Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Pendahuluan
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat
sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk
suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu
komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini
Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa
suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan
boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga
bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula
menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh
tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
1.2.Rumusan Masalah
-
apa pengertian serta tujuan perkawinan ?
-
Bagaimana proses perkawinan menurut Hindu?
-
Apa saja jenis-jenis pernikahan menurut
hindu?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1.Pengertian dan
Tujuan Perkawinan
Dalam masyarakat Bali, perkawinan
dikenal dengan istilah pawiwahan Istilah ini umumnya sudah menjadi
istilah teknis yang dipergunakan dalam peraturan-peraturan adat yang disebut
dengan awig-awig, terutama awig-awig desa
pakraman (dulu disebut: desa adat). Di samping itu, di
dalam masyarakat ditemukan pula istilah-istilah yang mempunyai makna sama
dengan perkawinan, seperti alakirabi, pewarangan, dan
seterusnya. Perkataan "kawin" sendiri dalam bahasa sehari-hari lebih
umum disebut nganten, mesomahan, atau mekurenan sebagai
istilah-istilah yang umum digunakan dikalangan jaba, sementara
dikalangan triwangsa istilah yang lazim dipergunakan adalah merabian,
mekerab atau mekerab kambe (Astiti,1981)
Dalam masyarakat adat di Bali,
perkawinan tidak hanya dipandang sebagai suatu perbuatan hukum yang bersifat
duniawi (sekala) belaka, melainkan juga berkaitan dengan kehidupan dunia
gaib (niskala) sehingga sangat disakralkan (suci). Konsep perkawinan
sebagai perbuatan hukum yang bersifat sekala-niskala umumnya
dirumuskan dengan jelas dalam awig-awig desa pakraman, khususnya
dalam pasal (pawos) yang secara khusus membahas prihal perkawinan (indik
pawiwahan). Contohnya adalah Pawos 77 Awig-awig Desa Pakraman Tumbak
Bayuh, Badung (1992) yang menyatakan sebagai betrikut:
”Pawiwahan inggih punika patemining purusa pradana, malarapan
patunggalan kayun suka-cita, kadulurin upasaksi sekala -niskala”
Konsep sekala-niskala merupakan
konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang
relegius, yang senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia
nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap
aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Itulah sebabnya, pelaksanaan
perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi calon mempelai, keluarga dan
masyarakat (banjar), melainkan juga berurusan dengan betara-betari (roh
leluhur) yang bersemayam di sanggah atau merajan,
bhuta kala, dan Hyang Widhi, sebagaimana dapat dimaknai dari konseptri
upasaksi (manusa saksi, dewa saksi dan bhuta saksi) dalam pengesahan
perkawinan. Pengertian demikian sangat sejalan dengan prinsip yang
dianut oleh Undang-undang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut
dengan jelas dinyatakan bahwa : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
Dasar relegius dalam suatu perkawinan
diharapkan dapat mengokohkan lembaga perkawinan itu sendiri sehingga tujuan
perkawinan dapat dicapai. Tujuan perkawinan seperti ditegaskan dalam Pasal 1 di
atas adalah terbentuknya keluarga yang kekal dan bahagia. Istilah
"kekal" dapat dimaknai bahwa perkawinan diharapkan hanya terjadi
sekali dalam hidup ini sehingga diharapkan perkawinan tidak putus di tengah
jalan karena perceraian. Keluarga "bahagia" diakui merupakan rumusan
yang masih abstrak dan relatif, sebab ukuran yang dipakai oleh masing-masing
orang bisa berbeda. Tetapi karena masyarakat Bali adalah masyarakat yang
relegius, tentu ukuran standar yang bisa digunakan adalah keluarga ideal
menurut ajaran agama dan kepercayaan yang dianut. Menurut kepercayaan umat
Hindu di Bali, adanya keturunan yang lahir dari perkawinan sangatlah penting
sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu tujuan penting dari perkawinan.
Dalam masyarakat Bali, keturunan
terutama anak laki-laki, sangat didambakan oleh setiap pasangan suami istri
sebab dari anak laki-lakilah digantungkan harapan-harapan, seperti menjadi
penerus generasi; mengganti kedudukan bapaknya dalam masyarakat kalau sudah
kawin (menjadi kerama banjar atau kerama desa); memelihara
dan memberi nafkah jika orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara
agama (seperti: ngaben, dan lain-lain); serta selalu astiti-bhakti (menyembah)
kepada leluhur yang bersemayam disanggah atau merajan (Tim
Peneliti,FH Unud,1991). Dalam masyarakat Bali Hindu masih sangat kuat dianut
suatu kepercayaan bahwa keberadaan keturunan (laki-laki) dalam keluarga
sangatlah penting untuk membebaskan roh leluhur (pitara) dari
kawah neraka dan mengantarkannya menuju alam sorga. Kepercayaan ini tampaknya
diilhami dari kisah yang diceritrakan dalam Kitab Adiparwa. Dalam
kitab tersebut diceritrakan mengenai nasib Sang Wiku Wara Bhrata yang
hampir jatuh ke kawah neraka akibat beliau tidak mempunyai keturunan kerena
putra beliau yaitu Sang Jaratkaru berketatapan hati untuk nyukla
brahmacari (tidak kawin selama hidup). Mengetahui nasib roh leluhurnya
yang demikian, akhimya Sang Jaratkaru memutuskan untuk kawin,
sehingga roh leluhurnya dapat menuju alam sorga setelah ia mempunyai putra yang
bernama Sang Astika (Ngurah Adhi, 1972). Dalam bahasa
sehari-hari kepercayaan mengenai pentingnya peranan keturunan (cucu) laki-laki
untuk membebaskan roh leluhur dari kawah neraka ini sering dikemukakan dengan
ungkapan "i cucu nyupat i kaki".
·
Upacara
Ngekeb
Acara ini
bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja
menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang
Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta
nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah
itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang
terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah
dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk
keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk
keramas.
Sesudah
acara mandi dan keramas selesai, pernikahan
adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin.
Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar
biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar
sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan,
pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan
ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia
mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan
baru bersama pasangan hidupnya.
·
Mungkah
Lawang ( Buka Pintu )
Seorang
utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita
berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang
menyanyikan tembang Bali. Isi
tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang
menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
·
Upacara
Mesegehagung
Sesampainya
kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu
untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna
sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya
ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki
kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang
menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang
kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya
berjumlah dua ratus kepeng
·
Madengen–dengen
Upacara
ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari
energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat
atau Balian
·
Mewidhi
Widana
Dengan
memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana
yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan
penyempurnaan pernikahan adat bali untuk
meningkatkan pembersihan diri
pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya.
Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan
untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang
pemangku merajan
·
Mejauman
Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin
resmi menjadi pasangan suami istri,
maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut
mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk
melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit
kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada
para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian
dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini
keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi
berbagai panganan kue khas Bali seperti
kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the,
sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.
1.3.Syarat-Syarat Pernikahan Menurut
Hindu
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab
suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon
pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu
dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60
dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara,
sebagai berikut:
1)
Sapta
pada (melangkah tujuh langkah
kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai
dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya
menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)
Panigraha yaitu upacara bergandengan
tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang
dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan
mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain
masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra
atau stotra.
3)
Laja
Homa atau Agni Homa pemberkahan
yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen
Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4)
Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya
dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab
suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak
akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu
keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya
sebagai pajangan biasa.
5)
Lascarya artinya suatu yajña yang
dilakukan dengan penuh keiklasan.
6)
Sastra artinya suatu yajña harus
dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam
pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu
dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7)
Daksina artinya adanya suatu penghormatan
dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas
kepada pendeta yang memimpin upacara.
8)
Mantra artinya dalam pelaksanaan
upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang
dilantunkan.
9)
Annasewa artinya dalam pelaksanaan
upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan
ramah tamah.
10)
Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya
tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
1.4.Peralatan
Mekalan-Kalan dan Simbol Upacara Adat Perkawinan Hindu di Bali
·
Sanggah Surya/bambu
melekungmerupakan niyasa (simbol) istana Sang Hyang
Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang
Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah
kanan digantungkan biyu lalung simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang
Widhi dan Sang Hyang Purusaini bermanifestasi
sebagai Sang Hyang Semara Jaya sebagai dewa kebajikan,
ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria dan di sebelah kiri sanggah
digantungkan sebuah kulkul berisi beremsimbol kekuatan prakertinya Sang
Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih dewi
kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
·
Kelabang
Kala Nareswari (Kala Badeg)simbol
calon pengantin yang diletakkan sebagai alas
upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon
pengantin.
·
Tikeh
Dadakan (tikar kecil)Tikar yang diduduki oleh pengantin
wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau
dipandang dari sudut spiritual, tikar adalah sebagai simbol kekuatan Sang
Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
·
Keris sebagai kekuatan Sang
Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit
keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin
pria.
·
Benang Putihdibuatkan sepanjang
setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua
ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya
Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis
sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian
tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan,
berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dariBrahmacari
Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
·
Tegen –
tegenan Makna tegen-tegenan merupakan simbol
dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Adapun Perangkat
tegen-tegenan ini :
1.
Batang tebu berarti hidup pengantin
mengandung arti kehidup dijalani secara bertahap seperti hal tebu ruas
demi ruas, secara manis.
2.
Cangkul sebagai simbol Ardha Candra.
Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma.
3.
Periuk simbol windhu.
4.
Buah kelapa simbol brahman (Sang
Hyang Widhi).
5.
Seekor yuyu/kepiting simbol bahasa
isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
·
Suwun-suwunan(sarana
jinjingan)Berupa bakul yang dijinjing mempelai
wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas
wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti
pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
·
Dagang-daganganmelambangkan
kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung
segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar
penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
·
Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri
Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama
lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat
dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna berdasarkan ucapan baik,
prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar
tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.
·
Sambuk
Kupakan (serabut kelapa). Serabut
kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup
kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu).
Serabut kelapa berbelah tiga simbol dariTriguna (satwam, rajas, tamas).
Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu,
Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol manik. Kedua Mempelai
saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah
itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Ini mengandung pengertian
Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di
masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri,
agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini
diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
·
Tetimpug adalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang
bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
1.5.Rangkaina Tahapan Upacara Pernikahan
Adat Tabanan
-
Upacara
Ngekeb:
Acara ini bertujuan untuk
mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang
istri dan ibu rumah tangga dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa
agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka
diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya,
seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun
merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan
rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon
pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai,
pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin.
Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar
biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar
sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan,
pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan
ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa
pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini
telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
-
Mungkah
Lawang (Buka
Pintu):
Seorang utusan Mungkah
Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada
sebanyak tiga kali sambil diiringi olehseorang Malat yang
menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan
jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar
segera dibukakan pintu.
-
Upacara
Mesegehagung:
Sesampainya kedua pengantin di
pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap
melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai
ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita, kemudian keduanya ditandu lagi
menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut
dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya
akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk
dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
-
Madengen–dengen:
Upacara ini bertujuan untuk
membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam
diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian
-
Mewidhi
Widana:
Dengan memakai baju kebesaran
pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang
dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda.
Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan
pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya.
Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon
izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
-
Mejauman
Ngabe Tipat Bantal:
Beberapa hari setelah pengantin
resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua
belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua
pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan/menerima tamu.
Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak
keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu
pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk
upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan
yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem,
cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang,
bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas Bali.
BAB
III
PENUTUP
1.1.Kesimpulan
Perkawinan (Pawiwahan/Wiwahan)
Hindu di khususnya di tabanan tidak terdapat perbedaan yang mencolok dari adat
dan tata cara pelaksanaannya. Jika mencari perbedaan / karakteristik khusus
dari adat Pernikahan atau Pawiwahan di daerah Kota Tabanan itu terletak dari
Pebantenan dan Sarana lainnya yang terlihat lebih Besar dan Banyak.
1.2.Saran
Menurut saya Pernikahan adalah
suatu yang sakral dan di usahakan dilaksanakan 1 (satu)kali seumur hidup. Dan
menurut saya tata cara perkawinan / pawiwahan di Tabanan saya harapkan tidak
terlalu berpatokan dengan adat lama saja karena di dewasa kini kebutuhan sudah
semakin banyak dan yang melaksanakan pernikahan juga harus memikirkan
kehidupannya setelah menikah. Jadi apa salahnya jika sedikit mengadobsi adat
dari daerah bali lainnya agar mempermudah dan mendapat efisiensi pelaksanaan
yang optimal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA