Subscribe
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam perjalanan sejarah Peradilan Militer telah banyak
mengalami perubahan-perubahan, namun di Era Reformasi telah pula terjadi
pergesaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam teori atau filsafat hukum, agar hukum
ditaati, (maksudnya) ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku
secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena
peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan
yang baik harus mengandung ketiga unsur tersebut
TNI sebagai Wadah pengabdian, pengalaman perjuangan
kemerdekaan Indonesia telah timbul keyakinan yang kuat tentang hakikat
pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg) yaitu perlawanan rakyat semesta,
yang dilaksanakan dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta
(Sishankamrata) dimana TNI sebagai angkatan perang terdiri dari Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), yang menjadi komponen utama
kekuatan Hankamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan Hamkamneg.
Sishankamrata dibina sebagai kekuatan siap yang relatif kecil namun efektif dan
efesien, serta memiliki mobilisasi yang tinggi dan kekuatan cadangan yang
cukup.
Sejarah Perjuangan bangsa ini pulalah yang melahirkan
patriot putra-putra bangsa. Berperang mengusir penjajah dengan gagah perkasa
dalam gabungan kesatria-kesatria dengan laskar pejuang-pejuang lainnya walau
dengan persenjataan yang amat sederhana, terkenal dengan bambu runcingnya
melawan meriam dan mortir belanda. Dari laskar pejuang yang berubah menjadi
BKR, TKR, TRI, TNI inilah penjelmaan rakyat Indonesia dalam perjuangan menjadi
tradisi bangsa manunggal TNI dengan rakyat. Dari pengalaman perjuangan yang
panjang TNI sebagai penjelmaan seluruh rakyat mampunyai tugas dan fungsi sebagai
penegak kedaulatan
Distorsi militer pada masa orde baru dengan rezim yang
sangat kuat tidak terlepas dari pendelegasian kewenangan TNI sebagai penegak
kedaulatan dan sebagai kekuatan pertahanan keamanan. Peradilan Militer dalam
masa periode tahun 1966 sampai dengan tahun 1998 sebagai awal reformasi, pada
masa tersebut TNI telah begitu kuat dan disebut rezim militer yang dinamakan
Orde Baru. Hal ini harus diakui merupakan distrorsi yakni kekuatan politik yang
dominan tanpa tantangan yang berarti dari kekuatan politik sipil terhadap
otoritasnya. Kesalahan orde baru ini disebut rezim militer, terutama dalam
bidang kekaryaan, yang dapat melahirkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Negatifnya TNI dapat melakukan pelanggaran HAM yaitu hak demokrasi. Namun dari
sisi lain (positifnya) Indonesia telah dapat mempersatukan Asia dan
diperhitungkan oleh bangsa dunia. Pada masa orde baru telah terjadi krisis,
dimulai dari krisis moneter sampai dengan krisis global termasuk krisis
kepercayaan. Dengan adanya penyelewengan seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme
serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini
hendaknya diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan dan menegakkan hukum.
Hingga pada saat ini masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan
serta tumpang tindih dan kerancuan hukum yang mengakibatkan terjadinya krisis
hukum. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada bagian sistem
pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum
(rechtstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Perwujudan hal tersebut adalah dengan
memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan
nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan
serta kepastian hukum.
Saat ini Peradilan Militer baik pembinaan organisasi
administrasi, tehnis dan finansial Peradilan Militer sudah berada dibawah
Mahkamah Agung, akibat reformasi, krisis kepercayaan terhadap Peradilan Militer
dianggap kebebasan yang tidak mandiri masih campur tangan Mabes, kurang
terbuka, sebagian masyarakat menganggap Peradilan Militer impunity karena
keberadaan ankum dan adanya Papera, menjadikan penghambat, Peradilan Militer
hanya berlaku bagi anggota bawahan sedangkan petinggi militer tidak.
Peradilan Militer merupakan wadah, pembinaan prajurit TNI
harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan sehingga mampu
mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan,
pertahanan maupun keamanan negara. Dalam hal itu pembinaan prajurit TNI
merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap
Komandan/Pimpinan satuan TNI yang bersangkutan mulai dari yang terendah sampai
dengan yang tertinggi. Tugas dan beban
yang berat dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan NKRI dengan
sistim pertahanan keamanan rakyat semesta. Sejalan dan searah dengan sejarah
perkembangan Peradilan Militer di Indonesia dan masa ke masa
- Peradilan Militer pada masa penjajahan
- Peradilan Militer pada masa perang kemerdekaan (1945 1949)
- Peradilan Militer masa Republik Indonesia Serikat
(1949-1950)
- Peradilan Militer masa berlakunya UUDS (1950-1959)
- Peradilan Militer Periode 5 Juli I 959 sampai dengan
11 Maret 1966.
- Peradilan Militer 1966 sampai dengan 1997.
- Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang.
Peradilan militer telah berjalan sebagaimana mestinya dan
telah melaksanakan reformasi. Perubahan sistim dan sistem dan unsur-unsur
pidana akan sangat berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Hal ini juga
menyangkut legalitas baik legal structure, legal substance dan legal culture
Doktrin-doktrin yang terdapat dalam hukum militer dan hukum acara pidana
militer.
Salah satu peraturan yang bersifat khusus dan hanya
berlaku bagi prajurit TNI adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer yang di dalamnya mengatur ketentuan mengenai peradilan yang
berwenang mengadili (yurisdiksi peradilan) terhadap prajurit TNI yang
melakukan tindak pidana. Ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan terhadap
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana tersebut terdapat dalam Pasal 9 angka 1
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang pada dasarnya menegaskan bahwa
peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana
adalah Peradilan Militer.
Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 9 angka 1
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 di atas mencakup tindak pidana militer maupun
tindak pidana umum. Namun demikian, ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan
terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana mengalami perubahan yang cukup
signifikan setelah bergulirnya reformasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan
dipertegas kembali dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia. Kedua pasal tersebut pada intinya
menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam
hal melakukan tindak pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Umum
dalam hal melakukan tindak pidana umum.
Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 31
tahun 1997 di sebutkan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer
merupakan badan kekuasaan Kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata dan
pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Dalam Pasal 9 ayat (1)
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah
- Prajurit
- Yang menurut Undang-undang dipersamakan dengan
prajurit
- Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan-badan
yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan
Undang-undang.
- Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a. b.
dan huruf c,
Namun atas keputusan Panglima TNI dengan persetujuan
Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer. Dengan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran
Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 ayat (4) mengatur “
a.
Prajurit
tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana
militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum
pidana umum.
b.
Kekuasaan
Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak berfungsi maka
prajurit TNI tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan
Undang-undang.
Sampai saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak
pidana, baik tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, atau tindak pidana
militer yang diatur dalam KUHPM, maupun tindak pidana lain yang tersebar di
luar KUHP, seperti : Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Lalu Lintas dan
lain-lain masih diadili dalam Peradilan Militer. Kecuali untuk perkara-perkara
yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing
tunduk pada justisiabel peradilan yang berbeda, yaitu dilakukan oleh orang
sipil (tunduk pada justisiabel peradilan umum) dan militer (tunduk pada
justisiabel peradilan militer) atau yang dikenal dengan istilah perkara
koneksitas, maka telah ditentukan dengan ketentuan, apabila kepentingan militer
yang lebih banyak dirugikan, ia akan diadili oleh pengadilan militer, tetapi
apabila kepentingan sipil lebih banyak dirugikan maka ia akan diadili oleh
pengadilan umum.
Tentang penundukan militer pada Peradilan Umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum tidak terlepas dari pelanggaran hukum dan
perundang-undangan, kepentingan militer, sebab peradilan militer menyangkut
pertahanan dan keamanan negara. Dalam hal ini terkait dan saling ketergantungan
kepentingan mengadili yang disebut dengan yurisdiksi (kekuasaan memeriksa dan
mengadili) sedangkan yustisiabel mempersoalkan tentang asas-asas yang diperiksa
dan diadili. Dengan demikian ketentuan-ketentuan mengenai yurisdiksi dapat juga
ditafsirkan sebagai ketentuan-ketentuan mengenai justisiabel¬justisiabel
menyangkut hukum materil atau KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer)
sedangkan jurisdiksi merupakan hukum acara pidana militer adalah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997.
Dari latar belakang permasalahan yang telah disebutkan
sebelumnya, Penulis tertarik mengangkat penelitian Skripsi dengan judul “KOMPETENSI PERADILAN MILITER DALAM
MENGADILI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA”.
1.2 Rumusan
Masalah
Memperhatikan dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit Tentara Nasional
Indonesia menjadi kompetensi Peradilan Militer dan Kompetensi Peradilan Umum?
2.
Apakah
akibat hukum pengaturan kompetensi Peradilan Militer yang menangani kasus
tindak pidana bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia?
1.3 Ruang
Lingkup Masalah
Mengingat begitu luasnya permasalahan
yang dapat diangkat, maka dipandang
perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang
akan dibahas nanti. Adapun permasalahan
dibatasi hanya pada pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit
Tentara Nasional Indonesia menjadi kompetensi Peradilan Militer dan Kompetensi
Peradilan Umum dan akibat hukum pengaturan kompetensi Peradilan Militer yang
menangani kasus tindak pidana bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia.
1.4 Tujuan Penelitian
Agar penelitian ini memiliki suatu maksud
yang jelas, maka harus memiliki tujuan
sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Adapun tujuannya digolongkan menjadi dua bagian, yaitu :
1.4.1 Tujuan
Umum
Ada pun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memperoleh pemahaman tentang pada kompetensi yang
dimiliki Pengadilan Militer untuk mengadili Prajurit Tentara Nasional Indonesia
yang melakukan tindak pidana.
1.4.2 Tujuan
Khusus
Disamping Tujuan Umum terdapat juga Tujuan Khusus. Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
- Untuk mengidentifikasi pengaturan
tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit Tentara Nasional Indonesia
menjadi kompetensi Peradilan Militer dan Kompetensi Peradilan Umum.
- Untuk mengetahui akibat hukum pengaturan kompetensi
Peradilan Militer yang menangani kasus tindak pidana bagi Anggota Tentara
Nasional Indonesia.
1.5 Manfaat
Penelitian
Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki manfaat sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki.
Adapun manfaatnya digolongkan menjadi
dua bagian, yaitu :
1.5.1 Manfaat
Teoritis
Seluruh hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan penelitian atau penulisan selanjutnya bagi lembaga Program Pasca Sarjana
Program Studi Ilmu Hukum Pemerintahan Universitas Mahendradatta dan sebagai bahan
referensi pada perpustakaan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan pengembangan dalam ilmu hukum khususnya dalam hukum pidana dan Hukum Peradilan Militer.
l.5.2 Manfaat Praktis
Disamping manfaat teoritis terdapat juga manfaat praktis. Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penulisan ini adalah :
1.
Dapat
memberikan suatu pengalaman bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian, sehingga mahasiswa dapat mengetahui pelaksanaan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat.
2.
Dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum terutama dalam lingkungan
Pengadilan Militer agar dapat memahami tentang Kompetensi bagi Pengadilan Militer dan Peradilan Umum dalam
mengadili Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak Pidana.
3.
Dapat
memberikan gambaran kepada Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan masyarakat tentang akibat hukum pengaturan kompetensi Peradilan
Militer yang menangani kasus tindak pidana bagi Anggota Tentara Nasional
Indonesia.
1.6 Landasan Teori
Sehubungan
dengan permasalahan yang diajukan maka dipandang perlu untuk membahas atau
mengajukan kerangka teoritis. Kerangka toritis dimaksudkan tiada lain untuk
dapat memberikan landasan-landasan teori terhadap pembahasan atas permasalahan
yang diajukan.
Menurut
Neuman, “teori´adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan abstraksi yang
berinteraksi satu sama lainnya atau sebagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia itu bekerja. Adapun Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Negara Hukum, Teori
Perundang-undangan, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Kompetensi Peradilan
Di Indonesia (Peradilan Umum dan Peradilan Militer).
1. Teori Negara Hukum
Teori negara
hukum dipergunakan sebagai landasan teoritis yang relevan dipergunakan dalam
penelitian ini. Hal ini karena teori negara hukum merupakan hal yang
ingin diwujudkan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sejak awal kemerdekaan
hingga pasca amandemen. Dalam negara hukum, hukum memiliki kedudukan tertinggi
dalam negara sehingga setiap hal dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang
berlaku, termasuk mengenai pemakzulan.
Teori negara
hukum berkaitan dengan Kompetensi
Peradilan di Indonesia. Dimana baik Peradilan Militer maupun Peradilan Umum diharapkan dapat sesuai dengan teori negara
hukum tersebut. Selanjutnya teori negara hukum juga harus
diwujudkan dalam pemberlakuan akibat
hukum bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana, dimana baik Prajurit yang melakukan tindak pidana maupun Korban harus terdapat kepastian hokum terhadap tindak pidana yang terjadi. Seperti diketahui bahwa masih
terdapat kekaburan norma mengenai kriteria terkait kompetensi baik oleh peradilan militer maupun
Peradilan Umum dalam menangani kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit
Tentara Nasional Indonesia. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan negara hukum di Indonesia perlu
untuk dikaji mengenai kompetensi
Peradilan yang ada di Indonesia khusunya Peradilan Umum dan Peradilan Militer sehingga dapat menentukan
kriteria kompetensi yang
sesuai dalam proses peradilan yang diselengarakan di Indonesia dan memberikan kepastian hukum
dalam rangka upaya mewujudkan negara hukum. Oleh karena itu berikut ini akan
diuraikan mengenai ajaran negara hukum, dalam berbagai bentuknya, baik itu Rechtsstaat maupun Rule Of Law.
Dalam suatu Negara Hukum diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan
politik ataupun ekonomi. Karena itu, istilah yang biasa digunakan di Inggris
dan negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah “the rule of law, not of man” (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan
kehendak manusia),[1]
sehingga pemerintahan yang berdasarkan atas hukum merupakan pemerintahan yang
manjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum ditempatkan sebagai acuan atau patokan
tertinggi dalam penyelengaraan negara dan pemerintahannya, yang sesuai dengan
ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum sebagai sumber kedaulatan.
Negara hukum merupakan suatu konsep yang lahir dari
adanya pertentangan terhadap kekuasaan raja yang tirani dan cenderung
totaliter. Dalam negara hukum kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak
terbatas (tidak absolut), sehingga perlu dilakukan pembatasan-pembatasan
terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut. Hal ini
semata-mata bertujuan untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari
pihak penguasa. Pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik dilakukan
dengan jelas dan tidak dapat dilanggar oleh siapa pun. Oleh karena itu dalam
suatu negara hukum, hukum akan memainkan peranan yang penting. Serta berada di
atas kekuasaan negara dan politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah
di bawah hukum (goverment under the law).[2]
Adapun beberapa istilah yang dikenal untuk menyebut negara hukum antara lain Rechtstaat (Belanda), Rule Of Law (Inggris), Etat de Droit (Prancis), dan Siam di Doritto (Italia).[3]
Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe
yang mengemukakan istilah souvereiniteit
van het recht (kedaulatan hukum) yang artinya semua harus tunduk pada
hukum, baik pemerintah maupun yang diperintah (rakyat) harus tunduk pada hukum.[4]
Ajaran kedaulatan hukum menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum
dijadikan sebagai guiding principle
bagi segala aktivitas organ-organ negara, pemerintah, pejabat-pejabat, beserta
rakyatnya. Dengan demikian, negara melalui pemerintahan ditingkat pusat maupun
di tingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masyarakat memerlukan
adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, yang salah satu upayanya adalah
melalui hukum.[5]
Konsep negara hukum pertama kali dikemukakan oleh
Plato dengan menyatakan bahwa Sebuah negara haruslah berdasarkan peraturan yang
dibuat rakyat. Pandangan ini kemudian semakin berkembang hingga Immanuel Khan
untuk pertama kali mencetuskan konsep Rechtstaat
yang memandang negara sebagai alat perlindungan hak asasi individual.[6]
Perlindungan terhadap
hak-hak asasi individual menjadi esensi dalam negara hukum karena pada masa itu
sistem negara totaliter/diktator sering kali memperlakukan rakyat dengan
semena-mena tanpa memperhatikan harkat, martabat, dan hak-haknya. Dengan
demikian sejak kelahirannya, konsep negara hukum dimaksudkan sebagai usaha
untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan
kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang untuk menindas rakyatnya.[7]
Konsep negara hukum
merupakan hal yang diterapkan oleh banyak negara-negara modern di masa
sekarang, termasuk di Indonesia yang secara konstitusional diatur dalam
ketentuan Pasal l ayat (3) UUDNRI 1945. Negara hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja
mengandung pengertian negara yang berdasarkan hukum. dimana kekuasaan tunduk
pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.[8] Munir
Fuady berdasarkan sejarah munculnya konsep negara hukum berpandangan bahwa
negara hukum merupakan suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum
yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana
semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah,
harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan
sama dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan
yang rasional. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum
kewenangan pemerintah berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga
pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat
dan karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya
secara demokratis.[9]
Secara konseptual,
istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan 2 (dua) istilah bahasa
asing yaitu Rechtstaat dan Rule of Law, namun kedua istilah
tersebut haruslah dibedakan. Rechtstaat
merupakan istilah dari bahasa Belanda yang digunakan untuk menunjuk tipe negara
hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut civil law system. Istilah Rule
of Law berasal dari bahasa Inggris dan digunakan untuk menunjuk tips negara
hukum dari negara-negara yang menganut Common
law system. Secara konseptual perbedaan antara Rechtstaat dan Rule of Law adalah
bahwa konsep Rechtstaat lahir dari
suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga berwatak revolusioner.
Sedangkan Rule of Law lahir dari
yurisprudensi dan perkembangannya bersifat evolusioner.[10]
Unsur-unsur Rechtstaat menurut
Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat) unsur pokok, yaitu :[11]
- asas legalitas (pemerintahan
berdasarkan undang-undang);
- pembagian kekuasaan;
- perlindungan hak-hak asasi
manusia; dan
- adanya peradilan
administrasi.
Berbeda dengan
unsur-unsur Rechtstaat yang
dikemukakan di atas, konsep Rule of Law
yang dikemukakan oleh A.V. Dicey memuat 3 (tiga) unsur yaitu supremacy af law, equality before the law, dan the
constitution based on individual rights.[12] Adapun
ketiga unsur Rule of Law yang
dikemukakan oleh A.V. Dicey dapat diuraikan sebagai berikut:[13]
a.
supremasi absolut ada pada hukum,
bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa;
b.
berlakunya prinsip persamaan dalam
hukum (equality before the law),
dimana semua orang harus tunduk kepada hukum dan ticlak seorang pun yang berada
di atas hukum (above the law).
c.
konstitusi merupakan dasar dari
segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini hukum yang
berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan
kemerdekaan rakyat.
Selain unsur-unsur negara
hukum yang dikemukakan di atas, baik berdasarkan Rechtstaat maupun Rule of Law,
beberapa prinsip yang harus ada dalam suatu negara hukum juga dirumuskan
berdasarkan hasil konferensi South-East
Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun prinsip-prinsip
yang harus dipenuhi dalam suatu negara hukum yaitu:[14]
- prinsip perlindungan konstitusional terhadap
hak-hak individu secara prosedural dan substansial;
- prinsip badan pengadilan yang bebas dan
tidak memihak;
- prinsip kebebasan menyatakan pendapat;
- prinsip pemilihan umum yang bebas;
- prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan
beroposisi; dan
- prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Ajaran negara hukum tidak
hanya dapat diklasifikasikan menjadi konsep Rechtstaat
dan Rule of Law, tapi dapat pula
dibedakan menjadi negara hukum formil dan negara hukum materiil. Negara hukum
formil sering pula disebut dengan negara penjaga malam (nachtwakerstaat), sedangkan negara hukum materiil disebut dengan
negara kesejahteraan (welfare stare).
Konsep negara hukum yang dianut Indonesia tidaklah dalam artian formal
melainkan dalam artian materiil atau negara kesejahteraan (welfare state). Negara hukum materiil berarti negara yang
pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur tangan dalam urusan
warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam upaya membangun
kesejahteraan rakyat.[15]
Jadi negara tidak hanya berperan dalam menegakkan hukum apabila terjadi
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warganya, seperti yang terjadi pada
negara hukum formil atau yang sering pula disebut negara penjaga malam (nachtwakerstaat), namun ikut turut
campur dalam urusan dan kepentingan warga negara terutama yang terkait dengan
kesejahteraan warga negara.
Indonesia merupakan
negara hukum materiil atau sering diistilahkan dengan negara kesejahteraan,
sehingga negara turut campur tangan dalam segala urusan warganya guna mencapai
kesejahteraan demi membangun masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai negara
hukum, Imanuel Kant menyebutkan ada 4 (empat) unsur yang ditetapkan dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan yaitu:
1.
perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2.
pemisahan kekuasaan;
3.
setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang;
4.
adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.[16]
Sri Soemantri
Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4 (empat) unsur yang harus
dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:[17]
- pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
- adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia;
- adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
- adanya pengawasan dari badan-badan peradilan
(rechtsterlijke controle).
Bagir Manan mengemukakan
susunan yang sedikit berbeda mengenai unsur yang harus dipenuhi pemerintah
dalam penyelenggaraan pemerintahan pada suatu negara hukum, yaitu:[18]
- semua tindakan harus
berdasarkan atas hukum;
- ada ketentuan yang menjamin
hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;
- ada kelembagaan yang bebas
untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang
bebas);
- ada pembagian kekuasaan
Berdasarkan ajaran negara hukum yang telah diuraikan
diatas dapat diketahui bahwa ciri ajaran negara hukum yang paling panting, baik
dalam bentuk Rechtsstaat maupun Rule of Law yaitu mengenai supremasi
hukum dimana setiap tindakan haruslah dilaksanakan berdasarkan atas hukum
termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan. Begitu pula Indonesia yang
menyatakan sebagai negara hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan
pada aturan hukum yang berlaku termasuk dalam pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus didasarkan pada alasan-alasan yang sah menurut hukum yang
diputus oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan kewenangan atribusi yang dimiliki.
2. Teori Perundang Undangan
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
“Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh negara
atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. ”Suatu norma hukum
dengan norma hukum yang lainnya semestinya tidak salingbertentangan,
karena norma hukum berada pada sebuah sistem yang tersusun secara
hierarkis, yang seluruhnya bersumber pada satu sistem besar yangmerupakan satu
norma dasar (groundnorm), yaitu konstitusi.
Sementara itu, Hans Kelsen menyatakan
bahwa, pertentangan antara suatu kaidah hukum dengan kaidah hukum lainnya
adalah wajar terjadi, mengingat ketika berbicara dalam tataran yang lebih
konkrit maka dimungkinkan adanya penafsiran antara satu sama lain.[19] Dalam pengembangannya,
Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma hukum dalam suatu Negara juga
berjenjang dan bertingkat hingga membentuk suatu tertib hukum, sehingga norma
yang dibawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih
tinggi. Norma dalam Negara itu juga membentuk kelompoknorma hukum yang terdiri
atas 4 (empat) kelompok besar, yaitu :[20]
1. Staatfundamentalnorm
(Norma Fundamental Negara)
2. Staatgrundgesetz
(Aturan dasar/pokok Negara)
3. Formellgesetz
(Undang-undang)
4.
Verordnung dan Autonome
Satzung (Pelaksana dan Aturan Otonom).
Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu
negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum
suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya
konstitusi atau undang-undang dasar.[21]
Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut
sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak
disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau
norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak
berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental
negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan
sebagainya.[22]
Dalam Pasal 7 ayat (1)
UndangUndangNomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
juga menyebutkan Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar
Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah PenggantiUndang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Agar suatu
peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan perundang-undangan
tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan
berlaku antara lain sebagai berikut:
1.
Kelakuan atau
hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai
anggapan-anggapan sebagai berikut:
a.
Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah
hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang
lebih tinggi tingkatnya;
b.
W. Zevenbergen menyatakan, bahwa
suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot stant gekomen”
(Terjemahannya: ”...terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”);
c.
J.H.A Logemann mengatakan bahwa
secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibatnya.
2.
Kelakuan
sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah
efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal
dua teori:
a.
Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum
mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat;
b.
Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” ) yang berpokok
pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan
atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.
3.
Kelakuan
filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah
hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (”Uberpositieven Wert”), misalnya,
Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.[23]
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan
peraturan perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan
perundang-undangan antara lain:
1.
Undang-Undang tidak dapat berlaku
surut
2.
Undang-Undang tidak dapat
diganggu gugat;
3.
Undang-Undang yang dibuat oleh
penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);
4.
Undang-Undang yang bersifat
khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);
5.
Undang-Undang yang baru
mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);
6.
Undang-Undang merupakan sarana
maksimal bagi kesejahteraan spiritual masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian.[24]
3. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Terkait dengan Sistem peradilan
pidana, bahwa Sistem Peradilan Pidana bisa diartikan sebagai sebuah jaringan
interkoneksi yang melibatkan seluruh komponen sub sistem peradilan pidana dalam
menanggulangi kejahatan. Pengertian ini tidak bersifat spesifik dalam arti
tidak merujuk kepada satu sistem peradilan pidana (baik peradilan umum maupun
peradilan militer). Oleh karena itu mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh
setiap orang baik kalangan sipil maupun militer, maka membuka celah bahwa dua
sistem peradilan yaitu peradilan umum dan peradilan militer bisa dijadikan
satu.
Secara yuridis eksistensi peradilan
militer dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi
: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunagan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan Negara
dan oleh sebuah mahkamah Konstitusi.
Peradilan militer merupakan
peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu
(prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan
penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan
militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan
KUHP.
Keberadaan/eksistensi peradilan
militer memang harus dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah lingkup
kewenangannya tetap mengadili pelanggaran tindak pidana umum dan tindak pidana
militer yang dilakukan oleh prajurit TNI atau hanya mengadili tindak pidana
militer, sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dilakukan
di peradilan sipil/umum.[10]
Ketetapan MPR RI Nomor VII/2000
khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a berbunyi: ”Prajurit TNI tunduk kepada
kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Kemudian RUU
Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer
menghendaki bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diadili di
peradilan umum.”
Peradilan pidana
sebagai tempat pengujian dan penegakkan hak-hak asasi manusia memiliki ciri
khusus, yaitu terdiri dari sub-sub sistem yang merupakan kelembagaan yang
berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus bekerja secara terpadu agar dapat
menegakkan hukum sesuai harapan masyarakat pencari keadilan.
Proses peradilan
pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan,
hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan dapat dikatakan
tidak mudah difahami serta kadang kala menakutkan bagi masyarakat awam.
Persepsi yang demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat banyaknya
pemberitaan di media massa yang menggambarkan betapa masyarakat sebagai pencari
keadilan seringkali dihadapkan pada kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan,
baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan hukum maupun perlakuan tidak
simpatik dari aparat penegak hukum.
Indonesia
sebagai suatu masyarakat yang sedang membangun dan harus mengatur serta
mengartikulasikan pelbagai kepentingan masyarakat yang sangat plural ini,
tentunya tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh regional dan
internasional, sebagai akibat kemajuan tehnologi komunikasi yang canggih.
Masyarakat pelbagai negara, termasuk Indonesia dihadapkan pada persoalan baru,
yang menjadi issue internasional, berupa demokratisasi hukum. Pemujaan hukum
sebagai alat rekayasa sosial berpasangan dengan sarana ketertiban mulai banyak
dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep baru, hukum sebagai sarana
modifikasi sosial, yaitu suatu pemikiran yang berusaha memasukan pemahaman
hukum sebagai sarana perlindungan hak-hak warganegara yang berintikan
pengaturan dengan mengedepankan kepentingan umum.
Di dalam lingkup
pemikiran itu, muncul pula adanya kebutuhan akan keterpaduan sistem peradilan
pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang
menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara,
masyarakat dan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban
kejahatan.
Istilah Sistem
Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah menjadi suatu
istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan pendekatan sistem. Sehingga wacana perbincangan mengenai suatu
Sistem Peradilan Pidana sangat erat kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam
elemen dari sebuah negara. Berikut Adalah Sub sistem dari sistem Peradilan
Pidana di Indonesia :
1. Kepolisian
2. Kejaksaan
3. Pengadilan
4. Pemasyarakatan
5. Advokat
Keterpaduan
subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana bukan hanya diarahkan kepada tujuan
penanggulangan kejahatan, namun juga diarahkan kepada pengendalian terjadinya
kejahatan dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Keberhasilan suatu
sistem, dapat diketahui dengan jika berbanding lurus dengan diterimanya
keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan, mampu menghadirkan si
petindak ke depan persidangan dan terlaksananya putusan pengadilan.
4. Kompetensi
Peradilan Di Indonesia (Peradilan Militer dan Peradilan Umum).
a.
Kompetensi Peradilan Militer
Peradilan Militer di Indonesia yang ada saat ini
adalah merupakan penjelmaan dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana
diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, dan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004
pasal 2 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan adanya empat lingkungan
Peradilan yaitu, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konsitusi.
Ketika Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
bangsa Indonesia tidak/belum membentuk badan peradilan tetapi dengan sangat
bijak dan guna menghindarkan kekosongan hukum maka Undang-undang Dasar tahun
1945 memuat Aturan Peralihan dalam pasal 2 yang menyatakan “Segala Badan Negara
dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang Dasar ini”
Dalam konteks keberadaan hukum di Indonesia, Indonesia
mengalami paling tidak dua kali masa transisi. Transisi pertama saat Indonesia
baru merdeka dan transisi yang kedua pada saat Presiden Soeharto menyatakan
berhenti sebagai Presiden yang sering diberikan label sebagai era “reformasi”.[25]
Transisi pertama terjadi karena pemerintah yang baru
dibentuk mengirimkan hukum yang berlaku adalah hukum yang muncul dalam
masyarakat Indonesia, dilain pihak pemerintah yang baru tidak mungkin mengganti
seluruh peraturan perundang-undangan yang ada berikut institusinya dalam waktu
sekejap. Transisi kedua terjadi pasca berakhirnya pemerintahan Soeharto,
transisi yang dialami adalah transisi hukum yang berfungsi sebagai alat
kekuasaan dan legistimasi menjadi hukum sebagai instrumen yang menjadikan
rujukan dan rel dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang (RUU)
tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah. Dalam pembahasan
tersebut muncul perdebatan tentang kewenangan dan Peradilan Militer sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur: “Prajurit tunduk kepada
kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan
tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum
yang diatur dengan Undang-undang”.
Pro dan kontra terjadi, argumentasi yang digunakan
mereka yang menghendaki agar Peradilan Militer hanya untuk pelanggaran pidana
militer adalah dalam sebuah negara yang demokratis harus ada supremasi sipil.
Oleh karena itu pelanggaran pidana umum yang dilakukan oleh personil militer
harus tunduk kepada kewenangan dan otoritas sipil.
Sementara yang menghendaki agar Peradilan Militer
berwenang mengadili pelanggaran pidana dengan melihat status dan pelaku
kejahatan mendasarkan pada sistem yang selama ini berlaku di Indonesia. Karena
adanya pendapat pro dan kontra tentang jurisdiksi Peradilan Militer, alangkah
baiknya terlebih dahulu. dibahas mengenai sejarah Peradilan Militer di
Indonesia.
b.
Kompetensi Peradilan Umum
Konstitusi
Negara Indonesia mengatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada keculalinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.
Dengan demikian
sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan
pemerintahan tidak boleh ada warga Negara yang mempunyai keistimewaan, termasuk
dalam masalah peradilan, semua warga Negara harus tunduk dan patuh kepada
keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga Negara
tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus bisa menjalankan dan mengayomi para
pihak yang berpekara di pengadilan.
Dari sudut
kompentisi sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia mengenal 5 macam jenil
peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara,
peradilan militer dan mahkamah konstitusi, masing-masing peradilan mempunyai
obyek dan subyek yang berbeda dan kekhususan tersendiri.
Kompetisi
peradilan umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem
peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara pidana terdakwanya selama ini berasal
dari kalangan rakyat sipil (di dalamnya termasuk terdakwa yang berasal dari
polri) atau bisa dari kalangan rakyat sipil dan kalangan militer (perkara
koneksitas). Sedangkan perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan
militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum
pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem
peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum, papera, Polisi Militer,
Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer.
Era reformasi
yang menuntut transparansi, kebebasan, demokratisasi dan persamaan hak,
berimbas kepada penyelenggaraan peradilan. Prinsip equality before the law menghendaki tidak ada warga Negara yang
mendapat prevelege apalagi dalam
bidang peradilan. Oleh karena itu
tuntutan bahwa militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan
umum terus bergaung dan puncaknya adalah dikeluarkannya TAP MPRI RI Nomor
VI/2000 dan TAP MPR RI Nomor VIII/2000 Jo Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang ATNI yang menegaskan bahwa anggota militer yang melakukan kejahatan
umum di bawa ke pengadilan sipil. Sedangkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997
tentang peradilan Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota
militer baik tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan
perundan-undangan pidana lainnya, juga tindak pidana militer sebagaimana
terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di peradilan militer.
Melihat semangat
yang terkandung dalam TAP MPR RI dan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang
TNI, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usul inisiatif perubahan Undang-undang
Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan alasan supaya terjadi
sinkronisasi dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
1.7.
Metode
Penelitian
Dalam penulisan suatu karya
ilmiah, terdapat satu komponen penentu
sebagai syarat yang dipergunakan untuk pencarian data dari hasil karya ilmiah tersebut, dalam hal
ini adalah metode penelitian.
Menururt
Sutrisno Hadi yang dimaksud dengan metodelogi ialah suatu cara/ metode untuk
memberikan garis- garis yang cermat dan mengajukan syarat-syarat yang keras,
yang maksudnya adalah menjaga ilmu pengetahuan yang dicapai dari suatu research dapat mempunyai
harga ilmiah yang setinggi- tingginya.[26]
1.7.1. Jenis Penelitian
Penulisan usulan proposal ini, dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau doctrinal artinya :
“penelitian ini menggunakan bahan hukum sebagai sumber utamanya”.[27].
Terry Hutchinson dalam bukunya yang berjudul Researching And Writing In Law
memberikan pengertian mengenai doctrinal
research yaitu sebagai berikut : “research
which provides a systematic exposition of the rules governing a particular
legal category,analyses the relationship between rules, explains areas of
difficulty and, perhaps predicts future developments”[28]
Penelitian ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian
terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan
horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.[29]
1.7.2. Jenis Pendekatan
Disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini adalah
jenis penelitian normatif. Adapun metode pendekatan yang dipakai terhadap masalah
ini adalah beberapa metode yang dikenal dalam penelitian hukum
normatif, antara lain pendekatan
perundang-undangan (statute approach),
pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).[30]
Berdasarkan latar belakang masdalah yang yang telah diungkapkan pada bagian
terdahulu, maka terdapat beberapa pendekatan yang akan digunakan dalam
penelitian ini antara lain pendekatan analisis konsep hukum (analytical and
conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach) serta pendekatan perbandingan.
1.7.3.Sumber Bahan
Penelitian
Bahan-bahan hukum yang
digunakan dalam tesis
ini, dibagi ke dalam tiga jenis, yakni sebagai berikut :
1.
Bahan hukum
primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri Peraturan
Perundang-Undangan.
2.
Bahan Hukum
Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan
hukum, dan seterusnya[31].
Penelitian ini mempergunakan beberapa bahan hukum sekunder antara lain
hasil-hasil penelitian, yurisprudensi, buku-buku dan hasil karya dari kalangan
pakar hukum yang mempunai relevansi dengan penelitian ini;
3.
Bahan hukum
tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan atau petunjuk mengenai bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensikiopedia.
1.7.4
Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian
Teknik pengumpulan bahan
hukum yang dipergunakan dalam penelitian hukum normative adalah dilakukan
dengan melalui kegiatan studi pusataka, studi dokumen, dan studi catatan hukum.
Pustaka yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, putusan pengadilan
(jurisprudensi), dan buku karya tulis bidang hukum. Ketiga jenis pustaka ini
biasanya dikoleksi di perpustakaan umum dan perpustakaan khusus bidang hukum[32].
Dalam penyusunan tesis ini pengumpulan pustaka yang dimaksud tersebut dilakukan
di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta dan perpustakaan umum daerah. Selain itu pengumpulan
pustaka juga dilakukan melalui media cetak dan juga media online (website).
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian
ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan hukum tersebut dianalisis untuk
mendapatkan konklusi/kesimpulan, bentuk dalam analisis bahan hukum adalah
teknik deskriptif, interpretatif, evaluatif, dan argumentatif. Masing - masing
teknik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Teknik
deskriptif, maksudnya adalah gambaran dari uraian-uraian secara apa adanya
tersebut suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum ataupun non hukum.
b. Teknik
Interpretatif, teknik
ini digunakan dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum
terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa mendatang.
Teknik interpretatif yang digunakan adalah secara gramatical interpretatie yaitu interpretasi atau penafsiran menurut
arti kata dan sitematiche interpretatie
yaitu penafsiran yang dilakukan dengan mencari penjelasan dalam pasal demi
pasal dari perundang-undangan.
c. Teknik
Evaluatif, yaitu dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap suatu
pandangan, pendapat, pernyataan, atau perumusan norma baik dari sumber primer,
maupun dari sumber hukum sekunder dan tertier.
d. Teknik
Argumentatif, yaitu teknik analisis yang dilakukan berdasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam permasalahan-permasalahan
hukum yang dikaji makin dalam argumennya berarti semakin dalam penalaran
hukumnya.[33]
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG PENEGAKAN HUKUM DAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA
2.1
Penegakan
Hukum
Dalam Pasal
1 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara
hukum, dikatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machstaat). Oleh
karena itu negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan
belaka, tetapi harus berdasarkan atas hukum.[34] Menurut G. Peter Hoefnagels mengenai kebijakan hukum
pidana “Criminal policy is the rational
organization of social reaction to crime”[35]
yang dirumuskan sebagai:
a. Criminal
policy as a science of respons;
b. Criminal
policy is the science of crime prevention;
c. Criminal
policy is a policy of designating human behaviour as crime;
d. Criminal
policy is rational total of the responses to crime.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat
dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudart, kebijakan atau politik hukum pidana adalah:[36]
a.
Usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu .
b.
Kebijakan dari negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam mayarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Dengan demikian kebijakan hukum
pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh
sebab itu, kebijakan hukum pidana diarahkan pada
konkretisasi/operasionalisasi/funsionalisasi hukum pidana material
(substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan
pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan
tindakan-tindakan:[37]
a.
Bagaimana upaya pemerintah untuk
menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;
b.
Bagaimana merumuskan hukum pidana
agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
c.
Bagaimana kebijakan pemerintah untuk
mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
d.
Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk
mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat
(lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari
suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum
pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri
atas tiga tahap, yakni: [38]
a.
Tahap formulasi (kebijakan
legislatif);
b.
Tahap aplikasi (kebijakan
yudikatif/yudisial);
c.
Tahap eksekusi (kebijakan
eksekutif/administratif).
Kebijakan
hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang
dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya
dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Kriminalisasi dan penaliasi
menjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation)
mencakup lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus),
pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang dapat dijatuhkan
baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).
Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan
represif yang melanggar prinsip ultimum remedium (ultima ratio
principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi
yang berlebihan (oever criminalisation), yang justru mengurangi wibawa
hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh
langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan
penyidikan dan penuntutan.[39]
Jadi, kebijakan hukum pidana (penal
policy) operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi
(kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif,yudisial) dan tahap
eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi). Dari ketiga tahap tersebut, tahap
formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan/kelemahan
kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi
dan eksekusi.[40]
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan
kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang
dibuat dengan sengaja dan sadar dalam memilih dan menetapkan hukum pidana
sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan
semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu
dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan
merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang rasional.[41]
Penegakan hukum tidak dapat terlepas dari permasalahan
pembuktian. Terdapat beberapa teori pembuktian
dalam hukum acara pidana. Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum
acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan
menilai suatu pembuktian. Sumber-sumber
hukum pembuktian dalam hukum acara pidana adalah: [42]
a.
Undang-Undang;
b.
Doktrin atau ajaran;
c.
Yurisprudensi.
Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada
umumnya dan hukum acara pidana (formeel
strafrecht/ strafprocessrecht) pada khususnya, aspek “pembuktian” memegang
peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana
oleh hakim. Hakim di dalam menjatuhkan suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk
pemidanaan, tetapi dapat juga menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila
pengadilan (hakim) berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang
pengadilan, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana. Menurut Waluyadi mengeai beberapa teori pembuktian dalam hukum acara, yaitu:[43]
a. Conviction-in
Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah
tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”
hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni
dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah
dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat
bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan
alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari
keterangan atau pengakuan terdakwa. Kelemahan
sistem pembuktian conviction-in time adalah hakim dapat saja menjatuhkan
hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa
didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah,
sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan
wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi
kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
b. Conviction-Raisonee
Sistem conviction-raisonee
pun, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah
tidaknya terdakwa. Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim
“dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan
hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee,
keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim harus
mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan juga
bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan
apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian
ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut
alasan-alasan keyakinannya (vrijs
bewijstheorie).
c. Positief Wettelijke Stelsel
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah
atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang
sah”. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah
cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni
apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi
masalah. Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar
hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak
diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan undang-undang
yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika
apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini disebut teori
pembuktian formal (foemele bewijstheorie).
d. Negatief Wettelijke Stelsel
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur “objektif” dan
“subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang
paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Terdakwa dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan
kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi”
dengan keyakinan hakim. Berdasarkan sistem pembuktian undang-undang secara
negatif, terdapat dua komponen untuk menentukan salah atau tidaknya seorang
terdakwa, yaitu :
a. Pembuktian harus dilakukan menurut
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
b. Keyakinan hakim yang juga
harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
Penegakan hukum dalam suatu negara memiliki kaitan yang erat
terhadap sistem hukum negara tersebut, sesuai pandangan Lawrence Meir Friedman
”The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions
should behave”.[44] Di
sisi lain mengkaji mengenai penegakan hukum, Soerjono Soekanto berpandangan
bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu meliputi:
1.
Faktor
hukumnya sendiri, dimana terdapat ketidakjelasan substansi di dalam suatu
peraturan sehingga menimbulkan multi tafsir, serta belum adanya aturan
pelaksana yang dibutuhkan untuk menerapkan peraturan tersebut;
2.
Faktor
penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;
3.
Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, yaitu mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil maupun organisasi yang baik;
4.
Faktor
masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan; dan
5.
Faktor
budaya, yaitu hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
dalam di dalam pergaulan hidup.[45]
Mengenai penegakan hukum, Andi
Hamzah menjelaskan bahwa proses penegakan hukum dibagi menjadi dua, yaitu
tindakan represif dan tindakan preventif.[46]
Adapun tindakan preventif disini adalah tindakan yang dilakukan sebelum
dilakukannya penegakan secara repesif baik dengan cara diadakannya negosiasi,
persuasi, dan supervisi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin ditaati.
Sedangkan tindakan represif adalah tindakan menerapkan hukum atau instrumen sanksi
ketika terjadi pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku, biasanya hal ini
dikenal dengan istilah law enforcement atau penegakan hukum dalam arti
sempit. Kedua fase tersebut baik tindakan preventif maupun represif diartikan
sebagai penegakan hukum secara luas (rechthandhaving).
Dengan adanya penegakan hukum yang
baik, maka dapat diharapkan terjadi suatu kepastian hukum. Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.[47]
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan
juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu
dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.
Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun
dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang
apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin
satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam,
tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang
hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan
memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang
hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya.
Menurut Mahmul Siregar mengatakan
kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang hukum. Kepastian hukum tidak
saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum
dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan badan peradilan. Antara
kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus
sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah
bila kepastian dalam law in the books tersebut
dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan
norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum. Cicut Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang
berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan
budaya hukum yang tepat waktu. Mungkin dari pendapat ini kepastian hukum akan
lebih ampuh bila para penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan
penegakan hukum (rule of law) secara
pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu
kepastian hukum.[48]
2.2 Peradilan Militer
Menurut S.R Sianturi ditinjau dan sudut justisiabel
maka hukum pidana militer (dalam arti materiel dan formal) adalah :
Bagian dan hukum positif yang berlaku bagi justisiabel
peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang
tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta terhadap
pelanggarannya diancam dengan pidana yang menentukan dalam hal apa dan bilamana
pelanggar dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang menentukan juga
cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya
keadilan dan ketertiban hukum.[49]
Apabila dilihat dari sudut mereka yang tunduk pada
yuridiksi peradilan militer, maka hukum pidana militer adalah salah satu hukum
pidana yang secara khusus berlaku bagi militer selain hukum pidana lainnya atau
dengan kata lain, seseorang militer merupakan subyek tindak pidana militer juga
subyek tindak pidana umum.
Hal ini lebih diperjelas oleh Pasal 2 KUHPM yang
berbunyi sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang No.39 Tahun 1947).
Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang
dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan
militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan
yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Selanjutnya
pasal 1 KUHPM mengatur sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947)
Untuk penerapan kitab Undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum
pidana umum, termasuk Bab kesembilan dan buku pertama Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Penerapan pasal 1 KUHPM berkaitan dengan penerapan
ketentuanketentuan hukum pidana umum (KUHPM), maka untuk Pasal 2 ditujukan
kepada subyek yang melakukan tindak pidana, yaitu militer atau yang
dipersamakan yang tunduk pada kewenangan peradilan militer, di mana ia
melakukan tindak pidana yang tidak tercantum dalam pasal-pasal KUHPM, maka
diterapkan ketentuan hukum pidana umum (KUHP).
Ketentuan (pasal 2 KUHPM) semakin memperjelas subyek
tindak pidana yang menjadi yurisdiksi peradilan militer, yaitu selama ia
anggota militer dan melakukan tindak pidana, baik yang tercantum dalam KUHPM
maupun dalam KUHP, maka Ia tetap diadili di peradilan militer atau dengan kata
lain, di mana saja, kapan saja seseorang militer selalu membawa undang-undang
(hukum) pidananya.
Pengertian atau batasan agak berbeda diberikan oleh
Soedarto yang mengatakan, bahwa
Hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus
yang memuat aturan-aturan hukum pidana umum, ialah mengenai golongan-golongan
orang tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu, karena
hukum pidana militer hanya berlaku untuk anggota tentara dan yang dipersamakan.[50]
Apabila dilihat batasan ini, khususnya berkaitan
dengan jenis-jenis perbuatan tertentu atau tindak pidana tertentu, maka hukum pidana
militer hanya dikaitkan dengan tindak pidana yang murni atau khas militer,
dimana orang sipil belum tentu melakukannya, seperti desersi, insubordinasi.
Oleh
karena itu akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan
perbedaan asas antara hukum militer dengan hukum pidana umum, juga tindak
pidana umum dan tindak pidana militer.
2.2.1 Perkembangan peradilan
militer setelah kemerdekaan
1. Masa Kemerdekaan Indonesia
a. Dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945
sampai dengan 1949
1 . Peradilan Militer
berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1946.
Berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, yang bunyinya: “Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar
ini”. Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktek
peradilan di Indonesia pada masa setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan
tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama) yang
sudah ada sejak pendudukan Jepang tetap berlaku termasuk Peradilan Ketentaraan,
maka peradilan-peradilan yang telah ada pada zaman pendudukan Jepang dapat
tetap berlangsung seperti sebelumnya, yaitu peradilan umum, peradilan agama,
dan peradilan ketentaraan. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, maka hanya
peradilan umum dan peradilan agama yang berjalan seperti sediakala. Sedangkan
peradilan ketentaraan (militer) tidak/belum diadakan,
meskipun Angkatan perang Republik Indonesia telah dibentuk pada tanggal 5
Oktober 1945.
Periode antara 5 Oktober 1945 sampai dengan
pembentukan Pengadilan Tentara, yaitu berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun
1946 tanggal 8 Juni 1946 seolah-olah tidak ada hukum dan keadilan serta
penegakan hukum terhadap prajurit atau anggota tentara yang melakukan tindak
pidana. Sesungguhnya tidak demikian karena para Komandan kesatuan selalu
menegakkan peraturan melalui penerapan hukum disiplin.[51]
Peradilan Militer baru dibentuk setelah diundangkannya
Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan
Tentara di samping Pengadilan Biasa pada tanggal 8 Juni 1946, dan bersamaan
dengan itu diundangkan pula Undang-undang No. 8 tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Acara Pidana Guna Pengadilan Tentara. Dengan dikeluarkan kedua Undangundang
yang mengatur tentang peradilan militer, maka Negara Republik Indonesia baik
secara formil maupun materiil tidak memberlakukan ketentuanketentuan di bidang
peradilan tentara yang ada sebelum proklamasi kemerdekaan.
Wewenang yang dipergunakan sebagai dasar pergantian
suatu undangundang hanya dengan peraturan Pemerintah yang menurut
Undang-undang Dasar adalah lebih rendah tingkatannya adalah didasarkan pada
wewenang Presiden pada saat itu sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang
nomor 30 tahun 1948 diberi kekuasaan penuh (plein
pouvoir) kepada presiden untuk menjalankan tindakan-tindakan dan
peraturan-peraturan yang menyimpang dan undang-undang dan peraturan yang ada
guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya yang memuncak.[52]
Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 20
September 1948, dan hanya terdiri dan suatu pasal yang berbunyi :
Selama
tiga bulan terhitung mulai tangga1 15 September 1948, kepada Presiden diberikan
kekuasaan (plein Pouvoir) untuk
menjalankan tindakantindakan dan mengadakan peraturan-peraturan dengan
menyimpang dan Undang-undang dan Peraturan-peraturan, guna menjamin keselamatan
Negara dalam menghadapi keadaan bahaya.
Selain itu alasan Presiden mengeluarkan Peraturan yang
tidak sesuai ketentuan yang ada, karena waktu itu kondisinya
sangat kacau, ketentuan-ketentuan yang ada tidak diikuti atau tidak diindahkan.
Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, masih dipengaruhi suasana
revolusi. Artinya, bentuk peraturan dan tata urutan peraturan
perundang-undangan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan untuk membuat
peraturan, bahkan yang banyak dikeluarkan seperti Maklumat yang kadang
kedudukannya sama seperti UUD.[53]
Dengan demikian dapat dipahami, apabila Presiden
mengeluarkan peraturan yang menyimpang dari ketentuan yang ada, karena selain
adanya undang-undang yang memberikan kekuasaan demikian juga karena kondisi
yang dihadapi untuk bertindak cepat.
2. Peradilan Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah
nomor 37 tahun 1948
Pasal 1 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dalam
Peradilan ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan tentara, yaitu:
1) Mahkamah
Tentara
2) Mahkamah
Tentara Tinggi
3)
Mahkamah Tentara Agung
Dengan demikian, maka sistem peradilan yang selama ini
berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 terdiri dari 2 (dua)
tingkatan, yaitu Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara
Agung, berubah menjadi 3 (tiga) tingkatan.
Pengadilan Tentara berwenang mengadili perkara-perkara
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
1) Seorang
yang pada waktu itu adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia;
2) Seorang
yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah
ditetapkan sama dengan prajurit Tentara Nasional Indonesia;
3) Seorang
yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan
atau dianggap sebagai tentara oleh atau berdasarkan undang-undang;
4) Seorang
yang tidak termasuk golongan a, b dan c, tetapi atas ketetapan Menteri
Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan.[54]
Perlu dikemukakan bahwa Tentara Republik Indonesia
(TRI), Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan Tentara Angkatan Udara
Republik Indonesia (AURI) sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 sub a
Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Tentara
Nasional Indonesia.[55]
Perkembangan selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 74
tahun 1946 menambahkan suatu pasal baru di antara pasal 3 dan 4, yang berbunyi:
“Pengadilan
tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang dilakukan oleh siapapun
juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk titel 1 atau titel 2 Buku II
dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau termasuk Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Tentara dan dilakukan dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya
berdasarkan pasal 12 Undang-Undang Dasar”. [56]
Maksud diadakannya pasal ini, adalah memberi
kewenangan kepada Pengadilan Tentara untuk mengadili perkara-perkara dalam
lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12
Undang-Undang Dasar 1945, karena hal ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan
dalam penyelesaian perkara pemberontakan PKI Muso/Amr Cs (peristiwa Madiun)
yang melibatkan pihak tentara dan pihak sipil, dimana penyelesaian perkara
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.37 tahun 1948 harus dipergunakan pemisahan
(splitsing), dan diadakannya pasal
tersebut maka kesulitan-kesulitan berkenan dengan pemisahan tadi dapat
dihindarkan.[57]
3.
Peradilan Militer Khusus
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 undang-undang Dasar
1945, tanggal 7 Juni 1945, Presiden menyatakan Daerah Jawa dan Madura dalam
keadaan bahaya.[58]
Kemudian pada tanggal 28 Juni 1946, pernyataan tersebut diikuti dengan
pernyataan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah Indonesia.[59]
Hal ini disebabkan oleh pertentangan politik yang
meruncing di dalam negeri maupun disebabkan ancaman kekuatan bersenjata dan
pihak Belanda yang menginginkan kembali
menjajah Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kondisi
Indonesia saat itu dalam keadaan genting. Pertentangan Politik yang meruncing
di dalam negeri kemudian meningkat pada tindakan melakukan coup d’etat pada tanggal 3 Juli 1946. Golongan yang tergabung dalam
Persatuan Perjuangan mendatangi Istana Kepresiden untuk memaksakan suatu konsep
susunan kabinet baru sesuai dengan keinginan mereka. Percobaan coup d’etat ini ternyata gagal dan
peristiwanya sendiri kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.[60]
Ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda, bermula
saat Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan cara membonceng tentara
sekutu yang sebenarnya bertugas melucuti tentara Jepang.[61]
Selanjutnya pada tanggal 30 Nopember 1946, Inggris secara resmi menyerahkan
pendudukan di Jawa dan Sumatera kepada Belanda dan pada tanggal 21 Juli 1947,
Belanda melancarkan Agresi Militer-I, maka setelah itu terjadi pertempuran di
mana-mana, dan dalam keadaan demikian di bidang peradilan perlu diadakan
peraturan-peraturan yang lebih sederhana dan praktis supaya peradilan mampu
menjalankan fungsinya.[62]
b. Peradilan Militer masa Agresi Kedua
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda
melakukan agresi yang kedua kalinya terhadap Negara Republik Indonesia yang
berakibat seluruh kota besar di Jawa dan Madura jatuh ke tangan Belanda, hal
ini memaksa TNI dan pejuang Indonesia untuk menyingkir ke daerah yang tidak
diduduki serta melancarkan perang gerilya terhadap Belanda. [63]
Selanjutnya menurut Soegiri:
Kondisi
tersebut memaksa pimpinan TNI memberlakukan Pemerintahan Militer di seluruh
Jawa dan Madura, dan untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban, diperlukan
adanya kepolisian yang kuat dan adanya pengadilan untuk memeriksa dan mengadili
para pengganggu keamanan dan ketertiban, tetapi dengan jatuhnya kota—kota besar
ke tangan Belanda dimana tempat kedudukan pengadilan negeri berada, maka
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum menjadi lumpuh yang berarti lumpuh
pula pengadilan tentara karena pejabat-pejabatnya berasal dan pengadilanpengadilan
dalam lingkungan peradilan umum”.[64]
Dikeluarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 No. 46/MBDK/49
tanggal 7 Mei 1949 guna memenuhi kebutuhan yang pada waktu itu dihadapkan
dengan keadaan genting dan hanya sedikit tenaga di daerah-daerah untuk
menyelenggarakan peradilan sipil maupun militer. Sebenarnya berdasarkan
Peraturan Darurat Nomor 3 tahun 1949 yang telah ada sebelumnya, di beberapa tempat telah dibentuk pengadilan Darurat, tetapi mengingat
situasi perjuangan yang memerlukan waktu lama, maka Pengadilan Darurat tersebut
perlu disempurnakan serta diperlukan peraturan yang mencakup seluruh pengadilan,
baik sipil maupun militer.[65]
Berangkat dan keadaan yang genting ini, maka para
komandan yang dalam berbagai hal memiliki peranan yang menentukan dalam
lingkungan Peradilan Militer, dibebani tugas sebagai ketua pengadilan tentara
tersebut, sedangkan untuk Peradilan Sipil, para kepala daerah diberi tugas
sebagai ketua pengadilan sipil di daerahnya masing-masing.
Peraturan Darurat Nomor. 46/11BKD/49 tersebut mengatur
tentang Pengadilan Tentara Pemerintah Militer untuk seluruh Jawa dan Madura,
maka dengan adanya ketentuan ini maka pengadilan tentara di seluruh Jawa dan
Madura yang diatur oleh Undang-undang Darurat Nomor 3 tahun 1949 dihapuskan
serta diganti dengan Peraturan Darurat Nomor 46/MBKD/49 tentang Pengadilan
Tentara Pemerintahan Militer.
c. Peradilan Militer Masa R.I.S Tahun 1949
- 1950
Masa ini kedudukan Republik Indonesia berpusat di
Jogjakarta dan menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat. Dibandingkan
dengan negara bagian lain, hanya Republik Indonesia yang memiliki tentara
lengkap dengan peraturan-peraturannya, yang telah dimiliki sejak awal
berdirinya Republik Indonesia 7 Agustus 1945 Peraturan perundang-undangan
tentang peradilan tentara menurut hukum masih tetap berlaku dalam masa RIS
selama tidak bertentangan dengan Konstitusi RIS atau selama belum diganti.
Peraturan
tentang Peradilan Militer yang masih berlaku, antara lain:
a. Peraturan
Pemerintah Pengganti Perundang-undangan Nomor 36 tahun 1949 tanggal 29 Desember
1949 yang berlaku tentang penghapusan Peraturan Darurat No.49/MBKD/49 dan
menghidupkan kembali pengadilan tentara yang ada sebelum tanggal 7 Mei 1949.
b. Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang susunan dan Kedudukan Pengadilan/
Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Meskipun wilayah RIS meliputi
seluruh Indonesia, tetapi hanya RIS yang memiliki badan-badan peradilan
tentara, sedangkan negara bagian lain belum memiliki mahkamah maupun kejaksaan
tentara. Oleh karena itu, Pemerintah RIS berusaha mengisi kekosongan
peraturan-peraturan yang sangat diperlukan, kemudian mengeluarkan Undang-undang
darurat nomor 16 tahun 1950 yang kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun
1950 tanggal 20 Juli 1950 yaitu sebagai Undang-undang Federal.
c.
Peradilan Militer berdasarkan
Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950. Untuk mengisi kekosongan di negara
bagian selain dari Republik Indonesia RIS berusaha mengeluarkan Undang-undang
Darurat No. 16 tahun 1950 yang kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun
1950 tanggal 20 Juli 1950 yang dikenal dengan Undang-undang Federal.
Selanjutnya dikeluarkan juga Undang-undang Darurat
Nomor 17 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara yang
kemudian menjadi undang-undang Federal Nomor 6 tahun 1950, tetapi sebelum
diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950, berdasarkan pasal
192-195 Konstitusi RIS, yang berlaku adalah peraturanperaturan Republik
Indonesia.
Sejak diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun
1950 maka peraturan tentang susunan dan kekuasaan dalam lingkungan peradilan
ketentaraan di Indonesia, dapat dikatakan sudah mantap. Konsideran undangundang
ini menyebutkan tentang keperluan diadakannya peraturan baru tentang materi
pokok yang termuat didalamnya. Demikian pula dalam pasalpasalnya tidak
ditemukan ketentuan peralihannya, bahkan dalam pasal 1 dicantumkan ketentuan
yang isinya menyatakan, bahwa segala peraturan yang ada sebelumnya dihapus dan
diganti dengan undang-undang ini.
d.
Susunan dan Kekuasaan.
Susunan peradilan tentara berdasarkan Undang-undang
Darurat Nomor 16 tahun 1950, yaitu: 1) Mahkamah Tentara, 2) Mahkamah Tentara
Tinggi, 3) Mahkamah Tentara Agung.
d.
Peradilan Militer Masa Berlakunya UUDS tahun 1950 sampai dengan tahun 1959
a. Peradilan Militer berdasarkan
Undang-undang nomor 5 tahun 1950.
Seperti diketahui,
kedudukan dan daerah hukum Peradilan Militer pada umumnya bersamaan dengan
peradilan umum (Peradilan Negeri). Hal ini membawa akibat apabila terjadi
perubahan atau pergantian dalam peradilan umum akan diikuti pula oleh Peradilan
Militer.
Oleh karena itu
dikeluarkan Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 pada tanggal 13 Maret 1951
tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan,
kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadilan Sipil yang intinya berisi:
1.
Penghapusan pengadilan yang tidak sesuai
lagi dengan susunan negara kesatuan.
2.
Pengahapusan secara berangsur-angsur
pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat.
3.
Selanjutnya Pengadilan Agama dan
Pengadilan Desa.
4.
Pembentukan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi di tempat-tempat tertentu.
Undang-undang ini
menghapuskan semua undang-undang yang berkaitan dengan Pengadilan/ Kejaksaan
Ketentaraan, dimana kekuasaan kehakiman dalam peradilan tentara dilaksanakan
oleh:
1.
Pengadilan Tentara
2.
Pengadilan Tentara Tinggi:
3.
Mahkamah Tentara Agung (Pasal 2)
Ketika itu pejabat
-pejabat yang menjalankan Peradilan Tentara, adalah Ketua Pengadilan Negeri
karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan Tentara demikian pula untuk
Pengadilan Tentara Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung juga Kejaksaan Tentara,
Kejaksaan Tentara Tinggi serta Kejaksaan Tentara Agung. Mereka saat menjalankan
tugasnya oleh Presiden diberi pangkat militer tituler (Pasal 32). Sedangkan
hukum acara yang digunakan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 adalah het Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
dengan perubahan-perubahan seperti yang dimuat dalam Undang-undang No.6 Tahun
1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara, sehingga Jaksa
merupakan pemimpin pemeriksaan permulaan (penyidikan).
b.
Mahkamah Militer Luar Biasa.
Tahun 1950, sebagian
wilayah Indonesia masih ada yang dinyatakan dalam keadaan perang atau dalam
keadaan darurat perang. [66]
Khusus untuk bekas Negara Indonesia Timur dengan Keputusan Presiden No.160,
169, dan 204 Tahun 1950, hampir seluruh wilayah Indonesia dinyatakan dalam
keadaan darurat perang.
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, Panglima Tentara dan Teritorium VII memegang
kekuasaan militer tertinggi di daerah itu, dan dalam melaksanakan tugas serta
tanggungjawabnya ia dapat menyimpang ketentuan meskipun secara terbatas.
Panglima pada waktu itu
(Kolonel Inf Kawilarang)
berpendapat, bahwa peradilan tentara di Komando Tentara dan Teritorium VII
belum dapat melaksanakan fungsinya lagi pula keadaan masih gawat sehingga masih
perlu diadakan tindakan cepat dan tepat dengan mematuhi saluran dan prosedur
hukum.[67] Berdasarkan alasan
tersebut, ia kemudian mengusulkan kepada Menteri Pertahanan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di Pusat untuk membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa, maka
kemudian terbit Surat Keputusan Kekuasaan Militer Pusat No.3 Tahun 1950 tanggal
10 Oktober 1950 yang isinya Di daerah yang dalam keadaan darurat perang,
Panglima dapat membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa.
c.
Mahkamah Angkatan Darat Daerah Pertempuran
Berdasarkan persetujuan
Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Tahun 1949, Belanda harus menyerahkan seluruh
wilayah yang diduduki kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali Irian
Barat setelah konfrensi tersebut. Ternyata sampai bertahun-tahun, Irian Barat
tidak diserahkan ke Republik Indonesia, sampai akhirnya pada tanggal 19
Desember 1961, Presiden Soekarno mencanangkan Tritura untuk merebut kembali
Irian Barat.[68]
Di satu sisi, TNI dengan
segala lapisan masyarakat bersiap-siap untuk menghadapi Belanda, ternyata di
sisi lain juga mendapat rongrongan berupa pemberontakan
PRRI Permesta [69]
, dan untuk mengantisipasi meluasnya pemberontakan, maka pemerintah menyatakan
seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya, sehingga dikeluarkan
Undang-Undang Keadaan Bahaya No.74 Tahun 1957 dengan Peraturan Pelaksanaannya,
yaitu Keputusan Presiden RI No. 225 Tahun 1957, kemudian dibentuk suatu
peradilan di lingkungan TNI Angkatan Darat Daerah Pertempuran (Mahadper)
berdasarkan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat
No.Prt/peperpu/024/1958 tanggal 28 April 1958 juga di lingkungan TNI Angkatan
Udara dibentuk badan peradilan serupa, yaitu Mahkamah Angkatan Udara Daerah
Pertempuran dengan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat Angkatan Udara No.2/
Peperpu/AU-1958 tanggal 28 April 1958.
e. Periode
5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966
1. Peradilan Militer Angkatan dan Polri
Tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit yang antara lain menyatakan
pembubaran Konstituante dan berlakunya Undang-undang Dasar 1945. Meskipun
demikian, berdasarkan Ketentuan Ketentuan Peralihan UUD 1945, Peradilan Militer
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1950 serta perubahannya dalam
Undang-undang Darurat No.1 tahun 1958 masih tetap/1angsung berlaku.
Setelah berlakunya UUD
1945, maka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ditetapkan Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai kekuasaan
Kehakiman
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1964 yang diundangkan pada
tanggal 31 Oktober 1964, dan Pasal 7 menetapkan:
1)
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a) Peradilan
Umum
b) Peradilan
Agama
c) Peradilan
Militer
d) Peradilan
Tata Usaha Negara
2) Semua
pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi
untuk semua peradilan.
3)
Peradilan-peradilan tersebut secara teknis
ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi secara organisatoris,
administratif dan finansial berada di bawah Departemen Kehakiman, Departemen
Agama, dan Departemen Departemen da1am lingkungan Angkatan Bersenjata.
Dalam pasal ini istilah Angkatan Bersenjata, mempunyai
arti yang sama dengan Angkatan Perang, karena hingga diundangkannya UU NO. 19
Tahun 1964, yang menyelenggarakan Peradilan Militer adalah Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan Kepolisian Negara pada waktu itu
sebenarnya juga sudah disebut Angkatan Kepolisian, sehingga merupakan
Departemen tersendiri juga berstatus Menteri, tetapi terhadap anggota Angkatan
Kepolisian belum diberlakukan Hukum Pidana Militer dan Hukum Disiplin Militer,
sehingga anggota Angkatan Kepolisian belum masuk kekuasaan Peradilan Militer
tetapi masih berada di bawah kekuasaan Peradilan Umum.[70]
Berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 yang mulai
berlaku tanggal 31 Jun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian, Pasal
3 menyatakan, bahwa Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata. Inilah awal
Polri berintegrasi dengan TNI. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No.
290 Tahun 1964, Angkatan Kepolisian sejajar dengan Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara. Berdasarkan Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965, maka
Hukum Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara dinyatakan berlaku bagi
Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian, sehingga apabila ada anggota
Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi diadili oleh
peradilan umum (negeri) tetapi oleh Peradilan Mi 1iter.
Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965 Pasal 2, menetapkan
bahwa Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak
pidana, diadili oleh :
1) Badan
peradilan dalam lingkungan Angkatan Laut, apabila tindak pidana itu dilakukan
di daerah Tingkat II Riau Kepulauan.
2) Badan
peradilan dalam Lingkungan Angkatan Darat, apabila tindak pidana itu dilakukan
di luar daerah tersebut, kecuali kalau ada ketentuan-ketentuan khusus.
2. Peradilan Militer Khusus.
Undang-undang No.23 Prp
Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang diundangkan pada tanggal 16 Desember
1959 telah mencabut Undang-undang. Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 telah
membawa konsekuensi pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Penguasa
Keadaan Bahaya berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya Tahun 1957.
Berkaitan dengan keadaan
bahaya tersebut, Undang-undang No.. 23 Prp Tahun 1959 mengatur tiga keadaan
bahaya, yaitu:
1) Keadaan
Darurat Sipil
2) Keadaan
Darurat Militer
3)
Keadaan Perang.
Berdasarkan
Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 yang mengatur tentang keadaan bahaya maka
lahirlah Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tentang Mahkamah
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam keadaan perang.
Tingkatan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 23 Prp Tahun
1959 tersebut, adalah keberadaan Mahkamah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Penguasa Perang Tertinggi di atas, hanya ada pada tingkatan Keadaan Perang.
Keadaan bahaya dicabut
dan seluruh wilayah RI pada tanggal 1 Mei 1963, dengan dihapusnya keadaan bahaya
tersebut, maka Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tersebut
tidak berlaku lagi, sehingga sejak saat itu, Badan Peradilan Militer Khusus
tidak ada/dihapus.[71]
3. Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB)
Berdasarkan
Undang-undang No. 5 tahun 1963 tanggal 24 Desember 1963 dibentuk Mahkamah
Militer Luar Biasa sebagai pengadilan khusus, kemudian menjadi Undang-undang
No. 16 Pnps Tahun 1963. Tempat kedudukan dan daerah hukum Mahkamah ini, adalah
di Ibukota Negara RI yaitu Jakarta dan Daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah
negara (pasal 2). Dengan demikian, persidangan dapat dilakukan di Ibu Kota
Negara atau di luar Ibu Kota Negara.
MAHMILLUB telah
bersidang di tempat kedudukannya di Jakarta dan di Luar Jakarta, yaitu Medan,
Pekanbaru, Palembang, Padang, Bandung, Banjarmasin, dan Makassar. Mahkamah Militer Luar
Biasa memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan
terakhir perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden (pasal 1).
Perkara-perkara khusus dimaksud, adalah mengenai perbuatan yang merupakan
ancaman dan bahaya besar bagi keamanan bangsa dan negara, sehingga memerlukan
penyelesaian yang sangat segera. Pelaku tindak pidana tersebut tidak dibatasi,
baik militer maupun sipil.
Oleh karena itu, maka
penentuan suatu perkara khusus dilakukan oleh Presiden. Perkara G-30-S-PKI
misalnya, hanya perkara para tokohnya saja yang dinyatakan sebagai perkara
khusus dan diadili oleh MAHMILLUB.[72]
Sedangkan perkara-perkara G-30-S/PKI lainnya yang bukan melibatkan tokoh,
diperiksa dan diadili oleh :
1) Mahkamah
Militer, apabila pelakunya anggota militer.
2) Pengadilan
Negeri, apabila pelakunya sipil.
4. Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata
(MAHSAMANTA)
Berkaitan peiaksanaan
DWIKORA, dirasa perlu adanya penyelesaian yang cepat terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata serta angota Hansip dan
Sukarelawan untuk memelihara dan mempertahankan semangat dan disiplin yang
tinggi, sehingga dengan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1965 yang diundangkan
pada tanggal 15 Maret 1965, dibentuk suatu Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata
yang berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan Bersenjata anggota
Angkatan Bersenjata anggota Hansip serta Sukarelawan dan meskipun telah
dibentuk, kenyataan mahkamah ini belum pernah bersidang, bahkan sampai
dicabutnya Penetapan Presiden no. 5 Tahun 1965 tersebut.
f. Peradilan Militer Tahun 1966 sampai
dengan tahun 1997
a.
Peradilan Militer Integrasi.
Sejak keluar Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pelaksanaan Peradilan Militer di dalam 1
ingkungan masing-masing Angkatan masih berjalan terus sebagaimana sebelumnya.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan tanggal 16 Agustus 1973, sebagaimana
ditentukan dalam Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan
Keamanan/Panglima Bersenjata masing-masing No. J.S.4/10/14 tanggal 10 Juli 1972
SKEP/2/498/VII/72 tentang Perubahan Nama, Tampat Kedudukan, Daerah Hukum,
Yurisdiksi serta kedudukan Organisatoris, Daerah Hukum Mahkamah Militer Tinggi
dan Orditurat Militer Tinggi. Bersamaan dengan No. KEP/B/10/III/ 1973 tanggal
19 Maret 1973, mengenai Tempat J.S.8 /18/ 19 Kedudukan dan Daerah Hukum
Mahkamah Militer dan Oditurat Militer.
Sebelumnya pada Tahun
1968 dikeluarkan surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kehakiman dengan
Menteri Pertahanan Keamanan No.Kep /8.306/1968 tentang perubahan nama Peradilan
Tentara, Daerah Hukum dan Tempat Kedudukan. Nama Peradilan Tentara diubah
menjadi Mahkamah Militer (Mahmil) dan daerah hukumnya meliputi suatu Daerah
Militer dan berkedudukan di tempat kedudukan Markas Komando Daerah Militer atau
di tempat Lain dalam wilayah Komando Daerah Militer (Kodam) serta Nama
Peradilan Tentara Tinggi diubah menjadi Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) yang
daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia.
Terintegrasinya
peradilan/mahkamah militer telah menjadikan Peradilan Militer tidak lagi berada
dalam lingkungan Angkatan masing-masing, tetapi
dilakukan oleh badan Peradilan Militer yang berada di bawah Departemen
Pertahanan/Keamanan dan pelaksanaan Peradilan Militer yang terintegrasi ini
merupakan suatu perkembangan penting yang tidak bisa dilepas dan perkembangan
ABRI. Di samping itu, terhitung mulai 17 Agustus 1973, semua perkara harus
diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Militer Integrasi.
Menyesuaikan
perkembangan istilah dalam bidang peradilan yang terdapat dalam berbagai
peraturan perundangan, antara lain dalam Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970, maka terhadap nama pengadilan ketentaraan perlu dilakukan
penyesuaian, dan dengan penyesuaian itu, maka penyebutan nama kekuasaan
kehakiman dalam Peradilan Militer dilakukan Militer, yaitu:
1) Mahkamah
Militer (Mahmil)
2) Mahkamah
Militer Tinggi (Mahmilti)
3)
Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
Sedangkan susunan
jabatan Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, adalah mengikuti
ketentuan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1950 yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 22 Pnps Tahun 1965.
Susunan persidangan
Mahmil/Mahmilti sesuai dengan Ketentuan UndangUndang No. 5 Tahun 1950 jo.
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, adalah dengan tiga orang hakim tersebut, satu
orang oditur dan seorang panitera. Tiga orang
hakim tersebut, satu orang hakim sebagai Ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota.
Dengan tersedianya tenaga hakim, maka hakim anggota terdiri dari Hakim Perwira
(Kimpa) atau Hakim Militer (Kimmil), dan untuk memberikan arti pada asas
integrasi, maka komposisi sidang diusahakan terdiri dan unsurunsur ketiga
Angkatan dan Polri. Hukum acara yang dipergunakan dalam proses peradilan
Mahmil, Mahmilti integrasi adalah tetap mengacu pada ketentuanketentuan yang
telah diatur, khususnya dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 dan perubahannya,
yaitu Undang-Undang No. 1 Prt Tahun 1958.
Bersamaan dengan
berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) melalui Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 yang secara tegas mencabut HIR sepanjang menyangkut hukum
acara pidana, maka perkataan berpedoman pada HIR sebagai tercantum dalam
Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 tersebut, harus dibaca berpedoman pada RUHAP.
Hal ini disebabkan ketentuan dalam KUHAP tidak dapat sepenuhnya diberlakukan
dalam lingkungan peradilan militer, berpangkal pada kekhususan-kekhususan yang
terdapat dalam kehidupan militer.
b.
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub)
Seperti yang telah
diuraikan pada bagian di atas, Mahimillub sebagai pengadilan militer khusus,
dibentuk berdasarkan penetapan Presiden No. 16 tahun 1963, kemudian berdasarkan
Undang-undang nomor 5 tahun 1969 dinyatakan menjadi. Undang-undang nomor 16
Pnps tahun 1963. Keberadaan Mahmillub sebagaimana dilaksanakan pada masa
sesudah 11 Maret. 1966, pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti
karena secara substansi keberadaannya selalu
dikaitkan dengan perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden.
Kegiatan Mahmillub pada
masa sesudah 11 Maret 1966 terutama dalam memeriksa dan mengadili perkara
tokoh-tokoh G-30-S/PKI sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor
370 tahun 1965, terdapat perubahan sehubungan dengan perkembangan keadaan,
organisasi dan administrasi pemerintah.
Perubahan tersebut
ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1973 yaitu:
1) Memberikan wewenang kepada Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau pejabat yang ditunjuk olehnya, untuk:
a).
Menentukan siapa yang termasuk tokoh-tokoh
G-30-S/PKI
b).
Bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara
dalam perkara tersebut. c). Menentukan susunan Mahmillub untuk mempersiapkan,
memeriksa dan mengadili perkara-perkara tersebut.
2) Pembiayaan peradilan dan penyelesaian perkara
dibebankan kepada Departemen Pertahanan Keamanan cq. Anggaran Khusus Kehakiman
ABRI.
g. Tahun 1997 sampai dengan sekarang
a.
Peradilan Militer Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997.
Berdasarkan
undang-undang ini, maka semua peraturan, undang-undang yang berkaitan dengan
Peradilan Militer maupun hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang
ini selain mengatur tentang susunan dan kekuasaan
pengadilan serta oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer juga
memuat hukum acara pidana militer. Hal yang paling baru yang belum pernah
diatur sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
1) Pengadilan
Militer;
2) Pengadilan
Militer Tinggi;
3) Pengadilan
Militer Utama; dan
4) Pengadilan
Militer Pertempuran (pasal 12)
Kekuasaan Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama
dengan kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya,
hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan menggabungkan gugatan ganti
rugi.
Sedangkan Pengadilan
Militer Utama, sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir sama,
hanya ditambahkan kekuasaan untuk memutus perbedaan pendapat antar Perwira
Penyerah Perkara dan Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.
Sedangkan Pengadilan
Militer Pertempuran memiliki kekuasaan memeriksa Pidana oleh prajurit (militer)
di daerah pertempuran serta bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan,
berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal
46) pidana yang dilakukan oleh prajurit ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan
undang-undang atau seseorang yang berdasarkan
Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan
militer juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana
dalam satu putusan.
Undang-undang Nomor. 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer selain mengatur susunan, organisasi
peradilan juga mengatur hukum acaranya, hukum acara yang diatur dalam
Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dengan berbagai kekhususan, seperti kewenangan Komandan
(Atasan yang Berhak menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan serta peran
Perwira Penyerah Perkara dalam penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal
131)
b. Pemisahan Polri dari ABRI
Berdasarkan Ketetapan
MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000
tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu
keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara
Selanjutnya berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri
ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada
Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR /
2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan
diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal
43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun
pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan
perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan
peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota
Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan
Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan
peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa
perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer
mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang
ditentukan oleh Perundangundangan tunduk kepada Peradilan Militer dan
koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan
memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.
Perkembangan selanjutnya
guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen, berbagai pihak terutama
hakim meyakini perlunya memberlakukan sistem satu atap (one roof system) bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. [73]
Satu atap dalam arti satu sistem yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yudisial dan
kewenangan pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan finasial peradilan,
berada di Mahkamah Agung RI, lepas dari campur tangan pemerintah (Mabes TNI)
untuk Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 72 ayat 3
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur,
Pengalihan organisasi, administrasi, dan
finansial dalam lingkungan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004. Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakannya Keputusan
Presiden Nomor 56 tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak
30 Juni 2004 vide pasal 2 ayat (1), bahkan
secara phisik penyerahan baru terjadi pada tanggal 1 September 2004.[74]
Akibat yuridis dari peralihan tersebut, semua pegawai negeri sipil di
lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil militer
sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang personil militer.
BAB III
KEWENANGAN PENGADILAN MILITER
DALAM MENGADILI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA UMUM
3.1 Dasar Pengaturan
Kewenangan Pengadilan Militer Dalam Mengadili Prajurit TNI Yang Melakukan
Trindak Pidana Umum
Dalam sistem hukum terdapat sub
sistem-sub sistem hukum sebagai satu kesatuanyang saling berinteraksi. Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme
kompleks dimana struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. Sub sistem hukum dalam hal ini adalah substansi hukum, struktur hukum, dan
budaya hukum. Ketiga sub
sistem inilah yang sangat menentukan apakah suatu sistem dapat berjalan atau
tidak.Menurut Lawrence M. Friedman, substansihukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure)yakni :
“The structure of a system is its
skeletal frame work; it is the permanent shape, the institutional body of the
system, the tought, rigid bones that keep the process flowing within bounds, we
describe the structure of a judicial system when we talk about the number of
judges, the jurisdiction of court, how higher courts are stacked on top of
lower courts, what persons are attached to various court, and what their roles
consist of. The substance is composed of substantive rules and rules about how
institutions should behave.[75]
Dapat
dipahami dari uraian dalam teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman bahwa,
sistem hukum terdiri dari sub sistem-sub sistem hukum yang saling berinteraksi,
yakni :[76]
1.
Struktur hukum adalah dasar dan merupakan
unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem adalah kerangka
permanen, atau unsur tubuh dalam
sistem
hukum. Struktur dalam sebuah sistem meliputi lembaga yang diciptakan oleh sistem
hukum dengan berbagai macam fungsi.
2.
Substansi hukum adalah aturan atau
norma hukum. Substansi tersusun dari
peraturan-peraturan
mengenai bagaimana institusi-institusi bertindak.
3.
Budaya
hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan- kebiasaancara berfikir,
cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dariwarga masyarakat, tentang
hukum dan berbagai fenomena yang berkaitandengan hukum.
Mengacu padapendapat Lawrence Meir
Friedman mengenai teori sistem hukum, Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa :
“Struktur
mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya mencakup
tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut,
hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi
norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang
berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).”[77]
Hukum
sebagai kontrol sosial dari
pemerintah (law is governmental social
control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku,
baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Di sisi lain kontrol
sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa
akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan
hukum.[78] Tidak ada
cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang
dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara
khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau
pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.
Dalam perjalanan sejarah Peradilan Militer telah
banyak mengalami perubahan-perubahan, namun di Era Reformasi telah pula terjadi
pergesaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan UUD 1945. Saat ini masih terus berlangsung revisi terhadap Peradilan
Militer sebagai usul DPR terhadap Pemerintah sebagaimana terdapat dalam TAP MPR
dan tertuang dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004
tentang TNI.
Dalam teori atau filsafat hukum, agar hukum ditaati,
(maksudnya) ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik
yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena peraturan
perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik
harus mengandung ketiga unsur tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah
bagaimana imbangan antara unsur itu? Hal ini akhirnya sangat tergantung pada
pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan
perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang
terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan
melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur
kebaikan hukum dari “rechtsidee” (Cita hukum)
tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis.[79]
TNI sebagai Wadah pengabdian, pengalaman perjuangan
kemerdekaan Indonesia telah timbul keyakinan yang kuat tentang hakikat
pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg) yaitu perlawanan rakyat semesta,
yang dilaksanakan dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta
(Sishankamrata) dimana TNI sebagai angkatan perang terdiri dari Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), yang menjadi komponen utama kekuatan Hankamneg. Sishankamrata dibina sebagai
kekuatan Hamkamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan siap yang relatif
kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilisasi yang tinggi dan
kekuatan cadangan yang cukup.
Peradilan Militer merupakan wadah, pembinaan prajurit
TNI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan sehingga mampu
mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan,
pertahanan maupun keamanan negara. Dalam hal itu pembinaan prajurit TNI
merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap
Komandan/Pimpinan satuan TNI yang bersangkutan mulai dari yang terendah sampai
dengan yang tertinggi.[80]
Tugas dan beban yang berat dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
NKRI dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta. Sejalan dan searah
dengan sejarah perkembangan Peradilan Militer di Indonesia dan masa ke masa
a.
Peradilan Militer pada masa penjajahan
b.
Peradilan Militer pada masa perang
kemerdekaan (1945 1949)
c.
Peradilan Militer masa Republik Indonesia
Serikat (1949-1950)
d. Peradilan Militer masa berlakunya UUDS
(1950-1959)
e. Peradilan Militer Periode 5 Juli I 959 sampai
dengan 11 Maret 1966.
f. Peradilan Militer 1966 sampai dengan 1997.
g.
Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang.
Peradilan militer telah berjalan sebagaimana mestinya
dan telah melaksanakan reformasi. Perubahan sistim dan sistem dan unsur-unsur
pidana akan sangat berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Hal
ini juga menyangkut legalitas baik legal
structure, legal substance dan legal
culture Doktrin-doktrin yang terdapat dalam hukum militer dan hukum acara
pidana militer.
Generasi yang menjalankan negeri saat ini memang
bukanlah mereka yang bermandikan peluh darah dalam memperjuangkan kemerdekaan,
bila tidak kita lestarikan, bisa saja apapun yang sudah ada hanya menjadi sebuah
tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak
padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat
kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan
di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan dihargai.[81]
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai
jasa-jasa para pahlawannya Kata-kata bijak ini mengandung makna yang dalam dan
sangat berarti bila kita mengenang dan memaknainya dengan menghargai perjuangan
para pahlawan kita, yang rela berkorban jiwa raga demi bangsa dan tanah air
tercinta. Para pahlawan yang gugur di medan tempur dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, gugur menjadi bunga kesuma bangsa yang
tidak ternilai harganya. Hal inilah yang diwariskan oleh para pahlawan patriot
bangsa dengan keberanian dan rela berkorban seyogianya kita jadikan benteng
dihati sanubari setiap anak bangsa untuk melanjutkan cita-cita negara dalam
mengisi kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia tercinta. Semboyan para
pejuang kita dalam meraih kemerdekaan “lebih baik hancur lebur bersama debunya
kemerdekaan, dari pada hidup subur di alam penjajahan”
Sejarah Perjuangan bangsa ini pulalah yang melahirkan
patriot putra-putra bangsa. Berperang mengusir penjajah dengan gagah perkasa
dalam gabungan kesatria-kesatria dengan laskar pejuang-pejuang lainnya walau
dengan persenjataan yang amat sederhana, terkenal dengan bambu runcingnya
melawan meriam dan mortir belanda. Dari laskar pejuang yang berubah menjadi BKR,
TKR, TRI, TNI inilah penjelmaan rakyat Indonesia dalam perjuangan menjadi
tradisi bangsa manunggal TNI dengan rakyat. Dari pengalaman perjuangan yang
panjang TNI sebagai penjelmaan seluruh rakyat mampunyai tugas dan fungsi
sebagai penegak kedaulatan.
Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 31
tahun 1997 di sebutkan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer
merupakan badan kekuasaan Kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata dan
pelaksanaan
kekuasaan
kehakiman sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada Mahkamah Agung
sebagai pengadilan negara tertinggi.[82]
Dalam Pasal 9 ayat (1) Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah
a)
Prajurit
b)
Yang menurut Undang-undang dipersamakan
dengan prajurit
c)
Anggota suatu golongan atau jawatan atau
badan-badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan
Undang-undang.
d)
Seseorang yang tidak masuk golongan pada
huruf a. b. dan huruf c, tetapiatas keputusan Panglima TNI dengan persetujuan
Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.[83]
Saat ini Peradilan Militer baik pembinaan organisasi
administrasi, tehnis dan finansial Peradilan Militer sudah berada dibawah
Mahkamah Agung, akibat reformasi, krisis kepercayaan terhadap Peradilan Militer
dianggap kebebasan yang tidak mandiri masih campur tangan Mabes, kurang
terbuka, sebagian masyarakat menganggap Peradilan Militer impunity karena
keberadaan ankum dan adanya Papera, menjadikan penghambat, Peradilan Militer
hanya berlaku bagi anggota bawahan sedangkan petinggi militer tidak.
Dasar hal tersebut, atas hak inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sedang dibahas konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal
yang sangat mendasar adalah dalam konsep RUU mengenai perubahan
atas Undangundang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Yaitu dengan
keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : VII/MPR/2000 tentang
Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 3 ayat (4) mengatur “
a Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer
dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan
umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
b. Kekuasaan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (4a) tidak berfungsi maka prajurit TNI tunduk dibawah kekuasaan peradilan
yang diatur dengan Undang-undang.
Sampai saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak
pidana, baik tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, atau tindak pidana
militer yang diatur dalam KUHPM, maupun tindak pidana lain yang tersebar di
luar KUHP, seperti : Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Lalu Lintas dan
lain-lain masih diadili dalam Peradilan Militer. Kecuali untuk perkara-perkara
yang dilakukan secara bersamasama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing
tunduk pada justisiabel peradilan
yang berbeda, yaitu dilakukan oleh orang sipil (tunduk pada justisiabel peradilan umum) dan militer
(tunduk pada justisiabel peradilan militer) atau yang dikenal dengan istilah
perkara koneksitas, maka telah ditentukan dengan ketentuan, apabila kepentingan
militer yang lebih banyak dirugikan, ia akan diadili oleh pengadilan militer,
tetapi apabila kepentingan sipil lebih banyak dirugikan maka ia akan diadili
oleh pengadilan umum.
Sebagaimana tercetus dalam Era Reformasi bahwa tekad
rakyat Indonesia melalui reformasi untuk memberantas segala bentuk penyelewengan
seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan
penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti langkah-langkah nyata dalam
menerapkan da menegakkan hukum. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya campur
tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum
mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan UndangUndang Dasar
1945 khususnya paa bagian sistem pemerintah negara yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan atas kekuasaan (machstaat).
Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur
sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya
suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum.[84]
Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang
Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli
2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan
kedudukan yang setara.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89
tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di
bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan
dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1)
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan
umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum
diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan
memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2)
mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam
pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar,
sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9
mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundangundangan
tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer
sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.
Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum,
prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas.
RUU Perubahan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pidana Peradilan
Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun,
pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada
persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan
yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut
Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada
kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus.[85]
Rumusan secara tegas mengenai Koneksitas dapat
diketemukan pada BAB XI UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau
yang lebih dikenal dengan KUHAP, dengan judul Pemeriksaan Koneksitas. Sedangkan
pengertian koenksitas sendiri dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 89 ayat (1).
Tindak
Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan
Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara
itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer.
Rumusan koneksitas pada BAB XI Pasal 89 sampai dengan
Pasal 94 KUHAP kemudian ditransfer ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer dalam BAB IV bagian Kelima Pasal 198 sampai dengan
Pasal 203.
Peraturan-peraturan yang bersifat umum yang hanya
berlaku bagi militer yang disebut hukum militer, selain bersifat keras dan
berat, sering pula disasarkan kepada azas-azas yang menyimpang dari teori-teori
hukum pidana termasuk sanksinya sering menjungjung dari stelsel pemidanaan yang
lazim berlaku bagi masyarakat biasa. Dalam arti perluasan jenis-jenis pidana
dan pemberatan pidana maka lahirlah di bidang hukum pidana, hukum pidana
militer dan satu jenis hukuman lagi mempunyai ciri-ciri seperti hukum pidana,
tetapi karena alasan pembentukannya mempunyai tujuan yang berlainan maka dibedakan
daripadanya dan disebut hukum disiplin militer.
Jenis-jenis hukum ini dibukukan dalam buku tersendiri
yakni berturutturut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT)
sekarng Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab UndangUndang,
Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara (KUHDT) sekarang Kitab Undang-Undang
Hukum Disiplin Militer (KUHDM).
Semula memang pernah dipersoalkan jenis hukum ini,
khususnya mengenai Hukum Pidana Militer, tidak sebaiknya dibukukan menjadi satu
dalam KUHP. Gagasan untuk membukukan Hukum Pidana Militer menjadi satu dengan
Hukum Pidana khusus kemudian dilepaskan, oleh karena perkiraan-perkiraan yang
keras dan berat, serta dalam beberapa hal sering menyimpang dari azas yang
berlaku umum ini, di samping memang memerlukan adanya hukum yang tersendiri.
Juga akan menyulitkan bila dimasukkan dalam satu buku dengan Pidana Umum yaitu
dalam KUHP.
Menurut Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan
mengatakan bahwa puncak peradilan tetap ada di Mahkamah Agung, meskipun
nantinya dibawa ke peradilan umum atau dipertahankan. Seperti sekarang
diperadilan militer, perkara itu akan tetap berpuncak ke Mahkamah Agung. Semua
pihak harus memperhatikan aspek sosiologis dan aspek normatif, secara
sosiologis apakah polisi sanggup menyidik tentara dan apakah realistis. Pada
bagian lain, pekerjaan pengadilan sudah cukup banyak kalau ditambahkan lagi
dengan masalah militer, apakah Peradilan Umum sanggup dan perlu dicek apakah
keputusan Peradilan Militer selalu lebih ringan dari pada Peradilan Umum.[86]
Menurut Juwono Darsono (Menhan) : Aspek psikologis
TNI-Polri, Belum siapnya penegak hukum sipil di lapangan, yaitu : Polisi,
Jaksa, Hakim, ketika melayani perkara yang melibatkan prajurit TNI. KUHPM
sebagai dasar hukum materil masih belum dirubah, perubahan landasan hukum
materil harus terlebih dahulu dilakukan sebelum merevisi Undang-Undang
Peradilan Militer, sebab di KUHP tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang
prajurit bisa dituntut atau dihukum di Peradilan Umum, jadi harus ada aturan
peralihan. Peradilan sipil dengan peradilan militer sudah sama tingkatannya.
Mencarikan alternatif agar tidak terjadi kebuntuan dengan memasukkan/melibatkan
unsur peradilan sipil, seperti Hakim, Jaksa ke peradilan militer.[87]
Menurut Muladi (Gubernur Lemhanas) : Pembuatan RUU
peradilan militer harus melibatkan hakim, jaksa, dari kalangan militer dan
diterapkan secara gradual dengan meniru Negara lain,
namun tetap ciri khas Indonesia. Pemberlakuan Undang-undang militer yang baru
secara bertahap, bila sudah ditetapkan pemerintah diberikan waktu 2 tahun bagi
anggota TNI menyiapkan sikap dan mental dan menerima perubahan. System campuran
menjadi jalan tengah yang baik dari koneksitas. Sulit menginplementasikan jika
militer disidik Polri. Sejarah dan aspek sosiologis TNI dan Polri tetap harus
menjadi perhatian utama.[88]
Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum,
prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas.
RUU Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi
lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang
mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial
dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen,
hukum memiliki suatu kekosongan (gaps)
artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit
karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus.[89]
Teori atau filsafat hukum, kepada kita diajarkan agar
hukum ditaati (maksudnya taat secara spontan bukan dengan paksaan), hukum itu
harus mempunyai dasar, ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku
secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena peraturan
perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundangundangan yang baik
harus mengandung ketiga unsure tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah
bagaimana imbangan antara unsur-unsur itu ? hal ini akhirnya sangat tergantung
pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan
perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang
terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan
melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur
kebaikan hukum dari “rechtsidee”
tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis.[90]
Terlepas dari perbedaan titik pandang tersebut, ketiga
unsur yuridis, sosiologis dan filosofis memang penting. Sebab setiap pembuat
peraturan perundang-undangan berharap agar kaidah yang tercantum dalam
perundangundangan itu adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima
masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panj ang.[91]
Pengertian kaidah hukum meliputi asas-asas hukum,
kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norm)
dan peraturan hukum konkrit. Pengertian kaedah hukum dalam arti luas itu
berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sisem, sistem hukum. [92]
Dari apa yang diuraikan
di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum
konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari
sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut (bandingkan dengan Scholten dalam G.J.
Scholten, 1949 : 402). Ini berarti menunjuk pada kesamaan-kesamaan yang
konkrit itu dengan menjabarkan peraturan hukum konkrit menjadi peraturan umum
yang karena menjadi umum sifatnya tidak dapat diterapkan secara langsung pada
peristiwa konkrit. Asas hukum ditemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu hukum
adalah mencari asas hukum dalam hukum positif. Jadi asas hukum sebagai pikiran
dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat melainkan tersirat dalam
kaedah atau peraturan hukum konkrit.[93]
Perlu tidaknya Hukum
Militer erat hubungannya dengan persoalan ada
tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya perbedaan fungsi ini tergantung dari pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.
Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan
orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan- kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya.[94]
tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya perbedaan fungsi ini tergantung dari pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.
Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan
orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan- kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya.[94]
Itulah
kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dari pada seorang militer. Secara
praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dari pada
seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama tadi.
Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat mengakibatkan suatu
malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa.[95]
Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana”
yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI
hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.
Undang-undang Darurat
Tahun 1951 Nomor 1 Pasal 56 mengenai istilah hukum pidana sipil ini adalah
lebih baik dan dapat diteruskan sebab dalam istilah tersebut dinyatakan
perbedaannya dengan hukum pidana militer. Saya katakan berlaku untuk umum,
karena juga berlaku bagi para militer (S.
1934-167 Jo Undang-undang 1947 Nomor 39). Bahwa hukum pidana sipil juga
berlaku bagi tentara, antara lain dinyatakan Pasal 1 KUHP dikatakan bahwa
aturan-aturan umum termasuk juga BAB IX KUHP pada umumnya berlaku dalam
menggunakan KUHP militer.
Menurut Prof.
Romli Atmasasmita pakar hukum Universitas
Padjajaran tentang perbedaan “tindak
pidana umum, dengan tindak pidana sipil” adalah. Tindak pidana sipil adalah
: Tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung
terhadap keamanan dan ketertiban sipil. Sedangkan tindak pidana umum adalah
tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung kepada
pertahanan negara. [96]
Ide dasar pemikiran
reformatif dan arah garis/politik hukum yang tertuang dalam TAP MPR/VII/2000
dan Undang-undang Nomor 4 tentang Kekuasaan Kehakiman serta undang-undang nomor
34 Tahun 2004 tentang Tentara nasional Indonesia memang seharusnya menjadi
landasan dalam melakukan perubahan perundang-undangan termasuk perubahan
terhadap undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Namun
dilihat dari sudut kebijakan pembaharuan atau penataan ulang keseluruhan
tatanan (system) hukum pidana militer
masih perlu dikaji ulang apakah tepat saat ini yang diperbaharui hanya
Rancangan undang-undang Peradilan militer.[97]
3.2 Kewenangan
Pengadilan Militer Dalam Mengadili Prajurit TNI Yang Melakukan Trindak Pidana
Umum
Peradilan Militer di Indonesia didasarkan
pada Undang-undang
No. 31 Tahun 1997.
Berdasarkan
undang-undang ini, maka semua peraturan, undang-undang yang berkaitan dengan
Peradilan Militer maupun hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang
ini selain mengatur tentang susunan dan kekuasaan
pengadilan serta oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer juga
memuat hukum acara pidana militer. Hal yang paling baru yang belum pernah
diatur sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.
Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
5) Pengadilan
Militer;
6) Pengadilan
Militer Tinggi;
7) Pengadilan
Militer Utama; dan
8) Pengadilan
Militer Pertempuran (pasal 12)
Kekuasaan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer
Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan
sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya, hanya ditambahkan dengan
sengketa Tata Usaha dan menggabungkan gugatan ganti rugi.
Sedangkan Pengadilan Militer Utama, sebelumnya
Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan
kekuasaan untuk memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan
Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.
Sedangkan Pengadilan Militer Pertempuran memiliki
kekuasaan memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di daerah pertempuran serta
bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan serta berdaerah hukum di
daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal 46) pidana yang dilakukan oleh prajurit
ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan undang-undang atau seseorang yang berdasarkan Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri
Kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata serta menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu putusan.
Undang-undang Nomor. 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer selain mengatur susunan, organisasi peradilan juga mengatur hukum
acaranya, hukum acara yang diatur dalam Undang-undang ini hampir sama dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai
kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang Berhak menghukum/Ankum)
melakukan penyidikan, penahan serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam
penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal 131)
b.
Pemisahan Polri dari ABRI
Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang
Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli
2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan
kedudukan yang setara.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89
tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di
bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan
dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1)
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan
umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum
diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan
memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2)
mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam
pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar,
sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9
mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundangundangan
tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer
sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.
Perkembangan selanjutnya guna mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang independen, berbagai pihak terutama hakim meyakini perlunya
memberlakukan sistem satu atap (one roof
system) bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. [98]
Satu atap dalam arti satu sistem yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yudisial dan
kewenangan pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan finasial peradilan,
berada di Mahkamah Agung RI, lepas dari campur tangan pemerintah (Mabes TNI)
untuk Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur, Pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan
Militer tanggal 30 Juni 2004. Ketentuan ini
tidak dapat dilaksanakannya Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 2004 tanggal 9
Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak 30 Juni 2004 vide pasal 2 ayat (1), bahkan secara phisik penyerahan baru terjadi
pada tanggal 1 September 2004.[99]
Akibat yuridis dari peralihan tersebut, semua pegawai negeri sipil di
lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil militer
sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang personil militer.
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer merupakan
badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata (sekarang
TNI) yang pelaksanaannya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi. Pasal 12 Undang-undang 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer merumuskan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari
:
dilakukan
sekarang atau secara gradual. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
selanjutnya dijawab melalui konsep law
and development yaitu gerakan dari pemikir Negara maju agar Negara
berkembang mengadopsi dan melakukan transformasi pengalaman negera berkembang
yang ingin membangun ekonominya tetapi terhambat oleh adanya ketentuan hukum
yang usang.
1.
Pengadilan Militer;
2.
Pengadilan Militer Tinggi;
3.
Pengadilan Militer Utama;
4.
Pengadilan Militer Pertempuran;
Masing-masing tingkat pengadilan tersebut di atas
mempunyai kekuasaan yang berbeda yang diatur pasal 42 sampai dengan 45 yaitu :
1. Kekuasaan Pengadilan Militer adalah :
Pengadilan
Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang
terdakwanya adalah :
a.
Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b.
Mereka sebagaimana dimaksud pasal 9 angka
1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten
kebawah; dan
c.
Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1
huruf d harus diadili oleh Peradilan Militer.
2. Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi
adalah :
a.
Pada tingkat pertama
1) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang
terdakwanya adalah :
a. Prajurit
atau salah satu prajurit berpangkat Mayor ke atas;
b.
Mereka sebagaimana dimaksud pasal 1 angka
(1) huruf b dan c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya termasuk tingkat
kepangkatan mayor ke atas dan;
c.
Mereka yang berdasarkan pasal 9 angka 1
huruf d harus diadili oleh Peradilan Militer Tinggi;
2) Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Angkatan Bersenjata (sekarang TNI).
3. Kekuasaan Peradilan Militer Utama adalah
:
Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara
pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (Sekarang TNI) yang telah
diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer tinggi yang dimintakan
banding.
a. Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat
pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili.
a)
Pengadilan Militer yang berkedudukan di
daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b)
Antara Pengadilan Militer Tinggi dan
c)
(3) Antara Pengadilan Militer Tinggi dan
Pengadilan Militer.
b.
Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi :
(1) Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama.
(2) Apabila 2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
c. Pengadilan
Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan
oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
d.
Pengadilan Militer Utama melakukan
pengawasan terhadap :
1) Penyelenggaraan
peradilan di semua lingkungan pengadilan Militer, pengadilan Militer Tinggi,
dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing.
2) Apabila
2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
perkara yang sama.
e. Pengadilan
Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan dari Peradilan Militer, Pengadilan Militer
Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
f. Pengadilan
Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu
kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
Pertempuran.
g. Pengawasan
dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
h. Pengadilan
Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kaasi, peninjauan kembali dan
grasi kepada Mahkamah Agung. 4. Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran adalah
:
a. Pengadilan
Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir
perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
angka 1 di daerah pertempuran.
b. Pengadilan
Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan kedudukan
serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
3.3 Perbedaan
Wewenang Komponen Sistem Peradilan Pidana dengan Sistem
Peradilan Pidana Militer.
Perbedaan antara kewenangan hakim dengan hakim militer
antara lain hakim militer tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan
praperadilan, karena keberadaan asas-asas yang bersifat khusus dalam Hukum
Acara Pidana Militer, dimana kekuasaan penyidikan termasuk penahanan ada pada
Atasan/Komandan praperadilan tidak dikenal serta tidak mengadili anak-anak.
Hakim berwenang menyatakan sidang tertutup selain
untuk perkara kesusilaan juga perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau
rahasia negara (pasal 141 ayat (3 ) UU nomor 31 tahun 1997, dan khusus untuk
perkara desersi dapat diadili secara in
absensia (pasal 143) dan terakhir dalam hal terdakwa diputus bebas dan
segala dakwaan atau diputus lepas dan segala tuntutan hukum tetapi menurut
penilaian hakim perbuatan terdakwa tidak layak terjadi dalam ketertiban atau
disiplin prajurit, hakim memutus perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah
Perkara (Papera) untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Militer (pasal 189
ayat (4) UU nomor 31 tahun 1997)[100]
Realita lain yang tidak bisa dibantah, adalah bahwa
baik Peradilan Umum maupun Peradilan Militer belum bebas dan KKN (korupsi,
kolusi, nepotisme) - Dengan kata lain, Peradilan Militer masih rentan terhadap
intervensi yang dapat mempengaruhi jalan/proses peradilan itu sendiri termasuk
dalam hal penjatuhan pidana yang kemudian dirasakan oleh masyarakat sebagai
tidak fair. Padahal
Undang-undang melarang adanya intervensi atau tekanan
dan fihak-fihak luar yang akan mempengaruhi pengadilan.
Menurut penulis, Peradilan Militer tetap diperlukan
dan harus tetap dipertahankan, karena selain dicantumkan dalam pasal 2 dan
pasal 10 ayat 2 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga
dicantumkan dalam konstitusi, yaitu terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) Undangundang
Dasar RI 1945 setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001 yang berbunyi; Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Lebih dari itu adalah untuk penegakan hukum dan
pembinaan personil (Prajurit) sehingga militer dapat melakukan tugas pokoknya,
yaitu di bidang pertahanan negara yang pada akhirnya diharapkan TNI menjadi
kuat.
Kekhususan itulah sebagai alasan untuk mempertahankan
keberadaan Peradilan Militer di Indonesia. Hanya saja kewenangannya perlu
diatur lebih jelas tindak pidana mana/bagaimana yang menjadi tindak pidana
militer dan sisanya merupakan pidana umum. Dalam menyusuri tindak pidana
militer yang menjadi kewenangan peradilan militer perlu dibahas secara mendalam
tentang kriteria apa saja yang masuk dalam tindak pidana militer, misalnya
tugas-tugas atau jabatan kemiliteran, dan yang tidak ada kaitan dengan
tugas-tugas dan jabatan kemiliteran tetapi dilakukan di suatu tempat yang
khusus, seperti di dalam markas, barak, kesatrian, pangkalan atau tempat-tempat
lain yang dikuasai militer.
Oleh karena itu pada era reformasi ini, ketika hukum
ingin dijadikan sebagai panglima (supremasi hukum), merupakan kesempatan bagi
para komponen (sub-sistem) Sistem Peradilan Pidana Militer untuk penunjukan
kepada masyarakat (rakyat sipil), bahwa peradilan militer mampu mewujudkan
kembali tujuannya, yaitu terwujudnya masyarakat militer tertib hukum, dan
menjadikan militer yang kuat. Lagi pula sudah tidak dimungkinkan lagi militer
untuk berpolitik, sehingga energinya dapat disalurkan kepada profesionalisme
militer saja.
Salah satu usaha yang mendorong terwujudnya
independensi peradilan militer, yaitu ada atensi atau perhatian masyarakat
secara terus menerus sehingga intervensi fihak lain dapat dihindari. Selain itu
harus diingat pula bahwa SPPM, seperti halnya SPP, bukanlah berdiri sendiri,
tetapi bagian dan sistem yang lebih luas, yaitu masyarakat. Perubahan-perubahan
seperti ekonomi, teknologi serta politik dalam masyarakat dapat mempengaruhi.
BAB IV
PELAKSANAAN PROSES PERADILAN BAGI PRAJURIT TENTARA
NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM
4.1 Kompetensi Peradilan
Militer di Indonesia
Peradilan Militer merupakan salah satu badan pelaksana
kekuasaan kehakiman di samping, Peradiian Umum, Peradilan Agama dan Peradilan
Tata Usaha Negara serta Mahkamah Konsitusi. Peradilan Militer mengadili perkaraperkara
tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu (militer). Pelaksanaan
peradilan militer berdasarkan pada Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Mi 1 ter yang mengatur kewenangan Pradi 1 an Militer yaitu:
1.
Pasal 9 angka 1 merumuskan:
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
me 1 akukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit
TNI.
b. Yang
berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit
c. Anggota
suatu golongan atau jawatan atau badan atau dipersamakan atau dianggap sebagai
prajurit berdasarkan undang-undang.
d. Seorang
yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b dan huruf c tetapi atas
keputusan panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer
2. Pasal 198 (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
yang menyatakan: Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum diperiksa
dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila
menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu
harus diperiksa dan diadili di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
4.1.1 Prajurit Tentara
Nasional Indonesia dalam perspektif
Hukum Pidana Militer dan Hukum Pidana Umum
1.
Prajurit
Pengertian prajurit dalam pasal 1 angka 42
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 yaitu:
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh
pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara
dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa dan raga, dan berperan serta
dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Pengertian prajurit di atas berbeda dengan pengertian
prajurit yang diatur dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia Pasal 21 mengatur, “prajurit adalah warga negara Indonesia
yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas
keprajuritan”.
Sejak ditetapkannya Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000
tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dengan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia kemudian dengan diundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka polisi bukan lagi
merupakan bagian dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tetapi merupakan
suatu lembaga yang berdiri sendiri (pisah dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia sekarang Tentara Nasional Indonesia) yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer Pasal 9 ayat 2 mengatur kewenangan peradilan militer untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer serta pada ayat 3 mengatur kewenangan
Peradilan Militer untuk memutus penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam
perkara pidana. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer penerapannya akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer diundangkan (pasal
353).
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 diundangkan pada
tanggal 15 Oktober 1997, seharusnya setelah 3 (tiga) tahun semenjak diundangkan
(16 Oktober 2000), ketentuan atau Peraturan Pemerintah tentang tata cara
penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer telah ada, namun sampai saat ini telah
lebih dan 10 tahun sejak diundangkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer belum juga ada, sehingga Peradilan Militer belum dapat
memutus penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer. Demikian juga halnya dengan
penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana, sampai saat ini
peradilan militer belum pernah memutusnya.[101]
Dengan demikian, sampai saat ini peradilan militer
hanya mengadili dan memutus perkara pidana yang dilakukan prajurit (militer),
untuk megetahui lebih lanjut perlu dijelaskan pengertian dan hukum pidana
militer.
2. Hukum Pidana Militer
Menurut S.R Sianturi ditinjau dan sudut justisiabel
maka hukum pidana militer (dalam arti materiel dan formal) adalah :
Bagian
dan hukum positif yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer, yang
menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang
merupakan larangan dan keharusan serta terhadap pelanggarannya diancam dengan
pidana yang menentukan dalam hal apa dan bilamana pelanggar dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang menentukan juga cara
penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya keadilan
dan ketertiban hukum.[102]
Apabila dilihat dari sudut mereka yang tunduk pada
yuridiksi peradilan militer, maka hukum pidana militer adalah salah satu hukum
pidana yang secara khusus berlaku bagi militer selain hukum pidana lainnya atau
dengan kata lain, seseorang militer merupakan subyek tindak pidana militer juga
subyek tindak pidana umum.
Hal ini lebih diperjelas oleh Pasal 2 KUHPM yang
berbunyi sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang No.39 Tahun 1947).
Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang
dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan
militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan
yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Selanjutnya
pasal 1 KUHPM mengatur sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947)
Untuk penerapan kitab Undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum
pidana umum, termasuk Bab kesembilan dan buku pertama Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan yang ditetapkan dengan
Undang-undang.
Penerapan pasal 1 KUHPM berkaitan dengan penerapan
ketentuanketentuan hukum pidana umum (KUHPM), maka untuk Pasal 2 ditujukan
kepada subyek yang melakukan tindak pidana, yaitu militer atau yang
dipersamakan yang tunduk pada kewenangan peradilan militer, di mana ia
melakukan tindak pidana yang tidak tercantum dalam pasal-pasal KUHPM, maka
diterapkan ketentuan hukum pidana umum (KUHP).
Ketentuan (pasal 2 KUHPM) semakin memperjelas subyek
tindak pidana yang menjadi yurisdiksi peradilan militer, yaitu selama ia
anggota militer dan melakukan tindak pidana, baik yang tercantum dalam KUHPM
maupun dalam KUHP, maka Ia tetap diadili di peradilan militer atau dengan kata
lain, di mana saja, kapan saja seseorang militer selalu membawa undang-undang
(hukum) pidananya.
Pengertian atau batasan agak berbeda diberikan oleh
Soedarto yang mengatakan, bahwa
Hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus
yang memuat aturan-aturan hukum pidana umum, ialah mengenai golongan-golongan
orang tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu, karena hukum
pidana militer hanya berlaku untuk anggota tentara dan yang dipersamakan.[103]
Apabila dilihat batasan ini, khususnya berkaitan
dengan jenis-jenis perbuatan tertentu atau tindak pidana tertentu, maka hukum
pidana militer hanya dikaitkan dengan tindak pidana yang murni atau khas
militer, dimana orang sipil belum tentu melakukannya, seperti desersi,
insubordinasi.
Oleh
karena itu akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan
perbedaan asas antara hukum militer dengan hukum pidana umum, juga tindak
pidana umum dan tindak pidana militer.
3. Hukum Pidana Umum
Sebelum dijelaskan lebih dahulu disampaikan bahwa
pengertian hukum pidana umum dalam tulisan ini disamakan dengan hukum pidana
(umum). Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap
orang, dan aturan-aturan ini, misalnya dijumpai dalam KUHP, Undang-undang Lalu
Lintas, dan sebagainya. Selanjutnya, batasan-batasan hukum pidana (umum)
diberikan oleh:
a. Sudarto
Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan
kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang
berupa pidana. Jadi hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu:
1) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu,
dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat
dipidana” atau dapat disingkat “Perbuatan jahat” (verbrechen atau crime).
2) Pidana, yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.
Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut
“tindakan tata tertib” (tuchtrnaatregel).[104]
Melihat pengertian tersebut, hukum pidana hanya
dimaksudkan dalam pengertian materiil, sebagaimana dalam KUHP, bagaimana cara
negara menjalankan ketentuan tersebut (Hukum Acara/KUHAP) tidak dijelaskan. Hal
ini berbeda dengan pengertian hukum pidana yang didefenisikan oleh
b.
Jan Remmelink
Hukum Pidana dibagi menjadi hukum pidana dalam arti
hukum pidana yang berlaku atau hukum positip sering disebut (jus poenale) dan hukum pidana dalam arti
subyektif (jus puniendi) yaitu:
1)
Hukum positif (jus poenale);
a)
Perintah dan larangan yang atas
pelanggaran terhadapnya oleh organ- organ yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang
dikaitkan (ancaman) pidana: norma-norma yang harus ditaati oleh siapapun juga;
b)
Ketentuan-ketentuan yang menetapkan
sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran
norma-norma itu; hukum penetensier atau lebih luas, hukum tentang sanksi;
c)
Aturan-aturan yang secara temporal atau
dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dan
norma-norma.
2) Hukum pidana dalam arti subyektif ius puniendi adalah hak dan negara dan
organ-organnya untuk mengakaitkan (ancaman) pidana pada perbuatanperbuatan
tertentu.[105]
c. Simons
Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana dalam anti
obyektif dan subyektif, yaitu:
1) Hukum pidana dalam arti obyektif adalah hukum
pidana yang berlaku atau juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale,
adalah keseluruhan
dan
larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang atas pelanggarannya oleh negara
atau oleh satu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu
penderitaan yang bersifat khusus berupa penderitaan, yang keseluruhan dan
peraturan-peraturan di mana syarat- syarat mengenai akibat hukum itu telah
diatur serta keseluruhan masalah penjatuhan dan pelaksanaan dan hukumnya itu
sendiri.
2) Hukum pidana dalam arti subyektif atau ius puniendi
mempunyaidua pengertian,
yaitu:
a)
hak dan negara dan alat-alat kekuasaannya
untuk menghukum, yaitu hak yang telah mereka peroleh
dan peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti
obyektif.
b)
hak dan negara untuk mengaitkan
pelanggaran terhadap peraturan- peraturannya dengan hukuman.[106]
d.
Moeljatno
Hukum pidana adalah sebagai bagian dan pada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan untuk:
1) Menentukan
perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman
atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
2) Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana
itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[107]
Dari uraian tersebut dapat diambil pengertian, bahwa
hukum pidana pada dasarnya merupakan peraturan hukum yang mengandung larangan
dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana,
sebagaimana terdapat dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur di luar KUHP
serta peraturan yang menetapkan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan
pidana, sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
4.1.2 Komparasi Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana
Militer
a.
Tindak Pidana Umum
Tindak pidana umum atau disebut dengan Delicta Communia, adalah tindak pidana
yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Hal ini dapat dilihat hampir setiap pasal
KUHP, yaitu yang dimulai dengan perkataan ‘barang siapa’ Sedangkan tindak
pidana militer dimasukkan kedalam pengertian tindak pidana khusus atau Delicta Propria, yaitu tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualifikasi
tertentu, misalnya pegawai negeri, nakhoda, militer (tentara).[108]
Oleh karena itu maka KUHP tersebut berlaku juga bagi
militer, sesuai ketentuan Pasal 1 KUHPM menentukan, bahwa untuk penerapan kitab
undangundang hukum pidana militer (KUHPM) berlaku ketentuan-ketentuan hukum
pidana umum, yang tidak lain adalah KUHP itu sendiri. Demikian pula ketentuan
yang diatur dalam pasal 2 KUHPM yang menentukan, bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh militer atau mereka yang tunduk pada peradilan militer tidak terdapat dalam KUHPM, maka diterapkan hukum pidana umum
yang tidak lain adalah KUHP itu sendiri, kecuali ada penyimpangan yang
ditetapkan oleh undang-undang.
b. Tindak Pidana Militer.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana militer, maka menurut
Sianturi, tindak pidana militer dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Tindak pidana militer murni, adalah
tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin
dilanggar oleh seseorang militer, atau dengan kata lain, tindak pidana yang
dilakukan oleh militer, karena keadaannya yang bersifat khusus, insubordinasi
yang diatur dalam Pasal 107 KUHPM, meninggalkan pos penjagaan dalam pasal 118
KUHPM.
2)
Tindak pidana militer campuran, adalah
tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan
dalam perundangundangan lain (dalam KUHP maupun undang-undang lain yang memuat
sanksi pidana di luar KUHP), tetapi diatur lagi dalam KUHPM, karena adanya sesuatu
keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain, sehingga
diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari
ancaman pidana dengan pemberatan (pasal 52 KUHP) misalnya tentang pemberontakan
sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (1) KUHPM, pencurian sebagaimana diatur
dalam Pasal 140 KUHPM.[109]
Pada penjelasan pasal 9 Rancangan Undang-undang
tentang Perubahan UU nomor 31 tahun 1 997 tentang Peradilan Militer, yang
dimaksud dengan tindak pidana militer adalah tindak pidana yang secara khusus
hanya ditujukan pelakunya berstatus militer.
Dengan demikian, ketentuan yang menjadi dasar
diadilinya seseorang militer yang melakukan tindak pidana baik yang diatur
dalam KUHPM, KUHP
maupun
undang-undang pidana khusus di luar KUHP, adalah pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM.
Ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 KUHPM
selengkapnya adalah berbunyi sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947). Untuk
penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana
umum, termasuk Bab Kesembilan dan Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Pasal ini menjelaskan tentang peranan
ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Umum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM) atau dengan kata lain, selama tidak ditentukan berbeda oleh
KUHPM maka digunakan atau diterapkan KUHP.
Lebih
jelas dapat dilihat bunyi Pasal 103 KUHP yang berbunyi:
Ketentuan dan delapan bab (Bab I sampai dengan Bab
VIII) dan buku ini (KUHP) berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum
menurut peraturan undang-undang (tersebut, termasuk KUHPM) ditentukan lain.
Sedangkan bab IX (Pasal 86 s.d. Pasal 102) tentang arti beberapa sebutan dalam
KUHP hanya berlaku untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP itu saja.
Selain itu, adanya penyebutan termasuk bab kesembilan
dan buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagaimana terdapat dalam
bunyi Pasal 1 KUHPM tersebut menurut Sianturi, bahwa pembuat undang-undang
menganggap masih perlu menegaskan tentang berlakunya Bab IX tersebut untuk
mencegah keragu-raguan.[110]
Hal ini seharusnya tidak perlu dicantumkan, karena
kalimat (pengertian) tersebut sudah mencakup dalam kalimat pertama, dan
pengertian dalam kalimat ini tidak hanya diterapkan Buku I KUHP pada KUHPM,
tetapi juga ketentuanketentuan dalam Buku II harus diterapkan atau
diperhatikan, termasuk pula ajaran-ajaran umum mengenai hukum pidana, dan hal
tersebut dapat dilihat dan pengguna rumusan atau istilah-istilah yang terdapat
dalam bab atau pasal-pasal KUHPM.
4.1.3 Komparasi
Peradilan Militer dengan Peradilan Umum
1. Persamaan KUHP dengan KUHPM
Sebagaimana terdapat dalam Buku I KUHPM, yaitu adanya
penggunaan rumusan dan istilah-istilah yang bersamaan antara judul dan Bab-bab
Buku KUHP dengan KUHPM, kecuali judul Pendahuluan yang mendahului Bab I dan
terdiri dan 3 pasal serta judul Bab Percobaan dan penyertaan yang tidak
terdapat dalam KUHPM.
Sistematika di KUHPM, tidak berbeda jauh dengan
sistematika KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan-ketentuan umum, selanjutnya
diikuti dengan kej ahatan.
2. Kekhususan KUHPM dan KUHP
Tidak adanya bab tentang percobaan dan bab tentang
penyertaan dalam KUHPM tidak berarti ketentuan-ketentuan tentang percobaan dan
penyertaan dalam KUHP tidak diikuti, tetapi selama tidak ditentukan lain oleh
KUHPM,
maka
ketentuan tentang percobaan dan penyertaan yang ada dalam KUHP tetap diikuti.
a.
Ketentuan
tentang Percobaan.
Ketentuan tentang percobaan yang tidak diikuti atau
disimpangi oleh KUHPM, khususnya berkaitan dengan ancaman pidananya atau
maksimum hukuman pokok yang tidak dikurangi dengan sepertiganya, sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 53 ayat (2) KUHP, antara lain terdapat dalam Pasal 66
ayat (2) KUHPM, yaitu diancam dengan pidana yang sama, militer yang dengan
maksud menyiapkan atau memudahkan pemberontakan militer atau Pasal 88 KUHPM,
yaitu maksimum ancaman pidana diduakalikan pada kejahatan ketidakhadiran tanpa
ijin atau pada kejahatan desersi apabila saat melakukan kejahatan itu belum
lima tahun sejak pelaku telah menjalani seluruh atau sebagian pidananya, juga
Pasal 94 KUHPM, Pasal 116 KUHPM, Pasal 125 KUHPM, 144 KUHPM sehingga dan Bab I
sampai dengan Bab VI Buku Kedua KUHPM selalu ditemukan penyimpangan terhadap
ketentuan tentang percobaan.
b.
Ketentuan
tentang Penyertaan.
Penyimpangan terhadap ketentuan tentang penyertaan
juga terdapat dalam pasal-pasal KUHPM, antara lain Pasal 72 ayat (1) yang
berbunyi :
Terhadap peserta dari suatu permufakatan jahat yang
disebutkan dalam Bab ini yang melaporkannya dengan suatu cara kepada penguasa
yang tidak mengetahuinya sebelumnya, sehingga karenanya pelaksanaan kejahatan
yang diniatkan itu dapat dicegah, ditiadakan penuntutan pidana.
Pasa1 lain yang merupakan penyimpangan terhadap
ketentuan tentang penyertaan, khususnya berkaitan dengan pemberatan pidana,
seperti Pasal 78 ayat (2) ke-3 dan ke-4 KUHPM, Pasal 88 ayat (1) ke-2 KUHPM,
Pasal 103 ayat (3) ke-3 KUHPM, dan lain-lain. Sedangkan pasal lain berkaitan
dengan kejahatan yang berdiri sendiri meskipun itu dilakukan bersama-sama
seperti Pasal 113 KUHPM yang berbunyi ;
Bilamana lima orang militer atau lebih berkelompok
jahat untuk secara bersatu mengabaikan tugas mereka, apabila karenanya terjadi
suatu tindakan nyata atau ancaman, maka kecuali kepada masing-masing
dipertanggungjawabkan tindakan-tindakan khusus yang dilakukannya, mereka
diancam karena pengacauan militer (militair
oproer) dengan pidana penjara maksimum dua belas tahun.
c.
Ketentuan
tentang Permufakatan Jahat.
Pemufakatan jahat, antara lain berkaitan dengan
memberikan bantuan pada musuh saat perang (Pasal 64 ayat (1) KUHPM), militer
yang melakukan pemberontakan (Pasal 67 KUHPM), dan lain-lain yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dimana untuk peserta, sebagaimana dimaksud
Pasal 72 KUHPM tidak dikenakan pidana.
d.
Ketentuan
tentang Pidana yang lebih berat
Alasan diadakan ketentuan hukum pidana militer berbeda
dengan ketentuan hukum pidana umum, salah satunya adalah ancaman pidana yang
lebih berat bagi mereka yang tunduk pada yurisdiksi peradilan militer.
Sebagaimana dikatakan oleh Sianturi sebagai berikut: . . . bahwa justru
diperlukan pemisahan hukum pidana dan badan
peradilan militer adalah untuk memberatkan ancaman pidana dan perjatuhan pidana
bagi justisiahel Peradilan Militer”.[111]
Selanjutnya
dikatakan pula, yaitu:
Bahwa ancaman pidana dalam Hukum Pidana Umum, sering
dirasakan kurang memadai/kurang berat bagi seseorang militer yang melakukan
kejahatan, walaupun dengan penerapan Pasal 52 KUHP. Kadang-kadang diperlukan
pidana (tambahan) yang berbeda dan pada yang ditentukan dalam KUHP.[112]
Sebagai contoh dan penyertaan tersebut, antara lain
yaitu Pasal 65 KUHPM tentang pemberontakan, diancam pidana penjara seumur hidup
atau penjara sementara dua puluh tahun. Sedangkan Pasal 108 KUHP, diancam
pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Demikian pula Pasal 145 KUHPM
tentang penadahan yang ancaman hukumannya selama tujuh tahun. Sedangkan Pasal
480 KUHP ancaman hukumannya selama empat tahun, dan lain-lain.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas yang
membedakan antara KUHPM dengan KUHPM, adalah tindak pidana atau kejahatan yang
khas atau murni militer yang tidak diatur oleh KUHP, seperti desersi (Pasal 87
KUHPM), insub-ordiriasi atau pembangkangan militer (Pasal 97 sampai dengan
Pasal 117 KUHPM), dan lain-lain.
e.
Koneksitas.
Sebagaimana telah disampaikan pada awal bab ini dalam
perkara tertentu (koneksitas) peradilan militer mempunyai kewenangan mengadili
pelaku tindak pidana yang bukan militer atau yang dipersamakan dengan militer
(yang diatur pada pasal 9 ayat 3). Pada Bagian Kelima Undang-undang Nomor 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur tentang Acara Pemeriksaan
Koneksitas. Pasal 198 berbunyi:
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka
yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum,
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali
apabila menurut keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
Ketentuan tentang koneksitas sebagaimana diatur dalam
Pasal 198 sampai dengan pasal 203 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer sama dengan sebagaimana diatur pada pasal 89 sampai dengan
pasal 351 dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Kemudian ketentuan mengenai tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka yang tunduk kepada lingkungan peradilan umum dan
lingkungan peradilan militer dalam hal keadaan tertentu tunduk kepada peradilan
militer bukan lagi menurut keputusan Menteri Pertahanan Keamanan dengan
persetujuan Menteri kehakiman tetapi menurut keputusan Mahkamah Agung,
sebagaimana diatur pada pasal 24 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka
yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan
tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah
dilihat dan titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.
Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara
tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik
berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut
diadili oeh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), pasal 89 sampai dengan pasal 94 mengatur perkara
koneksitas, bagaimana dan siapa yang menyidik perkara koneksitas, pembentukan
tim koneksitas, penelitian untuk menetapkan lingkungan peradilan mana yang akan
mengadili perkara koneksitas, peran Perwira Penyerah Perkara (Papera),
perbedaan pendapat antara penuntut umum dengan oditur dalam hal penentuan
peradilan mana yang berwenang mengadili, komposisi hakim dan lain-lain.
Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkaraperkara
yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota ABRI (sekarang TNI)
bersama-sama non ABRI (TNI), pada hakekatnya merupakan suatu kekecualian
ataupun penyimpangan dan ketentuan, bahwa seseorang seharusnya diadili dalam
sidang Pengadilan yang menjadi yurisdiksinya.
Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undangundang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer kewenangan diberikan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadi1an Militer
sebagai pengadilan yang berwewenang mengadili perkara koneksitas, maka dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 maka kewenangan tidak lagi pada
Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, tetapi pada
Ketua Mahkamah Agung yang menetapkan Peradilan Militer sebagai pengadilan yang
berwenang mengadili perkara koneksitas.
4.2 Sistem Peradilan Pidana Militer di Indonesia
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sistem
Peradilan Pidana Militer akan dijelaskan terlebih dahulu Sistem Peradilan
Pidana (yang berlaku umum) sebagai pembanding, khususnya berkaitan dengan
komponen atau sub sistem peradilan pidana yang meliputi kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Seperti diketahui, keempat lembaga (instansi/badan)
tersebut masingmasing secara administratif berdiri sendiri. Kepolisian saat
ini kedudukannya langsung di bawah Presiden. Kejaksaan berpuncak pada Kejaksaan
Agung, Pengadilan (berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman) Pasal 42 ayat (1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan
finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara
selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004. Kemudian (lembaga)
Pemasyarakatan berada dalam struktur organisasi Departemen Kehakiman, yaitu di
bawah Ditj en Pemasyarakatan.
Keempat komponen atau sub-sistem peradilan pidana
tersebut menurut Mardjono Reksodiputro, memiliki keterkaitan antara sub-sistem
satu dengan 1ainnya, ibarat bejana berhubungan, dan diharapkan bekerjasama
membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu integrated criminal justice system.[113]
Demikian halnya dengan sistem peradilan pidana
militer, memiliki komponen atau sub-sistem peradilan pidana militer yang
meliputi : Polisi Militer, Oditurat Militer, Pengadilan (berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pada pasal 42 ayat
(3) pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan
peradilan militer kepada Mahkamah Agung selesai dilaksanakan paling lambat
tanggal 30 Juni 2004. Dari Pemasyarakatan Militer serta hal yang sangat
membedakan adalah adanya lembaga Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM) serta
Perwira Peryerah Perkora (PAPERA)
Hal ini berbeda dengan sistem peradilan pidana
militer, dimana Atasan yang berhak menghukum (Ankum) adalah penyidik selain dan
Polisi Militer dan Oditur sebagaimana terdapat dalam pasal 69 ayat (1) UU No.
31 tahun 1997. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan PNS tertentu
(Pasal 6 ayat (1) KUHAP). Sedangkan Oditur yang seharusnya sebagai penuntut
(Pasal 64 ayat(1) huruf a) juga dapat melakukan penyidikan (pasal 64 ayat 2) UU
No. 31 Tahun 1997. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu (Pasal 6 ayat (1) KUHAP)
4.2.1 Perbedaan
komponen SPP dengan Komponen SPPM
Perbedaan komponen sub-sistem peradilan pidana dengan
sub-sistem peradilan pidana militer dapat digambarkan, sebagai berikut;
4.2.2 Asas Hukum Acara Pidana Militer
Keterlibatan Ankum dalam hal penyidikan pada sistem
peradilan pidana militer, sangat berkaitan dengan asas dan ciri-ciri tata
kehidupan militer, yaitu;
a.
Asas Kesatuan Komando.
Dalam kehidupan organisasinya, seorang komandan
mempunyai kedudukan yang sangat penting karena bertanggungjawab penuh terhadap
kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi wewenang
penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana. Sesuai dengan asas
kesatuan komando tersebut di atas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak
dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan, tetapi dalam Hukum Acara
Pidana Militer dikenal adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
b. Asas
Komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya.
Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan
bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih,
sehingga seorang komandan harus bertanggungjawab penuh terhadap kesatuan dan
anak buahnya.
c. Asas
kepentingan Militer
Untuk menyelenggarakan pertahanan, kepentingan militer
diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus
dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan
kepentingan hukum.
Asas-asas tersebut merupakan kekhususan dan asas Hukum
Acara Pidana (umum). Meskipun demikian, Hukum Acara Peradilan Militer tetap
berpedoman pada asas-asas yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2004 (tanpa
mengabaikan asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer). Begitu pula Hukum Acara
Pidana Militer disusun berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan
pengecualian-pengecualian.
Berkaitan dengan keberadaan asas-asas tersebut,
nantinya dapat mempengaruhi proses dalam sistem peradilan pidana militer, atau
dengan kata lain dapat memacetkan aliran sistem peradilan pidana militer, yaitu
dalam hal salah satu unsur atau komponen SPPM tersebut, misalnya Papera yang
tidak bersedia menyerahkan anak buahnya yang disangka telah melakukan tindak
pidana dengan tidak mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (skeppera) untuk diadili di pengadilan, maka oditur selaku
penuntut tetap tidak dapat melakukan fungsinya.
4.2.3
Komponen Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM)
Selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan peran atau
kewenangan Ankum, Papera, Polisi Militer, oditur, dan hakim serta
pemasyarakatan militer, sebagai berikut:
a.
Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum).
Berdasarkan pasal 74 UU No.31 Tahun 1997, atasan yang
berhak menghukum (Ankum) mempunyai wewenang
a.
Melakukan penyidikan terhadap prajurit
bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan
oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf
C, yaitu Polisi Militer atau oditur.
b.
Menerima laporan pelaksanaan penyelidik
dan penyidik polisi militer atau oditur.
c.
Menerima berkas perkara hasil penyidikan
dan penyidikan Polisi Militer atau Oditur.
d.
Melakukan penahanan terhadap tersangka
anggota bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya.
Berhubung tidak semua Atasan memiliki waktu atau
kesempatan untuk melakukan penyidikan terhadap anak buahnya yang telah
melakukan tindak pidana maka berdasarkan Penjelasan Pasal 74 tersebut,
kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum)
untuk melakukan penyelidikan, pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik Polisi
militer atau Oditur.
Selesai melakukan penyelidikan, polisi militer atau
oditur melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan Yang Berhak
Menghukum (Pasal 71 ayat (2) huruf b) juga apabila anak buahnya disidik tanpa
sepengetahuan komandannya, maka penyidik segera melaporkannya kepada Atasan
yang berhak menghukum tersangka (Pasal 99 ayat (3)). Selain itu juga, penyidik
(polisi militer) selesai melakukan penyidikan, wajib segera menyerahkan berkas
perkara itu kepada Ankum (Papera), dan berkas aslinya kepada Oditur yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 101 ayat (1).
Dengan demikian, dalam proses penyidikan ini, Ankum
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan hukum di lingkungan
militer, karena polisi militer maupun oditur tidak secara mutlak dapat
melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan pemeriksaan tersebut hanya dapat
dilakukan atas ijin/sepengetahuan Atasan tersangka, kecuali tertangkap tangan
atau penyerahan tersangka (Pasal 102), dan pada dasarnya Atasan yang berhak
menghukum yang melakukan pengusutan dan pemeriksaan permulaan atas seorang
militer yang menjadi anak buahnya. Ia adalah pengusut, dan sebagai pengusut ia
tidak lagi berkedudukan di bawah pimpinan/perintah Jaksa Tentara.[114]
Apabila pemeriksaan pendahuluan dan suatu perkara
pidana di bawah pimpinan Jaksa (dalam SPP) sudah selesai, artinya apabila
menurut pendapat jaksa, ketereangan-keterangan sudah cukup terkumpul untuk
bahan-bahan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, maka
sudah saatnya bagi jaksa untuk menyerahkan perkaranya kepada hakim pengadilan
negeri yang berwenang, tetapi dalam sistem peradilan pidana militer,
jaksa/oditur militer bukan yang menentukan apakah suatu perkara pidana perlu
diadakan pemeriksaan pendahuluan yang lebih lanjut, artinya, ia tidak dapat
memeriksa langsung seorang tersangka tanpa turut campur Ankum/Komandan langsung
tersangka tersebut.
Penentu terakhir mengenai perkara pidana diserahkan
atau tidak ke pengadilan, bukan terletak pada oditur militer, meskipun oditur
yang mempersiapkan segala sesuatu mengenai perkara hingga selesai, juga
walaupun sebelumnya Papera/Komandan menentukan suatu perkara pidana diminta
pendapat oditur terlebih dahulu, tetapi karena sifat dan suatu pendapat atau
nasehat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara tidak mengikat,
pada akhirnya Ankum/Komandan yang menentukan.
b.
Perwira Penyerah Perkara (Papera).
Setelah diketahui wewenang Ankum sebagai salah satu
komponen dalam SPPM, maka selanjutnya akan dijelaskan kewenangan komponen lain
SPPM, yaitu Perwira penyerah Perkara (Papera), sebagai berikut :
Sesuai Pasal 123 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997, Perwira
Penyerah Perkara (Papera) mempunyai wewenang :
- Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan.
- Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan.
- Memerintahkan dilakukan upaya paksa.
- Memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam (Pasal 78).[115]
- Menerima atau meminta pendapat .hukum dan Oditur tentang
penyelesaian suatu perkara.
- Menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili.
- Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin
Prajurit;
- Menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan
umum/militer.
Khusus berkaitan dengan menutup perkara dimana asas
oportunitas tersebut hanya dimiliki oleh Jaksa Agung (Pasal 14 huruf h KUHAP).
Selain itu, apabila pendapat oditur bertentangan
dengan pendapat atau putusan Papera berkaitan dengan penyelesaian perkara di
luar pengadilan militer atau pengadilan di lingkungan peradilan umum, sedangkan
oditur berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan, perkara perlu diajukan ke
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan apabila oditur tetap pada
pendiriannya, maka oditur mengajukan permohonan dengan disertai alasan-alsannya
kepada Papera tersebut, supaya perbedaan pendapat diputuskan oleh Pengadilan
Militer Utama (Dilmiltama) dalam sidang. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 127 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997.
Menurut Hakim Agung Iskandar Kamil dengan adanya pasal
127 ayat (1) ini maka jelaslah kalau Papera tidak boleh semena-mena dalam hal
menentukan penyelesaian perkara untuk diselesaikan di luar pengadilan atau
dalam peradilan militer/umum karena pada akhirnya perbedaan pendapat ini akan
diputus oleh Pengadilan Militer Utama yang berada dibawah Mahkamah Agung baik
secara organisasi, administrasi maupun finansial.[116]
Menurut Moch. Faisal Salim, dalam praktek,
penyelesaian perkara kesempatan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan
Militer Utama sebagaimana tersebut di atas jarang atau tidak pernah sama sekali
dipergunakan oleh oditur, karena:
Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan, bahwa
mungkin yang bersangkutan, karena kebijakannya ditentang oleh bawahannva,
sehingga unsur subyektif dan komandan akan membawa akibat kurang/tidak
menguntungkan bagi Jaksa Tentara atau Oditur Tentara dalam karirnya di kesatuan
itu selanjutnya atau dengan kata lain, bahwa untuk keamanan pribadi Jaksa
Tentara atau Oditur Militer itu sendiri dalam Angkatan/Kesatuan itu, menerima
saja putusan-putusan komandan, walaupun diketahuinya/disadarinya bahwa untuk
kepentingan justisi suatu perkara harus mendapat penyelesaian sebagaimana
mestinya.
c.
Polisi Militer
Polisi Militer sebagai salah satu subsistem peradilan
pidana militer memiliki kewenangan melakukan penyidikan yang dirinci dalam
pasal 71 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 memiliki wewenang selain melakukan
penyidikan, adalah:
- Menerima laporan atau pengaduan dan seseorang tentang terjadinya
suatu
- yang diduga merupakan tindak pidana;
- Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
- Mencari keterangan dan barang bukti;
- Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan
memeriksa tanda pengenalnya;
- Me1akukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
surat-surat;
- Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
- Memanggil seseorang untuk untuk didengar den diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
- Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang
ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, dan
- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Selanjutnya pada ayat
(2) disebutkan, selain memiliki wewenang sebagaimana di atas, penyidik Polisi
Militer juga memiliki wewenang:
1)
Melaksanakan perintah atasan yang berhak
menghukum untuk melakukan penahanan tersangka, dan
2)
Melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan
kepada Atasan Yang Berhak Menghukum.
d.
Oditur Militer.
Oditur dalam SPP diposisikan sebagai Jaksa yang
memiliki kewenangan melakukan penuntutan, tetapi dalam SPPM, oditur tidak saja
melakukan penuntutan tetapi oditur juga memiliki kewenangan melakukan
penyidikan. Meskipun memiliki kewenangan melakukan penuntutan, tetapi oditur
tidak memiliki kekuasaan untuk menyerahkan perkara ke pengadilan, dan
kewenangan Oditur dalam SPPM diatur dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) yang
berbunyi:
1) Melakukan Penuntutan dalam perkara pidana yang
terdakwanya:
a)
Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah;
b)
Mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan”
kapten ke bawah;
c)
Mereka yang didasarkan pasal 9 angka 1
huruf d harus diadili oleh pengadilan Militer;
2) Melaksanakan penetapan
hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer atau
pengadilan lingkungan peradilan umum;
3) Melakukan
pemeriksaan tambahan.
Sedangkan bagi prajurit yang berpangkat Mayor ke atas,
maka yang melakukan penuntutan adalah Oditurat Militer Tinggi, sebagaimana
diatur dalam pasal 65 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 UU Nomor 31 tahun
1997.
e.
Pengadilan
Komponen-komponen lain
dan sub-sistem peradilan pidana militer adalah pengadilan. Pengadilan dalam
lingkungani peradilan Militer, sebagaimana terdapat dalam pasal 15 UU nomor 31
tahun 1997 terdiri dari :
- Pengadilan Militer
dan pengadilan militer tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus
perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang hakim ketua dan
2 (dua) orang Hakim anggota.
- Pengadilan militer
tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha
Angkatan bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua
dan 2 (dua) orang Hakim Anggota.
- Pengadilan Militer
tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus
perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan
2 (dua) orang Hakim Anggota.
- Pengadilan Militer
Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus
- perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat
banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan
2 (dua) orang Hakim Anggota.
Mengenai sengketa Tata
Usaha Angkatan Bersenjata pengadilan militer, penerapannya akan diatur dengan
peraturan pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak UU Nomor 31 tahun
997 diundangkan (pasal 353), tetapi sampai saat ini, peraturan pemerintah
dimaksud belum ada, sehingga pengadilan militer sampai saat ini hanya mengadili
tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1).
Secara umum pengadilan (hakim) lebih merdeka dan pada
sub-sistem lainnya karena telah diberi jaminan dalam melaksanakan tugas
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya, dengan beralihnya
organisasi dan administrasi dan finansial berada dibawah Mahkamah Agung memberi
jaminan
dalam melaksanakan tugas terlepas dan pengaruh
pemerintah dan pengaruh lainnya.
f. Pemasyarakatan Militer (Masmil)
Sub-sistem terakhir dan SPPM, adalah pemasyarakatan
militer. Secara umum sistem pembinaan narapida umum di lembaga pemasyarakatan
tidak berbeda jauh, yaitu ada tahapan-tahapan, juga pembinaan untuk kembali
atau menjalani kehidupan bermasyarakat, dan untuk militer yaitu dapat kembali
menjadi prajurit yang baik, berjiwa pancasila dan sapta marga.
Hal yang membedakan dengan nara pidana di Lembaga
Pemasyarakatan, adalah berkaitan dengan perawatan nara pidana, khususnya makan.
Apabila di lembaga pemasyarakatan narapidana mendapat makan dan negara, tidak
demikian halnya dengan narapidana militer yang menjalani pidana di
pemasyarakatan militer, menggunakan ransumorganik atau uang lauk pauknya
sendiri dengan kata lain napi membayar uang makannya selama menjadi narapidana
militer sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per hari.[117]
Dengan demikian apabila dalam sistem peradilan pidana
sub-sistemnya secara administrasi berdiri sendiri, maka dalam sistem peradilan
pidana militer, sub-sistem untuk Polisi Militer dibawah pembinaan Komandan
Pusat Militer, Oditur dan Pemasyarakatan Militer dibawah pembinaan Badan
Pembinaan Hukum Militer (Bahinkum) sedangkan Hakim Militer dibawah Pembinaan
Mahkamah Agung.
4.3 Proses pemeriksaan tindak pidana yang
dilakukan oleh militer
Proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan
militer dalam yustisiabel Peradilan Militer adalah sebagai berikut:
a.
Tahap penangkapan, penyidikan dan penahanan.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 pasal 75 ayat (3), penangkapan harus dilakukan dengan surat
perintah, kecuali dalam hal tertangkap tangan yang diatur tersendiri dengan ketentuan pasal 77 ayat
(2) penangkapan dilakukan tanpa suatu perintah dengan ketentuan tersangka
beserta barang buktinya segera dilaporkan/diserahkan kepada penyidik dan oleh
penyidik segera dilaporkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum)
tersangka.
Pasal 78 ayat (1) menjelaskan setelah diberitahukan
adanya penangkapan terhadap anggotanya, maka Ankum berwenang mengeluarkan Surat
Keputusan Penahanan terhadap tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari,
selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan Papera berwenang memperpanjang penahanan
dimaksud untuk setiap kali perpanjangan selama 30 (tigapuluh) hari, sampai
dengan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.
Penahanan yang dilakukan tersebut untuk keperluan
penyidikan dan adanya alasan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi
perbuatannya atau membuat keonaran serta terhadap perkara-perkara yang diancam
dengan pidana penjara lebih dan 3 (tiga) bulan (vide Pasal 79 UU nomor 31 Tahun
1997).
Polisi Militer selaku penyidik pada dasarnya tidak
mempunyai kewenangan dalam melakukan penahanan dan setelah penahanan dilakukan
oleh Ankum tersangka, maka penyidik melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1)
Membuat berita acara;
2)
Menyerahkan berkas dan berita acara hasil
penyidikan kepada Papera, Ankum dan Oditur Militer selaku penuntut umum;
3)
Penyerahan berkas dan berita acara hasil
penyelidikan disertai dengan penyerahan tanggungjawab atas tersangka dan barang
bukti kepada oditur.
b. Tahap
Penuntutan.
Oditur yang telah menerima menerima berkas dan berita
acara hasil penyidikan serta tanggungjawab tersangka dan barang bukti, sebagaimana
diatur dalam Pasal 124 Ayat (1) oditur segera memeriksa dan meneliti apakah
hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Jika belum lengkap dikembalikan
kepada penyidik disertai petunjuk untuk diperbaiki /dilengkapi sesuai petunjuk.
Jika telah lengkap, maka sesuai ketentuan Pasal 125, Oditur segera membuat
pendapat hukum kepada Papera yang antara lain dapat berisi permintaan untuk
meiimpahkan perkara kepengadilan dan jika disetujui oleh Papera, maka akan
diterbitkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) atau saran untuk
menutup perkara demi hukum yang jika disetujui oleh Papera akan diterbitkan
Surat Keputusan Penutupan Perkara/Skeptupra. (vide Pasal 126 UU Nomor 31 Tahun
1997)
Apabila Papera telah menerbitkan Skeppera, maka oditur
segera menyiapkan surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke Pengadilan Militer
dengan permintaan untuk disidangkan (vide Pasal 130 UU Nomor 31 Tahun 1997),
oditur tidak berwenang menyerahkan perkara ke Pengadilan Militer tanpa
persetujuan dan Papera yang ditandai dengan terbitnya Skeppera.
c. Pemeriksaan
di sidang Pengadilan.
Pasal 132 UU Nomor 31 tahun 1997 mengatur setelah
Ketua Pengadilan Militer menerima penyerahan perkara dan oditur segera
mempelajari apakah perkara tersebut termasuk kewenangannya atau bukan. Jika
termasuk kewenangannya maka segera ditunjuk majelis hakim yang akan
menyidangkan perkara dimaksud. Lebih lanjut berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 136 Ketua Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang dan
memerintahkan oditur untuk memanggil terdakwa dan para saksi.
Oditur segera mengeluarkan surat panggilan kepada
terdakwa dan saksisaksi menurut hari, tanggal, waktu, tempat persidangan dan
dalam perkara apa mereka dipanggil. Tahapan persidangan berikutnya mulai dan
pembacaan surat dakwaan oleh oditur sampai dengan penuntutan, pembelaan (Pasal
141 s/d 182 UU Nomor 31 Tahun 1997) serta pembacaan putusan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada Bab-Bab
sebelumnya pada bagian terakhir penelitian ini akan disampaikan simpulan yang
dihasilkan dari penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bahwa dasar
kewenangan bagi Pengadilan Militer dalam mengadili Prajurit Tentara Nasional
Indonesia yang melakukan Tindak Pidana Umum adalah tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, kewenangan ini
tetap dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Militer mengingat bahwa Ketetapan MPR
Nomor VII/MPR RI/2000 tentang Peran TNI dan Polri belum dilanjutkan pada tahap
pembentukan Undang-Undang yang lebih mengikat dan mendasari kewenangan
Peradilan Umum dalam Mengadili Prajurit TNI yang melakukan Tindak Pidana Umum.
2.
Pelaksanaan
proses Peradilan bagi Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak
Pidana Umum diawali dengan tahap penangkapan,
penyidikan dan penahanan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 pasal 75 ayat (3), penangkapan harus
dilakukan dengan surat perintah, kecuali dalam hal tertangkap tangan yang
diatur tersendiri dengan
ketentuan
pasal 77 ayat (2) penangkapan dilakukan tanpa suatu perintah dengan ketentuan
tersangka beserta barang buktinya segera dilaporkan/diserahkan kepada penyidik
dan oleh penyidik segera dilaporkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum)
tersangka. Tahapan berikutnya adalah Tahap Penuntutan, dalam tahap ini Oditur
yang telah menerima menerima berkas dan berita acara hasil penyidikan serta
tanggungjawab tersangka dan barang bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 124
Ayat (1) oditur segera memeriksa dan meneliti apakah hasil penyidikan sudah
lengkap atau belum. Kemudian Oditur segera membuat pendapat hukum
kepada Papera yang antara lain dapat berisi permintaan untuk meiimpahkan
perkara kepengadilan dan jika disetujui oleh Papera, maka akan diterbitkan
Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) atau saran untuk menutup perkara
demi hukum yang jika disetujui oleh Papera akan diterbitkan Surat Keputusan
Penutupan Perkara/Skeptupra. Setelah proses tersebut kemudian Oditur
segera mengeluarkan surat panggilan kepada terdakwa dan saksisaksi menurut
hari, tanggal, waktu, tempat persidangan dan dalam perkara apa mereka
dipanggil. Tahapan persidangan berikutnya mulai dan pembacaan surat dakwaan
oleh oditur sampai dengan penuntutan, pembelaan (Pasal 141 s/d 182 UU Nomor 31
Tahun 1997) serta pembacaan putusan. Dimana semua proses ini masih diselesaikan pada
ranah wilayah Peradilan Militer.
5.2 Saran
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
maka ada beberapa saran yang dapat
disampaikan yakni sebagai berikut :
1.
Mengingat penyelenggaraan Peradilan bagi Prajurit Tentara
Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana umum harus mendapatkan keadilan
dan kepastian hukum khususnya dalam proses peradilan maka Pemerintah Republik
Indonesia diharapkan dapat segera menetapkan Peraturan Perundangan yang
mengatur tentang kewenangan Peradilan (Baik umum maupun Militer) yang sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki untuk dapat melaksanakan proses peradilan bagi
Prajurit TNI yang melakukan Tindak Pidana Umum.
2.
Kepada unsur Sistem Peradilan Pidana Militer untuk dapat
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang di Atribusikan
oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI, demi terciptanya keadilan dan kepastian Hukum bagi prajurit TNI
yang melakukan Tindak Pidana Umum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Tambunan, Himpunan Kuliah Hukum Militer, Jakarta 1990
Abdulkadir
Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
Achmad
Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence),
Kencana Prenada Media Group,Jakarta
AH.
Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di
Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega Book Store, 1966
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta,
1999
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan,
Sinar Grafika, Jakarta
Astim Riyanto, 2006. Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung
Bagir
Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem
Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran Bandung
Bagir
Manan, Dasar-dasar Perunang-undangan,
Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco, 1992.
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI,
Jakarta : Sinar Grafika, 1990.
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group
(Jakarta, 2007)
Bujukdas
tentang Bin Prajurit (Mabes TNI) Kep. Pangab No. Kep/06/X/1991, 5 Oktober 1991.
C.S.T
Kansil dan Christine S. T Kansil, 2008, HukumTata Negara Republik Indonesia,
edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir
Pengkajian Hukum
Reformasi Lembaga Perdi1an 2006,
Disjorahad, Sajarah TNI 1945-1973,
Peranan TNI AD, Bandung: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat, 1979
Djokosutono,
1982, Kuliah Hukum Tata Negara,
Ghalia indonesia, Jakarta
G. Peter Hoefnagels,1973, The Outherside of Criminology, Holland Kluwer
Deventer ,
Hans
Kelsen Geraal Therry, dalam Jimly Asshiddigie dalam Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi
Pers, 2006
Hikmahanto Juwana,
Wacana Kewenangan Peradilan Militer Dalam Perspektif Law- And Development, (Disampaikan Dalam rangka Wisuda Sarjana dan
Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum
Militer “AHM-PTHM” 15 Nopember 2006
Hoemam
Fairuzy Fahmi, 2012, Teori Hans Kelsen danHans Nawiasky,http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-Nawiansky,
diakses tanggal7 September 2014.
http://bisdan-sigalingging.blogspot.co.id/2014/10/kepastian-hukum.html
http://www.hukumonlinecom.jalan_tengah,Menham_usul_usul_perwakilan
I
Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi
Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press,
Malang
I
Made Subawa, dkk.,., 2005, Hukum Tata
Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar.
Jan Remmelink, Hukum Pidana
Komentar atas Pasal -pasal terpenting dari Kitab Undang undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003,
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safaat, Teori
Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006,
Jimly
Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia,
http://jimly.com/makalah/namafile/57/ Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf diakses
tanggal 7 November 2011
Journal Hukum Militer Vol 1, No. 2 Agustus, 2009.
Keputusan Presiden RI No.
370 tahun 1965.
Lili
Rasjidi dan B. Arief Sidhana, 1989, Filsafat
Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung
Mardjono
Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Kumpulan Buku Ketiga),
Cet. III, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminilogi
Universitas Indonesia), 1999
Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer Indonesia, Cet. 1, Bandung:
Bandar Maju, 1994,
Moelyatno
dan Martiman Prodjohamidjoyo, Memahami
Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jilid 2, Cet. 1,
Jakarta: Pradnya Paramita 1997
Moh.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998
Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah
Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus 2003
Munir
Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern
(Rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung, hal. 2.
Munir
Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum,
KencanaPrenada Media Group, Jakarta
Negara
Hukum,http:/prince-mienu.blogspot.com/2010/01/negara-hukum.html, diakses
tanggal 7 November 2011.
Pasa1
2 angka 1 huruf a, b, c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948
Pasa1
3 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 74 tahan 1948
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.2 tahun
1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI mengatur Hukum Disisplin prajurit
ABRI adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan
membina disiplin atau tata kehidupan prajurit ABRI agar setiap tugas dan
kewajibannya dapat berjalan dengan sempurna.
Pasal 78 ayat (2)
Undang-undang No. 31 tahun 1997 Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat
diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenanag dengan keputusannya untuk
setiapkali 30 (tiga puluh) hari dengan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1948
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana Prenada Group, Jakarta,
2000
Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, 2008
Simon
dan P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia, Cet. 2, Bandung: Sinar Baru 1990,
Sistematika
di KUHPM, tidak berbeda jauh dengan sistimatika KUHP, yaitu dimulai dengan
ketentuan,
Soerjono
Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal
Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985
Soerjono
Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian
Hukum,UI-Press, Jakarta
Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tijauan Singkat, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung
Sudargo
Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara
Hukum, Alumni, Bandung,
Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni; 1983)
Sudikmo Mertakusumo,
Penemuan Hukum, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, Cetakan, ke-4
Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch,
Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
Syaiful
Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media
(Yogyakarta, 2009),
Terry Hutchinson, Researching And Writing In Law, Third Edition, Lawbook Co.Thomson
Reuters, Australia
Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Undang-undang Nomor 6 tahun 1946 tanggal 27 September 1946.
Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan
Praktisi. Bandung. Mandar Maju. 2004. hlm. 39
Wawancara dengan Hakim Agung Iskandar
Kamil, Jakarta, 6 Mei 2016,
Wawancara dengan Kepala Pemasyarakatart
Militer, Mayor Chk Jumali, Medan, 7 April 2016.
Wawancara
dengan Kepala Peradilan Utama (Kadilmiltama), Mayjen TNI M. Panjaitan, Jakarta: 7
mei 2016.
www.indonesia. Kemarin. Perihal Sejarah Perjuangan Indonesia Dalam Menyambut HUT-RI ke 63, diakses 09 mei .2016.
[1] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/namafile/57/
Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf diakses tanggal 7 November 2011
[3] Ibid
[5] Lili Rasjidi dan B.
Arief Sidhana, 1989, Filsafat Hukum
Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung, hal. l1.
[6] Abdul Rasyid Thalib, loc.
cit.
[7] Munir Fuady, op. cit., hal.
2-3.
[8]Abdul Rasyid Thalib, op. cit.,
hal. 44.
[9]Munir Fuady, op. cit., hal.
3.
[10] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum
Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945,
Setara Press, Malang, hal. 157.
[11] Sudargo Gautama, 1983, Pengertian
Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal. 8-9.
[12] Astim Riyanto, 2006. Teori
Konstitusi, Yapemdo, Bandung, hal. 256.
[13] Munir Fuady, op. cit.,
hal. 3-4.
[14] Astim Riyanto, op. cit.,
hal. 257.
[15] Negara
Hukum,http:/prince-mienu.blogspot.com/2010/01/negara-hukum.html, diakses
tanggal 7 November 2011.
[16] I Made Subawa, dkk.,., 2005, Hukum
Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar.
[17] Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 29.
[18] Bagir
Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem
Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran Bandung,
hal. 19
[19]Munir
Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum,
KencanaPrenada Media Group, Jakarta,hal.
133.
[20]Hoemam
Fairuzy Fahmi, 2012, Teori Hans Kelsen danHans Nawiasky,http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-Nawiansky,
diakses tanggal7 September 2014.
[23]Jimly Asshiddiqie & M. Ali
Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 171.
[24]Soerjono
Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal
Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, hal. 88-92.
[25] Hikmahanto Juwana, Wacana Kewenangan Peradilan Militer
Dalam Perspektif Law- And Development, (Disampaikan Dalam rangka Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” 15 Nopember 2006,
hal. 4
[26]Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal.4.
[27] Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tiniauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985, h. 14
[28] Terry Hutchinson, Researching And Writing In Law, Third
Edition, Lawbook Co.Thomson Reuters, Australia, h.7.
[31] Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, h.
13
[33]Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar
Penelitian Hukum,UI-Press, Jakarta, hlm. 252
[34] C.S.T Kansil dan Christine S. T
Kansil, 2008, HukumTata Negara Republik Indonesia, edisi Revisi, Rineka
Cipta, Jakarta, h. 86.
[37] Aloysius Wisnubroto, Kebijakan
Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas
Atmajaya (Yogyakarta, 1999), hlm : 14
[38] Barda Nawawi Arif, Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm : 78-79.
[39] Muladi, Kebijakan Kriminal
terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus
2003, hlm : 1-2.
[40] Barda Nawawi Arif, Masalah
Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm :75
[41] Syaiful Bakhri, Perkembangan
Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media (Yogyakarta, 2009), hlm : 155.
[43]
Waluyadi.
Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung.
Mandar Maju. 2004. hlm. 39
[49] Sianturi, loc.cit. hal. 18.
[50] Sudarto, loc.cit., hal 8.
[51] Soegiri, dkk., op. cit., halaman 53.
[52] Soegiri, dkk., Op Cit., halaman 54
[53] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998,
halaman 35, 45.
[54] Pasa1 2 angka 1 huruf a, b, c dan d
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948
[55] Soegiri, dkk., op. cit., halaman 80
[56] Pasa1 3 huruf a Peraturan Pemerintah
nomor 74 tahan 1948
[57] Penjelasan Peraturan Pemerintah
Nomor 74 tahun 1948
[58] Undang-undang Nomor 6 tahun 1946
tanggal 27 September 1946.
[59] AH. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega
Book Store,
1966, hal.96
[60] Soegiri, dkk., op.cit., hal. 38
[61] Moh. Mahfud, op.cit., hal.38
[62] Soegiri, dkk., op.cit., hal.76
[63] AH. Nasution, op. cit., halaman 80 - 108.
[64]
Soegiri,
dkk., op.cit., halaman 112
[65] Ibid
[66] Soegiri, dkk, op. cit., hal. 160
[67] Ibid.
[68] Disjorahad, Sajarah TNI 1945-1973, Peranan TNI AD, Bandung: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat,
1979, halaman 85-11
[69] Soegiri, dkk. op . cit., halaman 162
[70] Soegiri, dkk., op.cit., halaman 190
[71] Soegiri, dkk., op. cit., halaman 235.
[72] Keputusan Presiden
RI No. 370 tahun 1965.
[73] Departemen Hukum Dan HAM RI Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga
Perdi1an 2006, halaman 83.
[74] Ibid
[76]Achmad
Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence),
Kencana Prenada Media Group,Jakarta, hal. 204
[77]Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 59.
[78]Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[79] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan, Penerbit, INDH.
Hill. Co, Jakarta,1992.
[80] Bujukdas tentang Bin Prajurit (Mabes
TNI) Kep. Pangab No. Kep/06/X/1991, 5 Oktober 1991.
[81] www.indonesia. Kemarin. Perihal Sejarah
Perjuangan Indonesia Dalam Menyambut HUT-RI ke 63, diakses 09 mei .2016.
[82] Undang-Undang No. 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer.
[83] Ibid.
[84] Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI,
Jakarta : Sinar Grafika, 1990.
[85] Hans Kelsen Geraal Therry, dalam
Jimly Asshiddigie dalam Ali Safaat, Teori Hans Kelsen
tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006, hal. 130.
[86] http://www.hukumonlinecom.jalan_tengah,Menham_usul_usul_perwakilan
[87] http://www.pelita.or.id.Dilematis,RUU_Peradilan_Militer,diakses,selasa,_3_juni_2016.
[88] Ibid, hal. 3
[89] Journal Hukum Militer Vol 1, No. 2 Agustus,
2009.
[90] Bagir Manan,
Dasar-dasar Perunang-undangan, Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco, 1992.
[91] Ibid.
[92] Sudikmo Mertakusumo, Penemuan
Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cetakan, ke-4
[93] A Tambunan, Himpunan Kuliah Hukum Militer, Jakarta 1990
[94] Ibid, hal. 9
[95] Ibid, hal. 9
[96] http.//www.Vhrmedia.com. Ahli Hukum Setuju TNI Disidik Polisi Militer, diakses 24
Oktober 2008
[97] Hikmahanto Juwana, Loc. Cit, hal. 2.
[98] Departemen Hukum Dan HAM RI Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga
Perdi1an 2006, halaman 83.
[99] Ibid
[100] Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.2 tahun 1997 tentang Hukum
Disiplin Prajurit ABRI mengatur Hukum Disisplin prajurit ABRI adalah
serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan membina
disiplin atau tata kehidupan prajurit ABRI agar setiap tugas dan kewajibannya
dapat berjalan dengan sempurna.
[101] Wawancara dengan Kepala Peradilan
Utama (Kadilmiltama), Mayjen TNI M. Panjaitan, Jakarta: 7 mei 2016.
[102] Sianturi, loc.cit. hal. 18.
[103] Sudarto, loc.cit., hal 8.
[104] Ibid., halaman 7.
[105] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal -pasal terpenting dari Kitab Undang undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2003, halaman 3.
[106] Simon dan P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet.
2, Bandung: Sinar Baru 1990, halaman. 3-4.
[107] Moelyatno dan Martiman
Prodjohamidjoyo, Memahami Dasar-dasar
Hukum Pidana Indonesia, Jilid 2, Cet. 1,
Jakarta: Pradnya Paramita 1997, halaman.5.
[108] A. Zainal Abidin Farid, loc .cit., halaman 363.
[109] Sianturi, op.cit., halaman 19-20
[110] Sistematika di KUHPM, tidak berbeda
jauh dengan sistimatika KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan, Ibid., hal. 57
[111] Ibid.,
hal. 84
[112] Ibid., hal. 54.
[113] Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Kumpulan Buku
Ketiga), Cet. III, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminilogi Universitas Indonesia), 1999, hal. 85-89.
[114] Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer Indonesia, Cet. 1, Bandung: Bandar Maju,
1994, hal.99.
[115] Pasal 78 ayat (2)
Undang-undang No. 31 tahun 1997 Apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenanag dengan
keputusannya untuk setiapkali 30 (tiga puluh) hari dengan paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA