiga kriteria di atas. Jika tidak seluruh kriteria tersebut dapat dipenuhi maka hal ini akan disebut peranserta semu (pseudo-participation).
Tentu peran serta yang ideal adalah peranserta otentik. Namun jenis peranserta ini dianggap terlalu ambisius karena memerlukan perubahan struktur sosial yang nyata dan redistribusi kekuasaan besar-besaran yang tentunya sulit dipenuhi oleh banyak negara berkembang. Oleh karena itu, PBB pada tahun 1981 mengajukan pandangan yang berbeda tentang definisi peranserta masyarakat dengan menekankan pada “autonomy and self-reliance in participation”. Selanjutnya, dibedakan pula berbagai jenis peranserta berdasarkan pandangan ini, yakni: coerced participation yang sangat dikecam, induced participation yang dianggap terbaik kedua, dan spontaneous participation sebagai model ideal peranserta. Midgley (1986: 27) kemudian menegaskan bahwa peranserta masyarakat disebut tercapai apabila program yang diinginkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara efektif terpelihara oleh mereka setelah semua dukungan eksternal berakhir. Pandangan ini secara praktek dianggap lebih relevan karena mempertimbangkan kapasitas masyarakat dan mengakui adanya kebutuhan akan bantuan eksternal dalam pengembangan peranserta masyarakat.
Dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas maka, peranserta masyarakat mencakup peran serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat. Tampaknya pandangan terakhir ini sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahrir (1988: 320) bahwa : Pengertian peranserta dalam pembangunan bukanlah semata-mata peranserta dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebijaksanaan pembangunan, tetapi juga peranserta yang emansipatif. Artinya sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan, dari, oleh, dan untuk rakyat.
Dari penjelasan mengenai cakupan makna dari peranserta masyarakat di atas, maka dapat dipahami bahwa peranserta dalam arti luasnya mencakup pula involvement dan empowerment. Peranserta berentang mulai dari pembuatan kebijakan, implementasinya sampai dengan kendali warganegara terhadapnya. Peranserta dapat terjadi bila ada demokrasi. Terjadi perubahan pandangan masyarakat terhadap peranserta. Kini, masyarakat tidak lagi memandang peranserta masyarakat sebagai sebuah kesempatan yang diberikan oleh pemerintah karena kemurahan hatinya. Peranserta lebih dihargai sebagai suatu layanan dasar dan bagian integral dari local governance. Dalam citizen-centred government, peranserta masyarakat merupakan alat bagi good governance (Antoft & Novack: 1998: 81).

4.      Area Kebijakan Partisipatif
Peranserta masyarakat dapat berlangsung dalam beberapa area pengambilan keputusan (Burns, et al., 1994: 160), yakni : pertama, praktek operasional yang menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam institusi masyarakat, isu-isu yang berkaitan dengan aspek lainnya dalam kualitas pelayanan masyarakat, keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu dan lain sebagainya. Kedua, keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang didelegasikan, anggaran yang menyangkut modal besar, sampai pada anggaran pendapatan menyeluruh yang mencakup gaji pegawai dan biaya rutin bagi kantor tertentu dan pemeliharaannya, termasuk peningkatan pendapatan melalui peningkatan pajak lokal. Ketiga, pembuatan kebijakan yang menyangkut tujuan-tujuan strategis dari pelayanan tertentu, rencana strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu, dan prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya.

5.      Bentuk Peran serta Masyarakat
Antoft dan Novack (1998) juga mengungkapkan berbagai bentuk peranserta (dalam pengertian lebih sempit) yang bisa dilakukan oleh komunitas untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya. Bentuknya bisa berlangsung secara simultan untuk memberikan kesempatan bagi penduduk menikmati akses peranserta yang lebih besar karena tidak semua penduduk pada waktu yang bersamaan, di tempat yang sama, dengan kepentingan yang sama dapat berperanserta secara langsung dan bersama-sama. Ada kendala waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang membatasi peranserta masyarakat ini. Bentuk-bentuk peranserta tersebut meliputi : electoral participation, lobbying, getting on council agenda, special purpose bodies, dan special purpose participation.
Berbagai bentuk peranserta masyarakat (dalam arti luas) dalam pemerintahan daerah berdasarkan pengalaman berbagai negara di dunia telah dijelaskan oleh Norton (1994: 103-9) yang berkisar pada : pertama, referenda bagi isu-isu vital di daerah tersebut, dan penyediaan peluang inisiatif warga untuk memperluas isu-isu yang terbatas dalam referenda. Kedua, melakukan decentralization in cities (desentralisasi di dalam kota) kepada unit-unit yang lebih kecil sehingga kebutuhan, tanggung jawab dan pengambilan keputusan lebih dekat lagi kepada masyarakat. Ketiga, konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Dan yang keempat adalah peranserta dalam bentuk sebagai elected member (anggota yang dipilih). Semakin banyak anggota dewan yang dipilih secara proporsional jumlah penduduk maka semakin tinggi peransertanya. Semakin kecil rasio anggota dewan dibandingkan dengan jumlah penduduk maka semakin besar derajat peransertanya. Meski demikian, rasio tersebut bervariasi antar daerah di seluruh dunia bergantung pada kondisi masing-masing.









BAB III
RUANG LINGKUP PENGATURAN

A. Asas dan   Tujuan
Peranserta  masyarakat dilaksanakan berdasarkan asas persamaan kedudukan dalam pemerintahan,  kebebasan berpendapat dan berserikat, dan keterbukaan.
Peranserta  masyarakat bertujuan untuk :
1.      Meningkatkan proses pertukaran informasi antara masyarakat, Pemerintah Kota, dan DPRD;
2.      Meningkatkan pertagungjawaban masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
3.      Menyediakan wahana pendidikan politik bagi masyarakat;
4.      Pemberdayaan masyarakat dalam pengambilan kebijakan daerah.

B. Ruang Lingkup dan Bentuk Peranserta
Peranserta  masyarakat meliputi:
1.      Peranserta  dalam pengelolaan pembangunan;
2.      Peranserta  dalam pembentukan peraturan daerah.
Peranserta  masyarakat berbentuk:
1.      dengar pendapat umum;
2.      korespondensi;
3.      audiensi;
4.      diskusi masyarakat;
5.      terlibat dalam sidang terbuka di eksekutif maupun legislatif;
6.      rapat umum;
7.      demonstrasi;
8.      bentuk-bentuk lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum.


C. Hak dan Kewajiban
  Masyarakat berhak:
1.      Masyarakat berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan keputusan  pengelolaan pembangunan.
2.      Masyarakat berhak untuk berperanserta di dalam pengambilan kebijakan   pembentukan peraturan daerah.
3.      Hak untuk berperanserta  dalam pengelolaan pembangunan maupun dalam pengambilan kebijakan   pembentukan peraturan daerah meliputi:
1.      Hak mendapatkan informasi;
2.      Hak menyampaikan saran, pendapat, keberatan, dan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan;
3.      Hak untuk terlibat dalam persidangan terbuka yang dilakukan eksekutif maupun legislatif;
4.      Hak menolak atas rencana proyek pembangunan dan rancangan peraturan daerah yang merugikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat serta lingkungan hidup;
5.      Hak gugat masyarakat atas proses pembentukan perda dan keputusan pengelolaan pembangunan.
 4. Kewajiban masyarakat:
1. Masyarakat yang berperanserta  wajib mengemukakan dan memberikan data dan bahan pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Masyarakat yang berperanserta  wajib menyampaikan aspirasi dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum.

D. Kewenangan dan Kelembagaan
Walikota dan DPRD bertanggung jawab atas pengembangan kelembagaan di bidang peran serta masyarakat. Komisi Daerah Peranserta  Masyarakat melaksanakan tugas peningkatan, penumbuhkembangan, pemfasilitasian, dan pemotivasian peranserta  masyarakat. Komisi Daerah Peranserta  Masyarakat berwenang untuk:
1.      memfasilitasi, menyediakan informasi dan mendukung proses perumusan masalah kebijakan daerah yang diusulkan masyarakat;
2.      mengakomodir, menindaklanjuti, dan menyampaikan  setiap aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan daerah kepada instansi terkait;
3.      menguji kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan pengambilan kebijakan daerah yang diajukan oleh warga masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, serta kelayakan teknis dan standar minimal bidang atau sektor yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi;
4.      menyelenggarakan Referendum Warga Kota;
5.      membuat laporan tentang dugaan adanya tindak pidana peranserta  masyarakat kepada pejabat penyidik pegawai negeri sipil;
6.      melaporkan hasil pengujian kebenaran, kelayakan dan ketetapan setiap tahapan pengambilan kebijakan daerah yang diajukan oleh warga masyarakat kepada Walikota.
7.      Pemda berwenang melakukan pengelolaan dana kelembagaan
   Komisi Daerah Peran serta Masyarakat bersifat mandiri dalam melaksanakan tugasnya serta beranggotakan 5 orang dipimpin oleh seorang koordinator bersifat kolektif kolegial. Masa jabatan anggota Komisi Daerah Peranserta masyarakat adalah 5 tahun yang keanggotaannya mewakili unsur LSM, Masyarakat, Organisasi Masyarakat, Akademisi, dan Pers. Anggota Komisi Daerah Peranserta  masyarakat dicalonkan oleh masyarakat kemudian dipilih oleh DPRD melalui tes kelayakan dan kepatutan. Walikota mengesahkan anggota Komisi Daerah Peranserta  masyarakat sebagaimana yang dipilih oleh DPRD. Biaya operasional Komisi Daerah Peranserta  masyarakat dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. KOMDA Peran serta Masyarakat mempertanggungjawabkan laporan kegiatan dan keuangan kepada DPRD setiap 1(satu) tahun sekali dan menginformasikan LPJ kepada masyarakat setiap 1(satu) tahun sekali.



 E.  Bentuk Peran serta dalam Pengelolaan Pembangunan
1. Tahap Perencanaan
Masyarakat di sekitar proyek pembangunan harus dimintai persetujuan atas rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. Masyarakat disekitar proyek pembangunan juga dapat menolak rencana pembangunan apabila akan merugikan kepentingan pendidikan, budaya, agama, dan lingkungan. Peranserta  masyarakat dalam perencanaan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
1.      merumuskan permasalahan diberbagai bidang pembangunan dengan menganalisis, menentukan dan merumuskan permasalahan pokok yang dihadapi;
2.      meminta informasi tentang rencana pembangunan;
3.      merumuskan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan perlu diatasi oleh instansi yang berwenang;
4.      merumuskan rencana program dan kegiatan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

2. Tahap Pelaksanaan
            Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam  pelaksanaan pembangunan Daerah. Peranserta  masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
1.      ikut melaksanakan pembangunan baik secara swadaya tenaga, pikiran dan materi;
2.      meminta informasi tentang perkembangan  pelaksanaan pembangunan;
3.      melaksanakan pembangunan dari dana Pemerintahan Kota;
4.      membantu kelancaraan pelaksanaan pembangunan;
5.      berperanserta  memberikan kejelasan mengenai maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat luas.

3. Tahap Pengawasan
            Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan harus diberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan atas setiap pelaksanaan pembangunan didaerahnya. Peranserta  masyarakat dalam pengawasan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan:
1.      mengamati secara langsung pelaksanaan pembangunan;
2.      meminta informasi tentang perkembangan hasil pelaksanaan pembangunan;
3.      melakukan koreksi apabila ada kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;

4. Tahap Evaluasi
            Peranserta  masyarakat dalam evaluasi pembangunan Daerah dilaksanakan dengan mengkuti rapat atau pertemuan evaluasi yang melibatkan Pemerintah Kota, DPRD, Pelaksana Proyek Pembangunan dan pihak lain yang terkait.

5. Pelaporan
            Setiap pelaksanaan pengelolaan pembangunan dapat dilaporkan perkembangannya oleh masyarakat kepada Walikota dan/atau Komisi Daerah Peranserta  Masyarakat. Pelaporan tersebut meliputi seluruh tahapan pengelolaan pembangunan daerah termasuk hambatan, kendala dan perkembangan kemajuan serta keberhasilan dilakukan dalam bentuk lisan maupun tertulis. Setiap laporan yang masuk wajib diteliti kebenarannya dan ditindaklanjuti oleh Komisi Daerah Peranserta  Masyarakat. Pelaksanaan penelitian tersebut dilakukan dengan:
1.      mewawancari secara mendalam pihak-pihak yang terkait;
2.      meminta pendapat ahli;
3.      melakukan survey atau jajak pendapat;
4.      melakukan observasi atau pengamatan;
5.      mengkaji aspek hukum, ideologi, politik, sosial, budaya, dan keamanan;
6.      cara-cara lain yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan praksis dan teoritis.

6. Tahap Pemeliharaan
        Masyarakat baik secara lembaga maupun perorangan dapatdilibatkan dalam pemeliharaan hasil pembangunan didaerahnya. Peranserta  masyarakat dalam pemeliharaan pembangunan Daerah dapat dilaksanakan dengan tindakan menjaga, mempertahankan dan melestarikan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan.

7. Peran serta masyarakat dalam Pembentukan Raperda
        Masyarakat baik lembaga maupun perorangan harus dilibatkan dalam pembentukan rancangan peraturan daerah baik di tingkat Pemerintah Kota maupun di tingkat  DPRD Kota. Bentuk pelibatan tersebut antara lain:
1.      konsultasi masyarakat;
2.      dengar pendapat umum;
3.      jajak pendapat; dan/atau
4.      lokakarya lintas pelaku;
              Perwakilan masyarakat baik lembaga maupun perorangan diberi kesempatan untuk mengikuti persidangan pembahasan rancangan peraturan daerah yang dinyatakan terbuka untuk umum sebagai pengamat. Pemerintah Kota atau alat kelengkapan DPRD harus menyediakan tempat yang memungkinkan perwakilan masyarakat dengan seksama mengamati seluruh proses pembahasan rancangan peraturan daerah. Masyarakat baik lembaga maupun perorangan mengajukan permohonan kepada Komisi Daerah Peranserta  Masyarakat untuk mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan daerah. Komisi Daerah Peranserta  masyarakat menentukan perwakilan masyarakat yang akan mengamati sidang pembahasan rancangan peraturan daerah mengigat keterbatasan ruang dan tempat yang tersedia. Dalam hal rancangan peraturan daerah dibentuk untuk mengatur masalah lingkungan hidup daerah, rencana tata ruang dan wilayah, retribusi, dan pertanahan harus dengan persetujuan masyarakat melalui Referendum Warga Kota. Referendum Warga Kota diselenggarakan oleh Komisi Daerah Peranserta  Masyarakat.

8. Sumber Dana
     Sumber dana peranserta  masyarakat berasal dari:
1.      Swadaya masyarakat;
2.      Alokasi dana dari APBD;
3.      Sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. Mekanisme Gugatan Masyarakat
        Masyarakat yang dirugikan karena akibat tidak dilibatkannya dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan atau pengelolaan pembangunan, dapat melakukan gugatan kepada pemerintah daerah.

10. Ketentuan Penyidikan
        Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Kota diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana. Wewenang penyidik tersebut  adalah:
1.      menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan agar keterangan atau laporan menjadi lengkap dan jelas;
2.      meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan;
3.      meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan;
4.      memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain;
5.      melakukan penggeledahan untuk  mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti;
6.      meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas;
7.      menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
8.      mengambil gambar seseorang yang terkait dengan tindak pidana;
9.      memanggil orang  untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
10.  menghentikan penyidikan;
Penyidik harus memberitahukan dimulainya penyidikan (SPDP) dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan hukum acara pidana.

11. Ketentuan Pidana
        Ketentuan pidana dikenakan pada perbuatan:
1.      menghalang-halangi masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan pembangunan dan pembentukan rancangan peraturan daerah;
2.      tidak memberikan kesempatan masyarakat untuk berperanserta  dalam pengelolaan pembangunan dan pembentukan rancangan peraturan daerah.
            Instansi pemerintah yang melakukan tindak pidana juga diancam dengan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku


















BAB IV 
PENUTUP
A.    Kesimpulan
  Bertolak dari paparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut:
1.      Sebagai perwujudan esensi demokrasi dan tujuan desentralisasi, maka peranserta masyarakat dalam pemerintahan daerah merupakan suatu keniscayaan.
2.      Untuk merealisasi peranserta masyarakat yang bersifat nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka diperlukan adanya payung hukum yang kuat dalam bentuk peraturan daerah.
3.      Seyogyanya perda tersebut mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat setempat tentang penyelenggaraan peranserta masyarakat yang efektif.
4.      Peraturan daerah tentang peranserta masyarakat ini harus dapat mengakomodasi segenap aspirasi dan prakarsa masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pelayanan masyarakat dan pembangunan di daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Remasyarakat Indonesia.

B. Saran-Saran
Saran-saran yang penting dalam naskah akademis sebagai berikut:
1.      DPRD maupun Pemkot Malang perlu segera membahas raperda peran serta masyarakat ini sehingga  membuka peluang berkembangnya demokratisasi daerah.
2.      Diperlukan adanya kesadaran bersama dari segenap stakeholder pemerintahan daerah untuk mewujudkan peranserta masyarakat yang nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3.      Diperlukan adanya peluang advokasi masyarakat dalam penyusunan perda peranserta masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Hamid Attamimi, Teori Perundang-undang Indonesia
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 1998
Undang-undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.






                                                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017