Subscribe
KEBUDAYAAN NYENTANA,
MERUPAKAN CIRI KHAS ATAU
KEBUDAYAAN DARI DAERAH
TABANAN
I Gede Mareza Sarashadi Taruna Sanjaya
Program Studi Pendidikan Hukum Agama Hindu, Program S1
Universitas Hindu Indonesia (UNHI)
Denpasar, Indonesia
Abstrak
Pemikiran ini bertujuan untuk memberi informasi kepada
pembaca agar pembaca mengetahuiadat atau kebudayaan nyentana di Kabupaten
Tabanan. Nyentana" adalah
istilah yang asing di telinga mereka. Sekedar buat nambah pengetahuan,
nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana
si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di
Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih
menganut sistem patrilinier atau kebapakan. Lalu mengapa bisa justru
keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga
dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus
meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentana, disini yang menjadi permasalahan tidak semua
keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga
perempuan). Banyak
keluarga dari pria tidak menginginkan anaknya untuk melakukan nyentana karena
di Bali anak laki-laki sebagai purusa.
Kata-kata kunci : status dan kedudukan perempuan
dalam keluarga Nyentana, konsep pernikahan Nyentana dipandang dari adat atau
agama, dan pergeseran konsep nyentana dengan adanya pade ngelahang/ngen,
hukuman untu perkawinan pada gelahan (nyentana) dan syarat-syarat untuk
melakukan perkawinan nyentana.
Abstrack
Thought is intended to provide information to the reader so that
the reader knows nyentana custom or culture in Tabanan . Nyentana " is a
term foreign to their ears . Created Just to add knowledge , nyentana is a term
given to a married couple where the husband is spoken for ( requested ) by the
family of the wife . Normally in customs in Bali , the husband's family who
must woo wife , because in Bali still adopts patrilinier or fatherhood . then
why can it woo the bride's family that the man, this is because the family of
the woman has no male offspring , so they have to woo her husband . that's
about it concise about nyentana , which is the case here , not all families or
parents who want their son out ( the groom by the family of women ) . many
families of men do not want their children to Key words : the status and
position of women in the family Nyentana , the concept of marriage.
To do in Bali nyentana for boys as purusa.Nyentana seen from custom or religion , and shifts pade concept
nyentana with ngelahang / ngen , the marriage penalty untu gelahan ( nyentana )
and the requirements for mating nyentana
Pendahuluan
Istilah ini hanya ada di Bali, jadi untuk beberapa kalangan
istilah "Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka.
Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah
yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta)
oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang
harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau
kebapakan.
Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang
si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki
keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira
secara ringkas mengenai nyentana.
Nah, disini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau
orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan).
Ada beragam alasan yang mereka utarakan, antara lain:
·
Khawatir dikutuk oleh
leluhur mereka
·
Tidak ada adat di lingkungan
mereka yang menganut atau mengambil jalan nyentana
·
Gengsi sebagai seorang
lelaki dipinang ke keluarga perempuan
·
Malu sama masyarakat
sekitar jika seorang lelaki dipinang seolah-olah tidak ada perempuan lain yang
diajak nikah
Begitulah alasan-alasan yang sering terucap jika mereka tahu
anak lelaki mereka bakal memilih nyentana. Lalu bagaimana jika sebuah keluarga
tidak memiliki anak lelaki, seluruh anak mereka perempuan, apa mereka tega
meninggalkan orang tua mereka untuk ikut keluarga suami mereka. Lalu siapa yang
bakal meneruskan keturunan mereka, jika mereka ditinggal oleh semua anak
mereka. Hal ini lah yang menjadi polemik di kalangan adat masyarakat Bali.
Ada yang menyebutkan pria yang mau nyentana adalah banci,
pengecut, dan sebagainya. Ada pula yang menyebut mereka pahlawan, karena mereka
mau membuang status "purusa" (status bagi lelaki jika sudah menikah)
dan mengenakan status "pradana" (status bagi perempuan yang sudah
menikah).
Pembahasan
1.1.Status
Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan
di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga
perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan
kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan
nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai
laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga
dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak
proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan
tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya
tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan),
sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga
perempuan.
Pada perkawinan nyentana status perempuan
telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika
sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan
kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus
disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan
disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika
kelurga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi
putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan
baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah
dan leluhur.
Perempuan yang telah diputrika memiliki status
dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai dengan legitimasi adat yang telah
diberikan kepadanya. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak
dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan
kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki
tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Sebagai
kepala keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan
keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu setiap
keputusan yang akan diambil oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan yang
ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki yang nyentana mempunyai tangungjawab
dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan dalam rumah tangga. Ia membantu
istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta mengurus anak-anak.
Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti meminta
persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari
adanya perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada
pihak perempuan yang berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika
mempunyai kewenangan “mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki
oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli
waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk
melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan
kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya
dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut
menentukan arah kebijakan keluarga.
Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah
melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangungjawab dan kedudukan
yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah
milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah
waris milik keluarganya.
1.2.Konsep Penikahaan Nyentana dipandang
dari adat atau agama
Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah agama hindu. Mungkin
ada sedikit kaitannya dengan tradisi beragama hindu di bali yang
dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya
mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan
perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya di sanggah
lama(purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana). Lelaki yang
nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.
Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang bali
yang sejak zaman dahulu mengambil langkah nyentana, jadi tidak ada yang
salah dalam hal nyentana yang penting adalaha bagaiamana membina kehidupan yang
harmonis, sesuai dengan ajaran weda. Perkawinan itu bisa saja berlangsung
bahagia, tergantung dari bagaimana si suami – istri bisa menciptakan surga
dalam kehidupan rumah tangganya.
1.3.Pergeseran
Konsep Nyentana dengan adanya konsep pernikahan
pade Ngelahan/Negen
Perubahan paradigma dalam bidang pewarisan dan penerusan
keturunan yang dapat dilakukan dengan cara putrika dan perkawinan nyentana
memiliki warna tersendiri bagi masyarakat desa adat Jegu, khususnya bagi kaum
perempuan. Mereka merasakan keleluasaan dan sekaligus tangungjawab yang teramat
berat untuk menjalankan roda pemerintahan dalam keluarga. Lingkungan yang
semula memberikan perlakuan sebagaimana lanyaknya perempuan pada umumnya yang
hanya menurut pada laki-laki, seketika memberikan tangungjawab sebagai layaknya
laki-laki untuk memikul tangungjawab penuh, membuat perempuan putrika merasakan
diri pada beban yang teramat berat yang terlalu sulit untuk dipikulnya.
Perbedaan antara orang tua dengan suami seringkali menimbulkan persoalan yang
menyulitkan perempuan putrika untuk mengambil keputusan. Hal ini berimplikasi
pada kondisi psikologis perempuan putrika. Jika mereka bisa menempatkan diri
sebagai mana layaknya kepala keluarga, maka keutuhan rumah tangganya akan tetap
bisa terjaga dengan baik dan mengalami pematangan psikologis. Sebaliknya, bila
perempuan putrika tidak mampu memikul tangungjawab dan persoalan yang dihadapi
dalam keluarga ia akan mengalami kemunduran psikologis dan kehancuran keluarga.
Sementara keluasaan yang teramat besar seringkali membuat perempuan putrika
merasa menjadi orang yang mengatur, berkuasa, menentukan, dan bertindak arogan
tanpa memikirkan kedudukan dan posisi suami. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan terhadap laki-laki yang nyentana, kebanyakan perempuan putrika yang
ada di desa adat Jegu merasa berkuasa, mengatur dan cenderung bersifat otoriter
terhadap suami. Hal ini dapat ditemukan ketika terjadi diskusi perempuan
putrika lebih banyak mempertahankan ide atau gagasannya demikian juga ketika
terjadi perselisihan perempuan putrika lebih dominan dibandingkan suaminya dan
sering mengucapkan kata-kata yang tidak pantas (Sukadi, 2000).
Seiring berkembangnya zaman masyarakat desa jegu mulai tidak
terlalu mempedulikan tentang konsep pernikahaan nyentana. Dari hasil observasi
dan wawancara yang dilakukan telah banyak generasi muda desa adat Jegu pada
khususnya menerapkan system pernikahan negen atau yang sering disebut pade
gelahan. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan
di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak
sebagai Purusa. Dari hasil wawancara factor yang menyebabkan adanya pernikaan
pade gelahan ini adalah calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak
ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun
istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara
laki-laki, namun di dalam desa , kala, patra keluarga suami tidak lazim
mengadakan sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga
dilaksanakan sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen. Perkawinan Negen Dadua
merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari Perkawinan Negen Dadua
telah memunculkan anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak waris dari
orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan ini merupakan
persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi Manusia), khususnya
terhadap anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali menganut sistem
patrilinial. Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat disimpulkan
apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali,
yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara
Mepamit, serta sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah
pihak) berguna untuk menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki
anak laki-laki, manakala mempelai pria juga tidak berkenan untuk nyentana(
dalam winda, dkk).
1.4. Hukuman Perkawinan Pada Gelahang
(Nyentana)
Apabila kedua bentuk
perkawinan tersebut di atas (perkawinan biasa dan nyeburin)
tidak dapat dipilih karena masing-masing calon mempelai adalah anak tunggal
dalam keluarganya, kebelakangan ini dalam masyarakat Bali mulai tumbuh dan
berkembang satu bentuk perkawinan baru, yang disebut perkawinan pada
gelahang. Eksistensi bentuk perkawinan ini pun kini telah diakui oleh
Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali melalui Keputusan Pasamuan
Agung III Majelis Utama Desa Pakraman tanggal 15 Oktober 2010.
Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan dengan teman-teman dari Perhimpunan
Dosen Hukum Adat (PERSHADA) Bali yang kini telah dibukukan dalam buku berjudul
”Perkawinan pada Gelahang di Bali” (Windia,dkk., 2009), faktor utama yang
melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya melangsungkan
perkawinan pada gelahang adalah kekhawatiran warisan yang
ditinggalkan oleh orang tuanya –baik yang berwujud material maupun
immaterial, tidak ada yang mengurus dan meneruskannya. Dalam hukum adat Bali,
warisan tidak hanya menyangkut hak (swadikara) terhadap harta, melainkan
juga menyangkut kewajiban (swadharma), seperti kewajiban memelihara
orang tua di masa tua; kewajiban meneruskan generasi; kewajiban melaksanakan
penguburan atau upacara ngaben terhadap jenasah orang tua yang
telah meninggal, kewajiban terhadap roh leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan (tempat
persembahyangan keluarga), dan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, seperti
melaksanakan kewajiban kepada kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa
pakraman/subak) di mana keluarga itu menjadi anggotanya. Menurut hukum adat
Bali, pengabaian terhadap swadharma tersebut dapat dijadikan
alasan untuk menggugurkan status seseorang sebagai ahli waris.
Dari hasil penelitian
tersebut terungkap pula bahwa pada dasarnya proses dilangsungkannya
perkawinan pada gelahang hampir sama dengan perkawinan biasa ataunyeburin.
Perbedaannya terletak pada adanya kesepakatan kedua mempelai dan keluarganya
yang dibuat sebelum terjadinya perkawinan bahwa kedua pihak sepakat
melaksanakan perkawinan pada gelahang, yang intinya menegaskan
bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah pihak
sama-sama memiliki keturunan yang nantinya diharapkan dapat mengurus dan
meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, baik yang berupa
kewajiban (swadharma)maupun yang berupa hak (swadikara).
Bentuk dan isi kesepakatan tersebut bervariasi, tetapi umumnya sudah
dibicarakan dan disepakati ketika prosesmemadik (lamaran) dilakukan
yang disaksikan perwakilan keluarga besar masing-masing danprajuru adat (kepala
adat).
Pada umumnya inti
kesepakatan yang dibuat tersebut menyangkut kedudukan suami-istri serta
anak dalam keluarga setelah perkawinan dilangsungkan yang berimplikasi kepada
tanggungjawab terhadap keluarga masing-masing serta terhadap keanggotaan banjar dan desa
pakraman. Barkaitan dengan tanggung jawab masing-masing setelah
perakawinan, sebagian pelaku perkawinan pada gelahang merumuskan
bahwa suami dan istri bertanggungjawab dan mempunyai hak penuh di keluarga
masing-masing, suami bertanggung jawab dan berhak penuh di keluarga pihak
laki-laki, sedangkan istri bertanggung jawab dan berhak penuh di keluarga pihak
perempuan. Sebagian pelaku lain tidak merumuskan mengenai hal itu secara
ekplisit. Mengenai kedudukan anak, sebagian merumuskan bahwa apabila dari
perkawinan tersebut lahir lebih dari satu orang anak, maka kedudukan anak-anak
”dibagi” untuk meneruskan keturunan pada masing-masing pihak. Apabila hanya
lahir seorang anak, status anak itu ditentukan apakah ikut keluarga pihak
laki-laki atau perempuan, sementara pada pihak lainnya diusahakan mengangkat
anak. Ada juga pelaku perkawinan pada gelahang membuat
kesepakatan bahwa dalam hal hanya lahir seorang anak, maka kedudukan hukumnya
diserahkan kepada pilihan anak yang bersangkutan setelah anak tersebut dewasa.
Dalam kesepakatan
tersebut juga ditentukan mengenai proses upacara perkawinan. Dari hasil
penelitian tersebut di atas, hampir semua perkawinan pada
gelahang yang berhasil diteliti melakukan upacara byakaonan (salah
satu upacara dalam rangkaian upacara perkawinan) di dua tempat pada hari yang
sama, yaitu di rumah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Soal di rumah
keluarga mana yang dilaksanakan lebih dahulu, tergantung isi kesepakatan yang
telah dibuat. Semua pasangan yang melaksanakan perkawinan pada gelahang
yang diteliti tersebut tidak melanjutkan ketahapan upacara mepejati
Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa dari seluruh pelaku perkawinan pada gelahang yang
diteliti, hanya dua pasangan yang merumuskan kesepakatan yang mereka buat dalam
bentuk perjanjian tertulis. Selebihnya hanya dirumuskan secara lisan saja
(Windia, dkk., 2009). Bentuk perkawinan pada gelahang memang
termasuk ranah hukum adat, sehingga bentuk kesepakatan (perjanjian) yang dibuat
tetap sah walau hanya didasarkan atas dasar kesepakatan secara lisan. Tetapi
untuk mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan, misalnya terjadi masalah
dikemudian hari di mana para pelaku dan saksi-saksi sudah tiada (meninggal)
atau daya ingatnya sudah tidak bagus lagi, sebaiknya kesepakatan-kesepakatan
yang dicapai dalam perkawinan pada gelahang dirumuskan dalam
bentuk perjanjian tertulis yang memenuhi standar surat perjanjian pada umumnya.
Ditandatangani oleh para pelaku dan pihak-pihak yang berkepentingan (keluarga
terdekat) dan saksi-saksi, terutama saksi dari prajuru adat (pemimpin
adat) Dengan demikian, ada jaminan kepastian hukum mengenai status perkawinan
tersebut beserta akibat-akibat yang mengikutinya.
1.5.Syarat-syarat Melakukan Perkawinan
Nyentana
a. Persetujuan
kedua mempelai
Undang-undang Perkawinan menegaskan
beberapa syarat agar perkawinan dapat dilangsungkan. Syarat pertama adalah
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Demikian
bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Menurut penjelasan resminya, disamping
syarat ini sesuai dengan hak asasi manusia, ketentuan ini diadakan untuk
mendukung agar tujuan pekawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan
bahagia dapat dicapai.
Dengan ditegaskannya syarat bahwa
perkawinan harus di dasarkan kepada persetujuan kedua calon mempelai, maka
cara-cara pemaksaan dalam pelaksanaan perkawinan tidak dibenarkan lagi, seperti
cara perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) yang di masa lalu
sering terjadi.
b. Ijin
orang tua
Syarat kedua adalah seperti disebutkan
dalam Pasal 6 ayat (2). Disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua
orang tua. Selanjutnya disebutkan dalam ayat (3) bahwa dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Jika
ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan di atas, atau salah
seorang diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka berdasarkan ayat (4)
pasal ini, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin,
setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut di atas.
Berkaitan
dengan syarat kedua ini, timbul persoalan mengenai eksisensi perkawinan
yang
Simpulan
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan
di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga
perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan
kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan
nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai
laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga
dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak
proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan
tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya
tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan),
sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga
perempuan. Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi
laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan
perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi
laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi
(tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga
serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak
menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh
dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa
benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur.
Daftar Pustaka
Artikel dalam Jurnal Online
Utari.2012mencariilmu.nyentana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA