CLICK FOR CLAIM PROMO !

Kamis, 02 Juni 2022

CONTOH SKRIPSI TENTANG PEMALSUAN DOKUMEN-DOKUMEN

Subscribe

 

BAB I
PENDAHULUAN

 

1.1.   Latar Belakang Masalah

Dunia sekarang memasuki era globalisasi yakni zaman dimana kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini semakin berkembang dengan pesat, dewasa ini banyak sekali terjadi tindak pidana
pemalsuan dengan berbagai macam bentuk yang menunjuk pada semakin berkembangnya modus operasi dari pelaku kejahatan pemalsuan yang semakin kompleks. Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang mana di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu sesuatu (obyek), yang sesuatu itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

Pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak
pidana yang telah diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP). Memang pemalsuan sendiri akan mengakibatkan seseorang atau
pihak yang merasa dirugikan. Hal inilah yang membuat pemalsuan ini diatur
dan termasuk suatu tindakan pidana. Beberapa ketentuan yang termuat
dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pemalsuan terdiri dari
beberapa jenis yaitu sumpah palsu dan keterangan palsu, pemalsuan mata
uang, uang kertas Negara dan uang kertas bank, pemalsuan surat dan juga
pemalsuan terhadap materai dan mer
ek.


Pemalsuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHP pada Bab XII tentang Pemalsuan Surat-surat. Bunyi
selengkapnya Pasal 263 KUHP adalah sebagai berikut:

“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipergunakan, maka kalau mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun”.

 

Kejahatan mengenai pemalsuan adalah suatu tindak kejahatan yang
di dalamnya mengandung unsur suatu keadaan ketidakbenaran atau palsu atas
suatu objek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya
padahal sebenarnya bertentangan dengan yang sebenarnya, sedangkan
perbuatan memalsukan adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara
bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat
sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat
aslinya.

Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan dalam kelompok kejahatan
penipuan sehingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan. Perbuatan
pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang
memberikan gambaran tentang sesuatu gambaran atas barang seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak
dimilikinya, karena gambaran data ini orang lain terpedaya dan mempercaya
bahwa keadaan yang digambarkan atas barang/surat/data tersebut adalah benar atau asli. Pemalsuan terhadap tulisan/data terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar.

Mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk
mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian
sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.
1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan:

“Unsur pokok delik penipuan (Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delik untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang”.

 

Kehidupan masyarakat di kota-kota besar membuat banyak kebutuhan yang harus di penuhi, dengan berbekal pendidikan rata-rata Sekolah Menengah Atas sulit untuk mendapatkan pekerjaan, terlebih lagi syarat pertama untuk menjadi pegawai negeri adalah Strata 1 (Sarjana S1) membuat banyak peminatnya masih belum memiliki pekerjaan, munculnya sistem pegawai kontrak di PEMDA Kabupaten Tabanan atau yang sering disebut pegawai honorer mengakibatkan banyaknya peminat yang berbondong-bondong untuk menjadi salah satu pegawai kontrak, hal ini pula membuat banyaknya oknum-oknum petugas untuk melakukan kejahatan, salah satunya yang terjadi di Kabupaten Tabanan, Bali. Dengan latar belakang tentang lowongan pegawai kontrak, pelaku kejahatan yang bernama I Dewa Made Adnyana, Pelaku mengaku mempunyai koneksi untuk mempermudah mendapatkan salah satu pekerjaan sebagai pegawai honorer di Kabupaten Tabanan. Ia membuat Surat Perjanjian Kerja dan SK Pegawai Kontrak Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Tabanan dengan cap stample dan tanda tangan palsu guna melancarkan aksinya.

Hal ini berawal pada bulan September 2015 bertempat di Br. Tiyinggading, Desa Tiyinggading, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan dan di Banjar Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Tersangka I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi dengan sengaja hendak menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak memakai keadaan palsu, kata-kata bohong dan memalsukan surat supaya korban atas nama Ni Putu Susi Sukmayanti menyerahkan uang sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) yang dilakukan oleh tersangka I Dewa Made Adnyana yang terjadi kisaran bulan September 2015 bertempat disebuah rumah (rumah sewaan tersangka I Dewa Made Adnyana) di Banjar Dauh Pala, Desa Dauh Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan.

Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut permasalahan pemalsuan serta penipuan yang mengatasnamakan Tenaga Kerja Kontrak/Pegawai Honorer yang dirumuskan menjadi sebuah tema dengan judul “Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Tabanan Kepada Calon Pegawai Kontrak Di Pemda Kabupaten Tabanan dalam Perspektif Kriminologi”.

 

1.2.   Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka Peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut, yaitu:

1)         Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?

2)         Bagaimanakah proses upaya penanggulangan terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?

3)         Apakah yang menjadi penghambat dalam upaya menanggulangi terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?

 

1.3.  Tujuan Penelitian

1.3.1.      Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang Peneliti cari dari penelitian ini, antara lain :

1.      Untuk mengetahui dan mengkaji Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Tabanan Kepada Calon Pegawai Kontrak Di Pemda Kabupaten Tabanan dalam Perspektif  Kriminologi.

2.      Untuk mengetahui dan menganalisa  proses penanggulangan dan faktor-faktor penghambat terjadinya penanggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Tabanan Kepada Calon Pegawai Kontrak Di Pemda Kabupaten Tabanan dalam Perspektif  Kriminologi.

 

1.3.2.      Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang Peneliti cara dari penelitian ini, antara lain :

1.      Untuk mengetahui latar belakang yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kasus pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan.

2.      Untuk mengetahui apa saja upaya penanggulangan terjadinya kasus pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan di kemudian hari.

3.      Untuk mengetahui kendala yang ada dalam menanggulangi terjadinya kasus pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan.

 

1.4.  Manfaat Penelitian

1.4.1.      Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang Peneliti dapatkan dari penyusunan laporan ini, antara lain :

1.      Merupakan salah satu sarana bagi Peneliti untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan Skripsi untuk melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Universitas Hindu Indonesia, Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, program studi Hukum Agama Hindu.

2.      Untuk memberi sumbangan pengetahuan dan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.

3.      Untuk mendalami teori-teori yang telah Peneliti peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Universitas Hindu Indonesia, Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, program studi Hukum Agama Hindu.

4.      Sebagai acuan untuk adanya penelitian-penelitian baru tentang kasus  penipuan dan pemalsuan.

1.4.2.      Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang Peneliti dapatkan dari penyusunan laporan ini, antara lain :

1.      Dengan penelitian hukum ini diharapkan dapat meningkatkan, mengembangkan dan menambah wawasan serta kemampuan Peneliti dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi penegak hukum maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan.

2.      Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.

3.      Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

 

2.1. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti atau Peneliti sebelumnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan penelitian terdahulu sebagai pembanding dengan penelitian ini, yakni sebagai berikut.

Penelitian yang terdahulu yang penulis gunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah :

1.      Penelitian yang pertama yang Peneliti jadikan bahan acuan dalam penelitian ini adalah hasil penelitian dari Andi Junaedi Zadsaly M. (NIM: B.111.08.996) dari Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, yang di susun pada tahun 2014, dengan judul.Tinjauan Viktimologis Terhadap Kejahatan Penipuan Dalam Penerimaan Pegawai Negeri Sipil Di Kota Makassar”.

Dalam penelitiannya saudara Andi Junardi Zadsaly M. dimaksudkan untuk dapat mengetahui sejauhmana peran korban sebagai salah satu penyebab timbulnya atau terjadinya tindak pidana penipuan dalam penerimaan CPNS. Serta, untuk mengetahui perlindungan hukum apa yang dapat diberikan kepada korban sebagai pihak yang mengalami kerugian.

Perlu di ketahui Viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia suatu kenyataan sosial (Rena Yulia, 2010:43).

Dengan penelitiannya yang terpaku terhadap Korban dari kejahatan penipuan itu, ia mendapat kesimpulan yakni.

1)      Peranan korban dalam terjadinya kejahatan penipuan dalam penerimaan pegawai negeri sipil di Kota Makassar yaitu ketidakpercayaan korban pada pemerintah dalam melakukan seleksi penerimaan pegawai secara bersih, sikap para korban
yang tidak percaya pada kemampuan diri sendiri atau malas
belajar, serta sikap terlalu mudah percaya korban akan iming-iming lulus seleksi CPNS.

2)      Upaya perlindungan hukum bagi korban penipuan dalam
penerimaan pegawai negeri terdiri dari dua bentuk yang pertama
yaitu upaya preventif, upaya yang dilakukan sebelum terjadinya
kejahatan penipuan yaitu berupa sosialisasi atau pemberitaan
diberbagai media cetak maupun visual dan melakukan
koordinasi dengan instansi terkait yang melakukan prosese
seleksi CPNS. Upaya yang kedua adalah upaya represif, yaitu
tindakan yang dilakukan pihak kepolisian setelah terjadinya
tindak pidana dengan menindak lanjuti setiap laporan penipuan
yang terjadi dan memberikan sanksi yang tegas kepada setiap
pelaku tindak pidana penipuan seleksi CPNS.

Menurut Peneliti, penelitian saudara Andi Junaedi Zadsaly M., sangat berperan penting dalam penelitian yang peneliti lakukan walaupun berbeda objek dan tempat terjadinya kejadian. Hal ini di karenakan kasus yang diangkat oleh saudara Andi Junaedi Zadsaly M. hampir sama dengan yang Peneliti angkat, tetapi penulis tidak bermaksud menjiplak ataupun meniru seluruhnya hasil penelitian saudara Andi Junaedi  Zadsaly M. dengan berbekal informasi dari narasumber dan pengetahun yang berkembang sejak penelitian terakhir, Peneliti ingin memperdalam judul penelitian yang peneliti angkat dalam penelitian ini.

2.      Selanjutanya seorang Mahasiswa Sumatera Utara, yakni saudara Lukkas Syahputra Burutu, dari Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan. Dimana penelitiannya berjudul “Tindak Pidana Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Kitab Pidana (Study Kasus Perkara No. 3175/Pid. B/2003 PN-Medan)”. Dalam penelitiannya, ia mengambil sudut pandang dari segi Normatif, dimana dia mempelajari perkara tentang tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pria yang sudah mempunyai seorang istri, dan kemudian ia memalsukan identitas untuk menikah lagi dengan wanita lain.

Dalam penelitiannya Lukkas mengkaji masalah studi kasus perkara di Pengadilan Negeri Medan, Yakni Studi Kasus Perkara No. 3175/Pid. B/2003 PN-Medan. Adapun hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut, ditemukannya faktor-faktor penyebab kejahatan pemalsuan ini, diantaranya adalah ketidak disiplinan hukum. Selain itu Lukkas memaparkan tentang sanksi-sanksi serta dakwaan dan pertimbangan hakim dalam memberikan putusan dalam perkara Pemalsuan dan Penipuan, yakni termuan dalam pasal 266 KUHPidana.

Sedangkan penelitian yang Peneliti lakukan adalah meneliti tentang pemalsuan terhadap Surat Ketenagakerjaan (SK) Pegawai Kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan. Walaupun dalam penelitian ini mempunyai unsur perbedaan dalam subjek maupun objek yang diteliti tetapi dengan hasil temuan yang ditemukan oleh saudara Lukkas dapat membantu Peneliti untuk menambah wawasan dalam memecahkan rumusan-rumusan masalah yang Peneliti rumuskan.

Sebagaimana yang peneliti jelaskan di muka bahwa dengan adanya penelitian terdahulu ini, dimaksudkan untuk memperjelas posisi penelitian yang Peneliti lakukan. Dan penelitian yang Peneliti lakukan ini mempunyak titik perbedaan dengan penelitian terdahulu. Meskipun demikian, Peneliti mengakui tentang teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai persamaan beberapa Konsep dan teori-teori dari penelian-penelitian terdahulu.

 

 

 

2.2.  Konsep

Dalam suatu penelitian perlu penegasan batasan pengertian operasional dari setiap istilah atau konsep yang terdapat baik dalam judul penelitian maupun rumusan masalah penelitian. Pemberian definisi atau batasan operasional suatu istilah berguna sebagai sarana komunikasi agar tidak terjadi salah tafsir dan juga mempermudah dalam proses penelitian. Beberapa deskripsi konsep yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

               Adapun   konsep-konsep yang akan di operasionalkan dalam penelitian ini adalah :

2.2.1.  Tindak Pidana

Berbagai literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Istilah tindak pidana digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Rusli Efendy (1983 : 1) mengemukakan bahwa peristiwa tindak pidana, yaitu

“perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana” menjelaskan : perkataan peristiwa pidana haruslah dijadikan serta diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lainnya. Sebab kalau dipakai kata peristiwa saja, hal ini dapat mempunyai arti yg lain yg umpamanya peristiwa alamiah”.

 

Secara doktrinal, dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang perbuatan pidana (Sudarto 1975 : 31-32),yaitu :

1.        Pandangan Monistis

“Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan”.

 

Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responbility).

 Menurut D. Simons (Lamintang 1997 : 185) tindak pidana adalah :

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.

 

Dengan batasan seperti ini menurut Simons (Tongat 2008 : 105), untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1.      Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat).

2.      Diancam dengan pidana.

3.      Melawan hukum.

4.      Dilakukan dengan kesalahan.

5.      Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa pidana, dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monistis sebagai.

 “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, dimana bersifat melawan hukum, yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.

 

Andi Zainal Abidin (1987 : 250) menyatakan bahwa kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai) dan berkomentar sebagai berikut :

simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yg meliputi perbuatan serta sifat yang melawan hukum, perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan mencakup kesengajaan,kealpaan dan kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab”.

 

Menurut J. Bauman (Sudarto 1975:31-32),

“perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan”.

 

Menurut Wiryono Prodjodikoro (Tongat 2008 :106),

“tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana”.

 

Menurut Prodjodikoro (1986:55)

”yang termasuk berpandangan monistis menerjemahkan strafbaarfeit ke dalam tindak pidana dengan menyatakan bahwa, “suatu perbuatan yang pada pelakunya dapat dikenakan hukuman dan pelaku tersebut termasuk subyek tindak pidana”.

 

Van hammel (Andi Zainal Abidin 1987 : 250) yang berpandangan monistis  merumuskan strafbaarfeit bahwa,

“perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang melawan hukum, strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en dan schould to wijten)”.

 

2.    Pandangan Dualistis

Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik criminal act maupun criminal responbility, sedangkan menurut pandangan dualistis (Tongat 2008: 106), yaitu :

dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan/ pertanggungjawaban pidana”.

 

Batasan yang dikemukakan tentang tindak pidana oleh para sarjana yang menganut pandangan dualistis yaitu sebagai berikut :

Menurut Pompe (Sudarto 1975 : 31-32),

dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit (tindakan, pen), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”.

 

Menurut Moeljatno (Sudarto 1975 : 31-32),

“perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut”.

 

Dengan penjelasan seperti tersebut. Maka untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur (Tongat 2008: 107) sebagai berikut:

a.       Adanya perbuatan (manusia).

b.      Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (KUHPidana).

c.       Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).

Moeljatno (1983 : 54) yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit dengan perbuatan pidana dan menguraikannya sebagai,

“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”

 

Berdasarkan defenisi/pengertian perbuatan/tindak pidana yang diberikan tersebut di atas, bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal responbility).

Namun demikian, Moeljatno (Soedarto 1975 : 31-32) juga menegaskan, bahwa:

“untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak”.

 

 

 

2.2.2. Pemalsuan Dokumen

Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: 

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. 

Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa: 

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

1.        Akta-akta otentik.

2.        Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum.

3.        Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.

4.        Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu.

5.        Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian. 

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa:

yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya”. 

 

Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:

1.      Dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain).

2.      Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya).

3.      Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu).

4.      Surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa (misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain). 

Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:

1.        Membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).

2.        Memalsu surat : mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.

3.        Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.

4.        Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah sekolah). 

Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas adalah: (Ibid, hal. 196)

1.      Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.

2.      Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup.

3.      Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.

4.      Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.

5.      Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.

 Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik. Surat otentik.

menurut Soesilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pegawai umum seperti notaris (hal. 197).

 

2.2.3. Badan Ketenagakerjaan Daerah

Badan Kepegawaian Daerah yang selanjutnya disingkat BKD
adalah perangkat daerah yang merupakan unsur
lembaga teknis daerah pendukung tugas Walikota. Dalam kedudukannya, BKD dipimpin oleh
kepala daerah yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah yang bertugas menyelenggarakan kewenangan di bidang perencanaan dan pengelolaan administrasi pegawai, pembinaan pegawai serta pendidikan dan pelatihan pegawai.

Di Kabupaten Tabanan Badan Kepegawaian Daerah merupakan salah satu lembaga teknis daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan No. 3 Tahun 2008 yang merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah yang dipimpin oleh seorang kepala Badan, bertanggunngjawab pada Bupati melalui sekretaris daerah. Adapun tugasnya adalah melaksanakan urusan pemerintahan dalam bidang kepegawaian.

Dalam melaksanakan tugas Badan Kepegawaian Daerah selaku lembaga teknis daerah memiliki fungsi :

·         Perumusan kebijaksanaan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya.

·         Penyelenggaraan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya.

·         Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya.

·         Pelaksana tugas lain yang dilaksanakan oleh Bupati sesuai dengan bidang tugasnya

Sesuai dengan Kepres Nomor 159 Tahun 2000, Badan Kepegawaian Daerah memiliki tugas pokok membantu Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dalam melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali memiliki fungsi:

·         Penyiapan dan penyusunan peraturan perundang-undangan daerah di bidang kepegawaian.

·         Perencanaan dan pengembangan kepegawaian daerah.

·         Penyiapan kebijakan teknis pengembangan kepegawaian daerah.

·         Penyiapan pelaksanaan pengangkatan, kenaikan pangkat, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah.

·         Pelayanan administrasi kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural dan fungsional.

·         Penyiapan dan penetapan pensiun Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD).

·         Penyiapan dan penetapan gaji, tunjangan, dan kesejahteraan PNSD.

·         Penyelenggaraan administrasi PNSD.

·         Pengelolaan sistem informasi kepegawaian daerah.

·         Penyampaian informasi kepegawaian daerah kepada Badan Kepegawaian Negara.

2.2.4.   Karyawan Kontrak Pemda / Pegawai Honorer

Indonesia adalah Negara hukum sehingga segala tindakan pemerintah harus berdasarkan dan diatur oleh hukum. Pada awalnya masalah kepegawaian, pemerintah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang kini telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Keberadaan pengelolaan kepegawaian ini secara filosofis adalah untuk melayani masyarakat dan meningkatkan pembangunan Negara, akan tetapi pemerintah dalam memenuhi pelayanan masyarakat secara menyeluruh sangatlah diakui keterbatasannya sehingga pemerintah memberikan kebijakan khusus dalam mengantisipasi kekurangannya. Salah satu contohnya adalah akibat terbatasnya jumlah Pegawai Negeri Sipil di beberapa instansi pemerintahan maka pemerintah memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang untuk memperbantukan
masyarakat yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi Pegawai Tidak Tetap sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Menurut Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjelaskan bahwa di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar untuk di angkatnya tenaga honorer yang nantinya akan di pekerjakan di instansi pemerintah.

Pegawai tidak tetap menurut Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah : Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis professional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, menyatakan tenaga honorer adalah :

“Seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.

 

Penggunaan istilah antara Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil secara tersurat memang berbeda, akan tetapi secara tersirat terdapat persamaan antara tenaga honorer dengan pegawai tidak tetap yaitu sama-sama bukan berstatus sebagai pegawai negeri/pegawai tetap dan sama-sama mendapatkan honor atas pengabdian kepada Negara atas tenaga yang telah diberikan tanpa mendapatkan tunjangan lainnya seperti yang didapat oleh seorang PNS.

Sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil maka istilah tenaga honorer semakin berkembang menjadi suatu paradigma baru di lingkungan instansi pemerintahan, selain itu keberadaan tenaga honorer ini merupakan salah satu yang cukup diistimewakan keberadaannya. Walaupun pekerjaan yang dilakukan hampir sama dengan PNS, akan tetapi yang menjadi perbedaannya yaitu seorang tenaga honorer tidak ada yang menempati jabatan struktural penting dalam instansi pemerintahan. Hal ini karena sifat dari seorang tenaga honorer tersebut hanya diperbantukan yang ditugaskan langsung melalui Surat Keputusan Menteri ataupun Bupati/Walikota.

Selain tenaga honorer yang tenaganya dibutuhkan oleh instansi pemerintah, istilah tenaga honorer yang ada saat ini juga identik dengan tenaga yang berasal dari :

1.      Tenaga guru disebut GBS (Guru Bantu Sementara) di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama melalui SK dan ketetapan, dengan gaji langsung dari Menteri terkait melalui dana APBN.

2.      Tenaga Teknis dan Fungsional di lingkungan Departemen Kesehatan disebut PTT (Pegawai Tidak Tetap) seperti Tenaga Dokter, Perawat dan Tenaga Teknis Kesehatan. Mengenai dasar pelaksanaan tugas langsung melalui SK Menteri ataupun SK Bupati/ Walikota dengan gaji didanai oleh APBN/APBD.

3.      Tenaga Fungsional di lingkungan Departemen Pertanian disebut PTT (Pegawai Tidak Tetap) seperti Penyuluh Pertanian dengan dasar pelaksanaan tugas langsung melalui SK Menteri dengan gaji didanai oleh APBN.

Jika kita lihat dalam Penjelasan Umum Atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, jenis tenaga honorer ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu tenaga honorer katagori K1 dan tenaga honorer katagori K2. Adapun tenaga honorer yang dimaksud terdiri dari :

a.       Katagori I

Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria diangkat oleh pejabat yang berwenang bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus; berusia paling rendah 19 (Sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006.

b.      Katagori II

Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria diangkat oleh pejabat yang berwenang bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus; berusia paling rendah 19 (Sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006.

Perbedaan mendasar dari tenaga honorer katagori I dan katagori II adalah dari sumber penghasilan mereka, yaitu baik yang berasal dari biaya APBN/ APBD dan bukan APBN/APBD.

Menurut pemaparan diatas dapat di simpulkan bahwa pengertian Pegawai Kontrak Pemda/Pegawai honorer adalah Seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan dengan kriteria sesuai peraturan pengangkatan pegawai honorer untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah dimana digaji oleh APBN atau APBD

2.2.5. Kriminologi

A.       Pengertian Kriminologi

Analisis sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan merupakan bagian tertentu dari kajian kriminologi, oleh sebab itu pengertian kriminologi diperlukan untuk mengantarkan penulis kepada variabel-variabel penyebab terjadinya kejahatan. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh :

P.Topinard (P.Topinard, 1830-1911) seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat, dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.

Beberapa Sarjana memberikan defenisi berbeda mengenai kriminologi ini, antara lain: Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon). Menurut Sutherland kriminologi mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.

Paul Mudigno Mulyono (Topo Santoso 2003:11). Memberikan definisi

“kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia”.

 

Kriminologi secara umum sebagaimana diungkap oleh Abdulsyani, (1987:6) bahwa ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan, dimana kriminologi berasal dari kata “Crime” dan Logos”. Crime artinya kejahatan sedangkan Logos artinya ilmu pengetahuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Abdulsyani tersebut bahwa kriminologi mengandung pengertian yang sangat luas sehingga tidak mudah ditangkap secara jelas. Dikatakan demikian karena dalam mempelejari kejahatan tidak terlepas dari berbagai pengaruh dan sudut pandang, ada yang memandang atau mempelajari kriminologi itu dari suatu latar belakang timbulnya kejahatan dan adapula yang memandang kriminologi dari sudut perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
Semuanya ini sekaligus juga tidak dapat terlepas dari campur tangan
berbagai disiplin ilmu terutama yang berkaitan dengan obyek studinya.

Kemudian apabila kriminologi ditinjau dari segi etimologis, terlebih dahulu dapat diklasifikasikan bahwa kata kriminologi terdiri atas dua suku kata, yakni “Crimen” artinya kejahatan dan “Logos” berarti ilmu pengetahuan, dengan demikian maka kriminologi berarti ilmu tentang kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu penjelasan lebih lanjut agar tidak salah dan keliru memahami tentang kriminologi sebagai ilmu pengetahuan. Kriminologi yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari penjahat dan kejahatan serta mempelajari tentang cara-cara penjahat melakukan kejahatan, kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan dan berupaya untuk mencari dan menemukan konsepsi-konsepsi yang dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan. Pengertian tersebut diatas menunjukkan bahwa ternyata kriminologi mengandung arti yang sangat luas. Dikatakan demikian karena dalam mempelajari kejahatan, tidak lepas dari berbagai pengaruh dan sudut pandang, ada yang memandang kriminologis dari sudut perilaku yang menyimpang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kesemuanya ini sekaligus tidak dapat terlepas dari berbagai disiplin terutama yang berkaitan objek studinya. Menurut Soedjono Dirdjosiswono(1986:1), mengemukakan bahwa,

Kriminologi adalah “ilmu pengetahuan dari berbagai ilmu yang mempelajari kejahatan-kejahatan sebagai manusia”.

 

Demikian pula, Moeljatno(1982:6) mengemukakan bahwa :

 Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu”.

 

Sedangkan Romli Atmasasmita (1988:41) mengemukakan bahwa :

Bagi mereka yang menghendaki batasan dari arti sempit dari pada kriminologi, di dalam mempelajari bentuk tertentu dari tingkah laku kriminal, di dasarkan agar selalu berpegang pada batasan dalam arti yuridis”.

 

Dengan demikian di harapkan tidak hanya keseragaman dalam mempelajari objek kriminologi dalam batasan yuridis yang berbeda-beda, tetapi juga di harapkan objek kriminologi itu berkembang lebih mudah tanpa terikat pada perumusan yuridis.

Berdasarkan pandangan dari beberapa pakar hukum tentang
kriminologi tersebut diatas, nampak mempunyai persamaan satu sama
lainnya, walaupun variasi bahasa dalam mengungkapkan berbeda-beda, tetapi perbedaan itu tidak di pengaruhi hakekat kriminologi sebagai suatu Paul Moedigdo Meoliono (Topo Santoso, 2003:11) memberikan definisi kriminologi :

Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan gejala social”.

 

Karena kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat dilakukan manusia. Agar makna kejahatan jelas, perlu memahami eksistensi manusia.

Wolffgang Savita dan Jhonston dalam The Sosiology of Crime and delinquency (Topo Santoso, 2003:12) memberikan definisi kriminologi sebagai berikut :

Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh penjahat sedangkan pengertian mengenai gejala kesehatan merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan dari kejahatan, pelaku kejahatan, serta reaksi masyarakat terhadap keduanya”.

 

Menurut Michael dan Adler ( Topo Santoso, 2003:12)
mengemukakan bahwa definisi kriminologi adalah :

“Keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari
penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai pada perlakuan
secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh
anggota masyarakat”.

 

Sedangkan menurut Wold (Abd Salam, 2007:5 ) merumuskan definisi kriminologi bahwa :

Sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu”.

 

Berdasarkan rumusan para ahli diatas, Penulis dapat melihat
penyisipan kata kriminologi sebagai ilmu-menyelidiki-mempelajari. Selain itu, yang menjadi perhatian dari perumusan kriminologi adalah mengenai pengertian kejahatan. Jadi kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan secara lengkap, karena kriminologi mempelajari kejahatan, maka sudah selayaknya mempelajari hak-hak yang berhubungan dengan kejahatan tersebut (etiologi, reaksi sosial).

Penjahat kejahatan tidak dapat dipisahkan, hanya dapat dibedakan. Menurut Wood (Abd Salam, 2007:5), bahwa kriminologi secara ilmiah dapat dibagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu :

1.      Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai
masalah yuridis yang menjadi objek pembahasan ilmu hukum
pidana dan acara hukum pidana.

2.      Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai
masalah antropologi yang menjadi inti pembahasan kriminologi
dalam arti sempit, yaitu sosiologi dan biologi.

3.      Ilmu pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah teknik yang menjadi pembahasan kriminalistik, seperti ilmu kedokteran forensik, limu alam forensik, dan ilmu kimia
forensik.

Sepeti dikatakan bahwa kriminologi membahas masalah kejahatan, maka timbul pertanyaan sejauh manakah suatu tindakan dapat di sebutkan kejahatan, secara formal kejahatan dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh negara diberi pidana (Misdaad is een emstige anti sociale handeling, seaw tegen de staat bewust reageer). Dalam hal pemberian pidana di maksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu adalah ketertiban masyarakat dan masyarakat menjadi resah. Terkadang tindakan tidak sesui dengan tuntutan masyarakat, yang di mana masyarakat bersifat dinamis, maka tindakanpun harus dinamis sesuai dengan irama perubahan masyarakat. Ketidaksesuian tersebut dipengaruhi oleh faktor waktu dan tempat. Masyarakat menilai dari segi
hukum bahwa sesuatu tindakan merupakan kejahatan sedang dari segi
sosiologi (pergaulan) bukan kejahatan. Inilah yang disebut kejahatan
yuridis. Sebaliknya bisa terjadi suatu tindakan dilihat dari segi sosiologis merupakan kejahatan, sedangkan dari segi yuridis bukan kejahatan. Inilah yang disebut kejahatan sosiologis (kejahatan kriminologi).

Usaha untuk merumuskan dan mendefenisikan kejahatan dalam kriminologi hampir satu bidang pengetahuan ilmiah itu sendiri. Hal itu menyangkut sejumlah pendapat-pendapat kontroversial dan beberapa benturan pendapat ilmiah yang pada dasarnya merupakan bagian proses perkembangan suatu ilmu. Kejahatan pada mulanya tidak secara resmi dirumuskan dan tidak menyangkut suatu tindakan resmi terhadapnya, melainkan hanya merupakan masalah pribadi. Seorang yang melakukan kesalahan memperoleh pembalasan baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap keluarganya.

B.     Fungsi Kriminologi.

Menurut Topo santoso (2003:23) mengemukakan bahwa:

“Kriminologi mempelajari kejahatan sebagai fenomena social sehingga sebagai pelaku kejahatan tidak terlepas dari interaksi
sosial, artinya kejahatan menarik perhatian karena pengaruh
perbuatan tersebut yang dirasakan dalam hubungan antar
manusia. Kriminologi merupakan kumpulan ilmu pengetahuan dan
pengertian gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan
menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman
keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan secara reaksi
masyarakat terhadap keduanya”.

 

Menurut Topo santoso (2003:12) mengemukakan bahwa objek, studi kriminologi meliputi:

1.        Perbuatan yang disebut kejahatan

2.        Pelaku kejahatan

3.        Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan
maupun terhadap pelakunya.

Dengan melihat keberadaan kriminilogi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, fungsi kriminologi bersifat luas. Namun demikian, karena keberadaan kriminologi dalam sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana, fungsi kriminologi ini dapat dibedakan kepada dua hal, yaitu fungsi klasik dan fungsi modern.

Pada fungsinya yang klasik, keberadaan kriminologi berkaitan dengan hukum pidana, dimana dua disiplin ilmu ini saling berhubungan dan saling bergantung antara satu dengan lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Dalam perkembangan selanjutnya kriminologi dijadikan sebagai ilmu yang membantu hukum pidana (ilmu pembantu), dan sekarang hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, karena perkembangan kriminologi sudah menjadi disiplin yang berdiri sendiri.

Hubungan antara kriminologi dengan hukum pidana ini sedemikian dekatnya sehingga diibaratkan sebagai “dua sisi diantara satu mata uang”, dimana hukum pidana pada dasarnya menciptakan kejahatan (kejahatan formal) dan rumusan kejahatan yang dimuat dalam hukum pidana itulah yang menjadi kajian pokok kriminologi. Disamping itu hukum pidana sebagai suatu disiplin yang bersifat normatif yang bersifat “abstrak”, di lain pihak kriminologi yang bersifat “faktual”. Maka, sebagaimana yang dikemukakan oleh Vrij bahwa :

 “Kriminologi menyandarkan hukum pidana kepada kenyataan. Bahkan karena cara pandang kriminologi yang lebih luas terhadapp kejahatan ketimbang hukum pidana, dapat dikatakan bahwa kriminologi itu membuat bijak berlakunya hukum pidana”.

 

Dari kerangka hubungan yang dekat sekali antara kriminologi
dengan hukum pidana tersebut, maka fungsi kriminologi yang klasik ini adalah fungsinya dalam masalah hukum pidana, yaitu :

a.       Dalam perumusan atau pembuatan hukum pidana.

b.      Dalam penerapan hukum pidana.

c.       Dalam pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal :

Ø  Kriminalisasi

Ø  Deskriminalisasi

Ø  Depenalisasi

 

 

2.3.  Landasan Teori

2.3.1. Teori Aktifitas Rutin

Marcus Felson sebagai pencetus Routine Activities Theory (aktifitas rutin) mengungkapkan bahwa kejahatan akan terjadi bila dalam satu tempat dan waktu hadir dalam waktu yang bersamaan elemen berikut:

a)     A Motivated Offender (Adanya motivasai dari penjahat).

b)     A Suitable Target (Target atau sasaran yang menarik atau mudah).

c)     The Absence of Capable Guardian (Kondisi yang aman untuk melakukan kejahatan).

Ketiga elemen ini harus ada secara bersamaan saat terjadinya kejahatan. Inti dari teori ini adalah tergantung pada kesempatan-kesempatan yag tersedia. Bila seorang target tidak cukup dilindungi, dan bila ganjarannya cukup berharga, maka kejahatan akan tejadi. Kejahatan tidak membutuhkan pelanggar-pelanggar kelas berat, pemangsa-pemangsa super, para residivis atau orang-orang  jahat, kejahatan hanya membutuhkan kesempatan.

Premis dasar dari teori aktifitas rutin adalah bahwa kejahatan adalah kasus kecil (dengan jumlah kecil) yang tidak dilaporkan kepada polisi. Kejahatan bukanlah suatu yang spekatakuler ataupun dramatis. Semuanya itu kejadian yang umum dan terjadi setiap saat terutama saat ada tujuan yang tidak bisa didapatkan dengan cara yang baik.

Dalam teori aktifitas rutin oleh Markus Felson 1987 dan Robert K.Cohen ada tiga elemen yang dapat mempengaruhi mudahnya muncuk kejahatan, diantaranya adanya pelaku yang termotivasi, adanya target yang layak, dan ketiadaan penjaga. (Steven P. Lab,2006 : 111)

1.      Adanya pelaku yang termotivasi

Adaya yang dilakukan merupakan dorongan-dorongan pribadi yang menjadikan kejahatan sebagai sumber utama dalam mencapai tujuan tanpa ada alasan-alasan dan sebab apapun kondisi seperti ini merupakan bakat melakukan kejahatan bawaan sejak lahir. (Erlangga Masdiana, 2006:59)

Cara-cara melakukan kejahatan juga begitu berani. Pelaku seakan-akan menganggap korban sebagai musuh yang harus ditaklukkan seketika. Korban tidak diberi ampun atau diberi kesempatan untuk menyatakan dirinya sebagai manusia. Korban yang memiliki uang atau harta lain wajib menyerahkan kepada pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan bagaikan raja yang bebas meminta upeti kepada korban dengan cara-cara kekerasan (Erlangga Masdiana, 2006:59).

2.      Adanya target yang Layak

Kesempatan merupakan faktor yang menentukan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan, dalam hal ini ada kalanya Karena desakan oleh kebutuhan hidup dan ada kalanya karena kebiasaan (Arrajid.1986:69).

(Lesley 91989) menyatakan semakin banyak orang membuka diri untuk berinteraksi dengan orang lain dan berada ditempat-tempat tertentu, maka orang itu sagat rentan menjadi korban kejahatan (ditempat ramai) seperti di stasiun, terminal, dan persimpangan-persimpangan jalan.Tempat-tempat yang rentan ini sebaiknya mendapatkan perhatian pihak aparat kepolisian (Erlangga Masdiana, 2006:20).

3.      Tidak hadirnya penjagaan

Kebiasaan beraktifitas memungkinkan orang menjadi korban kejahatan. Ada kejahatan dilakukan saat korban sedang bekerja, pergi ke pasar, bersekolah, dan lain-lain. Pelaku kejahatan yang cerdas pasti melakukan aksinya didasarkan pada pengamatan ilmiah tentang karakteristik individu, kebiasaan berperilaku calon korban, dan tingkat “pengawalan” korban. Jika sistem pengamanan lingkungan tidak memungkinkan proteksi terhadap korban atau calon korban, maka pelaku kejahatan dapat dengan mudah melumpuhkan korban (Erlangga Masdiana, 2006:66).

Berdasarkan pemaparan diatas, teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab rumusan masalah nomor 1 yakni “Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?”.

2.3.2. Teori Kontrol Sosial / Perspektif control

Teori Kontrol Sosial / Perspektif control adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delikuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Teori kontrol sosial menunjuk pada pembahasan delikuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis antara lain struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.

Durkheim “a society will always have a certain number of deviance and that devience is really a normal phenomenon” Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu Personal Control (internal control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Social control atau kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif. Walter Reckles dengan bantuan Simon Dinitz, mengemukakan teori containment theory. Teori kontrol sosial adalah :

“Hasil akibat dari irrelasi antara dua bentuk kontrol yaitu kontrol eksternal atau social control dan control internal atau internal control”.

 

Berdasarkan pemaparan diatas, teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab rumusan masalah nomor 1 yakni “Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?”.

2.3.3. Teori Kriminologi Menurut John Hagan

John Hagan membuat suatu perbandingan, mengklasifikasikan teori-teori kriminologi yaitu :

1.      Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori disorganisasi sosial, teori netralisasi dan teori kontrol sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.

2.      Teori-teori Kultur, status dan opportunity seperti teori status frustasi, teori kultur kelas dan teori opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal dan hidup.

3.      Teori Over Control yang terdiri dari teori labeling, teori konflik kelompok dan teori marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.

Berdasarkan pemaparan diatas, teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab rumusan masalah nomor 2 yakni “Bagaimanakah proses upaya penanggulangan terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?”.

2.3.4. Teori Penegakan Hukum

Faktor-faktor mempengaruhi penegak hukum.

Menurut Soerjono Soekanto menjelaskan ada 5 (lima) Faktor-faktor penghambat penegakan hukum agar suatu kaedah hukum benar-benar berfungsi, yaitu :

A.    Faktor Hukum itu sendiri

Berlakunya kaedah hukum di dalam masyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri, menurut teori-teori hukum harus memenuhi tiga macam hal berlakunya kaedah hukum, yaitu :

a)      Berlakunya secara yuridis, artinya kaedah hukum itu harus dibuat sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai syarat berlakunya suatu kaedah hukum.

b)      Berlakunya secara sosiologis, artinya kaedah hukum itu dapat berlaku secara efektif, baik karena dipaksakan oleh penguasa walau tidak diterima masyarakat ataupun berlaku dan diterima masyarakat.

c)      Berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Jika hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

B.     Faktor Penegak Hukum

        Komponen yang bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum. Lembaga-lembaga tersebut memiliki undang-undang tersendiri hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa komponen yang bersifat struktural ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu sistem hukum ini harusnya bekerja.

C.     Faktor Sarana atau Fasilitas

        Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang
berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan. Fasilitas
pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras.

D.    Faktor Masyarakat

        Setiap warga masyarakat atau kelompok pasti mempunyai kesadaranhukum, yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum dan perilaku hukum.

        Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi.

E.     Faktor Kebudayaan

         Sebagai hasil karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Variasi kebudayaan yang banyak dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum. Variasi-variasi kebudayaan sangat sulit untuk diseragamkan, oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat.

           Kelima Faktor inilah yang merupakan tolak ukur dalam proses penegakan hukum, khususnya hukum pidana.

           Teori penegakan hukum menurut Friedman bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada:

1)      Substansi hukum

Substansi hukum adalah keseluruhan asas-asas hukum, norma hukum dan aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis termasuk putusan pengadilan.

 

 

2)      Struktur hukum

Struktur hukum adalah keseluruhan intitusi penegak hukum, beserta aparatnya jadi menakup dari kepolisian, kejaksaan, serta kantor pengacara dan pengadilan dengan para hakim.

3)      Budaya hukum

Budaya hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini cara berfikir dan bertidak baik para penegak hukum maupun wara masyarakat

Berdasarkan pemaparan diatas, teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab rumusan masalah nomor 3 yakni “Apakah yang menjadi penghambat dalam upaya menanggulangi terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?”.

 

2.4.  Model Penelitian                                                       

Model Penelitian merupakan hubungan antara variabel-variabel yang ada untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Penelitian ini berangkat dari adanya suatu kasus pelanggaran pidana yang tersangkanya dengan sengaja hendak menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak memakai barang dengan keadaan palsu, kata-kata bohong dan memalsukan surat sehingga para korban tertipu. Penipuan ini dengan latar belakang lowongan pegawai kontrak sebagai karyawan Tata Usaha di Sekolah Dasar di wilayah kota Tabanan.

Hal ini berawal dari kisaran bulan September tahun 2015, dimana pelaku bernama I Dewa Made Adnyana Alias Dewa Jokowi, yang dulu pernah bekerja sebagai Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) di Kabupaten Tabanan ini, di datangi oleh korban yang berinisial MS untuk mencarikan pekerjaan anaknya yang bernama Ni Putu Susi Sukmayanti sebagai pegawai kontrak di Kabupaten Tabanan. Pada awalnya korban Ni Putu Susi Sukmayanti bertanya kepada Tersangka I Dewa Made Adnyana tentang adanya lowongan pegawai kontrak, setelah itu I Dewa Made Adnyana menjawab “ada” dan segera menyuruh Ni Putu Susi Sukmayanti untuk menyiapkan surat-surat yang di perlukan untuk registrasinya.

Berbekal informasi tersebut penelitian diawali dengan kunjungan ke Unit 1 Reskrim Polres Tabanan dikarenakan kasus tersebut sudah ada putusan dan tersangka kini menekam di penjara, hal ini dilakukan untuk menggali informasi, serta memperoleh data yang diperlukan untuk merangkum kronologis serta melihat putusan apa yang dijatuhkan kepada Tersangka.

Teknik yang dipergunakan dalam penentuan informan ini adalah purposive sampling, yakni teknik penentuan responden secara sengaja yang benar-benar berkompeten dan terkait dengan penelitian ini. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data persepsi dari wisatawan yang berkunjung pada saat penelitian dilaksanakan, yaitu pada hari Senin, tanggal 12 Februari 2018 dan diperoleh berkas perkara pelaku yang diberikan oleh Bagian Unit 1 Polres Tabanan. Teknik penentuan responden adalah purposive sampling, yakni teknik atau metode penarikan sampel secara detail dan penuh pertimbangan dan kompeten dibidangnya, dalam hal ini adalah Bripka Ahmad Safii selaku salah satu Penyidik Unit 1 Sat Reskrim Polsres Tabanan di lokasi saat penelitian dilaksanakan. Hasil pengumpulan data akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Selanjutnya untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian didasarkan pada beberapa Teori penelitian.

Maka dapat dirumuskan rekomendasi terhadap para pihak yang terkait dengan upaya mencari penyebab, penanggulangan dan Apa saja yang menjadi kendala dalam menanggulangi masalah pemalsuan berkedok lowongan pegawai kontrak ini. Beranjak dari konsep pemikiran tersebut. Berbekal informasi serta masukan yang penulis dapatkan maka secara skematis dapat digambarkan alur pikir penelitian sebagai berikut :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.5.  Struktur Kerangka Berfikir

 

Hasil Temuan Penelitian

Rekomendasi / saran

Pemalsuan Dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan

Tinjauan Kriminologi

Upaya Penanggulangan

Kendala terjadinya upaya penanggulangan

Faktor-Faktor Penyebab

Teori

1.  Teori Aktifitas Rutin

2.  Teori Kriminologi

3.  Teori Kontrol Sosial

4.  Teori Penegakan Hukum

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar Struktur 2.1. Kerangka Berfikir / Model Penelitian

Keterangan :

                       Hubungan searah

Penjelasan Kerangka Berfikir :

Dari pemaraparan Struktur kerangka pemikiran di atas, Peneliti jelaskan bahwa terkait dengan judul penelitian yang peneliti angkat dalam penelitian ini akan dilihat dan dibedah melalui sudut pandang Kriminologi dimana tujuan Peneliti adalah untuk mempelajari kasus yang terjadi di Kabupaten Tabanan ini. Selanjutnya setelah di pelajari dari sudut pandang Kriminologi dan tata cara pembelajaran suatu kasus, didapatkan 3 rumusan masalah. Dari 3 rumusan masalah ini penulis menggunakan 4 teori untuk memecahkan masalah yang ditemukan Peneliti dalam Penelitian ini, setelah dipercahkan, diharapkan peneliti akan memperoleh hasil penelitian yang kompatibel dan dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Selanjutnya setelah mempelajari keseluruhan kasus ini dan menjawab semua rumusan masalah, diharapkan Peneliti dapat menyimpulkan hasil temuan dan memberikan saran dalam mencegah masalah yang ditemukan dalam rumusan masalah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODE PENELITIAN

 

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran tindak pidana pemalsuan dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah di Kabupaten Tabanan, serta mencari tahu upaya penanggulangan dan Apa saja yang menjadi kendala dalam menanggulangi masalah pemalsuan berkedok lowongan pegawai kontrak dengan metode sample yang mengkhusus yakni mencari Narasumber yang tahu jelas serta kompeten di bidangnya sebagai narasumber/informan. Studi ini menjabarkan partisipasi masyarakat dan pihak berwajib dalam hal ini instansi Polri untuk mencegah hal serupa dikemudian hari. Tahapan penyiapan data awal dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap hasil putusan serta mempelajari berkas perkara Pelaku di Polres Tabanan. Pengamatan dilakukan pada solusi-solusi pencegahan yang diberikan serta kendala-kendala apa saja yang berpengaruh dalam penerapan solusi pemecahan masalah. Selain itu dilakukan juga pengumpulan informasi yang dianggap penting dan relevan terhadap penelitian sesuai dengan rumusan masalah yang dibahas.

 

 

 

3.2. Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian merupakan hal yang sangat penting untuk ditentukan. Penelitian ini dilakukan Polres Tabanan. Lokasi ini dipilih karena pelaku sudah di jatuhi hukuman 1 (satu) Tahun 4 (empat) Bulan di pengadilan dan telah menekam di penjara selain itu di lokasi ini juga memiliki berkas-berkas mengenai perkara penipuan atau membuat surat palsu tersebut.

 

3.3. Jenis Data Dan Sumber Data

3.3.1.  Jenis Data

Dalam penyusunan laporan penelitian ini digunakan metode Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat, dan gambar (Sugiyono, 2010:15). Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi/pengamatan secara langsung oleh peneliti sendiri di lapangan. Selain itu, juga berupa fakta-fakta serta komentar yang dipaparkan langsung oleh para responden yang memiliki relevansi terhadap permasalahan yang dibahas. Data tersebut antara lain mengenai sistem pengelolaan yang telah berjalan, bentuk partisipasi masyarakat serta pihak pemerintah melalui instansi terkait. Data hasil wawancara tersebut kemudian dipadukan dengan data yang diperoleh melalui hasil observasi langsung.

 

 

3.3.2.  Sumber data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

a.    Sumber data primer, diperoleh secara langsung melalui hasil observasi/ pengamatan langsung di lapangan. Selain itu data juga diperoleh dari hasil wawancara atau interview dengan Narasumber yang terkait perkara penipuan yang berkedok lowongan tenaga kerja sebagai pegawai kontrak tersebut.

b.    Sumber data  sekunder,  berupa  data  yang dipilih  melalui  sumber  tidak langsung dimana data diperoleh melalui survey ke instansi terkait serta kelembagaan formal  maupun  informal.  Adapun sumber data sekunder yang dipergunakan dari penelitian ini adalah dari buku, jurnal, Berkas Perkara, serta informasi di internet sebagai peluas informasi yang didapatkan.

 

3.4.  Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat ukur yang dipergunakan dalam melakukan penelitian (Sugiyono, 2010:118). Instrumen utama dalam penelitian ini adalah Peneliti sendiri dengan alat bantu berupa interview guide, daftar pertanyaan (kuesioner), tape recorder, alat tulis, laptop dan kamera digital.

Peneliti menggunakan interview guide (pedoman wawancara) untuk menggali   informasi   dari   informan.   Menurut   Kerlinger   (dalam Gunawan, 2014:169), beberapa hal  yang harus diperhatikan dalam menyusun pertanyaan adalah :

1.         Pertanyaan harus berkaitan dengan masalah penelitian.

2.         Ketepatan/kepantasan jenis pertanyaan yang dipilih.

3.         Pertanyaan jelas dan tidak mengundang tafsir majemuk.

Berdasarkan kriteria jenis pertanyaan seperti tersebut di atas, maka peneliti kemudian menyusun pertanyaan yang menghasilkan kredibilitas yang tinggi, sehingga jawaban yang diperoleh dapat terarah dan terfokus terhadap penelitian serta dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penelitian ini, kuesioner yang dipergunakan adalah dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sifatnya gabungan antara tertutup dan terbuka yang di dibacakan oleh Peneliti. Bersifat tertutup dengan maksud bahwa jawaban kuesioner telah tersedia dan responden tinggal memilih beberapa alternatif jawaban yang telah disediakan. Disamping itu bersifat terbuka dalam artian responden diberikan kebebasan dalam mengungkapkan uraian pendapatnya terkait upaya penanggulangan dan Apa saja yang menjadi kendala dalam menanggulangi masalah pemalsuan dengan latar belakang lowongan pegawai kontrak tersebut.

Selain kuesioner, instrumen penelitian lainnya adalah tape recorder. Alat ini dipergunakan  untuk  merekam  hasil  wawancara terkait  komentar. Hasil rekaman kemudian ditranskripsikan melalui pencatatan dengan menggunakan alat tulis dan laptop untuk memudahkan dalam mengelompokkan data.

Terakhir adalah instrumen kamera digital yang berfungsi untuk mendokumentasikan gambar di lapangan.

 

3.5.  Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan di dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mempergunakan prosedur pengumpulan data sebagai berikut:

3.5.1.  Observasi

Objek observasi dalam penelitian ini adalah di Polres Tabanan yang dilaksanakan pada bulan Februari 2018. Observasi dilakukan bersifat non-partisipatif, di mana peneliti tidak terlibat secara langsung dan hanya sebagai pengamat independen (Sugiyono, 2010:167). Peneliti mengamati interaksi antara kegiatan-kegiatan atau program pengelolaan yang sedang dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar Peneliti mengetahui berbagai bentuk partisipasi pihak terkait dalam pengelolaan yang telah berjalan. Selain itu juga mengidentifikasi Pelaku atau  orang  yang  memainkan  peran  atau  kegiatan  tertentu  yang berhubungan dengan pengelolaan. Dengan harapan dapat memperoleh informasi terkait permasalahan yang diteliti.

3.5.2. Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah suatu percakapan yang di arahkan pada suatu masalah tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan di mana dua orang atau lebih   berhadapan secara fisik (Setyadin, 2005:22). Hal ini menandakan wawancara sebagai suatu hubungan komunikasi dua arah antara pewawancara dan narasumber.

Metode wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan secara mendalam. Wawancara mendalam dipergunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila Peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila Peneliti ingin mengetahui hal–hal dari responden yang lebih mendalam (Sugiyono, 2010:157). Wawancara dilakukan dengan berbagai pihak yang dinilai berkompeten serta memiliki informasi yang terkait dengan topik penelitian, yaitu pihak Kepolisian, para Korban, serta instansi pemerintah terkait.

Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan di mana mula-mula pewawancara menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah tersusun kemudian satu persatu diperdalam untuk memperoleh keterangan yang lebih detail. Dengan demikian jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variabel dengan keterangan yang rinci dan mendalam.

 

 

 

3.5.3.  Kepustakaan

Metode ini digunakan untuk memperdalam lagi informasi yang diperoleh dengan menggunakan hasil penelitian yang sudah ada dan hampir serupa untuk menyempurnakan hasil laporan ini.

3.5.4.  Dokumentasi

Dokumen merupakan  pelengkap dari penggunan metode observasi dan wawancara.  Hasil  penelitian  akan  lebih  dapat  dipercaya  jika  didukung  oleh adanya dokumen. Studi dokumen merupakan metode pengumpulan data baik dari bahan tertulis,  arsiparsip,  brosur, grafik  maupun  dalam  bentuk  gambar  yang dapat dipergunakan untuk memperluas dan memperkaya data yang telah dimiliki. Moleong (2007:217)  memberikan alasan-alasan mengapa studi dokumen berguna bagi penelitian kualitatif, yaitu :

1.       Karena merupakan sumber yang stabil dan kaya.

2.       Berguna sebagai evident (bukti) untuk suatu pengujian.

3.       Berguna dan sesuai karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks.

4.       Relatif murah dan tidak sukar ditemukan, hanya membutuhkan waktu.

5.       Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki.

Dalam penelitian ini, dokumen-dokumen diperoleh dari instansi terkait. Dokumen tersebut meliputi artikel, serta informasi dari para Saksi maupun Korban. Selain itu, pendokumentasian juga dilakukan dalam bentuk fotocopy KTP serta berkas-berkas yang peroleh langsung di lokasi penelitian. Hal tersebut terkait pembahasan maupun temuan penting yang terkait dengan topik permasalahan.

 

3.6. Analisis Data

Analisis data dilakukan sepanjang berlangsungnya penelitian dan dilakukan terus menerus dari awal hingga akhir penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Data primer dan sekunder telah terkumpul melalui studi observasi atau pengamatan lapangan, melalui hasil wawancara, dan kepustakaan dipandang sudah cukup, maka langkah berikutnya yang dilakukan adalah menganalisis data.

 

3.7. Cara Penyajian Analisis Data

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk deskriptif dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku dengan bahasa keilmuan dengan ciri-cirinya, bahasa lugas, formal, objektif, harus argumentatif.

Metode Deskriptif adalah cara pengolahan data yang dilakukan dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum (koentjoroningrat, 1982 : 74).

 

 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

4.1.  Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pemalsuan Dokumen-Dokumen di Kabupaten Tabanan

Sebelum penulis menguraikan penerapan hukum pidana dan faktor-faktor penyebab terjadinya masalah pemalsuan dalam kasus pemalsuan terhadap dokumen-dokumen yang di keluarkan Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan terhadap calon pegawai kontrak di PEMDA Kabupaten Tabanan, maka perlu diketahui terlebih dahulu posisi kasus dengan melihat acara pemeriksaan  pada dokumen bukti  dan pemeriksaan di Polres Tabanan dalam bentuk Berita Acara Pidana, serta tuntutan dan putusan dari PN-Tabanan yang memeriksa dan Mengadili.

4.1.1.      Laporan Pertama

a.       Identitas Terlapor/Terdakwa

Terdakwa bernama I Dewa Made Adnyana. Alias Dewa Jokowi, lahir di Banjar Tegal, 13 Juni 1970 saat berstatus terdakwa berusia 46 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, beragama Hindu, suku Bali, beralamat tinggal di Banjar Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, berkerja sebagai Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tabanan (SATPOL PP).

 

 

b.      Identitas Pelapor

Pelapor bernama I Nengah Sudana Yasa, lahir di Tabanan, 15 November 1958, saat membuat laporan berusia 58 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, beragama Hindu, Suku Bali, beralamat tinggal di Banjar Dinas Banjar Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

c.       Identitas Korban

Korban pertama bernama Ni Made Devi Saparida Utami, S.Pd. SD., lahir di Tiying Gading, 23 Agustus 1985, berjenis kelamin perempuan, beragama Hindu, Suku Bali, berkebangsaan Indonesia, Beragama Hindu, beralamat tinggal di Banjar Dinas Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai  Guru Abdi di SD No. 3 Bajera.

Korban Kedua bernama Drs. I Made Yasa, ATD, MM, M.Si., lahir di Singaraja, 17 Agustus 1962, berjenis kelamin laki-laki, Beragama Hindu, suku Bali, berkebangsaan Indonesia, beralamat tinggal di Jalan Patih Nambi IV FFR, No. 6, Dusun Permata Anyar, Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kodya Denpasar, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)  Kepala BKD Kabupaten Tabanan.

d.      Posisi Kasus / Uraian Singkat Laporan

Pada sekitar  akhir bulan September 2015, anak pelapor dijanjikan akan dijadikan Tenaga Kontrak Guru oleh Terlapor, selanjutnya anak pelapor sempat mengurus surat-surat berupa fotocopy ijazah terakhir untuk diserahkan kepada terlapor. Kemudian sekitar bulan Oktober 2015  pelapor di suruh mengambil SK Tenaga Kontrak sebagai guru di SD No. 3 Bajera dengan SK pertanggal 1 Oktober 2015 ke rumah Terlapor. Dengan adanya SK tersebut  sudah keluar, Pelapor disuruh menyerahkan sejumlah uang sebesar RP. 17.500.00,- (tujuh belas juta lima ratus rupiah). Kemudian berdasarkan SK tersebut anak Pelapor telah bekerja di SD No. 3 Bajera selama 3 (tiga) bulan namun setelah anak Pelapor memperpanjang masa kontrak SK tersebut ternyata nama anak Pelapor tidak terdaftar sebagai Pegawai Kontrak di BKD Kabupaten Tabanan dan SK yang dimiliki oleh anak Pelapor dikatakan palsu karena Kepala BKD Kabupaten Tabanan (Drs. I Made Yasa, ATD, MM, M.Si.) tidak pernah menandatangani SK tersebut. Dengan kejadian tersebut Pelapor berusaha menghubungi Terlapor dan di janjikan permasalahan tersebut akan diselesaikan sampai akhir Januari 2016, namun kenyataannya sampai saat ini SK tersebut tidak diperpanjang. Sehingga Pelapor merasa dirugikan dan melaporkan kejadian tersebut ke SPKT Polres Tabanan guna penanganan lebih lanjut.

4.1.2.      Laporan Kedua

a.      Identitas Terlapor/Terdakwa

Terdakwa bernama I Dewa Made Adnyana. Alias Dewa Jokowi, lahir di Banjar Tegal, 13 Juni 1970 saat berstatus terdakwa berusia 46 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, beragama Hindu, suku Bali, beralamat tinggal di Banjar Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, berkerja sebagai Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tabanan (SATPOL PP).

b.      Identitas Pelapor

Pelapor bernama I Ketut Suartana, lahir di Tiying Gading, 8 April 1970, berjenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, beragama Hindu, Suku Bali, beralamat tinggal di Banjar Dinas Banjar Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai Perangkat Desa.

c.       Identitas Korban

Korban pertama bernama Ni Putu Susi Sukmayanti, lahir di Tiying Gading, 15 Maret 1996, berjenis kelamin perempuan, beragama Hindu, Suku Bali, berkebangsaan Indonesia, Beragama Hindu, beralamat tinggal di Banjar Dinas Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai  Tata Usaha SD No.3 Bajra.

Korban Kedua bernama Ni Made Sutini, lahir di Antap, 5 Mei 1971, berjenis kelamin Perempuan, Beragama Hindu, suku Bali, berkebangsaan Indonesia, beralamat tinggal di Banjar Dinas Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai Perangkat Desa.

d.      Posisi Kasus / Uraian Singkat Laporan

Berawal dari Pelapor meminta tolong kepada saksi atas nama Ni Made Sutini, untuk mencarikan anak Pelapor sebagai Tata Usaha Kontrak dan selanjutnya saksi mengatakan akan meminta bantuan kepada Terlapor. Kemudian bulan Agustus tahun 2015, anak Pelapor mempersiapkan surat-surat dan menyerahkan kepada saksi untuk di serahkan kepada Terlapor, kemudian pada bulan September tahun 2015, Pelapor di bawakan SK Tenaga Kontrak sebagai Tata Usaha dengan no SK. Pertanggal : 01 September 2015, di rumah Pelapor. Kemudian pelapor menyerahkan sejumlah uang RP. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) kepada saksi untuk diserahkan kepada Terlapor. Setelah itu anak Pelapor berdasarkan SK tersebut bekerja sebagai Tata Usaha kontrak di SD No. 3 Bajra selama 4 (empat) bulan. Namun setelah anak Pelapor memperpanjang kontrak SK tersebut tidak terdaftar di kantor BKD Tabanan dan dikatakan SK tersebut bermasalah (bodong). Dengan kejadian tersebut Pelapor berusaha menghubungi Terlapor bersama saksi dan dijanjikan permasalahan selesai sampai pertengahan bulan Februari 2016, namun kenyataannya sampai saat ini SK tersebut tidak dapat di perpanjang, sehingga Pelapor merasa dirugikan dan melaporkan kejadian tersebut ke SPKT Polres Tabanan. Guna penanganan lebih lanjut Pelapor/Pengadu membenarkan semua keterangannya.

Berdasarkan berita acara yang dibuat oleh I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi yang dalam hal ini disebut sebagai Terlapor di Polres Tabanan yang di panggil dan selanjutnya diperiksa yang kemudian didengarkan keterangannya sebagai Tersangka dalam Perkara yang diduga Tindak Pidana Penipuan SK Palsu, sesuai dengan laporan polisi Nomor : Lp/29/III/2016/Bali/Res Tbn. Tanggal 21 Maret 2016 dan laporan polisi Nomor : Lp/30/III/2016/Bali/Res Tbn. Tanggal 21 Maret 2016, sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP dan 263 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.

Dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Tambahan, Tersangka yang maju sendiri tanpa didampingi kuasa hukum itu bersedia memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya dalam pemeriksaan dan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut. Dalam menjawab pertanyaan dari penyidik, Tersangka menjawab semua pertanyaan dan mengakui tuntutan dari penyidik.

Dalam melancarkan aksinya Tersangka menjelaskan “ mulai tahun 2003 sampai tahun 2015 saat saya menjadi PNS di Satpol PP, kantor saya bersebelahan dengan BKD jadi saya mendapatkan informasi dari orang-orang dan melihat bagaimana proses penerimaan pegawai kontrak selain itu saya juga waktu itu sempat memasukan menantu saya menjadi pegawai kontrak dengan cara yang sah, jadi garis besarnya saya tahu, sampai saya juga mengetahui besaran gaji pegawai kontrak yaitu sebesar Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah) karena saya membaca dari surat kontrak tersebut”.

 

Dalam hal ini tersangka mengaku menjalani aksinya dalam keadaan sadar dan tidak dipengaruhi oleh oranglain melainkan melihat keadaan sosial di sekitarnya yang banyak adanya pengangguran dan melihat adanya kesempatan untuk melakukan pemalsuan sekaligus penipuan, kemudian kurangnya kesadaran korban yang tidak langsung melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib yang mengakibatkan timbulnya korban penipuan akibat pemalsuan yang dilakukan Tersangka.

Saat terjadinya penangkapan dan ditetapkannya Tersangka menjadi Buronan, Tersangka mengakui alat bukti berupa alat tulis dan tulisan-tulisan tersebut Tersangka sudah lupa meletakkannya dimana, sedangkan barang bukti SK sudah di buang di pinggir jalan Bypas Ir. Soekarno,Tabanan dan untuk Stample BKD palsu yang digunakan dirusak dan dimasukan kantung kresek kemudian di buang di Jalan Anggrek, Tabanan dekat/selatan Alfamart.

Berdasarkan surat perintah penahanan nomor : SP-Han/09/V/2016/Reskrim. Pelaku atas nama I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi di tahan dan di tempatkan di Rumah Tahanan Negara Polres Tabanan, untuk selama 20 hari, terhitung mulai tanggal 15 Mei 2016 sampai dengan tanggal 3 Juni 2016, karena di duga telah melakukan tindak pidana Penipuan SK Pegawai Kontrak, yang terjadi bulan Oktober 2015 di Banjar Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, yang sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUHP. Kemudian dikarenakan penyidikan perkaranya belum selesai bersadasarkan surat nomor: B/2373/V/2016/Polres Tbn, perihal Permohonan Perpanjangan Penahanan terhadap Tersangka I Dewa Made Adnyana Alias Dewa Jokowi. Maka, untuk kepentingan pemeriksaan lebih lanjut, diminta penahanan Tersangka dapat di perpanjang selama 40 (empat puluh) hari di Tumah Tahanan Polres Tabanan terhitung mulai tanggal 04 Juni 2016 sampai dengan tanggal 03 Juli 2016.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti secara Kriminologi yakni mempelajari suatu kejahatan dari awal hingga akhir. Diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Dari pemaparan kasus yang di peroleh dari Berkas Perkara milik Polres Tabanan. Peneliti mendapatkan data yang mencangkup rumusan masalah bagian 1 (satu). faktor-faktor penyebab terjadinya masalah pemalsuan dokumen-dokumen di Kabupaten Tabanan dari Tersangka I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi. Bahwa Tersangka melakukan kejahatan Pemalsuan sekaligus Penipuan bukan hanya alasan ekonomi saja melainkan dikarenakan adanya kesempatan yang ditimbulkan oleh kebutuhan sosial dan banyaknya peminat pegawai kontrak yang tidak mendapatkan kesempatan karena tidak memenuhi kriteria dalam seleksi pegawai kontrak resmi serta terlalu lamanya orang-orang yang telah memperoleh gelar sarjana menganggur. Hal ini mengakibatkan mulusnya niat jahat Tersangka dalam melaksanakan aksinya.

Berdasarkan Teori aktifitas rutin yang dicetuskan oleh Marcus Felson sebagai pencetus Routine Activities Theory (aktifitas rutin) mengungkapkan bahwa kejahatan akan terjadi bila dalam satu tempat dan waktu hadir dalam waktu yang bersamaan elemen berikut:

a)          A Motivated Offender (Adanya motivasai dari penjahat)

b)        A Suitable Target (Target atau sasaran yang menarik atau mudah)

c)        The Absence of Capable Guardian (Kondisi yang aman untuk melakukan kejahatan)

Berdasarkan hal tersebut semua elemen telah terpenuhi, dimana Tersangka I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi ini melakukan aksinya dengan sengaja menipu dengan cara membuat Dokumen-dokumen palsu milik BKD Kabupaten Tabanan, kemudian adanya minat dari para korban yang ingin bekerja sebagai Pegawai Kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan. Di tambah dengan kondisi jaman sekarang yang membuat para Sarjana yang menganggur akibat sedikitnya lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang di miliki serta tidak sesuainya kriteria penerimaan pekerjaan membuat Tersangka dengan gampangnya menipu para korban dengan alasan lowongan Pegawai Kontrak Pemda Kabupaten Tabanan.

Dalam memecahkan rumusan masalah nomor 1 (satu), dalam hal ini yang dimaksud adalah faktor-faktor penyebab terjadinya masalah pemalsuan dokumen-dokumen milik BKD Kabupten Tabanan, Peneliti menggunakan teori tambahan untuk menambah rangkuman masalah temuan dalam penelitian ini, teori yang digunakan yakni Teori Control Sosial / Perspektif control seperti yang di jelaskan pada Bab II Penelitian ini adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delikuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Teori control sosial menunjuk pada pembahasan delikuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis antara lain struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan teori control sosial ini berbeda dengan teori control lainnya.

Dalam pembahasan Delekuensi bagian 1 (satu) tentang masalah struktur keluarga, Peneliti menemukan sedikit informasi di luar pokok pembahasan masalah yakni dalam temuan di lapangan Tersangka memiliki keluarga yang cukup harmonis, walaupun dalam penyidikan dilapangan yang dilakukan satuan Penyidik Polres Tabanan menemukan bahwa Tersangka memiliki istri simpanan, namun keluarga yang dimilikinya cukup harmonis walaupun Cuma anak perempuannya saja yang menemani Tersangka dalam Penyidikan yang dilakukan Penyidik Polres Tabanan, Peneliti tidak menemukan bahasan tentang istri sah yang dimiliki Tersangka. Dalam pokok pembahasan Delekuensi bagian 2 (dua) tentang masalah Pendidikan, Peneliti menemukan bahwa Tersangka juga merupakan orang yang berpendidikan, bahkan telah menjadi salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Tabanan, hal ini menyebabkan Peneliti menduga jika masalah ini bukan faktor kurangnya pendidikan dari Tersangka.

Jadi dalam pembahasan menggunakan teori Kontrol Sosial Peneliti menyimpulkan bahwa, Tersangka tidak ada masalah dalam variable-variable yang bersifat sosiologi, karena Tersangka adalah orang yang berkecukupan, terlebih lagi Tersangka adalah salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Tabanan dalam Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) di Kabupaten Tabanan. Peneliti menemukan bahwa alasan Tersangka melakukan tindakan pidana pemalsuan dan penipuan adalah karena rasa kurang puas atas yang dimiliki, dan dengan sengaja melakukan tindakan pidana pemalsuan dan penipuan untuk menguntungkan dirinya sendiri.

 

4.2.   Upaya Penanggulangan Terjadinya Pemalsuan Dokumen-Dokumen di Kabupaten Tabanan.

Dalam mempelajari kriminologi, diperlukan pemahaman mendetail dalam membedah suatu kasus yang akan dibahas dalam bidang kriminologi hukum. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti dalam kasus Pemalsuan Dokumen-dokumen milik Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan yang dilakukan terhadap Calon Pegawai Kontrak Pemda Kabupaten Tabanan, peneliti pertama membahas faktor-faktor penyebab terjadinya kasus tersebut yang diantaranya mencangkup latar belakang kasus serta identitas para orang yang terlibat dan sekarang peneliti juga menemukan beberapa cara penanggulangan dalam menanggulangi kasus seperti ini di kemudian hari. Dalam hal ini peneliti menggunakan teori John Hangan dalam memecahkan rumusan masalah nomor 2 ini.

John Hagan membuat suatu perbandingan, mengklasifikasikan teori-teori kriminologi yaitu :

1.      Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori disorganisasi sosial, teori netralisasi dan teori control sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.

2.      Teori-teori Kultur, status dan opportunity seperti teori status frustasi, teori kultur kelas dan teori opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal dan hidup.

3.      Teori Over Control yang terdiri dari teori labeling, teori konflik kelompok dan teori marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan

Dalam hal ini peneliti menggunakan Teori Under Control, yakni mengatasi perilaku jahat. Sebenarnya dalam teori ini membahas Tersangka sebagai subjek teori. Peneliti berfikir dalam hal menemukan cara menanggulangi menjadi korban penipuan, kita harus mengetahui pada saja isi pemikiran Tersangka hingga ia memiliki niat dan dapat berbuat kejahatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa alasan yang menjadi dasar terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh Tersangka Dewa Jokowi, yakni sebagai berikut :

1.      Banyaknya peminat dari masyarakat untuk menjadi salah satu dari Pegawai Kontrak Pemda di Kabupaten Tabanan.

2.      Adanya kesempatan serta celah hukum yang mengakibatkan Tersangka dengan leluasa dapat meniru serta membuat dokumen-dokumen palsu yang sangat mirip dengan aslinya yang di keluarkan oleh BKD di Kabupaten Tabanan.

3.      Kesediaan masyarakat menggunakan uang untuk mendapat pekerjaan yang di inginkan.

4.      Kurangnya kesadaran masyarakat serta lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah dalam pelaksanaan penerimaan calon tenaga kerja kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan.

Dari sekian banyak temuan yang peneliti temukan, ada 4 (empat) alasan yang peneliti yakini sebagai dasar dari terjadinya kejahatan penipuan dan pemalsuan yang dilakukan Tersangka I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi.

Dengan demikian kita sebagai masyarakat setidaknya harus menyadari dari kemajuan teknologi, juga berdampak negatif yang dapat membuat segalanya menjadi mungkin. Terlebih lagi jaman sekarang tidak ada data yang tidak dapat digandakan, bahkan kasus pemalsuan uangpun tetap terjadi hingga sekarang, perlu kejelian, ketelitian dan rasa waspada terhadap sekitar.

Jadi dapat di simpulkan upaya-upaya yang digunakan untuk menanggulangi dalam mengatasi kasus pemalsuan dalam hal ini dokumen-dokumen penting milik Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan yakni sebagai berikut :

1.      Budayakan rasa percaya diri

Dengan menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri sendiri akan memupuk rasa kesabaran dalam memperoleh apa yang dicita-citakan dan juga rasa pantang menyerah.

2.      Bertanya Kepada Orang Lain dan Kantor yang Bersangkutan Mengenai Informasi Lowongan Pekerjaan.

Bagi masyarakat yang mendapatkan informasi yang berhubungan dengan lowongan pekerjaan dalam hal ini lowongan sebagai Pegawai Kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan. Maka baiknya bertanya dulu pada orang yang lebih paham dan sebaiknya datang langsung ke kantor yang bersangkutan untuk mendapat informasi yang lengkap. Tujuanya agar diri sendiri lebih mengerti terkait dengan info yang diterima, dalam hal ini tanamkan rasa tidak malu untuk bertanya pada orang yang lebih tahu.

 

3.      Selektif dalam mengelolah informasi yang di peroleh.

Dengan membudayakan diri untuk mengelolah informasi yang diperoleh, Peneliti yakin masyarakat tidak akan mudah tertipu dengan berita maupun informasi yang bersifat merugikan. Karena tujuan kita adalah untuk bekerjan, bekerja untuk mencari uang bukan memberi uang untuk mendapatkan uang.

4.      Teliti masalah nomor registrasi dan instansi yang  mengeluarkan dokumen-dokumen penting yang dimiliki.

Selain harus selektif dalam mengelolah informasi yang diterima, ada baiknya kita selalu mengecek nomor registrasi  yang tertera dalam dokumen penting yang dimiliki, peneliti yakin jika kita teliti dalam masalah nomor registrasi dan instansi yang  mengeluarkan dokumen-dokumen penting yang dimiliki, dan mengecek dokumen-dokumen yang dimiliki, kita akan terhindar dari masalah pemalsuan dan penipuan yang berkedok penerimaan pekerjaan apalagi masalah pemalsuan SK yang sangat penting bagi seorang pegawai kontrak/honorer.

 

4.3.  Penghambat Dalam Upaya Menanggulangi Terjadinya Pemalsuan Dokumen-Dokumen  di Kabupaten Tabanan.

Adapun hambatan yang Peneliti temukan dalam penelitian ini antara lain mencangkup instansi maupun masyarakat itu sendiri. Dalam memecahkan rumusah masalah nomor 3 (tiga) ini, Peneliti menggunakan teori Penegakan Hukum yang di gunakan agar mempermudah dalam menjelaskan serta merumuskan apapun yang Peneliti temukan dalam Penelitian ini.

Dalam penelitian ini, Peneliti menemukan beberapa faktor-faktor yang menghambat dalam menanggulani terjadinya pemalsuan dokumen-dokumen di Kabupten Tabanan.

Seperti yang di jelaskan sebelumnya pada Bab 2 (dua) Menurut Soerjono Soekanto menjelaskan ada 5 (lima) Faktor-faktor penghambat penegakan hukum agar suatu kaedah hukum benar-benar berfungsi, yaitu :

1.       Faktor Hukum itu sendiri.

Berlakunya kaedah hukum di dalam masyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri, dalam penelitian ini Peneliti menemukan bahwa hampir tidak ada celah kekosongan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana, hampir tidak mungkin jika suatu instansi pemerintas seperti Badan Ketenagakerjaan Daerah tidak mengantisipasi masalah penipuan tersebut, terkecuali ada keterlibatan orang dalam atau instansi terkait dalam Tersangka melakukan aksinya.

 

2.      Faktor penegak hukum.

Komponen yang bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum. Dalam hal ini penegak hukum yang dibicarakan adalah instansi Kepolisian. Dalam temuan di lapangan, peneliti menemukan tidak ada kekurangan bahkan tidak ada kesalahan dalam prosedur pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan instansi penegak hukum dalam hal ini instansi kepolisian Polres Tabanan. Bahkan dalam menyelesaikan kasus ini kepolisian Polres Tabanan dapat menyelesaikannya dengan tuntas dan berhasil menjebloskan Tersangka ke penjara. Perlu diketahui kepolisian tidak akan bertindak jika tidak adanya laporan dari masyarakat.

3.      Faktor sarana atau fasilitas.

Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini temuan yang ditemukan Peneliti dilapangan bahwa tidak ada masalah dalam faktor sarana atau fasilitas dalam penghambat penegakan hukum di Kabupaten Tabanan. Semua berjalan sesuai dengan prosedur yang sudah diatur undang-undang daerah.

4.      Faktor masyarakat.

Setiap warga masyarakat atau kelompok pasti mempunyai kesadaran hukum, yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum dan perilaku hukum.

Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi.

Dalam temuan dilapangan, Peneliti menemukan kesadaran masyarakat tentang hukum itu tinggi dan tidak ada masalah dalam pelaksanaan maupun penerapannya. Terlebih lagi Peneliti meyakini bahwa Tersangka maupun Pelaku kejahatan lainnya juga menyadari tentang hukum yang berlaku, tetapi tetap melanggarnya karena adanya kepentingan-kepentingan yang mengharuskannya melanggar hukum walaupun sudah tau jika itu dilarang dan menimbulkan sanksi.

5.      Faktor Kebudayaan.

Sebagai hasil karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Variasi kebudayaan yang banyak dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum.

Menurut temuan di lapangan, Peneliti menemukan bahwa faktor kebudayaan tidak ada masalah dalam penerapan hukum di Kabupaten Tabanan.

Dan menurut Teori penegakan hukum menurut Friedman bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada :

1)      Substansi Hukum.

Menurut temuan di lapangan yang dilakukan Peneliti, tidak ada masalah dalam pelaksanaan aturan yang ada di Kabupaten Tabanan. Semua berjalan sesua dengan prosedur yang ada baik asas hukum, norma hukum, bahkan aturan yang tidak tertulis sekalipun.

 

 

2)      Struktur Hukum.

Dalam penelitian ini, Peneliti menemukan tidak ada masalah dalam pelaksanaan tugas intitusi penegak hukum, beserta aparatnya jadi menakup dari kepolisian, kejaksaan, serta kantor pengacara dan pengadilan dengan para hakim.

3)      Budaya Hukum.

Dalam penelitian ini, Peneliti menemukan faktor Budaya hukum ini sangat berpengaruh untuk menghambat dalam  menanggulangi terjadinya pelanggaran hukum, dalam hal ini kasus Pemalsuan dokumen-dokumen milik BKD Kabupaten Tabanan.

Peneliti berasumsi bahwa budaya masyarakat yang percaya “jika tidak ada uang, maka tidak akan mendapat pekerjaan yang diinginkan” akan terus menjadi penghambat dalam penanggulangan masalah hukum di Kota Tabanan. Karena hal ini akan menyebabkan banyak timbulnya oknum-oknum yang berniat buruk untuk menipu dengan segala cara, dalam hal ini menawarkan pekerjaan yang diinginkan dengan membayar sejumlah uang guna mendapatkannya.

Jadi kesimpulannya dari semua teori yang digunakan dalam membahas rumusan masalah nomor 3 (tiga) ini yang paling mendekati tentang masalah yang di bahas dalam penelitian ini adalah Faktor Budaya Hukum dari Friedman. Karena menurut peneliti, kejahatan tidak akan terjadi jika tidak ada hal yang membuat kesempatan kejahatan itu terjadi.

 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

 

5.1. Kesimpulan.

Dari rumusan masalah, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang telah diuraikan di
atas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :

1.    Peranan korban dalam terjadinya kejahatan penipuan dalam penerimaan pegawai kontrak di Kabupaten Tabanan yaitu ketidakpercayaan korban pada pemerintah dalam melakukan seleksi penerimaan pegawai secara bersih, sikap para korban yang tidak percaya pada kemampuan diri sendiri atau malas belajar, serta sikap terlalu mudah percaya korban akan imingiming lulus seleksi penerimaan menjadi pegawai kontrak di Kabupaten Tabanan.

2.    Dari penanggulangan yang sudah di lakukan di Kabupaten Tabanan sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Penulis, sudah termasuk baik. Karena dengan menanamkan rasa percaya diri pada diri sendiri Penulis yakin, tidak ada pekerjaan yang tidak dapat peroleh. Karena semua berawal dari diri sendiri, jika ingin memperoleh apa yang diinginkan maka kita harus berusaha untuk mendapatkannya

3.     

 

 

 

5.2.  Saran.

Adapun saran yang Peneliti dapat berikan sehubungan dengan
penulisan skiripsi ini sebagai berikut :

1.      Diharapkan masyarakat lebih teliti dalam memperoleh informasi, dalam hal ini tentang lowongan pekerjaan sebagai pegawai kontrak di Pemda yang mengharuskan menyerahkan uang sebagai persyaratan untuk diterima sebagai tenaga kerja.

2.      Diharapkan kita sebagai masyarakat yang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, janganlah kita cepat menyerah dan mencari cara yang salah untuk mendapatkannya, karena jika terjadi sesuatu yang hal seperti halnya yang dibahas dalam skripsi ini, selain pihak Tersangka, separuhnya adalah kesalahan kita sebagai masyarakat. Karena jika dari awal kita tidak percaya dengan istilah “segala persoalan dapat diselesaikan dengan menggunakan uang” kita tidak akan tertipu oleh kasus pemalsuan itu.

3.      Diharapkan pihak pemerintah dalam hal ini sekolah maupun instansi pemerintah lainnya yang mememiliki pegawai kontrak/pegawai honorer untuk mengecek setiap nomor registrasi yang tertera dalam SK yang di serahkan oleh pegawainya.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta.

_________.  2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

 _________. 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

_________. 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan,P.T. Grafindo, Persada Jakarta.Atmasasmita.

Romli. 1992. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Mandar Maju.

Bemmelen, J.M. Van, 1986, Hukum Pidana 2 Hukum Penitensier, Binacipta, Bandung.

Barda Nawawi Arief. 1999. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang : Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro.

Chazawi, Adami. 2008. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batasan berlakunya Hukum Pidana)
Bag 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Gunawan, Imam. 2014. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta:

Bumi Aksara.

Harini, Sri. Dan Kusumawati, Ririen. 2007. Metode Statistika. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.

Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Bina Aksara. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana. P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung Muladi. 2002 Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

Mulyadi, Lilik. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan
Viktimologi
. Denpasar: Djambatan.

Musanef. 1984. Manajemen Kepegawaian. Gunung agung: Jakarta.

Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosda

Karya.

Neumann,  W.L.2003.  Social  Research  Methods:  Qualitative  and  Quantitative

Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Surabaya.

Rangkuti, Freddy. 2003. Measuring Customer Satisfaction: Gaining

CustomerRelationship Strategy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Riduan. 2007. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet 10, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sugiyono.   2010.   Metode   Penelitian   Pendidikan   (Pendekatan   Kuantitatif,

Kualitatif dan R & D). Bandung: Alfabeta.

Soesilo.R., 1980. Kitab Undang-Undang Hukun Pidana (KUHP) Dengan Penjelasan, Polteian, Bogor.

Sugiyono, 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta.

Wiryono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung.

Widjaja, A.W. 2006. Administrasi kepegawaian. Rajawali: Jakarta.

 

Panduan Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan Penjelasan serta Komentar-Komentarnya. Terbitan Politeia, Bogor. Karya R. Soesilo/ 1980.

Kitab Undang-Undang KUHP dan Penjelasannya. Terbitan Usaha Nasional Surabaya. Karya R. Sugandhi, SH / 1980.

Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya. Terbitan Alumni Ahaem, Petehaem Jakarta. Karya SR. Sianturl, SH. / 1989.

 

Kajian Pustaka :

Berkas Perkara atas nama I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi, dalam perkara kasus Pemalsuan dan Penipuan berkedok Penerimaan Pegawai Kontrak / Pegawai Honorer di Pemda Kabupaten Tabanan.

Andi Junaedi Zadsaly M. (NIM: B111 08 996) dari Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, yang di susun pada tahun 2014, dengan judul “Tinjauan Viktimologis Terhadap Kejahatan Penipuan Dalam Penerimaan Pegawai Negeri Sipil Di Kota Makassar”.

Lukkas Syahputra Burutu, dari Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan. penelitiannya berjudul “Tindak Pidana Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Kitab Pidana (Study Kasus Perkara No. 3175/Pid. B/2003 PN-Medan)”.

 

Regulasi:

Undang-Undang No.8 Tahun 1974 (pasal ini tidak diubah oleh UU No.43
Tahun 1999) Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
.

Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.8 Tahun 1974.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 65, Kitab Undang-Undang KUHPidana Bab XII tentang Memalsukan Surat-Surat.

Pasal 378 Kitab Undang-Undang KUHPidana Bab XII tentang Penipuan.

 

Website :

http://irwansyah-hukum.blogspot.co.id/2012/08/analisis-hukum-terhadap-tindak-pidana_4343.html.

https://www.academia.edu/5742264/Skripsi_Tinjauan_Yuridis_Terhadap_Tindak_Pidana_Penipuan.

http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/01/contoh-proposal-skripsi-hukum-pidana.html.

https://mafiadoc.com/proposal-skripsi-kupas-penipuan-via-sms-dan-facebook_5980c2121723ddf256290caf.html.

http://jasaprima134.blogspot.co.id/2015/05/tinjauan-kriminologi-terhadap-penipuan_10.html.

http://gerrytri.blogspot.co.id/2013/06/teknik-pengambilan-sampel-dalam.html.

http://www.kajianpustaka.com/2016/03/pemalsuan-dokumen.html.

www.hukumonline.com.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017