CLICK FOR CLAIM PROMO !

Sabtu, 15 Oktober 2016

MAKALAH TENTANG PENGADILAN MILITER

Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam perjalanan sejarah Peradilan Militer telah banyak mengalami perubahan-perubahan, namun di Era Reformasi telah pula terjadi pergesaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.  Dalam teori atau filsafat hukum, agar hukum ditaati, (maksudnya) ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik harus mengandung ketiga unsur tersebut
TNI sebagai Wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah timbul keyakinan yang kuat tentang hakikat pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg) yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dimana TNI sebagai angkatan perang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), yang menjadi komponen utama kekuatan Hankamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan Hamkamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan siap yang relatif kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilisasi yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup.
Sejarah Perjuangan bangsa ini pulalah yang melahirkan patriot putra-putra bangsa. Berperang mengusir penjajah dengan gagah perkasa dalam gabungan kesatria-kesatria dengan laskar pejuang-pejuang lainnya walau dengan persenjataan yang amat sederhana, terkenal dengan bambu runcingnya melawan meriam dan mortir belanda. Dari laskar pejuang yang berubah menjadi BKR, TKR, TRI, TNI inilah penjelmaan rakyat Indonesia dalam perjuangan menjadi tradisi bangsa manunggal TNI dengan rakyat. Dari pengalaman perjuangan yang panjang TNI sebagai penjelmaan seluruh rakyat mampunyai tugas dan fungsi sebagai penegak kedaulatan
Distorsi militer pada masa orde baru dengan rezim yang sangat kuat tidak terlepas dari pendelegasian kewenangan TNI sebagai penegak kedaulatan dan sebagai kekuatan pertahanan keamanan. Peradilan Militer dalam masa periode tahun 1966 sampai dengan tahun 1998 sebagai awal reformasi, pada masa tersebut TNI telah begitu kuat dan disebut rezim militer yang dinamakan Orde Baru. Hal ini harus diakui merupakan distrorsi yakni kekuatan politik yang dominan tanpa tantangan yang berarti dari kekuatan politik sipil terhadap otoritasnya. Kesalahan orde baru ini disebut rezim militer, terutama dalam bidang kekaryaan, yang dapat melahirkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Negatifnya TNI dapat melakukan pelanggaran HAM yaitu hak demokrasi. Namun dari sisi lain (positifnya) Indonesia telah dapat mempersatukan Asia dan diperhitungkan oleh bangsa dunia. Pada masa orde baru telah terjadi krisis, dimulai dari krisis moneter sampai dengan krisis global termasuk krisis kepercayaan. Dengan adanya penyelewengan seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini hendaknya diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Hingga pada saat ini masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum yang mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada bagian sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat).   Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum.
Saat ini Peradilan Militer baik pembinaan organisasi administrasi, tehnis dan finansial Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah Agung, akibat reformasi, krisis kepercayaan terhadap Peradilan Militer dianggap kebebasan yang tidak mandiri masih campur tangan Mabes, kurang terbuka, sebagian masyarakat menganggap Peradilan Militer impunity karena keberadaan ankum dan adanya Papera, menjadikan penghambat, Peradilan Militer hanya berlaku bagi anggota bawahan sedangkan petinggi militer tidak.
Peradilan Militer merupakan wadah, pembinaan prajurit TNI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan, pertahanan maupun keamanan negara. Dalam hal itu pembinaan prajurit TNI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan TNI yang bersangkutan mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.  Tugas dan beban yang berat dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan NKRI dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta. Sejalan dan searah dengan sejarah perkembangan Peradilan Militer di Indonesia dan masa ke masa
  1. Peradilan Militer pada masa penjajahan
  2. Peradilan Militer pada masa perang kemerdekaan (1945 1949)
  3. Peradilan Militer masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
  4. Peradilan Militer masa berlakunya UUDS (1950-1959)
  5. Peradilan Militer Periode 5 Juli I 959 sampai dengan 11 Maret 1966.
  6. Peradilan Militer 1966 sampai dengan 1997.
  7. Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang.
Peradilan militer telah berjalan sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan reformasi. Perubahan sistim dan sistem dan unsur-unsur pidana akan sangat berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Hal ini juga menyangkut legalitas baik legal structure, legal substance dan legal culture Doktrin-doktrin yang terdapat dalam hukum militer dan hukum acara pidana militer.
Salah satu peraturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku bagi prajurit TNI adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang di dalamnya mengatur ketentuan mengenai peradilan yang berwenang mengadili (yurisdiksi peradilan) terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana tersebut terdapat dalam Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang pada dasarnya menegaskan bahwa peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana adalah Peradilan Militer.
Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 di atas mencakup tindak pidana militer maupun tindak pidana umum. Namun demikian, ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah bergulirnya reformasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 dan dipertegas kembali dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Kedua pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal melakukan tindak pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal melakukan tindak pidana umum.
Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1997 di sebutkan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer merupakan badan kekuasaan Kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata dan pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Dalam Pasal 9 ayat (1) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah
  1. Prajurit
  2. Yang menurut Undang-undang dipersamakan dengan prajurit
  3. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan-badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang.
  4. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a. b. dan huruf c,
Namun atas keputusan Panglima TNI dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Dengan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 ayat (4) mengatur “
a.     Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
b.    Kekuasaan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak berfungsi maka prajurit TNI tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan Undang-undang.
Sampai saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, atau tindak pidana militer yang diatur dalam KUHPM, maupun tindak pidana lain yang tersebar di luar KUHP, seperti : Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Lalu Lintas dan lain-lain masih diadili dalam Peradilan Militer. Kecuali untuk perkara-perkara yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing tunduk pada justisiabel peradilan yang berbeda, yaitu dilakukan oleh orang sipil (tunduk pada justisiabel peradilan umum) dan militer (tunduk pada justisiabel peradilan militer) atau yang dikenal dengan istilah perkara koneksitas, maka telah ditentukan dengan ketentuan, apabila kepentingan militer yang lebih banyak dirugikan, ia akan diadili oleh pengadilan militer, tetapi apabila kepentingan sipil lebih banyak dirugikan maka ia akan diadili oleh pengadilan umum.
Tentang penundukan militer pada Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum tidak terlepas dari pelanggaran hukum dan perundang-undangan, kepentingan militer, sebab peradilan militer menyangkut pertahanan dan keamanan negara. Dalam hal ini terkait dan saling ketergantungan kepentingan mengadili yang disebut dengan yurisdiksi (kekuasaan memeriksa dan mengadili) sedangkan yustisiabel mempersoalkan tentang asas-asas yang diperiksa dan diadili. Dengan demikian ketentuan-ketentuan mengenai yurisdiksi dapat juga ditafsirkan sebagai ketentuan-ketentuan mengenai justisiabel¬justisiabel menyangkut hukum materil atau KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) sedangkan jurisdiksi merupakan hukum acara pidana militer adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.
Dari latar belakang permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, Penulis tertarik mengangkat penelitian Skripsi dengan judul KOMPETENSI PERADILAN MILITER DALAM MENGADILI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA”.
1.2 Rumusan Masalah
Memperhatikan dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit Tentara Nasional Indonesia menjadi kompetensi Peradilan Militer dan Kompetensi Peradilan Umum?
2.    Apakah akibat hukum pengaturan kompetensi Peradilan Militer yang menangani kasus tindak pidana bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan dibatasi hanya pada pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit Tentara Nasional Indonesia menjadi kompetensi Peradilan Militer dan Kompetensi Peradilan Umum dan akibat hukum pengaturan kompetensi Peradilan Militer yang menangani kasus tindak pidana bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia.
1.4  Tujuan Penelitian
Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Adapun tujuannya digolongkan menjadi dua bagian, yaitu :
1.4.1    Tujuan Umum
Ada pun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memperoleh pemahaman tentang pada kompetensi yang dimiliki Pengadilan Militer untuk mengadili Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana.
1.4.2    Tujuan Khusus
Disamping Tujuan Umum terdapat juga Tujuan Khusus. Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
  1. Untuk mengidentifikasi  pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit Tentara Nasional Indonesia menjadi kompetensi Peradilan Militer dan Kompetensi Peradilan Umum.
  2. Untuk mengetahui akibat hukum pengaturan kompetensi Peradilan Militer yang menangani kasus tindak pidana bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia.
1.5  Manfaat Penelitian
Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki manfaat sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Adapun manfaatnya digolongkan menjadi dua bagian, yaitu :
1.5.1    Manfaat Teoritis
Seluruh hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan penelitian atau penulisan selanjutnya bagi lembaga Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Pemerintahan Universitas Mahendradatta dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan pengembangan dalam ilmu hukum khususnya dalam hukum pidana dan Hukum Peradilan Militer.
l.5.2 Manfaat Praktis
Disamping manfaat teoritis terdapat juga manfaat praktis. Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penulisan ini adalah :
1.    Dapat memberikan suatu pengalaman bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian, sehingga mahasiswa dapat mengetahui pelaksanaan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat.
2.    Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum terutama dalam lingkungan Pengadilan Militer agar dapat memahami tentang Kompetensi  bagi Pengadilan Militer dan Peradilan Umum dalam mengadili Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak Pidana.
3.    Dapat memberikan gambaran kepada Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan masyarakat tentang akibat hukum pengaturan kompetensi Peradilan Militer yang menangani kasus tindak pidana bagi Anggota Tentara Nasional Indonesia.

1.6 Landasan Teori
Sehubungan dengan permasalahan yang diajukan maka dipandang perlu untuk membahas atau mengajukan kerangka teoritis. Kerangka toritis dimaksudkan tiada lain untuk dapat memberikan landasan-landasan teori terhadap pembahasan atas permasalahan yang diajukan.
Menurut Neuman, “teori´adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan abstraksi yang berinteraksi satu sama lainnya atau sebagai ide yang memadatkan dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia itu bekerja. Adapun Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Negara Hukum, Teori Perundang-undangan, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Kompetensi Peradilan Di Indonesia (Peradilan Umum dan Peradilan Militer).
1. Teori Negara Hukum
Teori negara hukum dipergunakan sebagai landasan teoritis yang relevan dipergunakan dalam penelitian ini. Hal ini karena teori negara hukum merupakan hal yang ingin diwujudkan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sejak awal kemerdekaan hingga pasca amandemen. Dalam negara hukum, hukum memiliki kedudukan tertinggi dalam negara sehingga setiap hal dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, termasuk mengenai pemakzulan.
Teori negara hukum berkaitan dengan Kompetensi Peradilan di Indonesia. Dimana baik Peradilan Militer maupun Peradilan Umum diharapkan dapat sesuai dengan teori negara hukum tersebut. Selanjutnya teori negara hukum juga harus diwujudkan dalam pemberlakuan akibat hukum bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana, dimana baik Prajurit yang melakukan tindak pidana maupun Korban harus terdapat kepastian hokum terhadap tindak pidana yang terjadi. Seperti diketahui bahwa masih terdapat kekaburan norma mengenai kriteria terkait kompetensi baik oleh peradilan militer maupun Peradilan Umum dalam menangani kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit Tentara Nasional Indonesia. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan negara hukum di Indonesia perlu untuk dikaji mengenai kompetensi Peradilan yang ada di Indonesia khusunya Peradilan Umum dan Peradilan Militer sehingga dapat menentukan kriteria kompetensi yang sesuai dalam proses peradilan yang diselengarakan di Indonesia dan memberikan kepastian hukum dalam rangka upaya mewujudkan negara hukum. Oleh karena itu berikut ini akan diuraikan mengenai ajaran negara hukum, dalam berbagai bentuknya, baik itu Rechtsstaat maupun Rule Of Law.
Dalam suatu Negara Hukum diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, istilah yang biasa digunakan di Inggris dan negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah “the rule of law, not of man” (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kehendak manusia),[1] sehingga pemerintahan yang berdasarkan atas hukum merupakan pemerintahan yang manjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum ditempatkan sebagai acuan atau patokan tertinggi dalam penyelengaraan negara dan pemerintahannya, yang sesuai dengan ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum sebagai sumber kedaulatan.
Negara hukum merupakan suatu konsep yang lahir dari adanya pertentangan terhadap kekuasaan raja yang tirani dan cenderung totaliter. Dalam negara hukum kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak absolut), sehingga perlu dilakukan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut. Hal ini semata-mata bertujuan untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik dilakukan dengan jelas dan tidak dapat dilanggar oleh siapa pun. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum, hukum akan memainkan peranan yang penting. Serta berada di atas kekuasaan negara dan politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah di bawah hukum (goverment under the law).[2] Adapun beberapa istilah yang dikenal untuk menyebut negara hukum antara lain Rechtstaat (Belanda), Rule Of Law (Inggris), Etat de Droit (Prancis), dan Siam di Doritto (Italia).[3]
Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang artinya semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang diperintah (rakyat) harus tunduk pada hukum.[4] Ajaran kedaulatan hukum menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan sebagai guiding principle bagi segala aktivitas organ-organ negara, pemerintah, pejabat-pejabat, beserta rakyatnya. Dengan demikian, negara melalui pemerintahan ditingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masyarakat memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, yang salah satu upayanya adalah melalui hukum.[5]
Konsep negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato dengan menyatakan bahwa Sebuah negara haruslah berdasarkan peraturan yang dibuat rakyat. Pandangan ini kemudian semakin berkembang hingga Immanuel Khan untuk pertama kali mencetuskan konsep Rechtstaat yang memandang negara sebagai alat perlindungan hak asasi individual.[6]
          Perlindungan terhadap hak-hak asasi individual menjadi esensi dalam negara hukum karena pada masa itu sistem negara totaliter/diktator sering kali memperlakukan rakyat dengan semena-mena tanpa memperhatikan harkat, martabat, dan hak-haknya. Dengan demikian sejak kelahirannya, konsep negara hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang untuk menindas rakyatnya.[7]
          Konsep negara hukum merupakan hal yang diterapkan oleh banyak negara-negara modern di masa sekarang, termasuk di Indonesia yang secara konstitusional diatur dalam ketentuan Pasal l ayat (3) UUDNRI 1945. Negara hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja mengandung pengertian negara yang berdasarkan hukum. dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.[8] Munir Fuady berdasarkan sejarah munculnya konsep negara hukum berpandangan bahwa negara hukum merupakan suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum kewenangan pemerintah berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat dan karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara demokratis.[9]
          Secara konseptual, istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan 2 (dua) istilah bahasa asing yaitu Rechtstaat dan Rule of Law, namun kedua istilah tersebut haruslah dibedakan. Rechtstaat merupakan istilah dari bahasa Belanda yang digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut civil law system. Istilah Rule of Law berasal dari bahasa Inggris dan digunakan untuk menunjuk tips negara hukum dari negara-negara yang menganut Common law system. Secara konseptual perbedaan antara Rechtstaat dan Rule of Law adalah bahwa konsep Rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga berwatak revolusioner. Sedangkan Rule of Law lahir dari yurisprudensi dan perkembangannya bersifat evolusioner.[10] Unsur-unsur Rechtstaat menurut Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat) unsur pokok, yaitu :[11]
  1. asas legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang);
  2. pembagian kekuasaan;
  3. perlindungan hak-hak asasi manusia; dan
  4. adanya peradilan administrasi.
          Berbeda dengan unsur-unsur Rechtstaat yang dikemukakan di atas, konsep Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey memuat 3 (tiga) unsur yaitu supremacy af law, equality before the law, dan the constitution based on individual rights.[12] Adapun ketiga unsur Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dapat diuraikan sebagai berikut:[13]
a.    supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa;
b.    berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), dimana semua orang harus tunduk kepada hukum dan ticlak seorang pun yang berada di atas hukum (above the law).
c.    konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini hukum yang berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.

          Selain unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan di atas, baik berdasarkan Rechtstaat maupun Rule of Law, beberapa prinsip yang harus ada dalam suatu negara hukum juga dirumuskan berdasarkan hasil konferensi South-East Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam suatu negara hukum yaitu:[14]
  1. prinsip perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu secara prosedural dan substansial;
  2. prinsip badan pengadilan yang bebas dan tidak memihak;
  3. prinsip kebebasan menyatakan pendapat;
  4. prinsip pemilihan umum yang bebas;
  5. prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan
  6. prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education).
          Ajaran negara hukum tidak hanya dapat diklasifikasikan menjadi konsep Rechtstaat dan Rule of Law, tapi dapat pula dibedakan menjadi negara hukum formil dan negara hukum materiil. Negara hukum formil sering pula disebut dengan negara penjaga malam (nachtwakerstaat), sedangkan negara hukum materiil disebut dengan negara kesejahteraan (welfare stare). Konsep negara hukum yang dianut Indonesia tidaklah dalam artian formal melainkan dalam artian materiil atau negara kesejahteraan (welfare state). Negara hukum materiil berarti negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam upaya membangun kesejahteraan rakyat.[15] Jadi negara tidak hanya berperan dalam menegakkan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warganya, seperti yang terjadi pada negara hukum formil atau yang sering pula disebut negara penjaga malam (nachtwakerstaat), namun ikut turut campur dalam urusan dan kepentingan warga negara terutama yang terkait dengan kesejahteraan warga negara.
          Indonesia merupakan negara hukum materiil atau sering diistilahkan dengan negara kesejahteraan, sehingga negara turut campur tangan dalam segala urusan warganya guna mencapai kesejahteraan demi membangun masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai negara hukum, Imanuel Kant menyebutkan ada 4 (empat) unsur yang ditetapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yaitu:
1.    perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2.    pemisahan kekuasaan;
3.    setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang;
4.    adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.[16]
          Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:[17]
  1. pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
  2. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;
  3. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
  4. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).

          Bagir Manan mengemukakan susunan yang sedikit berbeda mengenai unsur yang harus dipenuhi pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan pada suatu negara hukum, yaitu:[18]
  1. semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
  2. ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;
  3. ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);
  4. ada pembagian kekuasaan
Berdasarkan ajaran negara hukum yang telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa ciri ajaran negara hukum yang paling panting, baik dalam bentuk Rechtsstaat maupun Rule of Law yaitu mengenai supremasi hukum dimana setiap tindakan haruslah dilaksanakan berdasarkan atas hukum termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan. Begitu pula Indonesia yang menyatakan sebagai negara hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku termasuk dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus didasarkan pada alasan-alasan yang sah menurut hukum yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan kewenangan atribusi yang dimiliki.
2. Teori Perundang Undangan

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.Suatu norma hukum dengan norma hukum yang lainnya semestinya tidak salingbertentangan, karena norma hukum berada pada sebuah sistem yang tersusun secara hierarkis, yang seluruhnya bersumber pada satu sistem besar yangmerupakan satu norma dasar (groundnorm), yaitu konstitusi.
Sementara itu, Hans Kelsen menyatakan bahwa, pertentangan antara suatu kaidah hukum dengan kaidah hukum lainnya adalah wajar terjadi, mengingat ketika berbicara dalam tataran yang lebih konkrit maka dimungkinkan adanya penafsiran antara satu sama lain.[19] Dalam pengembangannya, Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma hukum dalam suatu Negara juga berjenjang dan bertingkat hingga membentuk suatu tertib hukum, sehingga norma yang dibawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi. Norma dalam Negara itu juga membentuk kelompoknorma hukum yang terdiri atas 4 (empat) kelompok besar, yaitu :[20]
1. Staatfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
2. Staatgrundgesetz (Aturan dasar/pokok Negara)
3. Formellgesetz (Undang-undang)
4. Verordnung dan Autonome Satzung (Pelaksana dan Aturan Otonom).

Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.[21] Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.[22]
Dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndangNomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menyebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang;
d.      Peraturan Pemerintah;
e.       Peraturan Presiden;
f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
1.      Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut:
a.       Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya;
b.      W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot stant gekomen” (Terjemahannya: ”...terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”);
c.       J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
2.      Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori:
a.       Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat;
b.      Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” ) yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.
3.      Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (”Uberpositieven Wert”), misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.[23]
              Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain:
1.           Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
2.           Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3.           Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);
4.           Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);
5.           Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);
6.           Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spiritual masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.[24]

3. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Terkait dengan Sistem peradilan pidana, bahwa Sistem Peradilan Pidana bisa diartikan sebagai sebuah jaringan interkoneksi yang melibatkan seluruh komponen sub sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan. Pengertian ini tidak bersifat spesifik dalam arti tidak merujuk kepada satu sistem peradilan pidana (baik peradilan umum maupun peradilan militer). Oleh karena itu mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh setiap orang baik kalangan sipil maupun militer, maka membuka celah bahwa dua sistem peradilan yaitu peradilan umum dan peradilan militer bisa dijadikan satu.
Secara yuridis eksistensi peradilan militer dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi : kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunagan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan Negara dan oleh sebuah mahkamah Konstitusi.
Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.
Keberadaan/eksistensi peradilan militer memang harus dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah lingkup kewenangannya tetap mengadili pelanggaran tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI atau hanya mengadili tindak pidana militer, sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dilakukan di peradilan sipil/umum.[10]
Ketetapan MPR RI Nomor VII/2000 khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a berbunyi: ”Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Kemudian RUU Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer menghendaki bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diadili di peradilan umum.”
Peradilan pidana sebagai tempat pengujian dan penegakkan hak-hak asasi manusia memiliki ciri khusus, yaitu terdiri dari sub-sub sistem yang merupakan kelembagaan yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus bekerja secara terpadu agar  dapat menegakkan hukum sesuai harapan masyarakat pencari keadilan.
Proses peradilan pidana yang terdiri dari serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak mudah difahami serta kadang kala menakutkan bagi masyarakat awam. Persepsi yang demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat banyaknya pemberitaan di media massa yang menggambarkan betapa masyarakat sebagai pencari keadilan seringkali dihadapkan pada kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan hukum maupun perlakuan tidak simpatik dari aparat penegak hukum.
Indonesia sebagai suatu masyarakat yang sedang membangun dan harus mengatur serta mengartikulasikan pelbagai kepentingan masyarakat yang sangat plural ini, tentunya tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh regional dan internasional, sebagai akibat kemajuan tehnologi komunikasi yang canggih. Masyarakat pelbagai negara, termasuk Indonesia dihadapkan pada persoalan baru, yang menjadi issue internasional, berupa demokratisasi hukum. Pemujaan hukum sebagai alat rekayasa sosial berpasangan dengan sarana ketertiban mulai banyak dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep baru, hukum sebagai sarana modifikasi sosial, yaitu suatu pemikiran yang berusaha memasukan pemahaman hukum sebagai sarana perlindungan hak-hak warganegara yang berintikan pengaturan dengan mengedepankan kepentingan umum.
Di dalam lingkup pemikiran itu, muncul pula adanya kebutuhan akan keterpaduan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat dan individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Sehingga wacana perbincangan mengenai suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam elemen dari sebuah negara. Berikut Adalah Sub sistem dari sistem Peradilan Pidana di Indonesia :
1.      Kepolisian
2.      Kejaksaan
3.      Pengadilan
4.      Pemasyarakatan
5.      Advokat
Keterpaduan subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana bukan hanya diarahkan kepada tujuan penanggulangan kejahatan, namun juga diarahkan kepada pengendalian terjadinya kejahatan dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Keberhasilan suatu sistem, dapat diketahui dengan jika berbanding lurus dengan diterimanya keluhan-keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan, mampu menghadirkan si petindak ke depan persidangan dan terlaksananya putusan pengadilan.

4. Kompetensi Peradilan Di Indonesia (Peradilan Militer dan Peradilan Umum).

a.       Kompetensi Peradilan Militer
Peradilan Militer di Indonesia yang ada saat ini adalah merupakan penjelmaan dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, dan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 pasal 2 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan adanya empat lingkungan Peradilan yaitu, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konsitusi.
Ketika Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia tidak/belum membentuk badan peradilan tetapi dengan sangat bijak dan guna menghindarkan kekosongan hukum maka Undang-undang Dasar tahun 1945 memuat Aturan Peralihan dalam pasal 2 yang menyatakan “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”
Dalam konteks keberadaan hukum di Indonesia, Indonesia mengalami paling tidak dua kali masa transisi. Transisi pertama saat Indonesia baru merdeka dan transisi yang kedua pada saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden yang sering diberikan label sebagai era “reformasi”.[25]
Transisi pertama terjadi karena pemerintah yang baru dibentuk mengirimkan hukum yang berlaku adalah hukum yang muncul dalam masyarakat Indonesia, dilain pihak pemerintah yang baru tidak mungkin mengganti seluruh peraturan perundang-undangan yang ada berikut institusinya dalam waktu sekejap. Transisi kedua terjadi pasca berakhirnya pemerintahan Soeharto, transisi yang dialami adalah transisi hukum yang berfungsi sebagai alat kekuasaan dan legistimasi menjadi hukum sebagai instrumen yang menjadikan rujukan dan rel dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah. Dalam pembahasan tersebut muncul perdebatan tentang kewenangan dan Peradilan Militer sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur: “Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-undang”.
Pro dan kontra terjadi, argumentasi yang digunakan mereka yang menghendaki agar Peradilan Militer hanya untuk pelanggaran pidana militer adalah dalam sebuah negara yang demokratis harus ada supremasi sipil. Oleh karena itu pelanggaran pidana umum yang dilakukan oleh personil militer harus tunduk kepada kewenangan dan otoritas sipil.
Sementara yang menghendaki agar Peradilan Militer berwenang mengadili pelanggaran pidana dengan melihat status dan pelaku kejahatan mendasarkan pada sistem yang selama ini berlaku di Indonesia. Karena adanya pendapat pro dan kontra tentang jurisdiksi Peradilan Militer, alangkah baiknya terlebih dahulu. dibahas mengenai sejarah Peradilan Militer di Indonesia.
b.      Kompetensi Peradilan Umum
Konstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada keculalinya (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.
Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga Negara yang mempunyai keistimewaan, termasuk dalam masalah peradilan, semua warga Negara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga Negara tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus bisa menjalankan dan mengayomi para pihak yang berpekara di pengadilan.
Dari sudut kompentisi sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia mengenal 5 macam jenil peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi, masing-masing peradilan mempunyai obyek dan subyek yang berbeda dan kekhususan tersendiri.
Kompetisi peradilan umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem peradilan pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam perkara pidana terdakwanya selama ini berasal dari kalangan rakyat sipil (di dalamnya termasuk terdakwa yang berasal dari polri) atau bisa dari kalangan rakyat sipil dan kalangan militer (perkara koneksitas). Sedangkan perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis pelanggaran terhadap hukum  pidana umum atau hukum pidana militer diproses melalui mekanisme sistem peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum, papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan Militer.
Era reformasi yang menuntut transparansi, kebebasan, demokratisasi dan persamaan hak, berimbas kepada penyelenggaraan peradilan. Prinsip equality before the law menghendaki tidak ada warga Negara yang mendapat prevelege apalagi dalam bidang peradilan. Oleh karena  itu tuntutan bahwa militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum terus bergaung dan puncaknya adalah dikeluarkannya TAP MPRI RI Nomor VI/2000 dan TAP MPR RI Nomor VIII/2000 Jo Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang ATNI yang menegaskan bahwa anggota militer yang melakukan kejahatan umum di bawa ke pengadilan sipil. Sedangkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota militer baik tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan perundan-undangan pidana lainnya, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di peradilan militer.
Melihat semangat yang terkandung dalam TAP MPR RI dan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usul inisiatif perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan alasan supaya terjadi sinkronisasi dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
1.7. Metode Penelitian
Dalam penulisan suatu karya ilmiah, terdapat satu komponen penentu sebagai syarat yang dipergunakan untuk pencarian data dari hasil karya ilmiah tersebut, dalam hal ini adalah metode penelitian.
Menururt Sutrisno Hadi yang dimaksud dengan metodelogi ialah suatu cara/ metode untuk memberikan garis- garis yang cermat dan mengajukan syarat-syarat yang keras, yang maksudnya adalah menjaga ilmu pengetahuan yang dicapai dari suatu research dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggi- tingginya.[26]
1.7.1. Jenis Penelitian
Penulisan usulan proposal ini, dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau doctrinal artinya : “penelitian ini menggunakan bahan hukum sebagai sumber utamanya”.[27]. Terry Hutchinson dalam bukunya yang berjudul Researching And Writing In Law memberikan pengertian mengenai doctrinal research yaitu sebagai berikut : “research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category,analyses the relationship between rules, explains areas of difficulty and, perhaps predicts future developments”[28] Penelitian ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.[29]
1.7.2. Jenis Pendekatan
Disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini adalah jenis penelitian normatif.  Adapun metode pendekatan yang dipakai terhadap masalah ini adalah beberapa metode yang dikenal dalam penelitian hukum normatif, antara lain pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).[30] Berdasarkan latar belakang masdalah yang yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu, maka terdapat beberapa pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain  pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach) serta pendekatan perbandingan.
1.7.3.Sumber Bahan Penelitian
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini, dibagi ke dalam tiga jenis, yakni sebagai berikut :
1.      Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri Peraturan Perundang-Undangan.
2.      Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya[31]. Penelitian ini mempergunakan beberapa bahan hukum sekunder antara lain hasil-hasil penelitian, yurisprudensi, buku-buku dan hasil karya dari kalangan pakar hukum yang mempunai relevansi dengan penelitian ini­;
3.      Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan atau petunjuk mengenai bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensikiopedia.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian hukum normative adalah dilakukan dengan melalui kegiatan studi pusataka, studi dokumen, dan studi catatan hukum. Pustaka yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, putusan pengadilan (jurisprudensi), dan buku karya tulis bidang hukum. Ketiga jenis pustaka ini biasanya dikoleksi di perpustakaan umum dan perpustakaan khusus bidang hukum[32]. Dalam penyusunan tesis ini pengumpulan pustaka yang dimaksud tersebut dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta dan perpustakaan umum daerah. Selain itu pengumpulan pustaka juga dilakukan melalui media cetak dan juga media online (website).
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi/kesimpulan, bentuk dalam analisis bahan hukum adalah teknik deskriptif, interpretatif, evaluatif, dan argumentatif. Masing - masing teknik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Teknik deskriptif, maksudnya adalah gambaran dari uraian-uraian secara apa adanya tersebut suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum ataupun non hukum.
b.      Teknik Interpretatif, teknik ini digunakan dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa mendatang. Teknik interpretatif yang digunakan adalah secara gramatical interpretatie yaitu interpretasi atau penafsiran menurut arti kata dan sitematiche interpretatie yaitu penafsiran yang dilakukan dengan mencari penjelasan dalam pasal demi pasal dari perundang-undangan.
c.       Teknik Evaluatif, yaitu dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap suatu pandangan, pendapat, pernyataan, atau perumusan norma baik dari sumber primer, maupun dari sumber hukum sekunder dan tertier.
d.      Teknik Argumentatif, yaitu teknik analisis yang dilakukan berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam permasalahan-permasalahan hukum yang dikaji makin dalam argumennya berarti semakin dalam penalaran hukumnya.[33]















BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM DAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA
2.1  Penegakan Hukum
Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum, dikatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Oleh karena itu negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan atas hukum.[34] Menurut G. Peter Hoefnagels mengenai kebijakan hukum pidana “Criminal policy is the rational organization of social reaction to crime[35] yang dirumuskan sebagai:
a.      Criminal policy as a science of respons;
b.      Criminal policy is the science of crime prevention;
c.       Criminal policy is a policy of designating human behaviour as crime;
d.      Criminal policy is rational total of the responses to crime.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudart, kebijakan atau politik hukum pidana adalah:[36]
a.       Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu .
b.      Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mayarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
  Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu, kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/funsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan:[37]
a.    Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;
b.    Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
c.    Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
d.   Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni: [38]
a.    Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
b.    Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
c.    Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Kriminalisasi dan penaliasi menjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation) mencakup lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (oever criminalisation), yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.[39]
Jadi, kebijakan hukum pidana (penal policy) operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif,yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.[40]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang rasional.[41]
Penegakan hukum tidak dapat terlepas dari permasalahan pembuktian. Terdapat beberapa teori pembuktian dalam hukum acara pidana. Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Sumber-sumber hukum pembuktian dalam hukum acara pidana adalah: [42]
a.       Undang-Undang;
b.      Doktrin atau ajaran;
c.       Yurisprudensi.
Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/ strafprocessrecht) pada khususnya, aspek “pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Hakim di dalam menjatuhkan suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk pemidanaan, tetapi dapat juga menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Menurut Waluyadi mengeai beberapa teori pembuktian dalam hukum acara, yaitu:[43]
a.    Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Kelemahan sistem pembuktian conviction-in time adalah hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
b.      Conviction-Raisonee
Sistem conviction-raisonee pun, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan juga bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie).
c.       Positief Wettelijke Stelsel
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini disebut teori pembuktian formal (foemele bewijstheorie).
d.      Negatief Wettelijke Stelsel
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Terdakwa dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Berdasarkan sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, yaitu :
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Penegakan hukum dalam suatu negara memiliki kaitan yang erat terhadap sistem hukum negara tersebut, sesuai pandangan Lawrence Meir Friedman ”The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”.[44] Di sisi lain mengkaji mengenai penegakan hukum, Soerjono Soekanto berpandangan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu meliputi:
1.      Faktor hukumnya sendiri, dimana terdapat ketidakjelasan substansi di dalam suatu peraturan sehingga menimbulkan multi tafsir, serta belum adanya aturan pelaksana yang dibutuhkan untuk menerapkan peraturan tersebut;
2.      Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;
3.      Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, yaitu mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil maupun organisasi yang baik;
4.      Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan; dan
5.      Faktor budaya, yaitu hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam di dalam pergaulan hidup.[45]
Mengenai penegakan hukum, Andi Hamzah menjelaskan bahwa proses penegakan hukum dibagi menjadi dua, yaitu tindakan represif dan tindakan preventif.[46] Adapun tindakan preventif disini adalah tindakan yang dilakukan sebelum dilakukannya penegakan secara repesif baik dengan cara diadakannya negosiasi, persuasi, dan supervisi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin ditaati. Sedangkan tindakan represif adalah tindakan menerapkan hukum atau instrumen sanksi ketika terjadi pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku, biasanya hal ini dikenal dengan istilah law enforcement atau penegakan hukum dalam arti sempit. Kedua fase tersebut baik tindakan preventif maupun represif diartikan sebagai penegakan hukum secara luas (rechthandhaving).
Dengan adanya penegakan hukum yang baik, maka dapat diharapkan terjadi suatu kepastian hukum. Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.[47] Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan. Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud kongkrit. Oleh karenanya pertanyaan tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaaan yang jawabannya tidak mungkin satu. Dengan kata lain, persepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai hakim, kalangan ilmuwan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya.
Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang hukum. Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan badan peradilan. Antara kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum. Cicut Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya hukum yang tepat waktu. Mungkin dari pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum (rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.[48]
2.2  Peradilan Militer
Menurut S.R Sianturi ditinjau dan sudut justisiabel maka hukum pidana militer (dalam arti materiel dan formal) adalah :
Bagian dan hukum positif yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana yang menentukan dalam hal apa dan bilamana pelanggar dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang menentukan juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya keadilan dan ketertiban hukum.[49]
Apabila dilihat dari sudut mereka yang tunduk pada yuridiksi peradilan militer, maka hukum pidana militer adalah salah satu hukum pidana yang secara khusus berlaku bagi militer selain hukum pidana lainnya atau dengan kata lain, seseorang militer merupakan subyek tindak pidana militer juga subyek tindak pidana umum.
Hal ini lebih diperjelas oleh Pasal 2 KUHPM yang berbunyi sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang No.39 Tahun 1947). Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Selanjutnya pasal 1 KUHPM mengatur sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab Undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk Bab kesembilan dan buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Penerapan pasal 1 KUHPM berkaitan dengan penerapan ketentuan­ketentuan hukum pidana umum (KUHPM), maka untuk Pasal 2 ditujukan kepada subyek yang melakukan tindak pidana, yaitu militer atau yang dipersamakan yang tunduk pada kewenangan peradilan militer, di mana ia melakukan tindak pidana yang tidak tercantum dalam pasal-pasal KUHPM, maka diterapkan ketentuan hukum pidana umum (KUHP).
Ketentuan (pasal 2 KUHPM) semakin memperjelas subyek tindak pidana yang menjadi yurisdiksi peradilan militer, yaitu selama ia anggota militer dan melakukan tindak pidana, baik yang tercantum dalam KUHPM maupun dalam KUHP, maka Ia tetap diadili di peradilan militer atau dengan kata lain, di mana saja, kapan saja seseorang militer selalu membawa undang-undang (hukum) pidananya.
Pengertian atau batasan agak berbeda diberikan oleh Soedarto yang mengatakan, bahwa
Hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus yang memuat aturan-aturan hukum pidana umum, ialah mengenai golongan-golongan orang tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu, karena hukum pidana militer hanya berlaku untuk anggota tentara dan yang dipersamakan.[50]
Apabila dilihat batasan ini, khususnya berkaitan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu atau tindak pidana tertentu, maka hukum pidana militer hanya dikaitkan dengan tindak pidana yang murni atau khas militer, dimana orang sipil belum tentu melakukannya, seperti desersi, insubordinasi.
Oleh karena itu akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan perbedaan asas antara hukum militer dengan hukum pidana umum, juga tindak pidana umum dan tindak pidana militer.
2.2.1 Perkembangan peradilan militer setelah kemerdekaan
1. Masa Kemerdekaan Indonesia
a. Dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945 sampai dengan 1949
 1 . Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1946.
Berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang bunyinya: “Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktek peradilan di Indonesia pada masa setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama) yang sudah ada sejak pendudukan Jepang tetap berlaku termasuk Peradilan Ketentaraan, maka peradilan-peradilan yang telah ada pada zaman pendudukan Jepang dapat tetap berlangsung seperti sebelumnya, yaitu peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan ketentaraan. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, maka hanya peradilan umum dan peradilan agama yang berjalan seperti sediakala. Sedangkan peradilan ketentaraan (militer) tidak/belum diadakan, meskipun Angkatan perang Republik Indonesia telah dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945.
Periode antara 5 Oktober 1945 sampai dengan pembentukan Pengadilan Tentara, yaitu berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1946 tanggal 8 Juni 1946 seolah-olah tidak ada hukum dan keadilan serta penegakan hukum terhadap prajurit atau anggota tentara yang melakukan tindak pidana. Sesungguhnya tidak demikian karena para Komandan kesatuan selalu menegakkan peraturan melalui penerapan hukum disiplin.[51]
Peradilan Militer baru dibentuk setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa pada tanggal 8 Juni 1946, dan bersamaan dengan itu diundangkan pula Undang-undang No. 8 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana Guna Pengadilan Tentara. Dengan dikeluarkan kedua Undang­undang yang mengatur tentang peradilan militer, maka Negara Republik Indonesia baik secara formil maupun materiil tidak memberlakukan ketentuan­ketentuan di bidang peradilan tentara yang ada sebelum proklamasi kemerdekaan.
Wewenang yang dipergunakan sebagai dasar pergantian suatu undang­undang hanya dengan peraturan Pemerintah yang menurut Undang-undang Dasar adalah lebih rendah tingkatannya adalah didasarkan pada wewenang Presiden pada saat itu sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1948 diberi kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden untuk menjalankan tindakan-tindakan dan peraturan-peraturan yang menyimpang dan undang-undang dan peraturan yang ada guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya yang memuncak.[52]
Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 20 September 1948, dan hanya terdiri dan suatu pasal yang berbunyi :
Selama tiga bulan terhitung mulai tangga1 15 September 1948, kepada Presiden diberikan kekuasaan (plein Pouvoir) untuk menjalankan tindakan­tindakan dan mengadakan peraturan-peraturan dengan menyimpang dan Undang-undang dan Peraturan-peraturan, guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya.
Selain itu alasan Presiden mengeluarkan Peraturan yang tidak sesuai ketentuan yang ada, karena waktu itu kondisinya sangat kacau, ketentuan-ketentuan yang ada tidak diikuti atau tidak diindahkan. Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, masih dipengaruhi suasana revolusi. Artinya, bentuk peraturan dan tata urutan peraturan perundang-undangan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan untuk membuat peraturan, bahkan yang banyak dikeluarkan seperti Maklumat yang kadang kedudukannya sama seperti UUD.[53]
Dengan demikian dapat dipahami, apabila Presiden mengeluarkan peraturan yang menyimpang dari ketentuan yang ada, karena selain adanya undang-undang yang memberikan kekuasaan demikian juga karena kondisi yang dihadapi untuk bertindak cepat.

2. Peradilan Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948
Pasal 1 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan tentara, yaitu:
1)   Mahkamah Tentara
2)   Mahkamah Tentara Tinggi
3) Mahkamah Tentara Agung
Dengan demikian, maka sistem peradilan yang selama ini berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 terdiri dari 2 (dua) tingkatan, yaitu Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung, berubah menjadi 3 (tiga) tingkatan.
Pengadilan Tentara berwenang mengadili perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
1) Seorang yang pada waktu itu adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia;
2) Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit Tentara Nasional Indonesia;
3) Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai tentara oleh atau berdasarkan undang-undang;
4) Seorang yang tidak termasuk golongan a, b dan c, tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan.[54]
Perlu dikemukakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI), Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan Tentara Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 sub a Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Tentara Nasional Indonesia.[55]
Perkembangan selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1946 menambahkan suatu pasal baru di antara pasal 3 dan 4, yang berbunyi:
“Pengadilan tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk titel 1 atau titel 2 Buku II dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara dan dilakukan dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan pasal 12 Undang-Undang Dasar”. [56]
Maksud diadakannya pasal ini, adalah memberi kewenangan kepada Pengadilan Tentara untuk mengadili perkara-perkara dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945, karena hal ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan dalam penyelesaian perkara pemberontakan PKI Muso/Amr Cs (peristiwa Madiun) yang melibatkan pihak tentara dan pihak sipil, dimana penyelesaian perkara berdasarkan Peraturan Pemerintah No.37 tahun 1948 harus dipergunakan pemisahan (splitsing), dan diadakannya pasal tersebut maka kesulitan-kesulitan berkenan dengan pemisahan tadi dapat dihindarkan.[57]
3. Peradilan Militer Khusus
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 undang-undang Dasar 1945, tanggal 7 Juni 1945, Presiden menyatakan Daerah Jawa dan Madura dalam keadaan bahaya.[58] Kemudian pada tanggal 28 Juni 1946, pernyataan tersebut diikuti dengan pernyataan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah Indonesia.[59]
Hal ini disebabkan oleh pertentangan politik yang meruncing di dalam negeri maupun disebabkan ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda yang menginginkan kembali menjajah Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kondisi Indonesia saat itu dalam keadaan genting. Pertentangan Politik yang meruncing di dalam negeri kemudian meningkat pada tindakan melakukan coup d’etat pada tanggal 3 Juli 1946. Golongan yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan mendatangi Istana Kepresiden untuk memaksakan suatu konsep susunan kabinet baru sesuai dengan keinginan mereka. Percobaan coup d’etat ini ternyata gagal dan peristiwanya sendiri kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.[60]
Ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda, bermula saat Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan cara membonceng tentara sekutu yang sebenarnya bertugas melucuti tentara Jepang.[61] Selanjutnya pada tanggal 30 Nopember 1946, Inggris secara resmi menyerahkan pendudukan di Jawa dan Sumatera kepada Belanda dan pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer-I, maka setelah itu terjadi pertempuran di mana-mana, dan dalam keadaan demikian di bidang peradilan perlu diadakan peraturan-peraturan yang lebih sederhana dan praktis supaya peradilan mampu menjalankan fungsinya.[62]
b. Peradilan Militer masa Agresi Kedua
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda melakukan agresi yang kedua kalinya terhadap Negara Republik Indonesia yang berakibat seluruh kota besar di Jawa dan Madura jatuh ke tangan Belanda, hal ini memaksa TNI dan pejuang Indonesia untuk menyingkir ke daerah yang tidak diduduki serta melancarkan perang gerilya terhadap Belanda. [63]
Selanjutnya menurut Soegiri:
Kondisi tersebut memaksa pimpinan TNI memberlakukan Pemerintahan Militer di seluruh Jawa dan Madura, dan untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban, diperlukan adanya kepolisian yang kuat dan adanya pengadilan untuk memeriksa dan mengadili para pengganggu keamanan dan ketertiban, tetapi dengan jatuhnya kota—kota besar ke tangan Belanda dimana tempat kedudukan pengadilan negeri berada, maka pengadilan dalam lingkungan peradilan umum menjadi lumpuh yang berarti lumpuh pula pengadilan tentara karena pejabat-pejabatnya berasal dan pengadilan­pengadilan dalam lingkungan peradilan umum”.[64]
Dikeluarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 No. 46/MBDK/49 tanggal 7 Mei 1949 guna memenuhi kebutuhan yang pada waktu itu dihadapkan dengan keadaan genting dan hanya sedikit tenaga di daerah-daerah untuk menyelenggarakan peradilan sipil maupun militer. Sebenarnya berdasarkan Peraturan Darurat Nomor 3 tahun 1949 yang telah ada sebelumnya, di beberapa tempat telah dibentuk pengadilan Darurat, tetapi mengingat situasi perjuangan yang memerlukan waktu lama, maka Pengadilan Darurat tersebut perlu disempurnakan serta diperlukan peraturan yang mencakup seluruh pengadilan, baik sipil maupun militer.[65]
Berangkat dan keadaan yang genting ini, maka para komandan yang dalam berbagai hal memiliki peranan yang menentukan dalam lingkungan Peradilan Militer, dibebani tugas sebagai ketua pengadilan tentara tersebut, sedangkan untuk Peradilan Sipil, para kepala daerah diberi tugas sebagai ketua pengadilan sipil di daerahnya masing-masing.
Peraturan Darurat Nomor. 46/11BKD/49 tersebut mengatur tentang Pengadilan Tentara Pemerintah Militer untuk seluruh Jawa dan Madura, maka dengan adanya ketentuan ini maka pengadilan tentara di seluruh Jawa dan Madura yang diatur oleh Undang-undang Darurat Nomor 3 tahun 1949 dihapuskan serta diganti dengan Peraturan Darurat Nomor 46/MBKD/49 tentang Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer.
c. Peradilan Militer Masa R.I.S Tahun 1949 - 1950
Masa ini kedudukan Republik Indonesia berpusat di Jogjakarta dan menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat. Dibandingkan dengan negara bagian lain, hanya Republik Indonesia yang memiliki tentara lengkap dengan peraturan-peraturannya, yang telah dimiliki sejak awal berdirinya Republik Indonesia 7 Agustus 1945 Peraturan perundang-undangan tentang peradilan tentara menurut hukum masih tetap berlaku dalam masa RIS selama tidak bertentangan dengan Konstitusi RIS atau selama belum diganti.
Peraturan tentang Peradilan Militer yang masih berlaku, antara lain:
a.    Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan Nomor 36 tahun 1949 tanggal 29 Desember 1949 yang berlaku tentang penghapusan Peraturan Darurat No.49/MBKD/49 dan menghidupkan kembali pengadilan tentara yang ada sebelum tanggal 7 Mei 1949.
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang susunan dan Kedudukan Pengadilan/ Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Meskipun wilayah RIS meliputi seluruh Indonesia, tetapi hanya RIS yang memiliki badan-badan peradilan tentara, sedangkan negara bagian lain belum memiliki mahkamah maupun kejaksaan tentara. Oleh karena itu, Pemerintah RIS berusaha mengisi kekosongan peraturan-peraturan yang sangat diperlukan, kemudian mengeluarkan Undang-undang darurat nomor 16 tahun 1950 yang kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun 1950 tanggal 20 Juli 1950 yaitu sebagai Undang-undang Federal.
c.          Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950. Untuk mengisi kekosongan di negara bagian selain dari Republik Indonesia RIS berusaha mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1950 yang kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun 1950 tanggal 20 Juli 1950 yang dikenal dengan Undang-undang Federal.
Selanjutnya dikeluarkan juga Undang-undang Darurat Nomor 17 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara yang kemudian menjadi undang-undang Federal Nomor 6 tahun 1950, tetapi sebelum diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950, berdasarkan pasal 192-195 Konstitusi RIS, yang berlaku adalah peraturan­peraturan Republik Indonesia.
Sejak diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun 1950 maka peraturan tentang susunan dan kekuasaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan di Indonesia, dapat dikatakan sudah mantap. Konsideran undang­undang ini menyebutkan tentang keperluan diadakannya peraturan baru tentang materi pokok yang termuat didalamnya. Demikian pula dalam pasal­pasalnya tidak ditemukan ketentuan peralihannya, bahkan dalam pasal 1 dicantumkan ketentuan yang isinya menyatakan, bahwa segala peraturan yang ada sebelumnya dihapus dan diganti dengan undang-undang ini.


d.        Susunan dan Kekuasaan.
Susunan peradilan tentara berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun 1950, yaitu: 1) Mahkamah Tentara, 2) Mahkamah Tentara Tinggi, 3) Mahkamah Tentara Agung.
d. Peradilan Militer Masa Berlakunya UUDS tahun 1950 sampai dengan tahun 1959
a. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1950.
Seperti diketahui, kedudukan dan daerah hukum Peradilan Militer pada umumnya bersamaan dengan peradilan umum (Peradilan Negeri). Hal ini membawa akibat apabila terjadi perubahan atau pergantian dalam peradilan umum akan diikuti pula oleh Peradilan Militer.
Oleh karena itu dikeluarkan Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 pada tanggal 13 Maret 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilan­pengadilan Sipil yang intinya berisi:
1.      Penghapusan pengadilan yang tidak sesuai lagi dengan susunan negara kesatuan.
2.      Pengahapusan secara berangsur-angsur pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat.
3.      Selanjutnya Pengadilan Agama dan Pengadilan Desa.
4.      Pembentukan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tempat-tempat tertentu.
Undang-undang ini menghapuskan semua undang-undang yang berkaitan dengan Pengadilan/ Kejaksaan Ketentaraan, dimana kekuasaan kehakiman dalam peradilan tentara dilaksanakan oleh:
1.      Pengadilan Tentara
2.      Pengadilan Tentara Tinggi:
3.      Mahkamah Tentara Agung (Pasal 2)
Ketika itu pejabat -pejabat yang menjalankan Peradilan Tentara, adalah Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan Tentara demikian pula untuk Pengadilan Tentara Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung juga Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi serta Kejaksaan Tentara Agung. Mereka saat menjalankan tugasnya oleh Presiden diberi pangkat militer tituler (Pasal 32). Sedangkan hukum acara yang digunakan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 adalah het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan-perubahan seperti yang dimuat dalam Undang-undang No.6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara, sehingga Jaksa merupakan pemimpin pemeriksaan permulaan (penyidikan).
b. Mahkamah Militer Luar Biasa.
Tahun 1950, sebagian wilayah Indonesia masih ada yang dinyatakan dalam keadaan perang atau dalam keadaan darurat perang. [66] Khusus untuk bekas Negara Indonesia Timur dengan Keputusan Presiden No.160, 169, dan 204 Tahun 1950, hampir seluruh wilayah Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Panglima Tentara dan Teritorium VII memegang kekuasaan militer tertinggi di daerah itu, dan dalam melaksanakan tugas serta tanggungjawabnya ia dapat menyimpang ketentuan meskipun secara terbatas. Panglima pada waktu itu
(Kolonel Inf Kawilarang) berpendapat, bahwa peradilan tentara di Komando Tentara dan Teritorium VII belum dapat melaksanakan fungsinya lagi pula keadaan masih gawat sehingga masih perlu diadakan tindakan cepat dan tepat dengan mematuhi saluran dan prosedur hukum.[67] Berdasarkan alasan tersebut, ia kemudian mengusulkan kepada Menteri Pertahanan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Pusat untuk membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa, maka kemudian terbit Surat Keputusan Kekuasaan Militer Pusat No.3 Tahun 1950 tanggal 10 Oktober 1950 yang isinya Di daerah yang dalam keadaan darurat perang, Panglima dapat membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa.
c. Mahkamah Angkatan Darat Daerah Pertempuran
Berdasarkan persetujuan Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Tahun 1949, Belanda harus menyerahkan seluruh wilayah yang diduduki kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali Irian Barat setelah konfrensi tersebut. Ternyata sampai bertahun-tahun, Irian Barat tidak diserahkan ke Republik Indonesia, sampai akhirnya pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mencanangkan Tritura untuk merebut kembali Irian Barat.[68]
Di satu sisi, TNI dengan segala lapisan masyarakat bersiap-siap untuk menghadapi Belanda, ternyata di sisi lain juga mendapat rongrongan berupa pemberontakan PRRI Permesta [69] , dan untuk mengantisipasi meluasnya pemberontakan, maka pemerintah menyatakan seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya, sehingga dikeluarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya No.74 Tahun 1957 dengan Peraturan Pelaksanaannya, yaitu Keputusan Presiden RI No. 225 Tahun 1957, kemudian dibentuk suatu peradilan di lingkungan TNI Angkatan Darat Daerah Pertempuran (Mahadper) berdasarkan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.Prt/peperpu/024/1958 tanggal 28 April 1958 juga di lingkungan TNI Angkatan Udara dibentuk badan peradilan serupa, yaitu Mahkamah Angkatan Udara Daerah Pertempuran dengan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat Angkatan Udara No.2/ Peperpu/AU-1958 tanggal 28 April 1958.
e. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966
1. Peradilan Militer Angkatan dan Polri
Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit yang antara lain menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya Undang-undang Dasar 1945. Meskipun demikian, berdasarkan Ketentuan Ketentuan Peralihan UUD 1945, Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1950 serta perubahannya dalam Undang-undang Darurat No.1 tahun 1958 masih tetap/1angsung berlaku.
Setelah berlakunya UUD 1945, maka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ditetapkan Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1964 yang diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, dan Pasal 7 menetapkan:
1) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a)       Peradilan Umum
b)       Peradilan Agama
c)       Peradilan Militer
d)      Peradilan Tata Usaha Negara
2)   Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua peradilan.
3)                  Peradilan-peradilan tersebut secara teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Departemen Departemen da1am lingkungan Angkatan Bersenjata.
Dalam pasal ini istilah Angkatan Bersenjata, mempunyai arti yang sama dengan Angkatan Perang, karena hingga diundangkannya UU NO. 19 Tahun 1964, yang menyelenggarakan Peradilan Militer adalah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan Kepolisian Negara pada waktu itu sebenarnya juga sudah disebut Angkatan Kepolisian, sehingga merupakan Departemen tersendiri juga berstatus Menteri, tetapi terhadap anggota Angkatan Kepolisian belum diberlakukan Hukum Pidana Militer dan Hukum Disiplin Militer, sehingga anggota Angkatan Kepolisian belum masuk kekuasaan Peradilan Militer tetapi masih berada di bawah kekuasaan Peradilan Umum.[70]
Berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 yang mulai berlaku tanggal 31 Jun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian, Pasal 3 menyatakan, bahwa Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata. Inilah awal Polri berintegrasi dengan TNI. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 290 Tahun 1964, Angkatan Kepolisian sejajar dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Berdasarkan Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965, maka Hukum Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara dinyatakan berlaku bagi Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian, sehingga apabila ada anggota Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi diadili oleh peradilan umum (negeri) tetapi oleh Peradilan Mi 1iter.
Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965 Pasal 2, menetapkan bahwa Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana, diadili oleh :
1) Badan peradilan dalam lingkungan Angkatan Laut, apabila tindak pidana itu dilakukan di daerah Tingkat II Riau Kepulauan.
2) Badan peradilan dalam Lingkungan Angkatan Darat, apabila tindak pidana itu dilakukan di luar daerah tersebut, kecuali kalau ada ketentuan-ketentuan khusus.
2. Peradilan Militer Khusus.
Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang diundangkan pada tanggal 16 Desember 1959 telah mencabut Undang-undang. Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 telah membawa konsekuensi pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Penguasa Keadaan Bahaya berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya Tahun 1957.
Berkaitan dengan keadaan bahaya tersebut, Undang-undang No.. 23 Prp Tahun 1959 mengatur tiga keadaan bahaya, yaitu:
1)   Keadaan Darurat Sipil
2)   Keadaan Darurat Militer
3) Keadaan Perang.
Berdasarkan Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 yang mengatur tentang keadaan bahaya maka lahirlah Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tentang Mahkamah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam keadaan perang. Tingkatan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 23 Prp Tahun 1959 tersebut, adalah keberadaan Mahkamah sebagaimana diatur dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi di atas, hanya ada pada tingkatan Keadaan Perang.
Keadaan bahaya dicabut dan seluruh wilayah RI pada tanggal 1 Mei 1963, dengan dihapusnya keadaan bahaya tersebut, maka Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tersebut tidak berlaku lagi, sehingga sejak saat itu, Badan Peradilan Militer Khusus tidak ada/dihapus.[71]
3. Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB)
Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1963 tanggal 24 Desember 1963 dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa sebagai pengadilan khusus, kemudian menjadi Undang-undang No. 16 Pnps Tahun 1963. Tempat kedudukan dan daerah hukum Mahkamah ini, adalah di Ibukota Negara RI yaitu Jakarta dan Daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara (pasal 2). Dengan demikian, persidangan dapat dilakukan di Ibu Kota Negara atau di luar Ibu Kota Negara.
MAHMILLUB telah bersidang di tempat kedudukannya di Jakarta dan di Luar Jakarta, yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Padang, Bandung, Banjarmasin, dan Makassar. Mahkamah Militer Luar Biasa memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden (pasal 1). Perkara-perkara khusus dimaksud, adalah mengenai perbuatan yang merupakan ancaman dan bahaya besar bagi keamanan bangsa dan negara, sehingga memerlukan penyelesaian yang sangat segera. Pelaku tindak pidana tersebut tidak dibatasi, baik militer maupun sipil.
Oleh karena itu, maka penentuan suatu perkara khusus dilakukan oleh Presiden. Perkara G-30-S-PKI misalnya, hanya perkara para tokohnya saja yang dinyatakan sebagai perkara khusus dan diadili oleh MAHMILLUB.[72] Sedangkan perkara-perkara G-30-S/PKI lainnya yang bukan melibatkan tokoh, diperiksa dan diadili oleh :
1)      Mahkamah Militer, apabila pelakunya anggota militer.
2)      Pengadilan Negeri, apabila pelakunya sipil.
4. Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata (MAHSAMANTA)
Berkaitan peiaksanaan DWIKORA, dirasa perlu adanya penyelesaian yang cepat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata serta angota Hansip dan Sukarelawan untuk memelihara dan mempertahankan semangat dan disiplin yang tinggi, sehingga dengan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1965 yang diundangkan pada tanggal 15 Maret 1965, dibentuk suatu Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata yang berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan Bersenjata anggota Angkatan Bersenjata anggota Hansip serta Sukarelawan dan meskipun telah dibentuk, kenyataan mahkamah ini belum pernah bersidang, bahkan sampai dicabutnya Penetapan Presiden no. 5 Tahun 1965 tersebut.
f. Peradilan Militer Tahun 1966 sampai dengan tahun 1997
a. Peradilan Militer Integrasi.
Sejak keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pelaksanaan Peradilan Militer di dalam 1 ingkungan masing-masing Angkatan masih berjalan terus sebagaimana sebelumnya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan tanggal 16 Agustus 1973, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Bersenjata masing-masing No. J.S.4/10/14 tanggal 10 Juli 1972 SKEP/2/498/VII/72 tentang Perubahan Nama, Tampat Kedudukan, Daerah Hukum, Yurisdiksi serta kedudukan Organisatoris, Daerah Hukum Mahkamah Militer Tinggi dan Orditurat Militer Tinggi. Bersamaan dengan No. KEP/B/10/III/ 1973 tanggal 19 Maret 1973, mengenai Tempat J.S.8 /18/ 19 Kedudukan dan Daerah Hukum Mahkamah Militer dan Oditurat Militer.
Sebelumnya pada Tahun 1968 dikeluarkan surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kehakiman dengan Menteri Pertahanan Keamanan No.Kep /8.306/1968 tentang perubahan nama Peradilan Tentara, Daerah Hukum dan Tempat Kedudukan. Nama Peradilan Tentara diubah menjadi Mahkamah Militer (Mahmil) dan daerah hukumnya meliputi suatu Daerah Militer dan berkedudukan di tempat kedudukan Markas Komando Daerah Militer atau di tempat Lain dalam wilayah Komando Daerah Militer (Kodam) serta Nama Peradilan Tentara Tinggi diubah menjadi Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) yang daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia.
Terintegrasinya peradilan/mahkamah militer telah menjadikan Peradilan Militer tidak lagi berada dalam lingkungan Angkatan masing-­masing, tetapi dilakukan oleh badan Peradilan Militer yang berada di bawah Departemen Pertahanan/Keamanan dan pelaksanaan Peradilan Militer yang terintegrasi ini merupakan suatu perkembangan penting yang tidak bisa dilepas dan perkembangan ABRI. Di samping itu, terhitung mulai 17 Agustus 1973, semua perkara harus diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Militer Integrasi.
Menyesuaikan perkembangan istilah dalam bidang peradilan yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan, antara lain dalam Undang­-Undang No. 14 Tahun 1970, maka terhadap nama pengadilan ketentaraan perlu dilakukan penyesuaian, dan dengan penyesuaian itu, maka penyebutan nama kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Militer dilakukan Militer, yaitu:
1)      Mahkamah Militer (Mahmil)
2)      Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti)
3) Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
Sedangkan susunan jabatan Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, adalah mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1950 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 22 Pnps Tahun 1965.
Susunan persidangan Mahmil/Mahmilti sesuai dengan Ketentuan Undang­Undang No. 5 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, adalah dengan tiga orang hakim tersebut, satu orang oditur dan seorang panitera. Tiga orang hakim tersebut, satu orang hakim sebagai Ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota. Dengan tersedianya tenaga hakim, maka hakim anggota terdiri dari Hakim Perwira (Kimpa) atau Hakim Militer (Kimmil), dan untuk memberikan arti pada asas integrasi, maka komposisi sidang diusahakan terdiri dan unsur­unsur ketiga Angkatan dan Polri. Hukum acara yang dipergunakan dalam proses peradilan Mahmil, Mahmilti integrasi adalah tetap mengacu pada ketentuan­ketentuan yang telah diatur, khususnya dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 dan perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 1 Prt Tahun 1958.
Bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 yang secara tegas mencabut HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana, maka perkataan berpedoman pada HIR sebagai tercantum dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 tersebut, harus dibaca berpedoman pada RUHAP. Hal ini disebabkan ketentuan dalam KUHAP tidak dapat sepenuhnya diberlakukan dalam lingkungan peradilan militer, berpangkal pada kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam kehidupan militer.

b. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub)
Seperti yang telah diuraikan pada bagian di atas, Mahimillub sebagai pengadilan militer khusus, dibentuk berdasarkan penetapan Presiden No. 16 tahun 1963, kemudian berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1969 dinyatakan menjadi. Undang-undang nomor 16 Pnps tahun 1963. Keberadaan Mahmillub sebagaimana dilaksanakan pada masa sesudah 11 Maret. 1966, pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti karena secara substansi keberadaannya selalu dikaitkan dengan perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden.
Kegiatan Mahmillub pada masa sesudah 11 Maret 1966 terutama dalam memeriksa dan mengadili perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 370 tahun 1965, terdapat perubahan sehubungan dengan perkembangan keadaan, organisasi dan administrasi pemerintah.
Perubahan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1973 yaitu:
1) Memberikan wewenang kepada Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau pejabat yang ditunjuk olehnya, untuk:
a).                   Menentukan siapa yang termasuk tokoh-tokoh G-30-S/PKI
b).                  Bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara dalam perkara tersebut. c). Menentukan susunan Mahmillub untuk mempersiapkan, memeriksa dan mengadili perkara-perkara tersebut.
2) Pembiayaan peradilan dan penyelesaian perkara dibebankan kepada Departemen Pertahanan Keamanan cq. Anggaran Khusus Kehakiman ABRI.
g. Tahun 1997 sampai dengan sekarang
a. Peradilan Militer Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997.
Berdasarkan undang-undang ini, maka semua peraturan, undang-undang yang berkaitan dengan Peradilan Militer maupun hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini selain mengatur tentang susunan dan kekuasaan pengadilan serta oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer juga memuat hukum acara pidana militer. Hal yang paling baru yang belum pernah diatur sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
1)  Pengadilan Militer;
2)  Pengadilan Militer Tinggi;
3)   Pengadilan Militer Utama; dan
4)   Pengadilan Militer Pertempuran (pasal 12)
Kekuasaan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya, hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan menggabungkan gugatan ganti rugi.
Sedangkan Pengadilan Militer Utama, sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.
Sedangkan Pengadilan Militer Pertempuran memiliki kekuasaan memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di daerah pertempuran serta bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal 46) pidana yang dilakukan oleh prajurit ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan undang-undang atau seseorang yang berdasarkan Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu putusan.
Undang-undang Nomor. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer selain mengatur susunan, organisasi peradilan juga mengatur hukum acaranya, hukum acara yang diatur dalam Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang Berhak menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal 131)
b. Pemisahan Polri dari ABRI
Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundang­undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.
Perkembangan selanjutnya guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen, berbagai pihak terutama hakim meyakini perlunya memberlakukan sistem satu atap (one roof system) bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. [73] Satu atap dalam arti satu sistem yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yudisial dan kewenangan pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan finasial peradilan, berada di Mahkamah Agung RI, lepas dari campur tangan pemerintah (Mabes TNI) untuk Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur, Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004. Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakannya Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak 30 Juni 2004 vide pasal 2 ayat (1), bahkan secara phisik penyerahan baru terjadi pada tanggal 1 September 2004.[74] Akibat yuridis dari peralihan tersebut, semua pegawai negeri sipil di lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil militer sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang personil militer.






BAB III
KEWENANGAN PENGADILAN MILITER DALAM MENGADILI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM
3.1 Dasar Pengaturan Kewenangan Pengadilan Militer Dalam Mengadili Prajurit TNI Yang Melakukan Trindak Pidana Umum
Dalam sistem hukum terdapat sub sistem-sub sistem hukum sebagai satu kesatuanyang saling berinteraksi. Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks dimana struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. Sub sistem hukum dalam hal ini adalah substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga sub sistem inilah yang sangat menentukan apakah suatu sistem dapat berjalan atau tidak.Menurut Lawrence M. Friedman, substansihukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure)yakni :
The structure of a system is its skeletal frame work; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tought, rigid bones that keep the process flowing within bounds, we describe the structure of a judicial system when we talk about the number of judges, the jurisdiction of court, how higher courts are stacked on top of lower courts, what persons are attached to various court, and what their roles consist of. The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave.[75]
Dapat dipahami dari uraian dalam teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman bahwa, sistem hukum terdiri dari sub sistem-sub sistem hukum yang saling berinteraksi, yakni :[76]
1.    Struktur hukum adalah dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh dalam sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem meliputi lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi.
2.    Substansi hukum adalah aturan atau norma hukum. Substansi tersusun dari peraturan-peraturan mengenai bagaimana institusi-institusi bertindak.
3.    Budaya hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaan- kebiasaancara berfikir, cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dariwarga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitandengan hukum.
Mengacu padapendapat Lawrence Meir Friedman mengenai teori sistem hukum, Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa :
Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).[77]

Hukum sebagai kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum.[78] Tidak ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.
Dalam perjalanan sejarah Peradilan Militer telah banyak mengalami perubahan-perubahan, namun di Era Reformasi telah pula terjadi pergesaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Saat ini masih terus berlangsung revisi terhadap Peradilan Militer sebagai usul DPR terhadap Pemerintah sebagaimana terdapat dalam TAP MPR dan tertuang dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam teori atau filsafat hukum, agar hukum ditaati, (maksudnya) ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik harus mengandung ketiga unsur tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur itu? Hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” (Cita hukum) tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis.[79]
TNI sebagai Wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah timbul keyakinan yang kuat tentang hakikat pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg) yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dimana TNI sebagai angkatan perang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), yang menjadi komponen utama kekuatan Hankamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan Hamkamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan siap yang relatif kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilisasi yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup.
Peradilan Militer merupakan wadah, pembinaan prajurit TNI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan, pertahanan maupun keamanan negara. Dalam hal itu pembinaan prajurit TNI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan TNI yang bersangkutan mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.[80] Tugas dan beban yang berat dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan NKRI dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta. Sejalan dan searah dengan sejarah perkembangan Peradilan Militer di Indonesia dan masa ke masa
a.         Peradilan Militer pada masa penjajahan
b.         Peradilan Militer pada masa perang kemerdekaan (1945 1949)
c.         Peradilan Militer masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
d.    Peradilan Militer masa berlakunya UUDS (1950-1959)
e.  Peradilan Militer Periode 5 Juli I 959 sampai dengan 11 Maret 1966.
f.  Peradilan Militer 1966 sampai dengan 1997.
g. Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang.
Peradilan militer telah berjalan sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan reformasi. Perubahan sistim dan sistem dan unsur-unsur pidana akan sangat berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Hal ini juga menyangkut legalitas baik legal structure, legal substance dan legal culture Doktrin-doktrin yang terdapat dalam hukum militer dan hukum acara pidana militer.
Generasi yang menjalankan negeri saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan peluh darah dalam memperjuangkan kemerdekaan, bila tidak kita lestarikan, bisa saja apapun yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan dihargai.[81]
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya Kata-kata bijak ini mengandung makna yang dalam dan sangat berarti bila kita mengenang dan memaknainya dengan menghargai perjuangan para pahlawan kita, yang rela berkorban jiwa raga demi bangsa dan tanah air tercinta. Para pahlawan yang gugur di medan tempur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, gugur menjadi bunga kesuma bangsa yang tidak ternilai harganya. Hal inilah yang diwariskan oleh para pahlawan patriot bangsa dengan keberanian dan rela berkorban seyogianya kita jadikan benteng dihati sanubari setiap anak bangsa untuk melanjutkan cita-cita negara dalam mengisi kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia tercinta. Semboyan para pejuang kita dalam meraih kemerdekaan “lebih baik hancur lebur bersama debunya kemerdekaan, dari pada hidup subur di alam penjajahan”
Sejarah Perjuangan bangsa ini pulalah yang melahirkan patriot putra-putra bangsa. Berperang mengusir penjajah dengan gagah perkasa dalam gabungan kesatria-kesatria dengan laskar pejuang-pejuang lainnya walau dengan persenjataan yang amat sederhana, terkenal dengan bambu runcingnya melawan meriam dan mortir belanda. Dari laskar pejuang yang berubah menjadi BKR, TKR, TRI, TNI inilah penjelmaan rakyat Indonesia dalam perjuangan menjadi tradisi bangsa manunggal TNI dengan rakyat. Dari pengalaman perjuangan yang panjang TNI sebagai penjelmaan seluruh rakyat mampunyai tugas dan fungsi sebagai penegak kedaulatan.
Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1997 di sebutkan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer merupakan badan kekuasaan Kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata dan pelaksanaan
kekuasaan kehakiman sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.[82]
Dalam Pasal 9 ayat (1) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah
a)      Prajurit
b)      Yang menurut Undang-undang dipersamakan dengan prajurit
c)      Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan-badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang.
d)     Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a. b. dan huruf c, tetapiatas keputusan Panglima TNI dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.[83]
Saat ini Peradilan Militer baik pembinaan organisasi administrasi, tehnis dan finansial Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah Agung, akibat reformasi, krisis kepercayaan terhadap Peradilan Militer dianggap kebebasan yang tidak mandiri masih campur tangan Mabes, kurang terbuka, sebagian masyarakat menganggap Peradilan Militer impunity karena keberadaan ankum dan adanya Papera, menjadikan penghambat, Peradilan Militer hanya berlaku bagi anggota bawahan sedangkan petinggi militer tidak.
Dasar hal tersebut, atas hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang dibahas konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal yang sangat mendasar adalah dalam konsep RUU mengenai perubahan atas Undang­undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Yaitu dengan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 ayat (4) mengatur “
a Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
b. Kekuasaan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak berfungsi maka prajurit TNI tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan Undang-undang.
Sampai saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, atau tindak pidana militer yang diatur dalam KUHPM, maupun tindak pidana lain yang tersebar di luar KUHP, seperti : Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Lalu Lintas dan lain-lain masih diadili dalam Peradilan Militer. Kecuali untuk perkara-perkara yang dilakukan secara bersama­sama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing tunduk pada justisiabel peradilan yang berbeda, yaitu dilakukan oleh orang sipil (tunduk pada justisiabel peradilan umum) dan militer (tunduk pada justisiabel peradilan militer) atau yang dikenal dengan istilah perkara koneksitas, maka telah ditentukan dengan ketentuan, apabila kepentingan militer yang lebih banyak dirugikan, ia akan diadili oleh pengadilan militer, tetapi apabila kepentingan sipil lebih banyak dirugikan maka ia akan diadili oleh pengadilan umum.
Sebagaimana tercetus dalam Era Reformasi bahwa tekad rakyat Indonesia melalui reformasi untuk memberantas segala bentuk penyelewengan seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan da menegakkan hukum. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan Undang­Undang Dasar 1945 khususnya paa bagian sistem pemerintah negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan atas kekuasaan (machstaat). Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum.[84]
Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundang­undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.
Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pidana Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus.[85]
Rumusan secara tegas mengenai Koneksitas dapat diketemukan pada BAB XI UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan KUHAP, dengan judul Pemeriksaan Koneksitas. Sedangkan pengertian koenksitas sendiri dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 89 ayat (1).
Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Rumusan koneksitas pada BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP kemudian ditransfer ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam BAB IV bagian Kelima Pasal 198 sampai dengan Pasal 203.
Peraturan-peraturan yang bersifat umum yang hanya berlaku bagi militer yang disebut hukum militer, selain bersifat keras dan berat, sering pula disasarkan kepada azas-azas yang menyimpang dari teori-teori hukum pidana termasuk sanksinya sering menjungjung dari stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat biasa. Dalam arti perluasan jenis-jenis pidana dan pemberatan pidana maka lahirlah di bidang hukum pidana, hukum pidana militer dan satu jenis hukuman lagi mempunyai ciri-ciri seperti hukum pidana, tetapi karena alasan pembentukannya mempunyai tujuan yang berlainan maka dibedakan daripadanya dan disebut hukum disiplin militer.
Jenis-jenis hukum ini dibukukan dalam buku tersendiri yakni berturut­turut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) sekarng Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab Undang­Undang, Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara (KUHDT) sekarang Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM).
Semula memang pernah dipersoalkan jenis hukum ini, khususnya mengenai Hukum Pidana Militer, tidak sebaiknya dibukukan menjadi satu dalam KUHP. Gagasan untuk membukukan Hukum Pidana Militer menjadi satu dengan Hukum Pidana khusus kemudian dilepaskan, oleh karena perkiraan-perkiraan yang keras dan berat, serta dalam beberapa hal sering menyimpang dari azas yang berlaku umum ini, di samping memang memerlukan adanya hukum yang tersendiri. Juga akan menyulitkan bila dimasukkan dalam satu buku dengan Pidana Umum yaitu dalam KUHP.
Menurut Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan bahwa puncak peradilan tetap ada di Mahkamah Agung, meskipun nantinya dibawa ke peradilan umum atau dipertahankan. Seperti sekarang diperadilan militer, perkara itu akan tetap berpuncak ke Mahkamah Agung. Semua pihak harus memperhatikan aspek sosiologis dan aspek normatif, secara sosiologis apakah polisi sanggup menyidik tentara dan apakah realistis. Pada bagian lain, pekerjaan pengadilan sudah cukup banyak kalau ditambahkan lagi dengan masalah militer, apakah Peradilan Umum sanggup dan perlu dicek apakah keputusan Peradilan Militer selalu lebih ringan dari pada Peradilan Umum.[86]
Menurut Juwono Darsono (Menhan) : Aspek psikologis TNI-Polri, Belum siapnya penegak hukum sipil di lapangan, yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim, ketika melayani perkara yang melibatkan prajurit TNI. KUHPM sebagai dasar hukum materil masih belum dirubah, perubahan landasan hukum materil harus terlebih dahulu dilakukan sebelum merevisi Undang-Undang Peradilan Militer, sebab di KUHP tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit bisa dituntut atau dihukum di Peradilan Umum, jadi harus ada aturan peralihan. Peradilan sipil dengan peradilan militer sudah sama tingkatannya. Mencarikan alternatif agar tidak terjadi kebuntuan dengan memasukkan/melibatkan unsur peradilan sipil, seperti Hakim, Jaksa ke peradilan militer.[87]
Menurut Muladi (Gubernur Lemhanas) : Pembuatan RUU peradilan militer harus melibatkan hakim, jaksa, dari kalangan militer dan diterapkan secara gradual dengan meniru Negara lain, namun tetap ciri khas Indonesia. Pemberlakuan Undang-undang militer yang baru secara bertahap, bila sudah ditetapkan pemerintah diberikan waktu 2 tahun bagi anggota TNI menyiapkan sikap dan mental dan menerima perubahan. System campuran menjadi jalan tengah yang baik dari koneksitas. Sulit menginplementasikan jika militer disidik Polri. Sejarah dan aspek sosiologis TNI dan Polri tetap harus menjadi perhatian utama.[88]
Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus.[89]
Teori atau filsafat hukum, kepada kita diajarkan agar hukum ditaati (maksudnya taat secara spontan bukan dengan paksaan), hukum itu harus mempunyai dasar, ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang­undangan yang baik harus mengandung ketiga unsure tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur-unsur itu ? hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis.[90]
Terlepas dari perbedaan titik pandang tersebut, ketiga unsur yuridis, sosiologis dan filosofis memang penting. Sebab setiap pembuat peraturan perundang-undangan berharap agar kaidah yang tercantum dalam perundang­undangan itu adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panj ang.[91]
Pengertian kaidah hukum meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norm) dan peraturan hukum konkrit. Pengertian kaedah hukum dalam arti luas itu berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sisem, sistem hukum. [92]
Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut (bandingkan dengan Scholten dalam G.J. Scholten, 1949 : 402). Ini berarti menunjuk pada kesamaan-kesamaan yang konkrit itu dengan menjabarkan peraturan hukum konkrit menjadi peraturan umum yang karena menjadi umum sifatnya tidak dapat diterapkan secara langsung pada peristiwa konkrit. Asas hukum ditemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif. Jadi asas hukum sebagai pikiran dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat melainkan tersirat dalam kaedah atau peraturan hukum konkrit.[93]
Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada
tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya  perbedaan fungsi ini tergantung dari pada ada tidaknya perbedaan kedudukan  atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.
Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan
orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan-
kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya.[94]
Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dari pada seorang militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dari pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama tadi. Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa.[95] Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.
Undang-undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 Pasal 56 mengenai istilah hukum pidana sipil ini adalah lebih baik dan dapat diteruskan sebab dalam istilah tersebut dinyatakan perbedaannya dengan hukum pidana militer. Saya katakan berlaku untuk umum, karena juga berlaku bagi para militer (S. 1934-167 Jo Undang-undang 1947 Nomor 39). Bahwa hukum pidana sipil juga berlaku bagi tentara, antara lain dinyatakan Pasal 1 KUHP dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga BAB IX KUHP pada umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer.
Menurut Prof. Romli Atmasasmita pakar hukum Universitas Padjajaran tentang perbedaan “tindak pidana umum, dengan tindak pidana sipil” adalah. Tindak pidana sipil adalah : Tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung terhadap keamanan dan ketertiban sipil. Sedangkan tindak pidana umum adalah tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung kepada pertahanan negara. [96]
Ide dasar pemikiran reformatif dan arah garis/politik hukum yang tertuang dalam TAP MPR/VII/2000 dan Undang-undang Nomor 4 tentang Kekuasaan Kehakiman serta undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara nasional Indonesia memang seharusnya menjadi landasan dalam melakukan perubahan perundang-undangan termasuk perubahan terhadap undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Namun dilihat dari sudut kebijakan pembaharuan atau penataan ulang keseluruhan tatanan (system) hukum pidana militer masih perlu dikaji ulang apakah tepat saat ini yang diperbaharui hanya Rancangan undang-undang Peradilan militer.[97]

3.2 Kewenangan Pengadilan Militer Dalam Mengadili Prajurit TNI Yang Melakukan Trindak Pidana Umum
Peradilan Militer di Indonesia didasarkan pada Undang-undang No. 31 Tahun 1997. Berdasarkan undang-undang ini, maka semua peraturan, undang-undang yang berkaitan dengan Peradilan Militer maupun hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini selain mengatur tentang susunan dan kekuasaan pengadilan serta oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer juga memuat hukum acara pidana militer. Hal yang paling baru yang belum pernah diatur sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
5)  Pengadilan Militer;
6)  Pengadilan Militer Tinggi;
7)   Pengadilan Militer Utama; dan
8)   Pengadilan Militer Pertempuran (pasal 12)
Kekuasaan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya, hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan menggabungkan gugatan ganti rugi.
Sedangkan Pengadilan Militer Utama, sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.
Sedangkan Pengadilan Militer Pertempuran memiliki kekuasaan memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di daerah pertempuran serta bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal 46) pidana yang dilakukan oleh prajurit ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan undang-undang atau seseorang yang berdasarkan Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu putusan.
Undang-undang Nomor. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer selain mengatur susunan, organisasi peradilan juga mengatur hukum acaranya, hukum acara yang diatur dalam Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang Berhak menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal 131)
b. Pemisahan Polri dari ABRI
Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.
Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundang­undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.
Perkembangan selanjutnya guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen, berbagai pihak terutama hakim meyakini perlunya memberlakukan sistem satu atap (one roof system) bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. [98] Satu atap dalam arti satu sistem yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yudisial dan kewenangan pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan finasial peradilan, berada di Mahkamah Agung RI, lepas dari campur tangan pemerintah (Mabes TNI) untuk Peradilan Militer.
Sesuai Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur, Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004. Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakannya Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak 30 Juni 2004 vide pasal 2 ayat (1), bahkan secara phisik penyerahan baru terjadi pada tanggal 1 September 2004.[99] Akibat yuridis dari peralihan tersebut, semua pegawai negeri sipil di lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil militer sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang personil militer.
Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata (sekarang TNI) yang pelaksanaannya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pasal 12 Undang-undang 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merumuskan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
dilakukan sekarang atau secara gradual. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan selanjutnya dijawab melalui konsep law and development yaitu gerakan dari pemikir Negara maju agar Negara berkembang mengadopsi dan melakukan transformasi pengalaman negera berkembang yang ingin membangun ekonominya tetapi terhambat oleh adanya ketentuan hukum yang usang.
1.         Pengadilan Militer;
2.         Pengadilan Militer Tinggi;
3.         Pengadilan Militer Utama;
4.         Pengadilan Militer Pertempuran;
Masing-masing tingkat pengadilan tersebut di atas mempunyai kekuasaan yang berbeda yang diatur pasal 42 sampai dengan 45 yaitu :
1. Kekuasaan Pengadilan Militer adalah :
Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah :
a.       Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b.      Mereka sebagaimana dimaksud pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten kebawah; dan
c.       Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Peradilan Militer.
2. Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah :
a. Pada tingkat pertama
1) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah :
a.       Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat Mayor ke atas;
b.      Mereka sebagaimana dimaksud pasal 1 angka (1) huruf b dan c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan mayor ke atas dan;
c.       Mereka yang berdasarkan pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Peradilan Militer Tinggi;
2) Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (sekarang TNI).
3. Kekuasaan Peradilan Militer Utama adalah :
Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (Sekarang TNI) yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer tinggi yang dimintakan banding.
a. Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili.
a)             Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b)            Antara Pengadilan Militer Tinggi dan
c)             (3) Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
b. Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi :
(1) Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama.
(2) Apabila 2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
c.  Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
d.   Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap :
1)   Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan pengadilan Militer, pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing.
2)   Apabila 2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
e.    Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Peradilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
f.     Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
g.    Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
h.    Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kaasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung. 4. Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran adalah :
a.    Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran.
b.   Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan kedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
3.3 Perbedaan Wewenang Komponen Sistem Peradilan Pidana dengan Sistem Peradilan Pidana Militer.
Perbedaan antara kewenangan hakim dengan hakim militer antara lain hakim militer tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan praperadilan, karena keberadaan asas-asas yang bersifat khusus dalam Hukum Acara Pidana Militer, dimana kekuasaan penyidikan termasuk penahanan ada pada Atasan/Komandan praperadilan tidak dikenal serta tidak mengadili anak-anak.
Hakim berwenang menyatakan sidang tertutup selain untuk perkara kesusilaan juga perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau rahasia negara (pasal 141 ayat (3 ) UU nomor 31 tahun 1997, dan khusus untuk perkara desersi dapat diadili secara in absensia (pasal 143) dan terakhir dalam hal terdakwa diputus bebas dan segala dakwaan atau diputus lepas dan segala tuntutan hukum tetapi menurut penilaian hakim perbuatan terdakwa tidak layak terjadi dalam ketertiban atau disiplin prajurit, hakim memutus perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Militer (pasal 189 ayat (4) UU nomor 31 tahun 1997)[100]
Realita lain yang tidak bisa dibantah, adalah bahwa baik Peradilan Umum maupun Peradilan Militer belum bebas dan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) - Dengan kata lain, Peradilan Militer masih rentan terhadap intervensi yang dapat mempengaruhi jalan/proses peradilan itu sendiri termasuk dalam hal penjatuhan pidana yang kemudian dirasakan oleh masyarakat sebagai tidak fair. Padahal
Undang-undang melarang adanya intervensi atau tekanan dan fihak-fihak luar yang akan mempengaruhi pengadilan.
Menurut penulis, Peradilan Militer tetap diperlukan dan harus tetap dipertahankan, karena selain dicantumkan dalam pasal 2 dan pasal 10 ayat 2 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga dicantumkan dalam konstitusi, yaitu terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) Undang­undang Dasar RI 1945 setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001 yang berbunyi; Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lebih dari itu adalah untuk penegakan hukum dan pembinaan personil (Prajurit) sehingga militer dapat melakukan tugas pokoknya, yaitu di bidang pertahanan negara yang pada akhirnya diharapkan TNI menjadi kuat.
Kekhususan itulah sebagai alasan untuk mempertahankan keberadaan Peradilan Militer di Indonesia. Hanya saja kewenangannya perlu diatur lebih jelas tindak pidana mana/bagaimana yang menjadi tindak pidana militer dan sisanya merupakan pidana umum. Dalam menyusuri tindak pidana militer yang menjadi kewenangan peradilan militer perlu dibahas secara mendalam tentang kriteria apa saja yang masuk dalam tindak pidana militer, misalnya tugas-tugas atau jabatan kemiliteran, dan yang tidak ada kaitan dengan tugas-tugas dan jabatan kemiliteran tetapi dilakukan di suatu tempat yang khusus, seperti di dalam markas, barak, kesatrian, pangkalan atau tempat-tempat lain yang dikuasai militer.
Oleh karena itu pada era reformasi ini, ketika hukum ingin dijadikan sebagai panglima (supremasi hukum), merupakan kesempatan bagi para komponen (sub-sistem) Sistem Peradilan Pidana Militer untuk penunjukan kepada masyarakat (rakyat sipil), bahwa peradilan militer mampu mewujudkan kembali tujuannya, yaitu terwujudnya masyarakat militer tertib hukum, dan menjadikan militer yang kuat. Lagi pula sudah tidak dimungkinkan lagi militer untuk berpolitik, sehingga energinya dapat disalurkan kepada profesionalisme militer saja.
Salah satu usaha yang mendorong terwujudnya independensi peradilan militer, yaitu ada atensi atau perhatian masyarakat secara terus menerus sehingga intervensi fihak lain dapat dihindari. Selain itu harus diingat pula bahwa SPPM, seperti halnya SPP, bukanlah berdiri sendiri, tetapi bagian dan sistem yang lebih luas, yaitu masyarakat. Perubahan-perubahan seperti ekonomi, teknologi serta politik dalam masyarakat dapat mempengaruhi.







BAB IV
PELAKSANAAN PROSES PERADILAN BAGI PRAJURIT TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM

4.1 Kompetensi Peradilan Militer di Indonesia
Peradilan Militer merupakan salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman di samping, Peradiian Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara serta Mahkamah Konsitusi. Peradilan Militer mengadili perkara­perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu (militer). Pelaksanaan peradilan militer berdasarkan pada Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Mi 1 ter yang mengatur kewenangan Pradi 1 an Militer yaitu:
1. Pasal 9 angka 1 merumuskan:
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu me 1 akukan tindak pidana adalah:
a.     Prajurit TNI.
b.     Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit
c.     Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang.
d.     Seorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer
2. Pasal 198 (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menyatakan: Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili di pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
4.1.1 Prajurit Tentara Nasional Indonesia  dalam perspektif Hukum Pidana Militer dan Hukum Pidana Umum
1. Prajurit
Pengertian prajurit dalam pasal 1 angka 42 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 yaitu:
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa dan raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
Pengertian prajurit di atas berbeda dengan pengertian prajurit yang diatur dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 21 mengatur, “prajurit adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan”.
Sejak ditetapkannya Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dengan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia kemudian dengan diundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka polisi bukan lagi merupakan bagian dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tetapi merupakan suatu lembaga yang berdiri sendiri (pisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sekarang Tentara Nasional Indonesia) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 9 ayat 2 mengatur kewenangan peradilan militer untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer serta pada ayat 3 mengatur kewenangan Peradilan Militer untuk memutus penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer penerapannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer diundangkan (pasal 353).
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 diundangkan pada tanggal 15 Oktober 1997, seharusnya setelah 3 (tiga) tahun semenjak diundangkan (16 Oktober 2000), ketentuan atau Peraturan Pemerintah tentang tata cara penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer telah ada, namun sampai saat ini telah lebih dan 10 tahun sejak diundangkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum juga ada, sehingga Peradilan Militer belum dapat memutus penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer. Demikian juga halnya dengan penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana, sampai saat ini peradilan militer belum pernah memutusnya.[101]
Dengan demikian, sampai saat ini peradilan militer hanya mengadili dan memutus perkara pidana yang dilakukan prajurit (militer), untuk megetahui lebih lanjut perlu dijelaskan pengertian dan hukum pidana militer.
2. Hukum Pidana Militer
Menurut S.R Sianturi ditinjau dan sudut justisiabel maka hukum pidana militer (dalam arti materiel dan formal) adalah :
Bagian dan hukum positif yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana yang menentukan dalam hal apa dan bilamana pelanggar dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang menentukan juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya keadilan dan ketertiban hukum.[102]
Apabila dilihat dari sudut mereka yang tunduk pada yuridiksi peradilan militer, maka hukum pidana militer adalah salah satu hukum pidana yang secara khusus berlaku bagi militer selain hukum pidana lainnya atau dengan kata lain, seseorang militer merupakan subyek tindak pidana militer juga subyek tindak pidana umum.
Hal ini lebih diperjelas oleh Pasal 2 KUHPM yang berbunyi sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang No.39 Tahun 1947). Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Selanjutnya pasal 1 KUHPM mengatur sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab Undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk Bab kesembilan dan buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan- penyimpangan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Penerapan pasal 1 KUHPM berkaitan dengan penerapan ketentuan­ketentuan hukum pidana umum (KUHPM), maka untuk Pasal 2 ditujukan kepada subyek yang melakukan tindak pidana, yaitu militer atau yang dipersamakan yang tunduk pada kewenangan peradilan militer, di mana ia melakukan tindak pidana yang tidak tercantum dalam pasal-pasal KUHPM, maka diterapkan ketentuan hukum pidana umum (KUHP).
Ketentuan (pasal 2 KUHPM) semakin memperjelas subyek tindak pidana yang menjadi yurisdiksi peradilan militer, yaitu selama ia anggota militer dan melakukan tindak pidana, baik yang tercantum dalam KUHPM maupun dalam KUHP, maka Ia tetap diadili di peradilan militer atau dengan kata lain, di mana saja, kapan saja seseorang militer selalu membawa undang-undang (hukum) pidananya.
Pengertian atau batasan agak berbeda diberikan oleh Soedarto yang mengatakan, bahwa
Hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus yang memuat aturan-aturan hukum pidana umum, ialah mengenai golongan-golongan orang tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu, karena hukum pidana militer hanya berlaku untuk anggota tentara dan yang dipersamakan.[103]
Apabila dilihat batasan ini, khususnya berkaitan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu atau tindak pidana tertentu, maka hukum pidana militer hanya dikaitkan dengan tindak pidana yang murni atau khas militer, dimana orang sipil belum tentu melakukannya, seperti desersi, insubordinasi.
Oleh karena itu akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan perbedaan asas antara hukum militer dengan hukum pidana umum, juga tindak pidana umum dan tindak pidana militer.
3. Hukum Pidana Umum
Sebelum dijelaskan lebih dahulu disampaikan bahwa pengertian hukum pidana umum dalam tulisan ini disamakan dengan hukum pidana (umum). Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang, dan aturan-aturan ini, misalnya dijumpai dalam KUHP, Undang-undang Lalu Lintas, dan sebagainya. Selanjutnya, batasan-batasan hukum pidana (umum) diberikan oleh:


a. Sudarto
Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Jadi hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu:
1) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana” atau dapat disingkat “Perbuatan jahat” (verbrechen atau crime).
2) Pidana, yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” (tuchtrnaatregel).[104]
Melihat pengertian tersebut, hukum pidana hanya dimaksudkan dalam pengertian materiil, sebagaimana dalam KUHP, bagaimana cara negara menjalankan ketentuan tersebut (Hukum Acara/KUHAP) tidak dijelaskan. Hal ini berbeda dengan pengertian hukum pidana yang didefenisikan oleh
b. Jan Remmelink
Hukum Pidana dibagi menjadi hukum pidana dalam arti hukum pidana yang berlaku atau hukum positip sering disebut (jus poenale) dan hukum pidana dalam arti subyektif (jus puniendi) yaitu:
1) Hukum positif (jus poenale);
a)      Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ- organ yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana: norma-norma yang harus ditaati oleh siapapun juga;
b)      Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu; hukum penetensier atau lebih luas, hukum tentang sanksi;
c)      Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dan norma-norma.
2) Hukum pidana dalam arti subyektif ius puniendi adalah hak dan negara dan organ-organnya untuk mengakaitkan (ancaman) pidana pada perbuatan­perbuatan tertentu.[105]

c. Simons
Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana dalam anti obyektif dan subyektif, yaitu:
1) Hukum pidana dalam arti obyektif adalah hukum pidana yang berlaku atau juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale, adalah keseluruhan dan larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh satu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa penderitaan, yang keseluruhan dan peraturan-peraturan di mana syarat- syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan masalah penjatuhan dan pelaksanaan dan hukumnya itu sendiri.
2) Hukum pidana dalam arti subyektif atau ius puniendi mempunyaidua pengertian, yaitu:
a)        hak dan negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum, yaitu hak yang telah mereka peroleh dan peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti obyektif.
b)        hak dan negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan- peraturannya dengan hukuman.[106]
d. Moeljatno
Hukum pidana adalah sebagai bagian dan pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1)   Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2)   Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[107]
Dari uraian tersebut dapat diambil pengertian, bahwa hukum pidana pada dasarnya merupakan peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana, sebagaimana terdapat dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur di luar KUHP serta peraturan yang menetapkan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana, sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
4.1.2 Komparasi Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Militer
a. Tindak Pidana Umum
Tindak pidana umum atau disebut dengan Delicta Communia, adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Hal ini dapat dilihat hampir setiap pasal KUHP, yaitu yang dimulai dengan perkataan ‘barang siapa’ Sedangkan tindak pidana militer dimasukkan kedalam pengertian tindak pidana khusus atau Delicta Propria, yaitu tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualifikasi tertentu, misalnya pegawai negeri, nakhoda, militer (tentara).[108]
Oleh karena itu maka KUHP tersebut berlaku juga bagi militer, sesuai ketentuan Pasal 1 KUHPM menentukan, bahwa untuk penerapan kitab undang­undang hukum pidana militer (KUHPM) berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, yang tidak lain adalah KUHP itu sendiri. Demikian pula ketentuan yang diatur dalam pasal 2 KUHPM yang menentukan, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh militer atau mereka yang tunduk pada peradilan militer tidak terdapat dalam KUHPM, maka diterapkan hukum pidana umum yang tidak lain adalah KUHP itu sendiri, kecuali ada penyimpangan yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Tindak Pidana Militer.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana militer, maka menurut Sianturi, tindak pidana militer dibagi menjadi dua, yaitu:
1)                  Tindak pidana militer murni, adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seseorang militer, atau dengan kata lain, tindak pidana yang dilakukan oleh militer, karena keadaannya yang bersifat khusus, insubordinasi yang diatur dalam Pasal 107 KUHPM, meninggalkan pos penjagaan dalam pasal 118 KUHPM.
2)                  Tindak pidana militer campuran, adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang­undangan lain (dalam KUHP maupun undang-undang lain yang memuat sanksi pidana di luar KUHP), tetapi diatur lagi dalam KUHPM, karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari ancaman pidana dengan pemberatan (pasal 52 KUHP) misalnya tentang pemberontakan sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (1) KUHPM, pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 140 KUHPM.[109]
Pada penjelasan pasal 9 Rancangan Undang-undang tentang Perubahan UU nomor 31 tahun 1 997 tentang Peradilan Militer, yang dimaksud dengan tindak pidana militer adalah tindak pidana yang secara khusus hanya ditujukan pelakunya berstatus militer.
Dengan demikian, ketentuan yang menjadi dasar diadilinya seseorang militer yang melakukan tindak pidana baik yang diatur dalam KUHPM, KUHP
maupun undang-undang pidana khusus di luar KUHP, adalah pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM.
Ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 KUHPM selengkapnya adalah berbunyi sebagai berikut:
(Diubah dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1947). Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk Bab Kesembilan dan Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal ini menjelaskan tentang peranan ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Umum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) atau dengan kata lain, selama tidak ditentukan berbeda oleh KUHPM maka digunakan atau diterapkan KUHP.
Lebih jelas dapat dilihat bunyi Pasal 103 KUHP yang berbunyi:
Ketentuan dan delapan bab (Bab I sampai dengan Bab VIII) dan buku ini (KUHP) berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang (tersebut, termasuk KUHPM) ditentukan lain. Sedangkan bab IX (Pasal 86 s.d. Pasal 102) tentang arti beberapa sebutan dalam KUHP hanya berlaku untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP itu saja.
Selain itu, adanya penyebutan termasuk bab kesembilan dan buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagaimana terdapat dalam bunyi Pasal 1 KUHPM tersebut menurut Sianturi, bahwa pembuat undang-undang menganggap masih perlu menegaskan tentang berlakunya Bab IX tersebut untuk mencegah keragu-raguan.[110]
Hal ini seharusnya tidak perlu dicantumkan, karena kalimat (pengertian) tersebut sudah mencakup dalam kalimat pertama, dan pengertian dalam kalimat ini tidak hanya diterapkan Buku I KUHP pada KUHPM, tetapi juga ketentuan­ketentuan dalam Buku II harus diterapkan atau diperhatikan, termasuk pula ajaran-ajaran umum mengenai hukum pidana, dan hal tersebut dapat dilihat dan pengguna rumusan atau istilah-istilah yang terdapat dalam bab atau pasal-pasal KUHPM.
4.1.3 Komparasi Peradilan Militer   dengan Peradilan Umum
1. Persamaan KUHP dengan KUHPM
Sebagaimana terdapat dalam Buku I KUHPM, yaitu adanya penggunaan rumusan dan istilah-istilah yang bersamaan antara judul dan Bab-bab Buku KUHP dengan KUHPM, kecuali judul Pendahuluan yang mendahului Bab I dan terdiri dan 3 pasal serta judul Bab Percobaan dan penyertaan yang tidak terdapat dalam KUHPM.
Sistematika di KUHPM, tidak berbeda jauh dengan sistematika KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan-ketentuan umum, selanjutnya diikuti dengan kej ahatan.
2.      Kekhususan KUHPM dan KUHP
Tidak adanya bab tentang percobaan dan bab tentang penyertaan dalam KUHPM tidak berarti ketentuan-ketentuan tentang percobaan dan penyertaan dalam KUHP tidak diikuti, tetapi selama tidak ditentukan lain oleh KUHPM,
maka ketentuan tentang percobaan dan penyertaan yang ada dalam KUHP tetap diikuti.
a.    Ketentuan tentang Percobaan.
Ketentuan tentang percobaan yang tidak diikuti atau disimpangi oleh KUHPM, khususnya berkaitan dengan ancaman pidananya atau maksimum hukuman pokok yang tidak dikurangi dengan sepertiganya, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 53 ayat (2) KUHP, antara lain terdapat dalam Pasal 66 ayat (2) KUHPM, yaitu diancam dengan pidana yang sama, militer yang dengan maksud menyiapkan atau memudahkan pemberontakan militer atau Pasal 88 KUHPM, yaitu maksimum ancaman pidana diduakalikan pada kejahatan ketidakhadiran tanpa ijin atau pada kejahatan desersi apabila saat melakukan kejahatan itu belum lima tahun sejak pelaku telah menjalani seluruh atau sebagian pidananya, juga Pasal 94 KUHPM, Pasal 116 KUHPM, Pasal 125 KUHPM, 144 KUHPM sehingga dan Bab I sampai dengan Bab VI Buku Kedua KUHPM selalu ditemukan penyimpangan terhadap ketentuan tentang percobaan.

b.   Ketentuan tentang Penyertaan.
Penyimpangan terhadap ketentuan tentang penyertaan juga terdapat dalam pasal-pasal KUHPM, antara lain Pasal 72 ayat (1) yang berbunyi :
Terhadap peserta dari suatu permufakatan jahat yang disebutkan dalam Bab ini yang melaporkannya dengan suatu cara kepada penguasa yang tidak mengetahuinya sebelumnya, sehingga karenanya pelaksanaan kejahatan yang diniatkan itu dapat dicegah, ditiadakan penuntutan pidana.
Pasa1 lain yang merupakan penyimpangan terhadap ketentuan tentang penyertaan, khususnya berkaitan dengan pemberatan pidana, seperti Pasal 78 ayat (2) ke-3 dan ke-4 KUHPM, Pasal 88 ayat (1) ke-2 KUHPM, Pasal 103 ayat (3) ke-3 KUHPM, dan lain-lain. Sedangkan pasal lain berkaitan dengan kejahatan yang berdiri sendiri meskipun itu dilakukan bersama-sama seperti Pasal 113 KUHPM yang berbunyi ;
Bilamana lima orang militer atau lebih berkelompok jahat untuk secara bersatu mengabaikan tugas mereka, apabila karenanya terjadi suatu tindakan nyata atau ancaman, maka kecuali kepada masing-masing dipertanggung­jawabkan tindakan-tindakan khusus yang dilakukannya, mereka diancam karena pengacauan militer (militair oproer) dengan pidana penjara maksimum dua belas tahun.

c.       Ketentuan tentang Permufakatan Jahat.
Pemufakatan jahat, antara lain berkaitan dengan memberikan bantuan pada musuh saat perang (Pasal 64 ayat (1) KUHPM), militer yang melakukan pemberontakan (Pasal 67 KUHPM), dan lain-lain yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dimana untuk peserta, sebagaimana dimaksud Pasal 72 KUHPM tidak dikenakan pidana.
d.      Ketentuan tentang Pidana yang lebih berat
Alasan diadakan ketentuan hukum pidana militer berbeda dengan ketentuan hukum pidana umum, salah satunya adalah ancaman pidana yang lebih berat bagi mereka yang tunduk pada yurisdiksi peradilan militer. Sebagaimana dikatakan oleh Sianturi sebagai berikut: . . . bahwa justru diperlukan pemisahan hukum pidana dan badan peradilan militer adalah untuk memberatkan ancaman pidana dan perjatuhan pidana bagi justisiahel Peradilan Militer”.[111]
Selanjutnya dikatakan pula, yaitu:
Bahwa ancaman pidana dalam Hukum Pidana Umum, sering dirasakan kurang memadai/kurang berat bagi seseorang militer yang melakukan kejahatan, walaupun dengan penerapan Pasal 52 KUHP. Kadang-kadang diperlukan pidana (tambahan) yang berbeda dan pada yang ditentukan dalam KUHP.[112]
Sebagai contoh dan penyertaan tersebut, antara lain yaitu Pasal 65 KUHPM tentang pemberontakan, diancam pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara dua puluh tahun. Sedangkan Pasal 108 KUHP, diancam pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Demikian pula Pasal 145 KUHPM tentang penadahan yang ancaman hukumannya selama tujuh tahun. Sedangkan Pasal 480 KUHP ancaman hukumannya selama empat tahun, dan lain-lain.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas yang membedakan antara KUHPM dengan KUHPM, adalah tindak pidana atau kejahatan yang khas atau murni militer yang tidak diatur oleh KUHP, seperti desersi (Pasal 87 KUHPM), insub-ordiriasi atau pembangkangan militer (Pasal 97 sampai dengan Pasal 117 KUHPM), dan lain-lain.
e. Koneksitas.
Sebagaimana telah disampaikan pada awal bab ini dalam perkara tertentu (koneksitas) peradilan militer mempunyai kewenangan mengadili pelaku tindak pidana yang bukan militer atau yang dipersamakan dengan militer (yang diatur pada pasal 9 ayat 3). Pada Bagian Kelima Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur tentang Acara Pemeriksaan Koneksitas. Pasal 198 berbunyi:
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Ketentuan tentang koneksitas sebagaimana diatur dalam Pasal 198 sampai dengan pasal 203 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sama dengan sebagaimana diatur pada pasal 89 sampai dengan pasal 351 dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Kemudian ketentuan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tunduk kepada lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer dalam hal keadaan tertentu tunduk kepada peradilan militer bukan lagi menurut keputusan Menteri Pertahanan Keamanan dengan persetujuan Menteri kehakiman tetapi menurut keputusan Mahkamah Agung, sebagaimana diatur pada pasal 24 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dan titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oeh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pasal 89 sampai dengan pasal 94 mengatur perkara koneksitas, bagaimana dan siapa yang menyidik perkara koneksitas, pembentukan tim koneksitas, penelitian untuk menetapkan lingkungan peradilan mana yang akan mengadili perkara koneksitas, peran Perwira Penyerah Perkara (Papera), perbedaan pendapat antara penuntut umum dengan oditur dalam hal penentuan peradilan mana yang berwenang mengadili, komposisi hakim dan lain-lain.
Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkara­perkara yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota ABRI (sekarang TNI) bersama-sama non ABRI (TNI), pada hakekatnya merupakan suatu kekecualian ataupun penyimpangan dan ketentuan, bahwa seseorang seharusnya diadili dalam sidang Pengadilan yang menjadi yurisdiksinya.
Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang­undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer kewenangan diberikan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadi1an Militer sebagai pengadilan yang berwewenang mengadili perkara koneksitas, maka dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 maka kewenangan tidak lagi pada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, tetapi pada Ketua Mahkamah Agung yang menetapkan Peradilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas.

4.2 Sistem Peradilan Pidana Militer di Indonesia
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sistem Peradilan Pidana Militer akan dijelaskan terlebih dahulu Sistem Peradilan Pidana (yang berlaku umum) sebagai pembanding, khususnya berkaitan dengan komponen atau sub sistem peradilan pidana yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Seperti diketahui, keempat lembaga (instansi/badan) tersebut masing­masing secara administratif berdiri sendiri. Kepolisian saat ini kedudukannya langsung di bawah Presiden. Kejaksaan berpuncak pada Kejaksaan Agung, Pengadilan (berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) Pasal 42 ayat (1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004. Kemudian (lembaga) Pemasyarakatan berada dalam struktur organisasi Departemen Kehakiman, yaitu di bawah Ditj en Pemasyarakatan.
Keempat komponen atau sub-sistem peradilan pidana tersebut menurut Mardjono Reksodiputro, memiliki keterkaitan antara sub-sistem satu dengan 1ainnya, ibarat bejana berhubungan, dan diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu integrated criminal justice system.[113]
Demikian halnya dengan sistem peradilan pidana militer, memiliki komponen atau sub-sistem peradilan pidana militer yang meliputi : Polisi Militer, Oditurat Militer, Pengadilan (berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pada pasal 42 ayat (3) pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer kepada Mahkamah Agung selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Dari Pemasyarakatan Militer serta hal yang sangat membedakan adalah adanya lembaga Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM) serta Perwira Peryerah Perkora (PAPERA)
Hal ini berbeda dengan sistem peradilan pidana militer, dimana Atasan yang berhak menghukum (Ankum) adalah penyidik selain dan Polisi Militer dan Oditur sebagaimana terdapat dalam pasal 69 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan PNS tertentu (Pasal 6 ayat (1) KUHAP). Sedangkan Oditur yang seharusnya sebagai penuntut (Pasal 64 ayat(1) huruf a) juga dapat melakukan penyidikan (pasal 64 ayat 2) UU No. 31 Tahun 1997. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (Pasal 6 ayat (1) KUHAP)
4.2.1 Perbedaan komponen SPP dengan Komponen SPPM
Perbedaan komponen sub-sistem peradilan pidana dengan sub-sistem peradilan pidana militer dapat digambarkan, sebagai berikut;
4.2.2 Asas Hukum Acara Pidana Militer
Keterlibatan Ankum dalam hal penyidikan pada sistem peradilan pidana militer, sangat berkaitan dengan asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer, yaitu;
a. Asas Kesatuan Komando.
Dalam kehidupan organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan yang sangat penting karena bertanggungjawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara pidana. Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut di atas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan, tetapi dalam Hukum Acara Pidana Militer dikenal adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
b.      Asas Komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya.
Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggungjawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya.
c.       Asas kepentingan Militer
Untuk menyelenggarakan pertahanan, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
Asas-asas tersebut merupakan kekhususan dan asas Hukum Acara Pidana (umum). Meskipun demikian, Hukum Acara Peradilan Militer tetap berpedoman pada asas-asas yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2004 (tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri tata kehidupan militer). Begitu pula Hukum Acara Pidana Militer disusun berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan pengecualian-pengecualian.
Berkaitan dengan keberadaan asas-asas tersebut, nantinya dapat mempengaruhi proses dalam sistem peradilan pidana militer, atau dengan kata lain dapat memacetkan aliran sistem peradilan pidana militer, yaitu dalam hal salah satu unsur atau komponen SPPM tersebut, misalnya Papera yang tidak bersedia menyerahkan anak buahnya yang disangka telah melakukan tindak pidana dengan tidak mengeluarkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (skeppera) untuk diadili di pengadilan, maka oditur selaku penuntut tetap tidak dapat melakukan fungsinya.
4.2.3 Komponen Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM)
Selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan peran atau kewenangan Ankum, Papera, Polisi Militer, oditur, dan hakim serta pemasyarakatan militer, sebagai berikut:
a. Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum).
Berdasarkan pasal 74 UU No.31 Tahun 1997, atasan yang berhak menghukum (Ankum) mempunyai wewenang
a.       Melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf C, yaitu Polisi Militer atau oditur.
b.      Menerima laporan pelaksanaan penyelidik dan penyidik polisi militer atau oditur.
c.       Menerima berkas perkara hasil penyidikan dan penyidikan Polisi Militer atau Oditur.
d.      Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya.
Berhubung tidak semua Atasan memiliki waktu atau kesempatan untuk melakukan penyidikan terhadap anak buahnya yang telah melakukan tindak pidana maka berdasarkan Penjelasan Pasal 74 tersebut, kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum) untuk melakukan penyelidikan, pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik Polisi militer atau Oditur.
Selesai melakukan penyelidikan, polisi militer atau oditur melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan Yang Berhak Menghukum (Pasal 71 ayat (2) huruf b) juga apabila anak buahnya disidik tanpa sepengetahuan komandannya, maka penyidik segera melaporkannya kepada Atasan yang berhak menghukum tersangka (Pasal 99 ayat (3)). Selain itu juga, penyidik (polisi militer) selesai melakukan penyidikan, wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Ankum (Papera), dan berkas aslinya kepada Oditur yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 101 ayat (1).
Dengan demikian, dalam proses penyidikan ini, Ankum mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan hukum di lingkungan militer, karena polisi militer maupun oditur tidak secara mutlak dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan pemeriksaan tersebut hanya dapat dilakukan atas ijin/sepengetahuan Atasan tersangka, kecuali tertangkap tangan atau penyerahan tersangka (Pasal 102), dan pada dasarnya Atasan yang berhak menghukum yang melakukan pengusutan dan pemeriksaan permulaan atas seorang militer yang menjadi anak buahnya. Ia adalah pengusut, dan sebagai pengusut ia tidak lagi berkedudukan di bawah pimpinan/perintah Jaksa Tentara.[114]
Apabila pemeriksaan pendahuluan dan suatu perkara pidana di bawah pimpinan Jaksa (dalam SPP) sudah selesai, artinya apabila menurut pendapat jaksa, ketereangan-keterangan sudah cukup terkumpul untuk bahan-bahan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, maka sudah saatnya bagi jaksa untuk menyerahkan perkaranya kepada hakim pengadilan negeri yang berwenang, tetapi dalam sistem peradilan pidana militer, jaksa/oditur militer bukan yang menentukan apakah suatu perkara pidana perlu diadakan pemeriksaan pendahuluan yang lebih lanjut, artinya, ia tidak dapat memeriksa langsung seorang tersangka tanpa turut campur Ankum/Komandan langsung tersangka tersebut.
Penentu terakhir mengenai perkara pidana diserahkan atau tidak ke pengadilan, bukan terletak pada oditur militer, meskipun oditur yang mempersiapkan segala sesuatu mengenai perkara hingga selesai, juga walaupun sebelumnya Papera/Komandan menentukan suatu perkara pidana diminta pendapat oditur terlebih dahulu, tetapi karena sifat dan suatu pendapat atau nasehat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara tidak mengikat, pada akhirnya Ankum/Komandan yang menentukan.

b. Perwira Penyerah Perkara (Papera).
Setelah diketahui wewenang Ankum sebagai salah satu komponen dalam SPPM, maka selanjutnya akan dijelaskan kewenangan komponen lain SPPM, yaitu Perwira penyerah Perkara (Papera), sebagai berikut :
Sesuai Pasal 123 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997, Perwira Penyerah Perkara (Papera) mempunyai wewenang :
  1. Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan.
  2. Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan.
  3. Memerintahkan dilakukan upaya paksa.
  4. Memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam (Pasal 78).[115]
  5. Menerima atau meminta pendapat .hukum dan Oditur tentang penyelesaian suatu perkara.
  6. Menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili.
  7. Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit;
  8. Menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.
Khusus berkaitan dengan menutup perkara dimana asas oportunitas tersebut hanya dimiliki oleh Jaksa Agung (Pasal 14 huruf h KUHAP).
Selain itu, apabila pendapat oditur bertentangan dengan pendapat atau putusan Papera berkaitan dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan militer atau pengadilan di lingkungan peradilan umum, sedangkan oditur berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan, perkara perlu diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan apabila oditur tetap pada pendiriannya, maka oditur mengajukan permohonan dengan disertai alasan-alsannya kepada Papera tersebut, supaya perbedaan pendapat diputuskan oleh Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama) dalam sidang. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 127 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997.
Menurut Hakim Agung Iskandar Kamil dengan adanya pasal 127 ayat (1) ini maka jelaslah kalau Papera tidak boleh semena-mena dalam hal menentukan penyelesaian perkara untuk diselesaikan di luar pengadilan atau dalam peradilan militer/umum karena pada akhirnya perbedaan pendapat ini akan diputus oleh Pengadilan Militer Utama yang berada dibawah Mahkamah Agung baik secara organisasi, administrasi maupun finansial.[116]
Menurut Moch. Faisal Salim, dalam praktek, penyelesaian perkara kesempatan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Militer Utama sebagaimana tersebut di atas jarang atau tidak pernah sama sekali dipergunakan oleh oditur, karena:
Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan, bahwa mungkin yang bersangkutan, karena kebijakannya ditentang oleh bawahannva, sehingga unsur subyektif dan komandan akan membawa akibat kurang/tidak menguntungkan bagi Jaksa Tentara atau Oditur Tentara dalam karirnya di kesatuan itu selanjutnya atau dengan kata lain, bahwa untuk keamanan pribadi Jaksa Tentara atau Oditur Militer itu sendiri dalam Angkatan/Kesatuan itu, menerima saja putusan-putusan komandan, walaupun diketahuinya/disadarinya bahwa untuk kepentingan justisi suatu perkara harus mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.

c. Polisi Militer
Polisi Militer sebagai salah satu subsistem peradilan pidana militer memiliki kewenangan melakukan penyidikan yang dirinci dalam pasal 71 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 memiliki wewenang selain melakukan penyidikan, adalah:
  1. Menerima laporan atau pengaduan dan seseorang tentang terjadinya suatu
    1. yang diduga merupakan tindak pidana;
  2. Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
  3. Mencari keterangan dan barang bukti;
  4. Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;
  5. Me1akukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat;
  6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
  7. Memanggil seseorang untuk untuk didengar den diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  8. Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, dan
  9. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, selain memiliki wewenang sebagaimana di atas, penyidik Polisi Militer juga memiliki wewenang:
1)      Melaksanakan perintah atasan yang berhak menghukum untuk melakukan penahanan tersangka, dan
2)      Melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan Yang Berhak Menghukum.
d. Oditur Militer.
Oditur dalam SPP diposisikan sebagai Jaksa yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan, tetapi dalam SPPM, oditur tidak saja melakukan penuntutan tetapi oditur juga memiliki kewenangan melakukan penyidikan. Meskipun memiliki kewenangan melakukan penuntutan, tetapi oditur tidak memiliki kekuasaan untuk menyerahkan perkara ke pengadilan, dan kewenangan Oditur dalam SPPM diatur dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:
1) Melakukan Penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya:
a)         Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah;
b)         Mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” kapten ke bawah;
c)         Mereka yang didasarkan pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh pengadilan Militer;
2)    Melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer atau pengadilan lingkungan peradilan umum;
3)   Melakukan pemeriksaan tambahan.
Sedangkan bagi prajurit yang berpangkat Mayor ke atas, maka yang melakukan penuntutan adalah Oditurat Militer Tinggi, sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 UU Nomor 31 tahun 1997.



e.       Pengadilan
Komponen-komponen lain dan sub-sistem peradilan pidana militer adalah pengadilan. Pengadilan dalam lingkungani peradilan Militer, sebagaimana terdapat dalam pasal 15 UU nomor 31 tahun 1997 terdiri dari :

  1. Pengadilan Militer dan pengadilan militer tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang hakim ketua dan 2 (dua) orang Hakim anggota.
  2. Pengadilan militer tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota.
  3. Pengadilan Militer tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota.
  4. Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus
  5. perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota.

Mengenai sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pengadilan militer, penerapannya akan diatur dengan peraturan pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak UU Nomor 31 tahun 997 diundangkan (pasal 353), tetapi sampai saat ini, peraturan pemerintah dimaksud belum ada, sehingga pengadilan militer sampai saat ini hanya mengadili tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1).
Secara umum pengadilan (hakim) lebih merdeka dan pada sub-sistem lainnya karena telah diberi jaminan dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya, dengan beralihnya organisasi dan administrasi dan finansial berada dibawah Mahkamah Agung memberi jaminan
dalam melaksanakan tugas terlepas dan pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya.

f. Pemasyarakatan Militer (Masmil)
Sub-sistem terakhir dan SPPM, adalah pemasyarakatan militer. Secara umum sistem pembinaan narapida umum di lembaga pemasyarakatan tidak berbeda jauh, yaitu ada tahapan-tahapan, juga pembinaan untuk kembali atau menjalani kehidupan bermasyarakat, dan untuk militer yaitu dapat kembali menjadi prajurit yang baik, berjiwa pancasila dan sapta marga.
Hal yang membedakan dengan nara pidana di Lembaga Pemasyarakatan, adalah berkaitan dengan perawatan nara pidana, khususnya makan. Apabila di lembaga pemasyarakatan narapidana mendapat makan dan negara, tidak demikian halnya dengan narapidana militer yang menjalani pidana di pemasyarakatan militer, menggunakan ransumorganik atau uang lauk pauknya sendiri dengan kata lain napi membayar uang makannya selama menjadi narapidana militer sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per hari.[117]
Dengan demikian apabila dalam sistem peradilan pidana sub-sistemnya secara administrasi berdiri sendiri, maka dalam sistem peradilan pidana militer, sub-sistem untuk Polisi Militer dibawah pembinaan Komandan Pusat Militer, Oditur dan Pemasyarakatan Militer dibawah pembinaan Badan Pembinaan Hukum Militer (Bahinkum) sedangkan Hakim Militer dibawah Pembinaan Mahkamah Agung.

4.3 Proses pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh militer
Proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan militer dalam yustisiabel Peradilan Militer adalah sebagai berikut:

a. Tahap penangkapan, penyidikan dan penahanan.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 pasal 75 ayat (3), penangkapan harus dilakukan dengan surat perintah, kecuali dalam hal tertangkap tangan yang diatur tersendiri dengan ketentuan pasal 77 ayat (2) penangkapan dilakukan tanpa suatu perintah dengan ketentuan tersangka beserta barang buktinya segera dilaporkan/diserahkan kepada penyidik dan oleh penyidik segera dilaporkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) tersangka.
Pasal 78 ayat (1) menjelaskan setelah diberitahukan adanya penangkapan terhadap anggotanya, maka Ankum berwenang mengeluarkan Surat Keputusan Penahanan terhadap tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari, selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan Papera berwenang memperpanjang penahanan dimaksud untuk setiap kali perpanjangan selama 30 (tigapuluh) hari, sampai dengan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.
Penahanan yang dilakukan tersebut untuk keperluan penyidikan dan adanya alasan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatannya atau membuat keonaran serta terhadap perkara-perkara yang diancam dengan pidana penjara lebih dan 3 (tiga) bulan (vide Pasal 79 UU nomor 31 Tahun 1997).
Polisi Militer selaku penyidik pada dasarnya tidak mempunyai kewenangan dalam melakukan penahanan dan setelah penahanan dilakukan oleh Ankum tersangka, maka penyidik melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1)      Membuat berita acara;
2)      Menyerahkan berkas dan berita acara hasil penyidikan kepada Papera, Ankum dan Oditur Militer selaku penuntut umum;
3)      Penyerahan berkas dan berita acara hasil penyelidikan disertai dengan penyerahan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada oditur.


b.    Tahap Penuntutan.
Oditur yang telah menerima menerima berkas dan berita acara hasil penyidikan serta tanggungjawab tersangka dan barang bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 124 Ayat (1) oditur segera memeriksa dan meneliti apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Jika belum lengkap dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk untuk diperbaiki /dilengkapi sesuai petunjuk. Jika telah lengkap, maka sesuai ketentuan Pasal 125, Oditur segera membuat pendapat hukum kepada Papera yang antara lain dapat berisi permintaan untuk meiimpahkan perkara kepengadilan dan jika disetujui oleh Papera, maka akan diterbitkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) atau saran untuk menutup perkara demi hukum yang jika disetujui oleh Papera akan diterbitkan Surat Keputusan Penutupan Perkara/Skeptupra. (vide Pasal 126 UU Nomor 31 Tahun 1997)
Apabila Papera telah menerbitkan Skeppera, maka oditur segera menyiapkan surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke Pengadilan Militer dengan permintaan untuk disidangkan (vide Pasal 130 UU Nomor 31 Tahun 1997), oditur tidak berwenang menyerahkan perkara ke Pengadilan Militer tanpa persetujuan dan Papera yang ditandai dengan terbitnya Skeppera.

c.    Pemeriksaan di sidang Pengadilan.
Pasal 132 UU Nomor 31 tahun 1997 mengatur setelah Ketua Pengadilan Militer menerima penyerahan perkara dan oditur segera mempelajari apakah perkara tersebut termasuk kewenangannya atau bukan. Jika termasuk kewenangannya maka segera ditunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara dimaksud. Lebih lanjut berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 136 Ketua Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang dan memerintahkan oditur untuk memanggil terdakwa dan para saksi.
Oditur segera mengeluarkan surat panggilan kepada terdakwa dan saksi­saksi menurut hari, tanggal, waktu, tempat persidangan dan dalam perkara apa mereka dipanggil. Tahapan persidangan berikutnya mulai dan pembacaan surat dakwaan oleh oditur sampai dengan penuntutan, pembelaan (Pasal 141 s/d 182 UU Nomor 31 Tahun 1997) serta pembacaan putusan.














BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada Bab-Bab sebelumnya pada bagian terakhir penelitian ini akan disampaikan simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini sebagai berikut:
1.        Bahwa dasar kewenangan bagi Pengadilan Militer dalam mengadili Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak Pidana Umum adalah tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, kewenangan ini tetap dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Militer mengingat bahwa Ketetapan MPR Nomor VII/MPR RI/2000 tentang Peran TNI dan Polri belum dilanjutkan pada tahap pembentukan Undang-Undang yang lebih mengikat dan mendasari kewenangan Peradilan Umum dalam Mengadili Prajurit TNI yang melakukan Tindak Pidana Umum.
2.        Pelaksanaan proses Peradilan bagi Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Tindak Pidana Umum diawali dengan tahap penangkapan, penyidikan dan penahanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 pasal 75 ayat (3), penangkapan harus dilakukan dengan surat perintah, kecuali dalam hal tertangkap tangan yang diatur tersendiri dengan ketentuan pasal 77 ayat (2) penangkapan dilakukan tanpa suatu perintah dengan ketentuan tersangka beserta barang buktinya segera dilaporkan/diserahkan kepada penyidik dan oleh penyidik segera dilaporkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) tersangka. Tahapan berikutnya adalah Tahap Penuntutan, dalam tahap ini Oditur yang telah menerima menerima berkas dan berita acara hasil penyidikan serta tanggungjawab tersangka dan barang bukti, sebagaimana diatur dalam Pasal 124 Ayat (1) oditur segera memeriksa dan meneliti apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Kemudian Oditur segera membuat pendapat hukum kepada Papera yang antara lain dapat berisi permintaan untuk meiimpahkan perkara kepengadilan dan jika disetujui oleh Papera, maka akan diterbitkan Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera) atau saran untuk menutup perkara demi hukum yang jika disetujui oleh Papera akan diterbitkan Surat Keputusan Penutupan Perkara/Skeptupra. Setelah proses tersebut kemudian Oditur segera mengeluarkan surat panggilan kepada terdakwa dan saksi­saksi menurut hari, tanggal, waktu, tempat persidangan dan dalam perkara apa mereka dipanggil. Tahapan persidangan berikutnya mulai dan pembacaan surat dakwaan oleh oditur sampai dengan penuntutan, pembelaan (Pasal 141 s/d 182 UU Nomor 31 Tahun 1997) serta pembacaan putusan. Dimana semua proses ini masih diselesaikan pada ranah wilayah Peradilan Militer.
5.2 Saran
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka ada  beberapa saran yang dapat disampaikan yakni sebagai berikut :
1.        Mengingat penyelenggaraan Peradilan bagi Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana umum harus mendapatkan keadilan dan kepastian hukum khususnya dalam proses peradilan maka Pemerintah Republik Indonesia diharapkan dapat segera menetapkan Peraturan Perundangan yang mengatur tentang kewenangan Peradilan (Baik umum maupun Militer) yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki untuk dapat melaksanakan proses peradilan bagi Prajurit TNI yang melakukan Tindak Pidana Umum.
2.        Kepada unsur Sistem Peradilan Pidana Militer untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang di Atribusikan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, demi terciptanya keadilan dan kepastian Hukum bagi prajurit TNI yang melakukan Tindak Pidana Umum.



DAFTAR PUSTAKA


A. Tambunan, Himpunan Kuliah Hukum Militer, Jakarta 1990

Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence), Kencana Prenada Media Group,Jakarta

AH. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega Book Store, 1966

Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta, 1999

Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta

Astim Riyanto, 2006. Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung

Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran Bandung

Bagir Manan, Dasar-dasar Perunang-undangan, Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco, 1992.

Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, Jakarta : Sinar Grafika, 1990.

Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007)

Bujukdas tentang Bin Prajurit (Mabes TNI) Kep. Pangab No. Kep/06/X/1991, 5 Oktober 1991.

C.S.T Kansil dan Christine S. T Kansil, 2008, HukumTata Negara Republik Indonesia, edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.

Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Perdi1an 2006,

Disjorahad, Sajarah TNI 1945-1973, Peranan TNI AD, Bandung: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat, 1979

Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia indonesia, Jakarta
G. Peter Hoefnagels,1973, The Outherside of Criminology, Holland Kluwer Deventer ,

Hans Kelsen Geraal Therry, dalam Jimly Asshiddigie dalam Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006
Hikmahanto Juwana, Wacana Kewenangan Peradilan Militer Dalam Perspektif Law- And Development, (Disampaikan Dalam rangka Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” 15 Nopember 2006

Hoemam Fairuzy Fahmi, 2012, Teori Hans Kelsen danHans Nawiasky,http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-Nawiansky, diakses tanggal7 September 2014.

http.//www.Vhrmedia.com. Ahli Hukum Setuju TNI Disidik Polisi Militer, diakses 24 Oktober 2008

http://bisdan-sigalingging.blogspot.co.id/2014/10/kepastian-hukum.html
 http://www.hukumonlinecom.jalan_tengah,Menham_usul_usul_perwakilan
http://www.pelita.or.id.Dilematis,RUU_Peradilan_Militer,diakses,selasa,_3_juni_2016.

I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang

I Made Subawa, dkk.,., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar.

Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal -pasal terpenting dari Kitab Undang undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003,

Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006,

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/namafile/57/ Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf diakses tanggal 7 November 2011

Journal Hukum Militer Vol 1, No. 2 Agustus, 2009.
Keputusan Presiden RI No. 370 tahun 1965.

Lili Rasjidi dan B. Arief Sidhana, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Kumpulan Buku Ketiga), Cet. III, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminilogi Universitas Indonesia), 1999

Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer Indonesia, Cet. 1, Bandung: Bandar Maju, 1994,

Moelyatno dan Martiman Prodjohamidjoyo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jilid 2, Cet. 1, Jakarta: Pradnya Paramita 1997
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998

Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus 2003

Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, hal. 2.
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta

Negara Hukum,http:/prince-mienu.blogspot.com/2010/01/negara-hukum.html, diakses tanggal 7 November 2011.

Pasa1 2 angka 1 huruf a, b, c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948

Pasa1 3 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 74 tahan 1948

Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.2 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI mengatur Hukum Disisplin prajurit ABRI adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit ABRI agar setiap tugas dan kewajibannya dapat berjalan dengan sempurna.

Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 31 tahun 1997 Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenanag dengan keputusannya untuk setiapkali 30 (tiga puluh) hari dengan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.


Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1948

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2000

Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008
Simon dan P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. 2, Bandung: Sinar Baru 1990,

Sistematika di KUHPM, tidak berbeda jauh dengan sistimatika KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan,

Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985

Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum,UI-Press, Jakarta

Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum  Normatif : Suatu Tijauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung

Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung,

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni; 1983)

Sudikmo Mertakusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cetakan, ke-4

Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,

Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media (Yogyakarta, 2009),
Terry Hutchinson, Researching And Writing In Law, Third Edition, Lawbook Co.Thomson Reuters, Australia

Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Undang-undang Nomor 6 tahun 1946 tanggal 27 September 1946.

Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar Maju. 2004. hlm. 39
Wawancara dengan Hakim Agung Iskandar Kamil, Jakarta, 6 Mei 2016,

Wawancara dengan Kepala Pemasyarakatart Militer, Mayor Chk Jumali, Medan, 7 April 2016.

Wawancara dengan Kepala Peradilan Utama (Kadilmiltama), Mayjen TNI M. Panjaitan, Jakarta: 7 mei 2016.

www.indonesia. Kemarin. Perihal Sejarah Perjuangan Indonesia Dalam Menyambut HUT-RI ke 63, diakses 09 mei .2016.










[1] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://jimly.com/makalah/namafile/57/ Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf diakses tanggal 7 November 2011
[2] Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, hal. 2.
[3]  Ibid
[4] Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia indonesia, Jakarta, hal. 78.
[5] Lili Rasjidi dan B. Arief Sidhana, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya, Bandung, hal. l1.
[6] Abdul Rasyid Thalib, loc. cit.
[7] Munir Fuady, op. cit., hal. 2-3.
[8]Abdul Rasyid Thalib, op. cit., hal. 44.
[9]Munir Fuady, op. cit., hal. 3.
[10] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal. 157.
[11] Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal. 8-9.
[12] Astim Riyanto, 2006. Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, hal. 256.
[13] Munir Fuady, op. cit., hal. 3-4. 
[14] Astim Riyanto, op. cit., hal. 257.
[15] Negara Hukum,http:/prince-mienu.blogspot.com/2010/01/negara-hukum.html, diakses tanggal 7 November 2011.
[16] I Made Subawa, dkk.,., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar.
[17] Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 29.
[18] Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah Univ. Padjajaran Bandung, hal. 19
[19]Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta,hal. 133.
[20]Hoemam Fairuzy Fahmi, 2012, Teori Hans Kelsen danHans Nawiasky,http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-Nawiansky, diakses tanggal7 September 2014.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 171.
[24]Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, hal. 88-92.
[25] Hikmahanto Juwana, Wacana Kewenangan Peradilan Militer Dalam Perspektif Law- And Development, (Disampaikan Dalam rangka Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” 15 Nopember 2006, hal. 4
[26]Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal.4.
[27] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985, h. 14
[28] Terry Hutchinson, Researching And Writing In Law, Third Edition, Lawbook Co.Thomson Reuters, Australia, h.7.
 [29]Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum  Normatif : Suatu Tijauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-15.
 [30] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2000, h. 93.
[31] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, h. 13
[32] Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, h. 121
[33]Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum,UI-Press, Jakarta, hlm. 252
[34] C.S.T Kansil dan Christine S. T Kansil, 2008, HukumTata Negara Republik Indonesia, edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, h. 86.
[35] G. Peter Hoefnagels,1973, The Outherside of Criminology, Holland Kluwer Deventer , h…
[36] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni; 1983)
[37] Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta, 1999), hlm : 14
[38] Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm : 78-79.
[39] Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, hlm : 1-2.
[40] Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm :75
[41] Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media (Yogyakarta, 2009), hlm : 155.
[42] http://www.psychologymania.com/2013/01/teori-pembuktian-dalam-hukum-acara.html
[43] Waluyadi. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung. Mandar Maju. 2004. hlm. 39

[44]Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 14.
[45]Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 17-18.
[46]Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 48.
[47] Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal 158

[48] http://bisdan-sigalingging.blogspot.co.id/2014/10/kepastian-hukum.html
[49] Sianturi, loc.cit. hal. 18.
[50] Sudarto, loc.cit., hal 8.
[51] Soegiri, dkk., op. cit., halaman 53.
[52] Soegiri, dkk., Op Cit., halaman 54
[53] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998, halaman 35, 45.
[54] Pasa1 2 angka 1 huruf a, b, c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948
[55] Soegiri, dkk., op. cit., halaman 80
[56] Pasa1 3 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 74 tahan 1948
[57] Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1948
[58] Undang-undang Nomor 6 tahun 1946 tanggal 27 September 1946.
[59] AH. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega Book Store, 1966, hal.96
[60] Soegiri, dkk., op.cit., hal. 38
[61] Moh. Mahfud, op.cit., hal.38
[62] Soegiri, dkk., op.cit., hal.76
[63] AH. Nasution, op. cit., halaman 80 - 108.
[64] Soegiri, dkk., op.cit., halaman 112
[65] Ibid
[66] Soegiri, dkk, op. cit., hal. 160
[67] Ibid.
[68] Disjorahad, Sajarah TNI 1945-1973, Peranan TNI AD, Bandung: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat, 1979, halaman 85-11
[69] Soegiri, dkk. op . cit., halaman 162
[70] Soegiri, dkk., op.cit., halaman 190
[71] Soegiri, dkk., op. cit., halaman 235.
[72] Keputusan Presiden RI No. 370 tahun 1965.
[73] Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Perdi1an 2006, halaman 83.
[74]  Ibid
[75]Ibid, hal. 15.
[76]Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence), Kencana Prenada Media Group,Jakarta, hal. 204
[77]Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 59.
[78]Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[79] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan, Penerbit, INDH. Hill. Co, Jakarta,1992.
[80] Bujukdas tentang Bin Prajurit (Mabes TNI) Kep. Pangab No. Kep/06/X/1991, 5 Oktober 1991.
[81] www.indonesia. Kemarin. Perihal Sejarah Perjuangan Indonesia Dalam Menyambut HUT-RI ke 63, diakses 09 mei .2016.
[82] Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
[83] Ibid.
[84] Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, Jakarta : Sinar Grafika, 1990.
[85] Hans Kelsen Geraal Therry, dalam Jimly Asshiddigie dalam Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006, hal. 130.
[86]  http://www.hukumonlinecom.jalan_tengah,Menham_usul_usul_perwakilan
[87] http://www.pelita.or.id.Dilematis,RUU_Peradilan_Militer,diakses,selasa,_3_juni_2016.
[88] Ibid, hal. 3
[89]  Journal Hukum Militer Vol 1, No. 2 Agustus, 2009.
[90]  Bagir Manan, Dasar-dasar Perunang-undangan, Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco, 1992.
[91]  Ibid.
[92] Sudikmo Mertakusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cetakan, ke-4
[93] A Tambunan, Himpunan Kuliah Hukum Militer, Jakarta 1990
[94] Ibid, hal. 9
[95]  Ibid, hal. 9
[96] http.//www.Vhrmedia.com. Ahli Hukum Setuju TNI Disidik Polisi Militer, diakses 24 Oktober 2008
[97] Hikmahanto Juwana, Loc. Cit, hal. 2.
[98] Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Perdi1an 2006, halaman 83.
[99]  Ibid
[100] Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.2 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI mengatur Hukum Disisplin prajurit ABRI adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit ABRI agar setiap tugas dan kewajibannya dapat berjalan dengan sempurna.
[101] Wawancara dengan Kepala Peradilan Utama (Kadilmiltama), Mayjen TNI M. Panjaitan, Jakarta: 7 mei 2016.
[102] Sianturi, loc.cit. hal. 18.
[103] Sudarto, loc.cit., hal 8.
[104] Ibid., halaman 7.
[105] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal -pasal terpenting dari Kitab Undang undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, halaman 3.
[106] Simon dan P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. 2, Bandung: Sinar Baru 1990, halaman. 3-4.
[107] Moelyatno dan Martiman Prodjohamidjoyo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jilid 2, Cet. 1, Jakarta: Pradnya Paramita 1997, halaman.5.
[108] A. Zainal Abidin Farid, loc .cit., halaman 363.
[109] Sianturi, op.cit., halaman 19-20
[110] Sistematika di KUHPM, tidak berbeda jauh dengan sistimatika KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan, Ibid., hal. 57
[111]  Ibid., hal. 84
[112] Ibid., hal. 54.
[113] Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Kumpulan Buku Ketiga), Cet. III, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminilogi Universitas Indonesia), 1999, hal. 85-89.
[114] Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer Indonesia, Cet. 1, Bandung: Bandar Maju, 1994, hal.99.
[115] Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 31 tahun 1997 Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenanag dengan keputusannya untuk setiapkali 30 (tiga puluh) hari dengan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.
[116] Wawancara dengan Hakim Agung Iskandar Kamil, Jakarta, 6 Mei 2016,
[117] Wawancara dengan Kepala Pemasyarakatart Militer, Mayor Chk Jumali, Medan, 7 April 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017