Subscribe
BAB
I
PENDAHULUAN
Politik
hukum Indonesia sangat berkaitan dengan realita sosial dan tradisional yang
terdapat di dalam negara Indonesia (faktor internal), serta politik hukum
internasional (faktor eksternal). Faktor internal antara lain
meliputi latar belakang sejarah, kebudayaan dan adat – istiadat, serta cita –
cita masyarakat atau bangsa Indonesia. Perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia sejak Orde Lama (ORLA), Orde Baru (ORBA) sampai dengan
Orde Reformasi sekarang ini mengalami perubahan yang sangat besar terutama
dalam rangka mewujudkan tujuan gerakan reformasi di bidang hukum
yang diimplementasikan melalui beberapa kebijakan hukum diantaranya dengan
melakukan perubahan (amandemen)terhadap Undang – Undang Dasar 1945.
Namun
demikian, meskipun terhadap Undang – Undang Dasar 1945 telah
dilakukan amandemen beberapa kali, orientasi pembangunan hukum
harus tetap mencerminkan / merefleksikan kehendak untuk terus menerus
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan
merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan
negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar
1945 (a reflection of willing to nicrease continually the Indonesians’
prosperity which is just and well distributed, to develop a social
life and carry out a developed a democratic and democratic country
based on Pancasila and 1945 Constitution). Pancasila merupakan dasar
filsafat dan sumber dari segala sumber hukum negara Republik Indonesia yang
secara resmi disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
tanggal 18 Agustus 1945 dan dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama – sama dengan
batang tubuh UUD 1945.
Dalam
perjalanan sejarah, sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami
berbagai interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan dan arah
politik hukum penguasa (rejim) untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan perkataan
lain, Pancasila tidak diposisikan sebagai pandangan hidup (way of life)bangsa
dan negara Indonesia, melainkan direduksi dan dimanipulasi demi kepentingan
politik rajim yang berkuasa. Begitu pula, peranan politik hukum pemerintah
dalam pembangunan hukum nasional pada hakekatnya tidak lagi bertujuan untuk
“menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kenyataan
yang sebenarnya (in concreto) bahwa
politik hukum sangat berhubungan dengan kepentingan politik
penguasa, dapat dikemukakan sebagai fakta sejarah yaitu pedoman politik
pemerintah Hindia Belanda di Indonesia pada waktu dahulu didasarkan pada Wet
op de staatsinrichting van Ned – Indie, khususnya yang
termaktub dalam pasal 131 jo. pasal 163 Indische Staatsregeling Stb.
1854 (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement), yang pada pokoknya
sebagai berikut:
1. Hukum Perdata dan
dagang (begitu pula hukum pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus
diletakkan dalam kitab undang – undang, yaitu dikodifisir.
2. Untuk golongan
bangsa Eropah dianut (dicontoh) perundang – undangan yang
berlaku di Negeri Belanda (azas konkordansi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia
asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan
kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan – peraturan untuk
bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan
perubahan – perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru
bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan – aturan yang berlaku di
kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan
umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
4. Orang Indonesia asli dan orang
Timur Asing, sepanjang mereka belum di bawah suatu peraturan bersama dengan
bangsa Eropah, diperbolehkan menundukkan diri (“onderwerpen”) pada hukum yang
berlaku untuk bangsa Eropah. Penundukkan ini boleh dilakukan baik secara umum
maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
5. Sebelum
hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang – undang, bagi mereka itu
akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat”
(ayat 6)[1].
Pada
era Orde Baru, landasan atau dasar – dasar pokok kebijakan hukum nasional
tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(TAP MPR RI) IV / 1973 Tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN),
mengenai kebijaksanaan di bidang hukum, yang menyatakan:
- “Pembinaan
bidang hukum harus mampu mengarah dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum
sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi
menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai
ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan kearah
peningkatan pembinaan Kesatuan Bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana
menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:
a. Meningkatkan dan
menyempurnakan pembinaan Hukum Nasional antara lain dengan mengadakan
pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang – bidang tertentu dengan
jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
b. Menertibkan fungsi lembaga
– lembaga hukum menurut posisinya masing – masing.
c. Meningkatkan
kemampuan dan kewibawaan penegak – penegak hukum.
- Memupuk
kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para
pejabat pemerintah ke arah Penegakkan Hukum, keadilan serta perlindungan
terhadap Harkat dan Martabat Manusia, dan Ketertiban serta Kepastian Hukum
sesuai dengan Undang – Undang Dasar 1945”[2].
Selain
dalam TAP MPR IV / 1973 Tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
tersebut, pembangunan hukum nasional secara eksplisit juga dirumuskan dalam
REPELITA II BAB 27 Tentang Hukum, yang berbunyi, ”Pembinaan bidang
hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan – kebutuhan hukum sesuai
dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut
tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan
kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang
perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh. Pembangunan bidang
hukum dilakukan dengan jalan;
a. Peningkatan dan penyempurnaan
pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi
serta ubifikasi hukum di bidang – bidang tertentu dengan jalan memperhatikan
kesadaran hukum dalam masyarakat.
b. Menertibkan fungsi lembaga –
lembaga hukum menurut proporsinya masing – masing.
c. Peningkatan
kemampuan dan kewibawaan penegak hukum”[3].
Pembangunan
hukum nasional dalam negara hukum Indonesia adalah berlandaskan pada sumber
tertib hukum negara yaitu cita – cita yang terkandung pada pandangan hidup,
kesadaran dan cita – cita hukum serta cita – cita moral yang luhur yang
meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang diformulasikan
dalam Pancasila dan Undang – Undang Dasarb 1945. Namun harus diakui bahwa pada
era Reformasi sekarang ini, pasca lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa
rejim Orde Baru, sama sekali tidak ada konsep yang jelas mengenai pedoman arah
dan tujuan pembangunan hukum nasional. Bahkan terdapat kecenderungan adanya
peraturan perundang – undangan produk lembaga eksekutif (pemerintah) dan
lembaga legeslatif (Dewan Perwakilan Rakyat) yang tidak mencerminkan semangat
reflormasi dan nilai – nilai demokrasi yang bersifat universal.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Nilai
– nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, digali dan
bersumber dari agama, kebudayaan serta adat – istiadat yang terdapat
di negara Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum harus dijadikan dasar dan pedoman untuk menentukan politik
hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Namun demikian, harus diakui
bahwa dari dahulu sampai sekarang banyak pihak – pihak yang mencoba
mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan politik (political will) dan
politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional Indonesia agar tidak
lagi menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Berdasarkan kenyataan tersebut,
diharapkan agar kerangka pemikiran dalam karya ilmiah (makalah) ini dapat
dijadikan refleksi yang bertujuan untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi
Pancasila dalam rangka menyikapi peranan politik hukum dalam pembangunan hukum
nasional Indonesia.
Pada
saat ini bangsa Indonesia ada di persimpangan jalan(crossroad) yang
sangat menentukan masa depan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Dalam pengertian ini, apakah pemerintah dapat
menjalankan peranan politik hukumnya sebagai suatu political
will untuk membangun hukum nasional yang berwawasan nusantara
dan kebangsaan yang dapat dijadikan sebagai perekat untuk mempertahankan
keutuhan rakyat Indonesia sebagai suatu nation. Oleh karena pada
masa sekarang ini, faktanya masih terdapat produk hukum dan
peraturan perundang – undangan yang yang membahayakan disintegrasi bangsa
tetapi sengaja dipertahankan oleh pemerintah meskipun keberlakuannya bersifat
inkonstitusional. Termasuk adanya pola – pola kebijakan pemerintah dalam
melaksanakan peranan politik hukumnya, yang dianggap mencederai rasa keadilan
masyarakat Indonesia dan bertentangan dengan nilai – nilai hukum.
Undang
– Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum Nasional (Propenas)
Tahun 2000 – 2004, sebagai penjabaran dari Garis – Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) 1999 – 2004, sama sekali tidak memberikan arah dan tujuan yang jelas mengenai
pembangunan hukum nasional. Propenas hanya memberi gambaran
mengenai upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang
Baik. Secara umum, dalam Propenas dinyatakan “Menegakkan hukum
secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran,
supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia perlu didukung dengan
mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan
pihak mana pun, dan upaya menyelenggarakan proses peradilan secara cepat,
mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi,kolusi, dan nepotisme dengan
tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran”.
Latar
belakang masalah sebagaimana dipaparkan diatas fakta yuridis (das
sollen) dan fakta riil (das sein) yang menjadi
rujukan untuk menganalisa masalah / pembahasan masalah dalam makalah
ini, yaitu:
1. Fakta
Yuridis (das sollen), yaitu:
- Pembukaan
Undang – Undang Dasar 1945.
- Pancasila.
- Undang
– Undang Dasar 1945.
- Teori
Hukum Hans Kelsen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai kelakukan
yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi
tingkatannya”.
- Teori
Hukum W. Zevenbergen, yang menyatakan: “Kaedah hukum mempunyai kekuatan
yuridis, jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”.
- Teori
Hukum J.H.A. Logemann, yang menyatakan: “Kaedah hukum mengikat secara
yuridis, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan
akibatnya”.
2. Fakta
Riil (das`sein), yaitu:
Banyak faktor – faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan
hukum nasional di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
Perumusan
masalah dalam karya ilmiah (makalah) ini diidentifikasi berdasarkan fakta –
fakta kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagai suatu negara
hukum yang menganut prinsip – prinsip Demokrasi Pancasila. Selain
itu, juga dihubungkan dengan fenomena tata kebudayaan dan tuntutan perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin dinamis tetapi cenderung
fluktuatif. Fakta – fakta dan fenomena tersebut sebenarnya
merupakan rangkaian – rangkaian yang saling kait – mengkait dengan peranan
politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Sering kali fakta
– fakta dan fenomena tersebut menjadi halangan atau kendala untuk membentuk
suatu sistem hukum ideal yang dicita – citakan. Masalah – masalah tersebut pada
pokoknya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Peranan politik
hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk membentuk sistem hukum
ideal yang dicita - citakan.
2. Faktor
– faktor yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan
hukum nasional Indonesia.
Demikian
pula selanjutnya, agar penulisan dan pembahasan masalah dalam makalah ini
tidak bersifat abstrak dan tidak bias secara substansial, maka perlu
kiranya dilakukan pembatasan ruang lingkup kajian. Konsentrasi
pembahasan masalah dalam makalah ini adalah berkenaan dengan peranan
politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional untuk membentuk
sistem hukum ideal yang dicita – citakan serta faktor – faktor yang
mempengaruhi peranan politik hukum tersebut. Dengan pembatasan
tersebut diharapkan akan menghasilkan kerangka teoritis dan konsepsional,
hipotesa, dan analisis masalah yang lebih fokus dan terarah.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Penulisan
makalah ini merupakan suatu rangkaian dari kegiatan ilmiah untuk
mempelajari dan membahas fenomena hukum yang didasarkan pada metode
ilmiah. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian, yang dipergunakan
sebagai pedoman untuk mengumpulkan data – data serta melakukan
kajian atau telaah terhadap fenomena – fenomena yuridis. Sehingga penulisan
makalah ini sebagai suatu bentuk karya ilmiah sesuai dengan
prosedur penelitian yang berfokuskan masalah (problem – focused
research).
Metodologi
penelitian sebagai sarana pengumpulan data yang dipergunakan oleh Penulis dalam
makalah ini, adalah:
a. Penelitian
lapangan (field research) melalui metode
pengumpulan data primer atau data dasar (primary data / basic data) yaitu
mengumpulkan informasi langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama.
b. Penelitian
kepustakaan (library research) melalui metode pengumpulan data
sekunder (secondary data) yaitu mencakup peraturan perundang –
undangan, buku – buku, dokumen – dokumen resmi, media cetak dan media online,
hasil – hasil penelitian yang berwujud laporan – laporan, yurisprudensi, dan
sebagainya.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar
pembahasan dalam karya ilmiah ini dapat dengan mudah ditelaah dan difahami,
maka penulisan makalah ini disusun secara sistematis, sebagai berikut:
- Bab
I: Pendahuluan, terdiri dari:
A. Latar
Belakang Masalah.
B. Permasalahan.
C. Metodologi
Penelitian.
D. Sistematika
Penulisan
- Bab
II: Analisis Masalah
1. Peranan politik
hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk membentuk sistem hukum
ideal yang dicita - citakan.
2. Faktor
– faktor yang mempengaruhi peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan
hukum nasional Indonesia.
- Bab
III: Penutup
1. Kesimpulan.
2. Saran
– saran.
BAB
II
ANALISIS MASALAH
Roscoe
Pound menyatakan pendapatnya bahwa “hukum harus dilihat atau dipandang
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan –
kebutuhan sosial, ...”[4]. Hukum
sangat berhubungan erat dengan perubahan – perubahan sosial kemasyarakatan.
Mengenai hubungan ini Emile Durkheim menyatakan,”bahwa hukum merupakan
refleksi daripada solidaritas sosial dalam masyarakat”[5].
Oleh karena itu, agar program pembangunan hukum nasional
Indonesia dapat mencapai sasaran maka politik hukum pemerintah harus
memperhatikan stabilitas dalam segala bidang yang berhubungan dengan
kepentingan nasional dan internasional yang diselaraskan dengan unsur – unsur
agama, kebudayaan dan adat – istiadat masyarakat Indonesia, sehingga
kepentingan – kepentingan pokok warga masyarakat terpenuhi.
Metode,
strategi dan paradigma pembangunan hukum nasional Indonesia dewasa ini
dipandang sangat penting untuk mendapat perhatian yang sungguh – sungguh,
melihat kenyataan adanya tendensi degradasi kesadaran hukum masyarakat untuk
mematuhi hukum dan peraturan perundang – undangan. Degradasi kesadaran hukum
tersebut tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat biasa pada umumnya,
kelompok – kelompok masyarakat atau lapisan masyarakat kelas bawah (lower
class), tetapi juga pada tataran kalangan birokrasi, pejabat dan badan –
badan aparatur negara, juga lapisan masyarakat kelas menengah (middle
class) dan kelas atas(upper class) termasuk kalangan
intelektual. Asumsi hipotetis tersebut didasarkan
pada indikator kesadaran hukum masyarakat, yaitu:
a. Adanya Pengetahuan hukum.
b. Adanya pemahaman hukum.
c. Sikap terhadap hukum.
d. Pola perilaku hukum.
e. Taat
kepada hukum[6].
Pemerintah
sebagai pemegang peranan (role occupant)seyogyanya dapat
menjalankan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia yang
relevan dengan perkembangan jaman dan dapat mengakomodir kepentingan –
kepentingan sosial masyarakat. Pembangunan hukum nasional harus dapat mencapai
kesejahteraan materil dan spirituil masyarakat maupun individu (azas
welvaartstaat), agar hukum yang diformulasikan dalam peraturan
perundang – undangan tersebut tidak sekedar kumpulan huruf –
huruf mati (doode letter / black letter law) melainkan
secara normatif mengikat warga masyarakat. Berkaitan dengan pembangunan hukum
nasional, Andi Amrullah dalam tulisannya yang berjudul Tantangan Bagi
Pembangunan Hukum Nasional, menulis sebagai berikut, “...
pembangunan hukum itu dapat diadakan di sela – sela pembangunan
phisik dan mental, dengan terlebih dahulu menentukan tujuan hukum dan
perkembangannya, mengadakan suatu analisa deskriftif dan prediktif, dan
mengumpulkan data – data tentang hukum yang masih dianggap melekat dalam diri
anggota – anggota masyarakat. Menentukan tujuan hukum dan perkembangannya saya
kira tidaklah sulit, sebaliknya yang saya anggap sulit adalah menetapkan apakah
anggota – anggota masyarakat itu dapat menerima atau mengakui tujuan hukum
tersebut oleh karena taatnya anggota – anggota masyarakat kepada hukum dapat
disebabkan oleh dua faktor dominant, yaitu:
Pertama
: bahwa tujuan hukum idfentik dengan tujuan / aspirasi anggota –
anggota masyarakat itu atau dengan kata lain taatnya anggota –
anggota masyarakat pada hukum adalah karena terdapatnya perasaan keadilan dan
kebenaran dalam hukum itu sendiri.
Kedua : karena
adanya kekuasaan yang imperatif melekat dalam hukum tersebut, dengan sanksi
apabila ada orang yang berani melanggarnya ia akan memperoleh akibat – akibat
hukum yang tak diingini”[7].
Dengan
demikian, deskripsi ilmiah diatas merupakan bahan kajian bagi pemerintah untuk
melaksanakan peranan politik hukumnya dalam pembangunan hukum
nasional Indonesia agar tercipta suatu sistem hukum nasional,
sebagai pengejawantahan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Selain itu, dapat pula dijadikan penyeimbang antara peranan
politik hukum pemerintah dengan kepentingan politiknya (pemerintah yang berkuasa)
dan penetrasi kepentingan negara – negara maju.
1. Peranan politik hukum
dalam pembangunan hukum nasional Indonesia untuk membentuk sistem hukum ideal
yang dicita - citakan.
Ensiklopedi
Umum menjelaskan bahwa ius constitutummerupakan hukum yang berlaku dalam suatu
negara pada suatu saat. Dengan perkataan lain, ius constitutum adalah
hukum positif suatu negara. Sedangkan “ius constituendum
adalah hukum yang dicita – citakan oleh pergaulan hidup dan negara,
tetapi belum menjadi kaidah berbentuk undang – undang atau peraturan lain
(Ensiklopedi Umum: 1977)”[8] .
Sedangkan
Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan, “Hukum positif dengan nama asing
disebut juga ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum, yakni
kesemuanya kaidah hukum yang kita cita – citakan supaya memberi akibat
peristiwa – peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”[9]. Berkaitan
dengan definisi – definisi tersebut, W.L.G. Lemaire menyatakan,”Het recht
ordent dus een menselijk samenleving van een bepaalde plaats en een bepaalde
tijd. Het is een historisch product, dat geworden is en vervallen zal
(Terjemahan bebas: Dengan demikian maka hukum menerbitkan pergaulan hidup
manusia disuatu tempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Hukum
merupakan hasil perkembangan sejarah, yang terbentuk dan akan hilang)”[10].
Pembangunan
hukum nasional yang ideal sesuai dengan ekspektasi masyarakat sangat penting
dan mendesak untuk segera diimplementasikan karena sampai saat ini masih banyak
peraturan perundang – undangan yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan jaman, termasuk peraturan perundang – undangan produk kolonial
Belanda. Selain itu, banyak pula peraturan perundang – undangan sebagai suatu
kaidah hukum tidak mempunyai keberlakuan secara yuridis oleh
karena bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Sehingga dalam pelaksanaannya, peraturan perundang – undangan
tersebut menimbulkan polemik pro – kontra dan bahkan
sering dimanipulasi kelompok – kelompok tertentu sebagai alat
pembenaran untuk melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum.
Efektivitas
keberlakuan hukum (peraturan perundang – undangan) bukanlah masalah yang
berdiri sendiri, melainkan erat hubungannya dengan masalah – masalah
kemasyarakatan lainnya, terutama masalah ;pembangunan karakter bangsa
Indonesia. Oleh karena itu pembangunan hukum nasional tidak mungkin dipisahkan
dari perkembangan masyarakat Indonesia, atau dengan perkataan lain
pembangunan hukum nasional tidak mungkin dipisahkan dari pembangunan
bangsa. Dalam kerangka berpikir demikian maka dapat dikemukakan asumsi ilmiah
bahwa pembangunan hukum termasuk proses penegakkan hukum harus dikembangkan
secara positif dan kreatif untuk kemajuan di bidang hukum yang
digerakkan secara serasi, terarah untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan
taat pada hukum.
Strategi
pembangunan hukum harus didasarkan pada semangat kebangsaan (nasionalisme) dan
mengarah pada konsep pembangunan sosial
kemasyarakatan yang menyeluruh (komprehensif) dan utuh sebagai satu
kesatuan (integral). Dasar politik hukum yang demikian akan menjadi landasan
yang kuat dan memainkan peranan yang positif terhadap pembangunan hukum
nasional sebagai suatu sistem hukum ideal yang dicita – citakan. Kaidah –
kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang – undangan akan dirasakan tidak
hanya sebagai sesuatu yang harus dipatuhi / ditaati, melainkan akan
menjadi bagian dari nilai tata kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat merasa
wajib untuk menegakkannya.
Disamping
semangat kebangsaan sebagai dasar strategi pembangunan hukum nasional, politik
hukum pemerintah harus pula memperhatikan asas – asas hukum juniversal tetapi
tetap becorak pada identitas bangsa Indonesia. Indentitas bangsa Indonesia
tersebuta adalah Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) dan
sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, peranan politik hukum
pemerintah sangat menentukan arah dan corak dari pembangunan hukum nasional
untuk membentuk sistem hukum ideal yang dicita – citakan.
Pemerintah
harus dapat memainkan peranan politik hukumnya sebagai pelopor perubahan (agent
of change) dalam rangka pembangunan hukum nasional untuk membentuk
sistem hukum ideal yang dicita – citakan. Sistem hukum yang demikian adalah
tatanan hukum yang dapat menjamin tercapainya cita – cita bangsa Indonesia
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, yaitu;
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Berkaitan dengan cita – cita luhur tersebut, asas negara
Indonesia yang berdasarkan hukum, harus tetap menjadi
semangat yang dinamis dan positif.
Politik
hukum sebagai suatu kebijakan pemerintah, mencakup juga
pelaksanaan tertib hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat di Indonesia. Sehingga, apabila
peranan politik hukum demikian dapat
dijalankann maka hukum akan merupakan alat penting yang luwes agar
tercapai suasana kehidupan masyarakat Indonesia yang tertib oleh karena hukum
ditaati / dipatuhi atas dasar kesadaran karena hukum dianggap sebagai suatu
budaya. Oleh karena itu, peranan politik hukum tidak boleh menggunakan analytical jurisprudensce,
yaitu analisis dari prinsip – prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek
historis maupun aspek etis termasuk aspek sosio – kemasyarakatan.
Politik hukum
dalam rangka pembangunan hukum nasional berkenaan juga dengan pembangunan
kesadaran hukum masyarakat.“Faham tentang kesadaran hukum sebetulnya
berkisar pada fikiran – fikiran yang menganggap bahwa kesadaran dalam diri
warga – warga masyarakat suatu faktor yang menentukan bagi sahnya
hukum”[11].
Pembangunan hukum nasional harus sesuai dengan filosofi fundamental yang
menyataka, “Merupakan suatu keadaan yang dicita – citakan atau
dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh
penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif
tertulis”[12].
Pembangunan
hukum nasional dalam kenyataannya tidak hanya sebatas melakukan perubahan –
perubahan terhadap peraturan – peraturan yang telah ada, akan tetapi malahan
termasuk mengganti secara keseluruhan peraturan perundang – undangan yang
dianggap sudang usang dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman (out
of date). Dalam konteks pembangunan hukum termasuk pembaharuan
hukum, maka hukum tidak boleh memberikan keadaan statis atau mempertahankan status
quo dari suatu keadaan atau peristiwa. Hukum merupakan sarana yang
penting dalam masyarakat sehingga harus dikembangkan agar dapat
memberi ruang gerak bagi perubahan masyarakat. Tidak sebaliknya, mempertahankan status
quo atau nilai – nilai yang tidak sesuai dengan perkembangan dinamika
masyarakat.
Adanya
hubungan timbal balik (causalitas) antara pembangunan hukum dan pembangunan
masyarakat sebagai suatu fenomena dalam politik hukum sangat penting
mendapat kajian dan penjabaran(uitwerking) secara mendalam agar
tujuan pembentukkan hukum ideal yang dicita – citakan dapat tercapai. Hal
tersebut didasarkan pada pendapat bahwa hukum merupakan sarana pembagaruan dan
pembangunan masyarakat. Hukum sebagai alat / sarana pembaharuan
masyarakat mirip dengan konsepsi law as a tool of social
engineering yang di negara barat dipopulerkan oleh aliranPragmatic
Legal Realism.
Berbicara
mengenai pembangunan hukum nasional dan hukum sebagai sarana pembangunan maka
yang menjadi pemikiran fundamental (basic thinking) adalah
bahwa hukum positif nasional(ius contitutum) yang
akan dijadikan sebagai sarana pembaharuan masyarakat, justeru memerlukan
pembaharuan dan pembangunan agar menjadi alat yang ideal untuk memperbaharui
prilaku dan pola – pola interaksi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Hukum sebagai
sarana / alat pembaharuan atau pembangunan masyarakat pada hakekatnya
berorientasi pada anggapan – anggapan, yaitu; 1) adanya sikap tindak yang
teratur (ajeg) dalam masyarakat atau adanya ketertiban dalam usaha pembangunan
atau pembaharuan masyarakat dipandang sebagai seuatu yang bersifat mutlak (absolut),
2) hukum dalam arti kidah / norma dapat berfungsi sebagai sarana pengendali
sosial (social control) kegiatan manusia / masyarakat dalam
interaksi antara yang satu dengan yang lain.
Kaidah yang
merupakan sumber hukum positif (staatsfundamentalnorm) dalam
negara Indonesia adalah Pancasila. Berkaitan dengan itu Kaelan M.S. berpendapat
bahwa, “Pancasila merupakan cita – cita hukum, kerangka berpikir,
sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di
Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma
hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum,
atau Pancasila harus merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan hukum. Materi
– materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah
dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan iptek serta
perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai – nilai
Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu
tidak berada pada situasi vacum”[13].
Agar
dapat dibentuk sistem hukum ideal sesuai dengan ekspektasi (yang dicita –
citakan) masyarakat, maka dalam kaitannya dengan pembangunan hukum nasional ,
kiranya sangat relevan pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang
mengatakan bahwa sejak diundangkan peraturan perundang – undangan tersebut
harus memenuhi beberapa syarat prosedural, yaitu:
a. Syarat keterbukaan yaitu bahwa
sidang – sidang di Dewan Perwakilan Rakyat dan perikelakukan anggota eksekutif
dalam pembuatan undang – undang diumumkan, dengan harapan akan adanya tanggapan
warga masyarakat yang berminat.
b. Memberikan hak kepada warga
masyarakat untuk mengajukan usul – usul (tertulis) kepada penguasa. Cara –
caranya, antara lain:
1. Penguasa setempat
mengundang mereka yang berminat untuk menghindari suatu pembicaraan penting
yang menyangkut suatu peraturan di bidang tertentu.
2. Suatu Departemen
mengundang organisasi – organisasi tertentu untuk memberikan usul – usul
tentang rancangan undang – undang tertentu.
3. Acara dengar pendapat
(hearing) di Dewan Perwakilan rakyat.
4. Pembentukan
komisi – komisi penasehat yang terdiri dari tokoh – tokoh dan ahli – ahli
terkemuka[14].
Sedangkan
berkaitan dengan ide pembangunan hukum nasional untuk membentuk
sistem hukum ideal sesuai yang dicita – citakan, menurut Soerjono Soekanto
bahwa dalam rangka penyempurnaan pembinaan (pembangunan) hukum, maka paling
sedikit perlu diperhatikan syarat – syarat sebagai berikut:
1. Hukum tidak merupakan aturan –
aturan yang bersifat ad hoc, akan tetapi merupakan aturan – aturan umum dan
tetap;
2. Hukum tadi harus
diketahui dan jelas bagi para warga masyarakat yang kepentingan –
kepentingannya diatur oleh hukum tersebut;
3. Dihindari penerapan peraturan –
peraturan yang bersifat retroaktif (= berlaku surut);
4. Hukum tersebut harus dimengerti
oleh umum;
5. Tidak ada peraturan – peraturan
yang saling bertentangan, baik mengenai satu bidang kehidupan tertentu, maupun
untuk pelbagai bidang kehidupan (= konsisten);
6. Pembentukan hukum harus
memperhatikan kemampuan para warga masyarakat untuk mematuhi hukum tersebut;
7. Perlu dihindarkan terlalu
banyaknya dan seringnya frekwensi perubahan – perubahan pada hukum, oleh karena
warga – warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pedoman bagi kegiatan –
kegiatannya;
8. Adanya korelasi antara hukum
dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut;
9. Hukum mempunyai landasan yuridis,
filosofis maupun sosiologis;
10. Perlu
diusahakan agar hukum tersebut diberi bentuk tertulis[15].
Disamping
pendapat Soerjono Soekanto tersebut diatas, apabila dihubungkan dengan
keanekaragaman (diversity) bangsa Indonesia
yang terjewantah dalam kebudayaan, adat – istiadat, suku, agama dan
kepecayaan, serta Indonesia sebagai negara kepulauan(archipelago) maka
agar tercipta sistem hukum nasional yang ideal, menjadi sangat
relevan apabila peranan politik hukum(rechtpolitiek) dalam
pembangunan hukum nasional secara representatif harus didasarkan
pada:
a. Pencerminan
dari kehendak untuk mewujudnyatakan cita – cita bangsa Indonesia
sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar i945 sebagai
tertib hukum tertinggi, yaitu; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
b. Orientasi
landasan yuridis yang tetap berpedoman pada Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum.
c. Penetapan
Bhineka Tunggal Ika sebagai asas hukum.
d. Pengimplementasian
asas non diskriminatif.
e. Pengimplementasian
nilai – nilai pembaharuan dan pelestarian(azas welvaarstaat) yang
bersifat tahan lama (duurzaamheid);
Sesuai
dengan semangat perjuangan, nilai – nilai kemanusiaan dan kebangsaan serta cita
– cita – cita luhur bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan Undang –
Undang Dasar 1945 maka pembangunan hukum nasional hendaknya harus mencerminkan
sifat; gotong royong, kekeluargaan, toleransi, anti kolonialisme, imperialisme
dan feodalisme, serta berwawasan nusantara.
Mengenai
pembangunan hukum yang berwawasan nusantara ini, Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan,”Membangun hukum berdasarkan wawasan nusantara berarti membangun
hukum nasional dengan memadukan tujuan membangun hukum nasional yang satu atau
menyatukan dengan memperhatikan keanekaragaman budaya dari penduduk yang
mendiami suatu negara kepulauan. Pedoman yang dapat digunakan dalam membangun
hukum nasional adalah untuk mengusahakan kesatuan apabila mungkin, membolehkan
keanekaragaman bila keadaan menghendakinya, tetapi
bagaimanapun juga mengutamakan kepastian (Unity whenever possible, diversity
where desireable, but above all certainty)”[16].
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi
peranan politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.
Suatu
fakta yang lazim bahwa kaidah – kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang –
undangan yang dirancang, disusun dan diformulasikan oleh pemerintah
adakalanya tidak sesuai dengan kepentingan – kepentingan dan nilai –
nilai yang diharapkan oleh masyarakat sebagai suatu pedoman atau patokan
interaksi sosial. Akibat ketidaksesuain tersebut, kadang – kadang timbul
ketegangan dan gerakan – gerakan protes dari kelompok – kelompok masyarakat.
Bahkan sering terjadi kecenderungan bahwa sebagai efek domino dari ketegangan
dan gerakan – gerakan protes tersebut, terjadi gesekan atau konflik di kalangan
masyarakat akar rumput (grass root).
Peranan
politik hukum sebagai sarana transformasi struktur dan kultur masyarakat harus
dilakukan dengan kebijakan – kebijakan yang terarah dan terukur. Menurut C.F.G.
Sunaryati Hartono,”Tranformasi struktur dan kultur masyarakat dapat ditempuh
melalui berbagai cara dan tindakan sebagai berikut:
1. Masyarakat dibiarkan berkembang
secara alami tanpa ada campur tangan dari pihak manapun. Cara ini biasanya
memakan waktu yang sangat lama, kadang – kadang sampai beberapa abad.
2. Perubahan masyarakat secara
mendadak dan cepat (revolusioner). Transformasi masyarakat melalui cara ini
sering kali terjadi sebagai akibat peristiwa berdarah yang bertujuan
menggantikan pimpinan negara ataupun asas – asas pemerintahan secara tiba –
tiba. Kelemahan dari cara revolusioner ini ialah bahwa besar kemungkinannya masyarakat
akan mengalami set back karena perubahan itu terjadi secara mendadak. Karena
itu, diabad ke - 20 ini lebih banyak ditempuh cara yang lebih
evolusioner, yaitu:
3. Perubahan
masyarakat yang direncanakan dan diarahkan supaya perubahan masyarakat terjadi
secara bertahap dan wajar (evolusioner)”[17].
Sehungan
dengan pendapat C.F.G. Sunaryati Hartono tersebut, peranan politik
hukum pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah kebijakan pemerintah untuk
melakukan pembangunan hukum nasional dengan merencanakan dan mengarahkan
perubahan masyarakat secara bertahap dan wajar (evolusioner). Pertimbangan
konsepsi yang demikian didasarkan pada kultural masyarakat indonesia yang
sangat variatif. Oleh karena, apabila perubahan masyarakat dibiarkan secara
alami maka mungkin mengakibatkan terjadinya perkembangan ke arah yang tidak
diinginkan atau bahkan dapat mengakibatkan kemunduran dan kegagalan dalam
kebijakan pembangunan hukum nasional.
Pada
azasnya prosedur pembentukan hukum nasional Indonesia menganut civil
law system atau sistem eropa kontinental. Dalam hal yang demikian,
kaidah – kaidah hukum dirumuskan dan diformulasikan dalam bentuk peraturan
perundang – undangan terlebih dahulu oleh para pembentuk undang – undang (law
makers)baru kemudian diberlakukan dalam masyarakat setelah dimuat dalam
Lembaran Negara dan diumumkan melalui Berita Negara. Hal tersebut sangat kontradiktif
dengan common law system atau sistem anglo saxon, dimana hukum
dibuat atas dasar kebiasaan – kebiasaan dan pola – pola pergaulan hidup
masyarakat sehari – hari.
Dalam
hal ini, oleh karena tata cara pembentukan hukum atau
peraturan perundang - undangan Indonesia menganut civil
law system atau sistem eropa kontinental maka dalam proses pembentukan
hukum tersebut terdapat faktor – faktor yang dapat mempengaruhi
politik hukum pemerintah untuk membentuk hukum yang dicita – citakan (ius
constituendum) yang ideal bagi masyarakat Indonesia. Faktor – faktor
tersebut dapat diidentifikasi antara lain, adanya penetrasi kepentingan negara
– negara maju, kepentingan politik pemerintah, dan kebudayaan masyarakat.
Kenyataan tersebut menyebabkan kebijakan pembangunan hukum nasional untuk
membentuk sistem hukum ideal yang dicita – citakan tidak sesuai dengan harapan
masyarakat.
ad. 1. Penetrasi
kepentingan negara – negara maju;
Harus
diakui bahwa pengaruh negara – negara asing terutama negara – negara
maju dapat mendominasi peranan politik hukum pemerintah dalam membangun hukum
nasional Indonesia. Penetrasi(pressure) tersebut biasanya dikaitkan
dengan bantuan di bidang ekonomi, keuangan (fiskal), peralatan tempur dan
kerjasama militer dan sebagainya. Dalam hal demikian
tersebut, terjadi tawar – menawar (bargaining
position) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara maju
yang menyangkut kebijakan bidang hukum yang akan diberlakukan di Indonesia.
Kondisi
– kondisi yang ditentukan sejak Konsensus Washington
(1980) telah mendorong perubahan berbagai kebijakan di seluruh negara termasuk
prilaku pejabat publik di negara berkembang. Negara berkembang seperti
Indonesia berusaha mematuhi dan melaksanakan konsensus tersebut bukan hanya di
bidang perdagangan internasional tetapi juga dalam sektor lainnya seperti keamanan,
ketertiban dan penegakkan hukum (kamtibgakkum). Prilaku negara –
negara maju telah memasuki bidang kamtibgakkum melalui berbagai prosedur dalam
pembentukan peraturan perundang – undangan nasional di negara – negara
berkembang termasuk Indonesia. Masih jelas dalam ingatan kita ketika awal
reformasi 1998, IMF telah memaksakan pemberlakuan Undang – Undang Kepailitan
dalam versi IMF.
Prilaku
hipokrit negara – negara maju yang telah memasuki
bidang seperti keamanan, ketertiban dan
penegakkan hukum (kamtibgakkum) melalui berbagai prosedur dalam
pembentukan peraturan perundang – undangan nasional, jelas merupakan
bentuk penetrasi untuk memaksakan kepentingan – kepentingan tertentu. Sikap
hipokrit negara – negara maju sudah terbukti dalam pembentukan undang – undang
tindak pidana suap (bribery) dan tindak pidana pencucian uang.
Oleh karena itu, peranan politik hukum pemerintah dalam menerbitkan produk
perundang – undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat harus dikaji
secara mendalam dari berbagai aspek. Harus dilihat aspek kemanfaatan terbesar
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan konsep analisis ekonomi terhadap
pembentukan hukum(utilitarianisme). Konsep ekonomi dalam
pembentukan hukum (undang – undang) bertumpu pada tiga prinsip yaitu
maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi (Cooter dan Ullen).
ad. 2. Kepentingan
politik pemerintah;
Pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan sering menggunakan
hegemoninya dengan cara mempengaruhi rakyat / masyarakat dan pihak –
pihak lain menurut kehendak dan tujuan politiknya. Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan negara merupakan pihak yang memerintah (The ruler),
sedangkan rakyat / masyarakat yang berada dalam lingkup kekuasaan pemerintah
merupakan pihak yang diperintah (The ruled). “Kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah
lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga
tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang
mempunyai kekuasaan itu”[18]. Sedangkan
Robert M. MacIver memberikan batasan makna mengenai kekuasaan, yaitu“Kekuasaan
sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik
secara langsung dengan memberikan perintah, maupun secara tidak
langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia
(Social power is the capacity to control the behavior of others either directly
by fiat or indirectly by the manipulation of available means)”[19].
Pengambilan
keputusan (decision making) dalam menjalankan peranan politik
hukum pemerintah untuk membangun hukum nasional sering kali
dipengaruhi kepentingan – kepentingan yang diusung / diajukan oleh
partai politik tertentu. Terutama kepentingan – kepentingan yang
diusung atau diajukan oleh kelompok – kelompok penekan (preassure
group) yang tergabung dalam koalisi partai. Kepentingan politik
pemerintah sering kali dijadikan alasan dan pertimbangan untuk
membentuk suatu peraturan perundang – undangan. Tidak jarang kepentingan
politik tersebut bertentangan dengan syarat – syarat ideal yang harus dipenuhi
untuk sahnya keberlakuan suatu hukum atau peraturan perundang – undangan, yaitu
keberlakuan secara yuridis, keberlakuan secara filosofis dan keberlakuan secara
sosiologis. Padahal Soerjono Soekanto secara elementer mengatakan, “Masyarakat
luas secara sadar maupun tidak sadar akan beranggapan, bahwa hukum akan
berwibawa, apabila hukum tadi berlaku secara yuridis, filosofis dan sosiologis.
Pertama – tama artinya adalah, bahwa hukum tadi diperlakukan sesuai dengan
syarat – syarat yuridis. Kedua hal itu berarti, bahwa hukum tadi adalah sesuai
dengan pandangan hidup atau falsafah hidup dari masyarakat yang bersangkutan.
Dan yang terakhir, hukum tadi memang secara nyata dapat diperlakukan dan benar
– benar berlaku dalam masyarakat” [20].
Sebagai
contoh konkrit adanya kepentingan politik pemerintah dalam pembentukan
peraturan perundang – undangan yaitu dengan diundangkannya Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Menteri Agama Nomor 9 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah / Wakil
Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Substansi / materi dari
Peraturan Bersama Menteri tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai – nilai
hukum yang terkandung di dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945
sebagai tertib hukum yang tertinggi, jiwa dan semangat Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum, Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 sebagai norma
dasar (grundnorm) dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia.
Peraturan
Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Menteri Agama Nomor 9 Tahun
2006 tersebut tidak mempunyai dasar keberlakuan secara yuridis oleh karena
bertentangan denga kaidah – kaidah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam
Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia dinyatakan secara tegas bahwa hak untuk memeluk agama dan
beribadat sesuai dengan agama dan keyakinan masing – masing individu dijamin
dan dilindungi oleh undang – undang, akan tetapi dalam Peraturan Bersama
Menteri tersebut asas kebebasan beragama dan beribadat menjadi absurd dan
tidak jelas. Selain itu, Peraturan Bersama Menteri tersebut juga tidak
mempunyai keberlakuan secara sosiologis karena tidak sesuai dengan harapan –
harapan kelompok masyarakat tertentu dan dalam praktek pemberlakuannya mendapat
perlawanan dan protes yang keras dari sebagian masyarakat Indonesia. Secara
filosofis, Peraturan Bersama Menteri tersebut juga dapat mengganggu
integritas, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta dapat menjadi pemicu
konflik horisontal di kalangan masyarakat Indonesia.
Selain
itu, contoh klasik yang menarik perhatian adanya intervensi peranan politik
hukum pemerintah di bidang yudikatif berkaitan dengan putusan badan
peradilan adalah Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima permintaan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam beberapa kasus
yang telah ada, seperti putusan kasus Muchtar Pakpahan, Kasus Ram Gulumal alias
V. Ram (The Gandhi Memorial School),kasus Soetiyawati maupun kasus
Pollycarpus Budihari Priyanto, yang dapat dianggap sebagai kontroversi. Sikap
Mahkamah Agung tersebut dianggap dianggap tidak melaksanakan aturan formal atau
telah bertindak melebihi ketentuan Hukum Acara Pidana mengenai hal pengaturan
permintaan Peninjauan Pembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Mahkamah Agung disinyalir telah melanggar ketentuan
faham positivisme atauanalytical positivism atau rechtsdogmatiek yang
cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, yang bertugas untuk
mewujudkan kepastian hukum, terutama mengenai ketentuan Peninjauan
Kembali yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan sikap ambivalence dari Mahkamah Agung tersebut
masyarakat menduga adanya peranan politik hukum pemerintah yang mengintervensi
proses peradilan dalam perkara – perkara tersebut diatas.
ad. 3. Kebudayaan
masyarakat;
Keadaan
yang sangat mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia dewasa ini adalah terdapatnya keanekaragaman hukum yang berlaku di
Indonesia yang didasarkan pada pertimbangan – pertimbangan politik hukum
pemerintah terhadap daerah – daerah tertentu. Terdapat beberapa peraturan
perundang – undangan yang memberi kesan perlakuan istimewa / khusus terhadap
daerah – daerah tertentu di Indonesia, seperti; Undang – Undang Nomor 11 Tahun
2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2001 Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua, Peraturan Pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat
Papua. hal ini suatu saat akan dapat menimbulkan problematika serius, oleh
karena bukan tidak mustahil daerah – daerah lain di Indonesia pada suatu saat
menuntut perlakuan yang sama dari pemerintah. Disamping itu, ada pula
kemungkinan bahwa daerah – daerah yang telah diberikan perlakukan istimewa /
khusus tersebut, suatu saat menuntut perlakuan yang lebih dari pemerintah
pusat. Semua gejala – gejala tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi bahkan
menjadi kendala bagi penerapan azas unifikasi keberlakuan suatu
peraturan perundang – undangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Memang,
kebudayaan dan asal – usul sejarah suatu daerah harus dipertimbangkan sebagai
bagian dari politik hukum pemerintah dalam membangun hukum nasional.
Akan tetapi, sebaiknya pemerintah dalam melaksanakan peranan politik
hukumnya, membangun hukum nasional yang dapat menampung kepentingan –
kepentingan semua masyarakat tanpa memandang perbedaan
antara belakang daerah dan perbedaan antara golongan suku.
Apabila konsep latar belakang daerah dan perbedaan golongan suku dijadikan
pertimbangan mendasar oleh pemerintah dalam menjalankan peranan
politik hukumnya untuk membangun hukum nasional, hal itu berarti
bangsa Indonesia mengalami kemunduran (set back) dalam
pembangunan hukum nasional.
Latar
belakang kebudayaan, asal – usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan
suku (ethnic) tetap harus diperhatikan /
dipertimbangkan pemerintah dalam politik hukumnya, tetapi hal tersebut harus
mengalami asimilasi bentuk – bentuk hukum baru yang selaras dengan perubahan
dan perkembangan masyarakat untuk mengarah kepada tercapainya sutau tata
hukum yang berkeadilan dan dapat diterima oleh kelompok masyarakat
di luar ruang lingkup batas – batas daerah tersebut. Justeru peranan politik
hukum pemerintah jangan terjebak pada pola – pola primordial sehingga
tidak dapat membentuk sistem hukum ideal yang dicita – citakan. Sebaliknya,
akan sangat berbahaya apabila dengan alasan – alasan subjektif mempertimbangkan
kebudayaan, asal – usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan
suku, akhirnya pemerintah melakukan kekeliruan dengan membentuk sistem hukum
nasional yang bersifat diskriminatif, mengandung nuansa provokatif, tidak
mengakomodir cita – cita bangsa Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam
Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, atau bahkan bertentangan dengan prinsip –
prinsip dasar dan asas – asas umum dalam hukum yang berlaku secara universal.
Sangat
ironi apabila dengan alasan pertimbangan latar belakang kebudayaan,
asal – usul sejarah suatu daerah dan perbedaan golongan suku masyarakat
Indonesia, pada akhirnya peranan politik hukum pemerintah dalam
membangun hukum nasional indonesia bertentangan dengan ketentuan – ketentuan
dalam Universal Declaration of Human Rights, padahal negara
Indonesia telah menjadi negara peserta yang turut
meratifikasi Universal Declaration of Human Rights tersebut.
Hak – hak yang diadopsi dalam piagam tersebut yang harus dimasukkan dalam
pertimbangan politik hukum pemerintah untuk membangun hukum nasional, antara
lain; hak hidup, hak kebebasan, hak keamanan pribadi, kebebasan berpikir,
kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan dari rasa takut dan
kesengsaraan dan sebagainya. Negara Indonesia juga telah menjadi negara peserta
yang turut meratifikasi Internasional Bill of Human Rights, yang
meliputi: 1) Universal Declaration of Human Rights, 2) Internasional
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 3) International
Covenant on Civil and Political Rights and Optional Protocol for The
Covenant on Civil and Political rights.
BAB
III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
- Orientasi
pembangunan hukum harus tetap mencerminkan / merefleksikan kehendak untuk terus
menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil
dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan
penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang – Undang Dasar 1945.
- Pedoman
politik pemerintah Hindia Belanda di Indonesia pada waktu dahulu didasarkan
pada Wet op de staatsinrichting van Ned – Indie, khususnya yang
termaktub dalam pasal 131 jo. pasal 163Indische Staatsregeling Stb.
1854 (sebelum itu pasal 75Regeringsreglement).
- Landasan
atau dasar – dasar pokok kebijakan hukum nasional pada era Orde Baru, tercantum
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI)
IV / 1973 Tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta juga
dirumuskan dalam REPELITA II BAB 27 Tentang Hukum.
- Pada
era Reformasi sekarang ini, sama sekali tidak ada konsep yang jelas mengenai
pedoman arah dan tujuan pembangunan hukum nasional. Bahkan terdapat
kecenderungan adanya peraturan perundang – undangan produk lembaga eksekutif (pemerintah)
dan lembaga legeslatif (Dewan Perwakilan Rakyat) yang tidak mencerminkan
semangat reflormasi dan nilai – nilai demokrasi yang bersifat universal.
- Undang
– Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pembangunan Hukum Nasional (Propenas)
Tahun 2000 – 2004, sebagai penjabaran dari Garis – Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) 1999 – 2004, sama sekali tidak memberikan arah dan tujuan yang jelas
mengenai pembangunan hukum nasional. Propenas hanya memberi
gambaran secara umum mengenai upaya mewujudkan Supremasi Hukum dan
Pemerintahan yang Baik.
- Agar
program pembangunan hukum nasional Indonesia dapat mencapai sasaran
maka politik hukum pemerintah harus memperhatikan stabilitas dalam segala
bidang yang berhubungan dengan kepentingan nasional dan internasional yang
diselaraskan dengan unsur – unsur agama, kebudayaan dan adat – istiadat
masyarakat Indonesia, sehingga kepentingan – kepentingan pokok warga masyarakat
terpenuhi.
- Peranan
politik hukum pemerintah untuk membangun hukum nasional yang ideal sesuai
dengan ekspektasi masyarakat sangat penting dan mendesak untuk segera
diimplementasikan karena sampai saat ini masih banyak peraturan perundang –
undangan yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, dan
terdapat pula peraturan perundang – undangan yang keberlakukannya bertentangan
secara yuridis, filosofis, dan sosiologis.
2. SARAN – SARAN
- Peranan
politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional harus diarahkan dan
dapat mengakomodir jiwa, semangat dan nilai – nilai luhur dari Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum, serta harus b erorientasi pada cita –
cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar
1945.
- Pembangunan
hukum nasional yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang – undangan
harus bersifat non – diskriminatif, mempertimbangkan hak – hak
mendasar (fundamental rights) serta kepentingan – kepentingan
seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
- Konsentrasi
peranan politik hukum pemerintah dewasa ini sebaiknya lebih diarahkan kepada
pembangunan hukum nasional yang berwawasan nusantara, menumbuh-kembangkan
semangat kebangsaan (nasionalisme), mencegah timbulnya konflik horosontal dan
bahaya disintegrasi bangsa.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
(Bibliografi)
Sunaryati
Hartono, C.F.G. Bhineka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi
Pembangunan Hukum Nasional. Bandung (Penerbit:PT.
Citra Aditya Bakti) Tahun 2006.
Abdul Manan, H. Bahan
Kuliah Politik Hukum. Jakarta (UniversitasJayabaya) Tahun 2012.
M.S., Kaelan. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta (Penerbit:Paradigma) Tahun 2008.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR – RI ) IV / 1973 Tentang Garis –
Garis Besar Haluan Negara.
Budiardjo, Miriam. Dasar
– Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama)
Tahun 2000.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep
– Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung (Penerbit: PT. Alumni)
Tahun 2006.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono
Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni) Tahun 1980.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono
Soekanto. Perundang – Undangan dan Yurisprudensi. Bandung
(Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti) Tahun 1993.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono
Soekanto. Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung (Penerbit:
Alumni) Tahun 1979.
Soekanto, Soerjono. Kegunaan
Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni)
Tahun 1979
-----------. Pokok –
Pokok Sosiologi Hukum.Jakarta (Penerbit: CV.
Rajawali) Tahun 1980.
.
Subekti. Pokok – Pokok Hukum
Perdata. Jakarta (Penerbit: PT. Intermasa) Tahun 1994.
[3] Soerjono
Soekanto. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni, 1979) Halaman 26.
[4] Soerjono
Soekanto. Pokok – Pokok Sosiologi Hukum.Jakarta (Penerbit: CV.
Rajawali, 1980) halaman 45.
[8] Purnadi
Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni, 1980) Halaman 5.
[11] Purnadi
Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum.
Bandung (Penerbit: Alumni, 1979) Halaman 28.
[14] Purnadi
Purbacaraka Soerjono Soekanto. Perundang – Undangan dan Yurisprudensi.
Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti, 1993) Halaman 11 – 12.
[15] Soerjono
Soekanto. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni, 1979) Halaman 27.
[16] Mochtar
Kusumaatmadja. Konsep – Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung (Penerbit: PT.
Alumni, 2006) Halaman 188.
[17] C.F.G. Sunaryati Hartono. Bhineka
Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan Hukum Nasional. Bandung
(Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti, 2006) Halaman 26 – 27.
[18] Miriam
Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000) Halaman 35.
[20] Soerjono
Soekanto. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung
(Penerbit: Alumni, 1979) Halaman 69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA