CLICK FOR CLAIM PROMO !

Sabtu, 16 Januari 2016

Makalah Perkawinan dan tata cara perkawinan di daerah Tabanan Bali

Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Pendahuluan
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.

1.2.Rumusan Masalah
-          apa  pengertian serta tujuan perkawinan ?
-          Bagaimana  proses perkawinan menurut Hindu?
-          Apa saja jenis-jenis pernikahan menurut hindu?








BAB II
PEMBAHASAN

1.1.Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam masyarakat Bali, perkawinan dikenal dengan istilah pawiwahan  Istilah ini umumnya sudah menjadi istilah teknis yang dipergunakan dalam peraturan-peraturan adat yang disebut dengan awig-awig, terutama awig-awig desa pakraman (dulu disebut: desa adat)Di samping itu, di dalam masyarakat ditemukan pula istilah-istilah yang mempunyai makna sama dengan perkawinan, seperti alakirabi, pewarangan, dan seterusnya. Perkataan "kawin" sendiri dalam bahasa sehari-hari lebih umum disebut nganten, mesomahan, atau mekurenan sebagai istilah-istilah yang umum digunakan dikalangan  jaba, sementara dikalangan triwangsa istilah yang lazim dipergunakan adalah merabian, mekerab atau mekerab kambe (Astiti,1981)
Dalam masyarakat adat di Bali, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai suatu perbuatan hukum yang bersifat duniawi (sekala) belaka, melainkan juga berkaitan dengan kehidupan dunia gaib (niskala) sehingga sangat disakralkan (suci). Konsep perkawinan sebagai perbuatan hukum yang bersifat sekala-niskala umumnya dirumuskan dengan jelas dalam awig-awig desa pakraman, khususnya dalam pasal (pawos) yang secara khusus membahas prihal perkawinan (indik pawiwahan). Contohnya adalah Pawos 77 Awig-awig Desa Pakraman Tumbak Bayuh, Badung (1992) yang menyatakan  sebagai betrikut:
”Pawiwahan inggih punika patemining purusa pradana, malarapan patunggalan kayun suka-cita, kadulurin upasaksi sekala -niskala”
Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang relegius, yang senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Itulah sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi calon mempelai, keluarga dan masyarakat (banjar), melainkan juga berurusan dengan betara-betari (roh leluhur) yang bersemayam di sanggah atau merajan, bhuta kala, dan Hyang Widhi, sebagaimana dapat dimaknai dari konseptri upasaksi (manusa saksi, dewa saksi dan bhuta saksi) dalam pengesahan perkawinan. Pengertian demikian sangat sejalan dengan prinsip yang dianut oleh Undang-undang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Dasar relegius dalam suatu perkawinan diharapkan dapat mengokohkan lembaga perkawinan itu sendiri sehingga tujuan perkawinan dapat dicapai. Tujuan perkawinan seperti ditegaskan dalam Pasal 1 di atas adalah terbentuknya keluarga yang kekal dan bahagia. Istilah "kekal" dapat dimaknai bahwa perkawinan diharapkan hanya terjadi sekali dalam hidup ini sehingga diharapkan perkawinan tidak putus di tengah jalan karena perceraian. Keluarga "bahagia" diakui merupakan rumusan yang masih abstrak dan relatif, sebab ukuran yang dipakai oleh masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi karena masyarakat Bali adalah masyarakat yang relegius, tentu ukuran standar yang bisa digunakan adalah keluarga ideal menurut ajaran agama dan kepercayaan yang dianut. Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, adanya keturunan yang lahir dari perkawinan sangatlah penting sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu tujuan penting dari perkawinan.
Dalam masyarakat Bali, keturunan terutama anak laki-laki, sangat didambakan oleh setiap pasangan suami istri sebab dari anak laki-lakilah digantungkan harapan-harapan, seperti menjadi penerus generasi; mengganti kedudukan bapaknya dalam masyarakat kalau sudah kawin (menjadi kerama banjar atau kerama desa); memelihara dan memberi nafkah jika orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama (seperti: ngaben, dan lain-lain); serta selalu astiti-bhakti (menyembah) kepada leluhur yang bersemayam disanggah atau merajan (Tim Peneliti,FH Unud,1991). Dalam masyarakat Bali Hindu masih sangat kuat dianut suatu kepercayaan bahwa keberadaan keturunan (laki-laki) dalam keluarga sangatlah penting untuk membebaskan roh leluhur (pitara) dari kawah neraka dan mengantarkannya menuju alam sorga. Kepercayaan ini tampaknya diilhami dari kisah yang diceritrakan dalam Kitab Adiparwa. Dalam kitab tersebut diceritrakan mengenai nasib Sang Wiku Wara Bhrata yang hampir jatuh ke kawah neraka akibat beliau tidak mempunyai keturunan kerena putra beliau yaitu Sang Jaratkaru berketatapan hati untuk nyukla brahmacari (tidak kawin selama hidup). Mengetahui nasib roh leluhurnya yang demikian, akhimya Sang Jaratkaru memutuskan untuk kawin, sehingga roh leluhurnya dapat menuju alam sorga setelah ia mempunyai putra yang bernama Sang Astika (Ngurah Adhi, 1972). Dalam bahasa sehari-hari kepercayaan mengenai pentingnya peranan keturunan (cucu) laki-laki untuk membebaskan roh leluhur dari kawah neraka ini sering dikemukakan dengan ungkapan "i cucu nyupat i kaki".


1.2.Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali 
Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:

·         Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

·         Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.

·         Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng

·         Madengen–dengen
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

·         Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan

·         Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.

1.3.Syarat-Syarat Pernikahan Menurut Hindu
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan  syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1)          Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)          Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3)          Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4)          Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5)          Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6)          Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7)          Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8)          Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9)          Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña  hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10)     Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.



1.4.Peralatan Mekalan-Kalan dan Simbol Upacara Adat Perkawinan Hindu di Bali
·         Sanggah Surya/bambu melekungmerupakan niyasa (simbol) istana Sang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusaini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi beremsimbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih dewi kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
·         Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)simbol calon pengantin yang diletakkan     sebagai alas upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
·         Tikeh Dadakan (tikar kecil)Tikar yang diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikar adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
·         Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
·         Benang Putihdibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dariBrahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
·         Tegen – tegenan Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Adapun Perangkat tegen-tegenan ini :
1.      Batang tebu berarti hidup pengantin mengandung arti  kehidup dijalani secara bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
2.      Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma.
3.      Periuk simbol windhu.
4.      Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).
5.      Seekor yuyu/kepiting simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
·         Suwun-suwunan(sarana jinjingan)Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
·         Dagang-daganganmelambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
·         Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.
·         Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dariTriguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol manik. Kedua Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Ini mengandung pengertian Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
·         Tetimpug adalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

1.5.Rangkaina Tahapan Upacara Pernikahan Adat Tabanan
-          Upacara Ngekeb:
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

-          Mungkah Lawang (Buka Pintu):
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi olehseorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.



-          Upacara Mesegehagung:
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita, kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng

-          Madengen–dengen:
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

-          Mewidhi Widana:
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan

-          Mejauman Ngabe Tipat Bantal:
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan/menerima tamu. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas Bali.






























BAB III
PENUTUP
1.1.Kesimpulan
Perkawinan (Pawiwahan/Wiwahan) Hindu di khususnya di tabanan tidak terdapat perbedaan yang mencolok dari adat dan tata cara pelaksanaannya. Jika mencari perbedaan / karakteristik khusus dari adat Pernikahan atau Pawiwahan di daerah Kota Tabanan itu terletak dari Pebantenan dan Sarana lainnya yang terlihat lebih Besar dan Banyak.

1.2.Saran

Menurut saya Pernikahan adalah suatu yang sakral dan di usahakan dilaksanakan 1 (satu)kali seumur hidup. Dan menurut saya tata cara perkawinan / pawiwahan di Tabanan saya harapkan tidak terlalu berpatokan dengan adat lama saja karena di dewasa kini kebutuhan sudah semakin banyak dan yang melaksanakan pernikahan juga harus memikirkan kehidupannya setelah menikah. Jadi apa salahnya jika sedikit mengadobsi adat dari daerah bali lainnya agar mempermudah dan mendapat efisiensi pelaksanaan yang optimal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017