Subscribe
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Agama
Hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-ajaranya bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan
Yang Maha Esa. Bila seseorang secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang
bersumber pada sabda suci Tuhan Yang Maha Esa itu, maka akan diperoleh
ketentraman dan kebahagiaan hidup yang sejati yang disebut “Moksatam
jagadhita ya ca iti dharma”(Titib, 2003 :2).
Upacara
manusa Yadnya merupakan suatu persembahan yang tulus iklas atau
suci, untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia, mulai dari
dalam kandungan sampai akhir hidup manusia. Dengan perkataan lain bahwa upacara
Manusa Yadnya adalah korban suci yang tulus iklas untuk keselamatan keturunan
serta serta unutk kesejahtraan manusia lainnya, dengan dana puna serta usaha
kesejahtraan lainnya yang ditunjukkan untuk kesempurnaan hidup manusia.
(Girinata.2009:130)
Tujuan
upacara Manusa Yadnya untuk kesucian diri manusai. Serta diharapakan
melalui pelaksanaan upacara Manusa Yadnya dapat mencapai kesucian lahir dan
batin. Serta apabila kesucian diri dapat dicapai maka ketenangan dan kenyaman
hidup yang berupa kesejahtraan dan kebahagiaan dapat diwujudkan. Jadi pemaknaan
dari suatu tujuan pelaksaan upacara dan upakara agar tidak terlewatkan secara
sia-sia, maka harus dimaknai dan di jaga kesucian diri lahir maupun batin, yang
akan memberikan dampak pada kehidupan.
Terdapat
bermacam-macam jenis upacara Manusa Yadnya. Karena upacara Manusa Yadnya
yang paling banyak dilakukan dalam Panca Yadnya, yang menyangkut upacara
dari manusia dalam kandungan hingga tua ada upacaranya. Dan upacaranya tidak
sama satu dengan yang lainnya, begitu pula dengan desa kala patra
maasing-masing Daerah, yang berbeda-beda upakaranya namun memiliki tujuan yang
sama, hanya saja prosesi dan upakara yang digunakan berbeda-beda.
Upacara
Manusa Yadnya menyangkut mulai dari upacara
magedong-gedongan (bayi dalam kandungan), upacara bayi lahir, upacara
kepus pengsed, upacara nelepas Hawon/ upacara 12 hari, upacara tutug
kekambuhan, upacara tiga bulanan atau nyambutin, upacara satu oton, upacara
tumbuh gigi, upacara munggah deha, upacara mapandes (upacara ptong gigi),
upacara wiwaha (upacara perkawinan). (PHDI, 2001:53).
Upacara
perkawinan merupakan upacara yang paling akhir urutanya dari upacara dalam
kandungan, manusia lahir, hingga dewasa. Dalam upacara perkawinan tidak hanya
ada satu jenis perkawinan, namun ada banyak jenis perkawinan.
Begitupula dengan sistem perkawinannya. Di Bali saja tiadak semua setiap
Daerah, masing-masing tidak sama prosesi dan upakara yang
digunakan sesuai dengan tradisi dari masing-masing Daerah.
Perkawinan
merupakan memepersatukan dua insan laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami
istri, yang diatur dalam hukum adat/agama dan UUD. Dengan tujuan
membentuk rumah tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia. Perkwinan bukan
semata-mata hanya sebagai melampiaskan nafsu birahi, namun bertanggung jawab
atas anak-anak, memberikan nafkah, pendidikan dan yang lainnya agar mampu
membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia. Dalam Manawa Dharmasastra
tentang perkawinan diatur dalam sloka
Brahmo
daiwastathaiwarsah
Prajapatyastathasurah
Gandharwo
raksasaccaiwa
Paicacacca
astamo’dhama
(MDS.III.21)
Terjemahan
Macam-macam
cara itu ialah: Brahmana Daiwa, Rsi (Arsa), Prajapati, Asura,Gandharwa,
Raksasa, dan Paisaca (Pisaca).
Kutipan
sloka diatas menguraikan tentang macam-macam perkawinan yang tercantum dalam
Manawadharmasastra, mulai dari Brahmana, Daiwa, Rsi, Prajapati, Asura, Gandara,
Raksasa dan Paisaca. Dari perkawinan yang terpuji seperti
brahmana, daiwa, rsi, dan prajapati. Yang terlarang yaitu raksasa dan paisaca.
Seyogyanya dapat menjalankan perkawinan yang terpuji.
Terjemhan
sloka Manawa Dharmasastra, menguraikan tentang macam-macam perkawinan yang ada.
Kutipan sloka Manawa Dhrmasastra sebagi cerminan dalam nantinya akan melakukan
perkawinan agar menghindari beberapa jenis perkawinan yang tercela dan merusak
moral. Hendaknya dapat memilih dan mampu menjalankan jenis perkwinan dari
kutipan sloka Manawa Dharmasastra yang terpuji serta terhormat. Dan menghindari
perkawinan seperti, Raksasa Wiwaha.
Jenis atau
macam perkawinan yang digunakan akan memberikan dampak kepada keluarga. Jika
dalam perkawinan itu tidak didasrkan atas cinta yang tulus dan restu dari kedua
belah pihak maka niscaya perkawinan itu tidak akan langgeng dan tidak bahagia.
Agar perkawinan itu langgeng dan bahagia haruslah berdasrkan ajaran
Agama, mendapatkan restu dari kedua belah pihak, saling menciatai. Serta
sesui dengan peraturan UU. Karena ada beberapa larangan perkawinan dalam UU.
Larangan
perkawinan diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 8 dimuat :
pertama , berhubungan darah daalm garis keturunan lurus keatas ke bawah
(vertikal), seperti kawin dengan ayah/ibu, kakek/nenek, anak, dan sebagainya.
Kedua: hubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping (horizontal),
seperti kawin dengan saudara ayah/ibu, saudara kakek/nenek, saudara kandung dan
lain-lain. Ketiga: berhubungan samenda, umpama dengan mertua, menantu, anak
tiri, ibu/ayah tiri. Keempat: berhubungan susuan, kelima: saudara
dengan istri atau yang lainnya. serta yang terahir diatur tentang bagi mereka
yang memiliki istri lebih dari satu. (Girinata.2009:144)
Tujuan
perkawinan untuk memproleh keturunan yang suputra yaitu anak hormat pada
orangtua, cinta kasih terhdap sesame dan berbhakti kepada Tuhan, perkawinan
sebagai yadnya. (Anom.2010:5). Tidak hanya untuk memproleh keturunan melainkan
membangun rumah tangga dan membentuk keluarga agar mendaptkan pendamping hidup
yang nantinyaa diajak berbagi suka maupun duka serta mempererat tali
persaudaraan.
Perkawinan
banyak sistem, macam, upacara, upakara serta prosesinya yang bereda-beda. Yang
mengundang rasa ingin tahu penulis untuk meneliti tentang perkawinan. Maka dari
itu dalam proposal ini penulis meneliti tentang perkawinana. Karena perkawinan
, tidak sekedar mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam pelaminan, namun
dalam perkawinan ada unsur sakral yang berkaitan dengan tradisi dan kepercayaan
turun temurun serta berpedoman pada agama dan UU yang mengatur tentang
perkawinan
Seiring
perkembangan agama Hindu di bali, ajaran agama Hindu tersebut dituntut untuk
selalu fleksibel mengikuti kehidupan masyarakat di bali, begitu juga untuk cara
pernikahannya.
Manusia
yang dilahirkan ke dunia, sebagai makhluk yang memiliki akal, budhi, dan manah
agar dapat menolong dirinya sendiri dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Dari sisi lain dinyatakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah, karena
memiliki kemampuan yang terbatas, oleh sebab itu maka manusia itu sendiri akan
selalu memohon perlindungan kehadapan Sang Pencipta.
Demikian
juga manusia adalah makhluk sosial arena itu tidak akan bisa hidup sendiri
tanpa bantuan makhluk atau manusia yang lain. Dengan adanya kenyataan inilah
manusia tersebut membentuk suatu masyarakat, agar mempunyai tempat untuk dapat
melaksanakan pergaulan mencari pengalaman dan pendidikan untuk meningkatkan
dirinya dari kebodohan menuju tingkat intelektualitas yang lebih tinggi.
Pada
desa Mlancu, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur terdapat sebuah
kampung Hindu. Desa Mlancu terbagi menjadi 5
dusun yaitu Dusun Kwaringan, Slumbung, Mlancu, Celeb dan Mloyo. Desa
Mlancu memiliki luas 769,710 ha yang terbagi antara lahan milik masyarakat desa
dan pemerintah, meliputi sawah 175,780 ha, tegal 377,555 ha, pekarangan 203,185
ha, dan bengkok 13,19 ha.
Masyarakat Desa Mlancu berjumlah 4896 jiwa pada tahun
2010 yang terbagi menjadi 1531 kepala keluarga. Masyarakat Desa Mlancu menganut
tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Antara umat beragama menjalin
kerukunan dan hidup berdampingan dengan baik. Hal ini terbukti dengan
terdapatnya tempat peribadatan yang berhadapan antara Masjid, Pura dan Gereja
akan tetapi tidak terdapat perselisihan antar umat beragama dan 177 dari jumlah
KK tersebut menganut Agama Hindu.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah yang dicari adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
sistem pernikahan, pewarisan dan perceraian dalam tradisi upacara pernikahan di
Desa Mlacu, Kecamatan
Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur ?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang
di cari adalah sebagai berikut :
1. Agar
penulis mengetahui bagaimana pernikahan di desa Mlancu, Kecamatan Kandangan,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur dilaksanakannya seperti apa.
2. Agar
penulis mengetahui pandangan masyarakat hindu di bali tentang makna dari
tradisi pernikahan di desa Mlancu, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa
Timur dilakukan.
3. Agar
penulis mengetahui bagaimana sistem perkawinan di desa Mlancu, Kecamatan
Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur dilakukan.
1.4.
Manfaan Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang di
peroleh oleh penulis antara lain :
1. Manfaat
Teoritis
Penulis berharap melalui penelitian
ini dapat memberi sumbangsih pengetahun baru tentang sistem pernikahan di desa
Mlancu, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur
2. Manfaat
Praktis
1) Bagi
Penulis
Menambah wawasan
penulis mengenai sistem dan tata cara /adat pernikahan di Menambah wawasan penulis
mengenai wacana nilai pendidikan khususnya pendidikan Islam, untuk selanjutnya
dijadikan sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku, untuk selanjutnya
dijadikan sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku.
2) Bagi
Kampus
Sebagai masukan
yang membangun guna meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Kampus, termasuk
para pendidik yang ada di dalamnya, dan penentu kebijakan dalam lembaga
pendidikannya,
3) Bagi
Ilmu Pengetahuan
Berguna untuk menambah informasi
serta pengetahuan yang mengkhusus tentang sistem pernikahan di desa Mlancu,
Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1. Subjek Penelitian
2.1.1.
Tempat
Penelitian
Pada desa
Mlancu, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur terdapat sebuah
kampung Hindu. Desa Mlancu terbagi menjadi 5
dusun yaitu Dusun Kwaringan, Slumbung, Mlancu, Celeb dan Mloyo. Desa
Mlancu memiliki luas 769,710 ha yang terbagi antara lahan milik masyarakat desa
dan pemerintah, meliputi sawah 175,780 ha, tegal 377,555 ha, pekarangan 203,185
ha, dan bengkok 13,19 ha.
Masyarakat
Desa Mlancu berjumlah 4896 jiwa pada tahun 2010 yang terbagi menjadi 1531
kepala keluarga. Masyarakat Desa Mlancu menganut tiga agama, yaitu Islam,
Kristen dan Hindu. Antara umat beragama menjalin kerukunan dan hidup
berdampingan dengan baik. Hal ini terbukti dengan terdapatnya tempat
peribadatan yang berhadapan antara Masjid, Pura dan Gereja akan tetapi tidak
terdapat perselisihan antar umat beragama dan 177 dari jumlah KK tersebut
menganut Agama Hindu. Dari jumlah 177 KK tersebut terdapa 777 jiwa di dalamnya.
2.1.2.
Sumber Data
Berdarkan data yang telah terkumpul, penulis berterimakasih
kepada semua narasumber yang telah memberikan informasinya dengan detai dan
lumayan akurat, meskipun di haruskan melakukan peninjauan kembali agar
memperoleh informasi yang lebih detail dan sangat akurat
2.1.2.1. Sumber Data
Primer
Dalam kasus ini penulis belum dapat mendapatkan informasi
langsung mengenai pernikahan di desa Mlancu ini. Keterbatasan waktu dan memang
tidak ada kegiatan langsung, menjadi kendala penulis memperoleh informasi lebih
tentang Adat Pernikahan di Desa Mlancu ini
2.1.2.2. Sumber Data
Sekunder
Melalui proses responden / wawancara tatap muka, Penulis
berhasil menggali informasi yang lumayan padat tentang masalah pernikahan di
desa Mlancu ini bersama 2 (dua) narasumber yang pernah dan masih bertugas
langsung untuk melaksanakan pernikahan di desa Mlancu ini.
1. Nama
: Pak Yitno
Alamat
: Dusun Bangkalan /
Kewaringan, Desa melancu
No
Tlp. : 081 259 044 489
Jabatan : Pengurus Pernikahan
2. Nama : Pak Rusdi
Alamat : Dusun Melancu Desa Mlancu
Jabatan : Kelihan Desa (Penasihat Desa)
2.2. Alasan Penelitian
Alasan
penulis mengambil subjek dan tema tersebut adalah karena penulis menyadari
pentingnya pernikahan apalagi di satu sisi berbicara dalam konteks pernikahan
hindu di luar bali.
2.3.
Metode Pengumpulan Data
Metode
yang digunakan penulis dalam pengumpulan data, adalah dengan cara wawancara
tatap muka dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah dibuat dan di dekam
/ di dokumentasikan menggunakan Recorder dan Camera
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi Hasil Penelitian Tentang
Sistem Pernikahan Desa Mlancu
Berdasarkan data
yang di temukan di lapangan sistem pernikahan di desa Mlancu, Kecamatan
Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur masih terbilang cukup sederhana dan
jauh dari cara pernikahan yang dilakukan di Bali. Pengetahuan serta informasi
yang kurang serta kurangnya sosialisai tentang makna dari sarana prasarana yang
dibutuhkan menjadi penyebab berbedanya adat pernikahan desa Mlancu ini jauh
dari apa yang diajarkan di dalam kitab-kitab dan sastra agama hindu. Pernikahan
di desa Mlancu, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur masih
bercampur dengan pernikahan agama Islam yang cendrung tidak terlalu memerlukan
sarana dan prasarana yang terlalu banyak. Hal ini menjadi salah satu alasan
mengapa tata cara pernikahan di desa Mlancu
Desa
Mlancu terletak di Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Masyarakat Desa Mlancu berjumlah 4896 jiwa pada tahun
2010 yang terbagi menjadi 1531 kepala keluarga. Masyarakat Desa Mlancu menganut
tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Antara umat beragama menjalin
kerukunan dan hidup berdampingan dengan baik. Hal ini terbukti dengan
terdapatnya tempat peribadatan yang berhadapan antara Masjid, Pura dan Gereja
akan tetapi tidak terdapat perselisihan antar umat beragama dan 177 dari jumlah
KK tersebut menganut Agama Hindu dan terdapat 777 jiwa di dalamnya
Perbedaan mayoritas inilah penyebab percampuran budaya
yang salah satunya adalah budaya pernikahan ini .
3.2.
Syarat-Syarat Penikahan Di Desa Mlancu
·
KTP/Surat keterangan masing-masing
mempelai
·
KK/Surat Keterangan masing-masing
mempelai
·
Akta Kelahiran/Surat Keterangan
masing-masing mempelai
·
Surat Keterangan Pawidi Widana (dari
catatan sipil harus ada Upacara dulu baru di keluarkannya belangko yang bernama
Pawidi Widana)
·
Untuk pihak laki-laki maupun perempuan
ada keluarganya yang meninggal, diwajibkan mencari Surat Keterangan
Kematian (menggunakan Wali dari pihak
keluarga)
·
Mengajak saksi 2 orang (pihak laki-laki
1 dan perempuan 1)
·
Untuk mencari akta pernikahan di perlukan
persyaratan KTP Saksi saat pernikahan
3.3.
Upacara Pernikahan dan Sarana Pernikahan Hindu Di Desa
Mlancu
Adapun informasi yang di dapatkan di desa Mlancu ini
tentang adat pernikahan di desa Mlancu adalah :
1. Proses Lamaran
Hal pertama yang dilakukan dalam proses pernikahan di
desa Mlancu tidak jauh beda dengan proses pernikahan pada umumnya. Pihak
laki-laki dating ke tempat pihak perempuan untuk melamar pihak perempuan. Proses
lamaran bertujuan untuk mempertemukan kedua keluarga untuk saling membicarakan tentang
anaknya masing-masing dan selanjutnya menunggu keputusan dari pihak perempuan.
2. Pihak Perempuan Datang ke Pihak Laki-laki
Tujuan pihak perempuan datang ke pihak laki-laki untuk
membicarakan sistematika pernikahannya dan dengan membawa hari penentuan
pernikahan. Jadi adat desa mlancu ini pihak perempuanlah yang menentukan hari
baik untuk pelaksanaan pernikahan.
3. Pemberitahuan Kepada Ketua RT dan Adat Desa Mlancu
Dalam pelaksanaan pernikahan harus ada saksi dari
dinas terkait di dalamnya yang berperan sebagai saksi dan mencatat di Catatan
Sipil bahwasannya telah terjadi pernikahan di daerah tersebut.
4. Pemberitahuan Kepada Pemangku Adat Yang Bertugas Di
Kecamatan Kandangan.
Perlu di ketahui di kecamatan Kandangan terdapat 12 Desa
dan ada 4 pemangku yang bertugas untuk melaksanakan pernikahan. Masing-masing
pemangku bertugas/memegang 3 desa. Tetapi menurut narasumber di desa Mlancu
hanya ada 2 pemangku saja yang masih aktif untuk melangsungkan pernikahan
karena itulah PHDI daerah Mlancu menerbitkan aturan baru, yakni setiap pemangku
yang bertugas di desa masing-masing dapat memimpin / melaksanakan upacara
pernikahan, karena melihat sangat luasnya daerah kecamatan kandangan.
5. Upacara Pernikahan
Dalam upacara pernikahan ini bisa dilaksanakan di
tempat wanita, dalam pelaksanaan nya di dahului dengan upacara penatapan
bebantenan atau sarana banten yang di siapkan untuk upacara pernikahan.
Walaupun terjadinya pernikahan di pihak perempuan, tetapi saat pembuatan Kartu
Keluarga tetap berada di keluarga laki-laki.
6. Resepsi
Setelah dilaksanakan pernikahan, selanjutnya tidak
jauh beda dengan yang ada di Bali, yakni dilangsungkannya pesta penyambutan
pernikahan / Resepsi pernikahan sebagai sambutan untuk mengawali hidup baru
Pada dasarnya di desa Mlancu tidak terlalu
mempermasalahkan tentang permasalahan Purusa dan Pradana seperti di Bali.
Menurut narasumber yang di temui “permasalahan Purusa dan Pradana seperti yang
sodara-sodara kita di bali jalankan, agak sulit diterapkan karena agama Hindu
di Mlancu ini termasuk baru, dan kebanyakan bercampur dengan budaya muslim,
kurangnya sosialisasi dan keadaan keluarga di desa Mlancu ini menjadi salah
satu faktor penyebab lambatnya kemajuan dan berkembangnya Agama Hindu di Desa
Mlancu ini”
Menurut informasi yang di peroleh, di Desa Mlancu
terdapat 9 Pemangku adat yang dapat menihkahkan pasangan, antara lain :
·
Pak Bakalan
·
Pak rudi
·
Pak woko
·
Pak eko
·
Pak Sudiri
·
Pak Sudik
·
Pak Is
·
Pak Sutris
·
Pak Parman
Dalam kasus pernikahan, di Kecamatan
Kandangan telah beberapa kali di laksanakan pernikahan masal. Peserta
pernikahan masal ini biasanya terdiri dari para lansia yang terganjal
pernikahannya karena alasan-alasan tertentu, seperti : kekurangan dana, tidak ada
restu, serta kekurangan surat-surat untuk melaksanakan pernikahan. Kebanyakan
dari peserta tersebut telah tinggal bersama bertahun-tahun (Kumpul Kebo) dan
mempunyai anak bahkan cucu, ada juga yang sampai wafat/meninggal dunia belum
melaksanakan pernikahan. Pemerintah Kab. Kediri sangat mendukung acara
pernikahan masal tersebut, dikarenakan banyak sekali kepentingan-kepentingan
yang harus menyertakan KK serta Akta dan lain-lainnya untuk memperoleh
tunjangan sosial dari Negara. Pemerintah juga menyayangkan kepada masyarakat
yang masih kurang peduli tentang mengurus pernikahan, karena akan berdampak
pada keturunannya.
3.4.
Sistem Pewarisan Hindu Di Desa Mlancu
Seperti yang kita ketahui, di Indonesia ada terdapat
beberapa sistem pewarisan, yakni ;
1.
Sistem Keturunan
Secara teoritis sistem keturunan ini dapat dibedakan
dalam tiga corak:
a)
Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita di dalam pewarisan.
b)
Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan pria didalam pewarisan.
c)
Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan
yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu),
dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.
2.
Sistem Pewarisan Individual
Sistem pewarisan individual atau
perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagain
untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya
masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing
waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan,
dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat,
tetangga ataupun orang lain. Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku di
kalangan masyarakat adat Jawa dan Batak.
3.
Sistem Pewarisan Kolektip
Sistem pewarisan dimana harta
peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari pewaris kepada waris
sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan
setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasi dari
harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan
masing-masing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua
anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabat.
Sistem kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang juga
di tanah Batak atau di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.
4.
Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat
sesunggunhnya adalah juga merupakan sistem pewarisan kolektif, hanya penerusan
dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan
kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala
keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam
dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut, yaitu:
a.
Mayorat laki-laki, seperti berlaku di lingkungan
masyarakat Lampung, terutama yang beradat pepadun, atau juga berlaku
sebagaimana di Teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura Papua.
b.
Mayorat perempuan, seperti berlaku di lingkungan
masyarakat ada semendo di Sumater Selatan.
Berbicara tentang sistem perkawinan tidak lepas dengan
adanya sistem pewarisan berbicara tentang pewarisan Hindu yang kita kenal di Bali
yang Patrilinial yakni mengikuti keturunan Ayah, di desa Mlancu ini menggunakan
sistem Matrilinial yakni mengikuti keturunan Ayah maupun Ibu yang berarti
Laki-laki maupun Perempuan dapat mewaris, seperti yang di kemukakan sebelumnya
akibat masyarakat yang heterogen mengakibatkan percampuran budaya yang
membangun antar masyarakat di desa Mlancu, Kecamatan Kandangan,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur, harta yang di wariskanpun hanya harta yang di
peroleh saat melangsungkan pernikahan saja (harta gonogini). Mengingat
laki-laki maupun dapat mewaris di desa Mlancu ini, tidak heran jika saat
melangsungkan pernikahan masing-masing pihak telah di berikan bekal / harta
bawaan untuk melangsungkan pernikahannya. Harta bawaan ini dapat di jadikan
harta warisan / harta gonogini jika telah terjadi kesepakatan sebelum
pernikahannya dahulu.
3.5.
Sistem Perceraian Hindu Di Desa Mlancu
Dalam
pernikahan, perceraian merupakan suatu peristiwa yang kadang tidak dapat
dihindarkan oleh pasangan menikah, baik mereka yang baru saja menikah atau
mereka yang sudah lama menikah. Perceraian merupakan salah satu sebab putusnya
ikatan perkawinan di luar sebab lain yaitu kematian dan atau atas putusan
pengadilan seperti yang terdapat di dalam Pasal 38 UU Perkawinan. Dalam hal
perceraian dapat dilakukan dan diputuskan apabila memiliki alasan-alasan, baik
dari pihak suami maupun istri.
Saat
berproses atau berperkara di pengadilan, baik itu di Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negeri, sangat disarankan pihak penggugat dan pihak tergugat dapat
didampingi oleh advokat (pengacara). Advokat selain dapat mendampingi para
pihak yang beracara, ia juga dapat menjembatani dialog antara para pihak yang
akan bercerai terkait dengan kesepakatan-kesepakatan, seperti harta gono gini,
tunjangan hidup, hak asuh anak, dan hal-hal penting lainnya.
Dasar
hukum proses perceraian di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Berdasarkan UU
tersebut, dimungkinkan salah satu pihak, yaitu suami atau istri melakukan
gugatan perceraian.
Berbeda
halnya dengan perceraian secara Adat/Agama. Di Desa Mlancu ini jika sudah tidak
merasa cocok dengan pasangannya. Salah satu pihak langsung kembali ke keluarga
asalnya. Tanpa melakukan upacara seperti halnya saat melangsungkan pernikahan.
Mungkin inilah juga salah satu penyebab dimana kurangnya pengetahuan tentang
pemahaman Purusan dan Pradana. Biasanya jika salah satu keluarga ingin
melakukan perceraian hal pertama yang dilakukan adalah melapor kepada Catatan
sipil Dan Ketua RT/ yang berwajib setempat untuk perceraian secara
resmi/nasional. Sedangkan untuk secara agama tidak ada melaksanakan upacara
apapun. Dengan kata lain jika sudah mendapatkan akta cerai maka di anggap sudah
tidak ada hubungan apapun lagi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Perkawinan merupakan memepersatukan dua insan laki-laki dan
perempuan dalam ikatan suami istri, yang diatur dalam hukum adat/agama dan
UUD. Dengan tujuan membentuk rumah tangga atau keluarga yang kekal
dan bahagia. Perkwinan bukan semata-mata hanya sebagai melampiaskan nafsu
birahi, namun bertanggung jawab atas anak-anak, memberikan nafkah, pendidikan
dan yang lainnya agar mampu membangun rumah tangga yang kekal dan bahagia. Di
samping itu menurut Agama Hindu, dengan kita mengikuti anjuran-anjuran yang ada
di kitab-kitab dan sastra-sastra dapat mewujudkan keturunan yang suputra.
Berbeda halnya dengan umat Hindu di Desa Mlancu, disana
masyarakat Hindunya dengan melangsungkan pernikahan yang lumayan jauh berbeda
dari apa yang ada dan diperlukan pada sastra-satsra dan Kitab-kitab suci yang
menerangkan tentang tata cara pernikahan menurut Hindu, tetapi kebanyakan
masyarakat disana hidup dalam kebahagian dalam keluarganya masing-masing dan
mempunyai anak yang suputra walaupun saat menikah tidak mengikuti semua anjuran
yang ada dalam sastra-sastra maupun kitab suci. Itu membuktikan bahwa segala
sesuatu yang di awali dengan niat baik akan menghasilkan hal yang baik pula.
4.2. Saran
Adapun
saran yang bisa penulis berikan, antara lain :
1) Kurangnya sosialisasi tentang tata
cara pernikahan hindu yang benar di desa melacu merupakan factor yang
berpengaruh dalam perkembangan agama Hindu di desa Mlancu, diharapkan adanya
pembahasan yang menyeluruh dari PHDI di bali dengan PHDI di Jawa Timur untuk membahas
tentang sosialisasi tentang system pernikahan Hindu yang benar. Agar
terciptanya ajaran yang sama menurut Kitab suci.
2) Diperlukannya studi lebih lanjut
untuk mensosialisasikan tata cara perkawinan sampai dengan pewarisan serta
perceraian agar tidak terjadi paham sama agama beda panutana.
DAFTAR PUSTAKA
Anom, Ida Bagus. 2010. Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu.
Denpasara: CV Kayu Mas Agung.
Artadi, I Ketut. 2011. Kebudayaan Spritual Nilai
Makna dan Martabat Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh dan Jiwa. Denpaasar:
Pusat Bali Posto
Astuti Artawi.2008. Upacara Sadampati dalam Sistem
Perkawinan Hindu. Skripsi IHDN: Denpasar
Bangli,
I B. 2005. Mutira Dalam Budaya Hindu. Surabaya:
Paramitha.
Girinata,
I Made. 2009. Acara Agama Hindu 1. Denpasar : IHDN
Gunawan,
Pasek I Ketut. 2012. Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Denpasar: IHDN
Ida Pandita, Mpu Wijaya Nanda. 2005. Tatanan
Upakaran Lan Upacara Manusa Yadnya. Surabaya: Paramitha
Karni, 2004, Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali
Setelah Berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Skripsi
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi
Pokok-Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta
Kusuma, Sri Ananda. 2009. Aum Upacara Yadnya.
Denpasar: CV Kayu Mas
PHDI. 1996. “Panca Yadnya”. Denpasar: Proyek
peningkatan sarana dan prasarana kehidupan beragama.
Jones Pip. 2010. Pengantar Teori-teori Sosial. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Pudja G, Rai Sudharta Tjokorda. 2003. Manawa
Dharmasastra. Jakarta: Pustaka Mitra Jaya.
Ramiati, 2006. Tradisi Naur Kelaci dalam Upacara Perkawinan
di Desa Adat Munduk Lumnang Baturiti Tabanan.
Satori, Djam’an. Komariah, Aan. 2011.
Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta
Sujaelanti Arthayasa I Ketut, Suneli Yeti Ketut.1998. Petunjuk
Teknis Perkawinan Hindu. Surabaya: Paramitha.
Sukajaya. 2008. Kala Badeg Dalam Upacara Perkawinan di Desa
Pakraman Karang Suung Kelod Peninjauan Tembuku Bangli. Skripsi. IHDN: Denpasar
DAFTAR
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA