BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dunia sekarang
memasuki era globalisasi yakni zaman dimana kecanggihan ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini semakin berkembang dengan pesat, dewasa ini banyak sekali
terjadi tindak pidana
pemalsuan dengan berbagai macam bentuk yang menunjuk pada semakin berkembangnya
modus operasi dari pelaku kejahatan pemalsuan yang semakin kompleks. Kejahatan
pemalsuan adalah kejahatan yang mana di dalamnya mengandung sistem
ketidakbenaran atau palsu sesuatu (obyek), yang sesuatu itu tampak dari luar
seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang
sebenarnya.
Pemalsuan
terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak
pidana yang telah diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP). Memang pemalsuan sendiri akan mengakibatkan seseorang atau
pihak yang merasa dirugikan. Hal inilah yang membuat pemalsuan ini diatur
dan termasuk suatu tindakan pidana. Beberapa ketentuan yang termuat
dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pemalsuan terdiri dari
beberapa jenis yaitu sumpah palsu dan keterangan palsu, pemalsuan mata
uang, uang kertas Negara dan uang kertas bank, pemalsuan surat dan juga
pemalsuan terhadap materai dan merek.
Pemalsuan adalah
perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHP pada Bab XII
tentang Pemalsuan Surat-surat. Bunyi
selengkapnya Pasal 263 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu
hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang
boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud
akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipergunakan, maka kalau mempergunakan
dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan
hukuman penjara selama-lamanya enam tahun”.
Kejahatan mengenai
pemalsuan adalah suatu tindak kejahatan yang
di dalamnya mengandung unsur suatu keadaan ketidakbenaran atau palsu atas
suatu objek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya
padahal sebenarnya bertentangan dengan yang sebenarnya, sedangkan
perbuatan memalsukan adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara
bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat
sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat
aslinya.
Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan dalam kelompok
kejahatan
penipuan sehingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan. Perbuatan
pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang
memberikan gambaran tentang sesuatu gambaran atas barang seakan-akan asli atau
benar, sedangkan sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak
dimilikinya, karena gambaran data ini orang lain terpedaya dan mempercaya
bahwa keadaan yang digambarkan atas barang/surat/data tersebut adalah benar
atau asli. Pemalsuan terhadap tulisan/data terjadi apabila isinya atau datanya
tidak benar.
Mengenai cara
adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk
mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian
sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.
1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan:
“Unsur
pokok delik penipuan (Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang
telah digunakan oleh si pelaku delik untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan
sesuatu barang”.
Kehidupan masyarakat di kota-kota besar membuat
banyak kebutuhan yang harus di penuhi, dengan berbekal pendidikan rata-rata
Sekolah Menengah Atas sulit untuk mendapatkan pekerjaan, terlebih lagi syarat
pertama untuk menjadi pegawai negeri adalah Strata 1 (Sarjana S1) membuat
banyak peminatnya masih belum memiliki pekerjaan, munculnya sistem pegawai
kontrak di PEMDA Kabupaten Tabanan atau yang sering disebut pegawai honorer
mengakibatkan banyaknya peminat yang berbondong-bondong untuk menjadi salah
satu pegawai kontrak, hal ini pula membuat banyaknya oknum-oknum petugas untuk
melakukan kejahatan, salah satunya yang terjadi di Kabupaten Tabanan, Bali. Dengan
latar belakang tentang lowongan pegawai kontrak, pelaku kejahatan yang bernama I Dewa Made Adnyana, Pelaku mengaku
mempunyai koneksi untuk mempermudah mendapatkan salah satu pekerjaan sebagai pegawai
honorer di Kabupaten Tabanan. Ia membuat Surat Perjanjian Kerja dan SK Pegawai
Kontrak Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Tabanan dengan cap stample dan tanda
tangan palsu guna melancarkan aksinya.
Hal ini berawal pada bulan September 2015 bertempat di
Br. Tiyinggading, Desa Tiyinggading, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten
Tabanan dan di Banjar Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.
Tersangka I Dewa Made Adnyana
alias Dewa Jokowi dengan sengaja hendak menguntungkan
diri sendiri dengan melawan hak memakai keadaan palsu, kata-kata bohong dan
memalsukan surat supaya korban atas nama Ni Putu Susi Sukmayanti menyerahkan
uang sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) yang dilakukan oleh
tersangka I Dewa Made Adnyana
yang terjadi kisaran bulan September 2015 bertempat disebuah rumah (rumah
sewaan tersangka I Dewa Made Adnyana)
di Banjar Dauh Pala, Desa Dauh Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas,
peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut permasalahan pemalsuan serta
penipuan yang mengatasnamakan Tenaga Kerja Kontrak/Pegawai Honorer yang dirumuskan
menjadi sebuah tema dengan judul “Tindak
Pidana Pemalsuan
Dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Tabanan Kepada Calon Pegawai Kontrak Di Pemda
Kabupaten Tabanan dalam Perspektif
Kriminologi”.
1.2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka Peneliti
merumuskan permasalahan sebagai berikut, yaitu:
1)
Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab
terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah
Kabupaten Tabanan?
2)
Bagaimanakah proses upaya penanggulangan
terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah
Kabupaten Tabanan?
3)
Apakah yang menjadi penghambat dalam upaya
menanggulangi terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan
Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan
Umum
Adapun
tujuan umum yang Peneliti
cari dari penelitian ini, antara lain :
1. Untuk
mengetahui dan mengkaji Tindak
Pidana Pemalsuan
Dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Tabanan Kepada Calon Pegawai Kontrak Di Pemda
Kabupaten Tabanan dalam
Perspektif Kriminologi.
2.
Untuk
mengetahui dan menganalisa proses
penanggulangan dan faktor-faktor penghambat terjadinya penanggulangan Tindak
Pidana Pemalsuan
Dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Tabanan Kepada Calon Pegawai Kontrak Di
Pemda Kabupaten Tabanan dalam
Perspektif Kriminologi.
1.3.2.
Tujuan
Khusus
Adapun tujuan khusus yang Peneliti
cara dari penelitian ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui
latar belakang yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kasus pemalsuan
terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan.
2. Untuk mengetahui apa saja upaya
penanggulangan terjadinya kasus pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan
Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan di kemudian hari.
3. Untuk mengetahui
kendala yang ada dalam menanggulangi terjadinya kasus pemalsuan terhadap
dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.
Manfaat
Teoritis
Adapun manfaat teoritis yang Peneliti
dapatkan dari penyusunan laporan ini, antara lain :
1.
Merupakan salah satu sarana bagi Peneliti untuk mengumpulkan data sebagai
bahan penyusunan Skripsi untuk melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar
kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Universitas Hindu Indonesia, Fakultas Ilmu
Agama dan Kebudayaan, program studi Hukum Agama Hindu.
2. Untuk memberi sumbangan pengetahuan
dan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum
pada khususnya.
3. Untuk mendalami teori-teori yang
telah Peneliti peroleh selama menjalani kuliah
strata satu di Universitas Hindu Indonesia, Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan,
program studi Hukum Agama Hindu.
4. Sebagai acuan untuk adanya
penelitian-penelitian baru tentang kasus penipuan dan pemalsuan.
1.4.2.
Manfaat
Praktis
Adapun manfaat praktis yang Peneliti
dapatkan dari penyusunan laporan ini, antara lain :
1. Dengan penelitian hukum ini
diharapkan dapat meningkatkan, mengembangkan dan menambah wawasan serta kemampuan Peneliti dalam bidang
hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi penegak hukum maupun untuk
praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat
ditegakkan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak
yang terkait dengan masalah yang diteliti.
3. Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan sehingga dapat
memperkaya dan menambah wawasan.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1. Kajian Pustaka
Kajian pustaka
merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui
sejauh mana penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti atau Peneliti
sebelumnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Untuk lebih jelasnya
akan dipaparkan penelitian terdahulu sebagai pembanding dengan penelitian ini,
yakni sebagai berikut.
Penelitian yang
terdahulu yang penulis gunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian
yang pertama yang Peneliti jadikan bahan acuan dalam penelitian ini adalah
hasil penelitian dari Andi Junaedi
Zadsaly M. (NIM: B.111.08.996) dari Bagian Hukum Pidana, Fakultas
Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, yang di susun pada tahun 2014, dengan
judul. “Tinjauan
Viktimologis Terhadap Kejahatan Penipuan Dalam Penerimaan Pegawai Negeri Sipil
Di Kota Makassar”.
Dalam penelitiannya saudara Andi Junardi Zadsaly M. dimaksudkan untuk dapat
mengetahui sejauhmana peran korban sebagai salah satu penyebab timbulnya atau
terjadinya tindak pidana penipuan dalam penerimaan CPNS. Serta, untuk
mengetahui perlindungan hukum apa yang dapat diberikan kepada korban sebagai
pihak yang mengalami kerugian.
Perlu di ketahui
Viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab
timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah
manusia suatu kenyataan sosial (Rena Yulia, 2010:43).
Dengan
penelitiannya yang terpaku terhadap Korban dari kejahatan penipuan itu, ia
mendapat kesimpulan yakni.
1) Peranan
korban dalam terjadinya kejahatan penipuan dalam penerimaan pegawai negeri
sipil di Kota Makassar yaitu ketidakpercayaan korban pada pemerintah dalam
melakukan seleksi penerimaan pegawai secara bersih, sikap para korban
yang tidak percaya pada kemampuan diri sendiri atau malas
belajar, serta sikap terlalu mudah percaya korban akan iming-iming lulus
seleksi CPNS.
2) Upaya
perlindungan hukum bagi korban penipuan dalam
penerimaan pegawai negeri terdiri dari dua bentuk yang pertama
yaitu upaya preventif, upaya yang dilakukan sebelum terjadinya
kejahatan penipuan yaitu berupa sosialisasi atau pemberitaan
diberbagai media cetak maupun visual dan melakukan
koordinasi dengan instansi terkait yang melakukan prosese
seleksi CPNS. Upaya yang kedua adalah upaya represif, yaitu
tindakan yang dilakukan pihak kepolisian setelah terjadinya
tindak pidana dengan menindak lanjuti setiap laporan penipuan
yang terjadi dan memberikan sanksi yang tegas kepada setiap
pelaku tindak pidana penipuan seleksi CPNS.
Menurut Peneliti, penelitian saudara Andi Junaedi Zadsaly M., sangat berperan
penting dalam penelitian yang peneliti lakukan walaupun berbeda objek dan
tempat terjadinya kejadian. Hal ini di karenakan kasus yang diangkat oleh
saudara Andi Junaedi Zadsaly M. hampir sama dengan yang Peneliti angkat, tetapi penulis tidak bermaksud
menjiplak ataupun meniru seluruhnya hasil penelitian saudara Andi Junaedi Zadsaly M. dengan berbekal informasi dari narasumber dan pengetahun yang
berkembang sejak penelitian terakhir, Peneliti ingin memperdalam judul penelitian yang
peneliti angkat dalam penelitian ini.
2.
Selanjutanya seorang Mahasiswa Sumatera
Utara, yakni saudara Lukkas Syahputra Burutu, dari Fakultas Hukum Sumatera
Utara Medan. Dimana penelitiannya berjudul “Tindak
Pidana Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Kitab
Pidana (Study Kasus Perkara No. 3175/Pid. B/2003 PN-Medan)”. Dalam
penelitiannya, ia mengambil sudut pandang dari segi Normatif, dimana dia
mempelajari perkara tentang tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pria yang
sudah mempunyai seorang istri, dan kemudian ia memalsukan identitas untuk
menikah lagi dengan wanita lain.
Dalam
penelitiannya Lukkas mengkaji masalah studi kasus perkara di Pengadilan Negeri
Medan, Yakni Studi Kasus Perkara No. 3175/Pid. B/2003 PN-Medan. Adapun hasil
yang didapatkan dari penelitian tersebut, ditemukannya faktor-faktor penyebab
kejahatan pemalsuan ini, diantaranya adalah ketidak disiplinan hukum. Selain
itu Lukkas memaparkan tentang sanksi-sanksi serta dakwaan dan pertimbangan
hakim dalam memberikan putusan dalam perkara Pemalsuan dan Penipuan, yakni
termuan dalam pasal 266 KUHPidana.
Sedangkan
penelitian yang Peneliti lakukan adalah meneliti tentang pemalsuan terhadap
Surat Ketenagakerjaan (SK) Pegawai Kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan. Walaupun
dalam penelitian ini mempunyai unsur perbedaan dalam subjek maupun objek yang
diteliti tetapi dengan hasil temuan yang ditemukan oleh saudara Lukkas dapat
membantu Peneliti untuk menambah wawasan dalam memecahkan rumusan-rumusan
masalah yang Peneliti rumuskan.
Sebagaimana yang
peneliti jelaskan di muka bahwa dengan adanya penelitian terdahulu ini,
dimaksudkan untuk memperjelas posisi penelitian yang Peneliti lakukan. Dan
penelitian yang Peneliti lakukan ini mempunyak titik perbedaan dengan
penelitian terdahulu. Meskipun demikian, Peneliti mengakui tentang teori-teori
yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai persamaan beberapa Konsep dan
teori-teori dari penelian-penelitian terdahulu.
2.2. Konsep
Dalam suatu penelitian perlu
penegasan batasan pengertian operasional dari setiap istilah atau konsep yang
terdapat baik dalam judul penelitian maupun rumusan masalah penelitian.
Pemberian definisi atau batasan operasional suatu istilah berguna sebagai
sarana komunikasi agar tidak terjadi salah tafsir dan juga mempermudah dalam
proses penelitian. Beberapa deskripsi konsep yang terkait dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Adapun konsep-konsep yang akan di operasionalkan
dalam penelitian ini adalah :
2.2.1.
Tindak Pidana
Berbagai literatur
dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang
berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa
Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam
berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang digunakan untuk
menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana Indonesia antara
lain : tindak pidana, delict,
dan perbuatan pidana. Istilah tindak pidana digunakan dalam Undang-undang
Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi.
Rusli Efendy (1983 :
1) mengemukakan bahwa peristiwa tindak pidana, yaitu
“perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana” menjelaskan : “perkataan peristiwa pidana
haruslah dijadikan serta diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah
dipisahkan satu sama lainnya. Sebab kalau dipakai kata peristiwa saja, hal ini
dapat mempunyai arti yg lain yg umpamanya peristiwa alamiah”.
Secara doktrinal,
dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang perbuatan pidana (Sudarto 1975
: 31-32),yaitu :
1.
Pandangan Monistis
“Pandangan monistis adalah suatu
pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan”.
Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam
pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang
dilarang (criminal act) dan
pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal
responbility).
Menurut D. Simons (Lamintang 1997
: 185) tindak pidana adalah :
”tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.
Dengan batasan seperti ini menurut Simons (Tongat 2008 : 105), untuk adanya
suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1.
Perbuatan manusia,
baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak
berbuat).
2.
Diancam dengan pidana.
3.
Melawan hukum.
4.
Dilakukan dengan
kesalahan.
5.
Oleh orang yang mampu
bertanggungjawab.
Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti
suatu peristiwa pidana, dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monistis
sebagai.
“kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, dimana bersifat melawan
hukum, yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab”.
Andi Zainal Abidin
(1987 : 250) menyatakan bahwa kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi
dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai) dan berkomentar sebagai berikut :
“simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yg meliputi perbuatan serta sifat yang melawan
hukum, perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan mencakup kesengajaan,kealpaan dan
kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab”.
Menurut J. Bauman (Sudarto
1975:31-32),
“perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan”.
Menurut Wiryono Prodjodikoro
(Tongat 2008 :106),
“tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
pidana”.
Menurut Prodjodikoro (1986:55)
”yang termasuk berpandangan monistis menerjemahkan strafbaarfeit ke dalam
tindak pidana dengan menyatakan bahwa, “suatu perbuatan yang pada pelakunya
dapat dikenakan hukuman dan pelaku tersebut termasuk subyek tindak pidana”.
Van hammel (Andi
Zainal Abidin 1987 : 250) yang berpandangan monistis merumuskan strafbaarfeit bahwa,
“perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang melawan hukum,
strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela
karena kesalahan (en dan schould to wijten)”.
2. Pandangan
Dualistis
Berbeda dengan
pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat
pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana
dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam pengertian
tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik
criminal act maupun criminal
responbility, sedangkan menurut pandangan dualistis (Tongat 2008: 106),
yaitu :
“dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana.
Oleh karena itu untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi
tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan/ pertanggungjawaban
pidana”.
Batasan yang
dikemukakan tentang tindak pidana oleh para sarjana yang menganut
pandangan dualistis yaitu sebagai berikut :
Menurut Pompe (Sudarto 1975 :
31-32),
“dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit (tindakan, pen),
yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat melawan hukum
dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”.
Menurut Moeljatno (Sudarto 1975 :
31-32),
“perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa
melanggar larangan tersebut”.
Dengan penjelasan
seperti tersebut. Maka untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi
unsur (Tongat 2008: 107) sebagai berikut:
a.
Adanya perbuatan
(manusia).
b.
Yang memenuhi rumusan
dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya
pasal 1 (KUHPidana).
c.
Bersifat melawan
hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran
sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).
Moeljatno (1983 : 54)
yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit
dengan perbuatan pidana dan menguraikannya sebagai,
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut”
Berdasarkan
defenisi/pengertian perbuatan/tindak pidana yang diberikan tersebut di atas,
bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal
responbility).
Namun demikian,
Moeljatno (Soedarto 1975 : 31-32) juga menegaskan, bahwa:
“untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak
pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu
bertanggungjawab atau tidak”.
2.2.2. Pemalsuan Dokumen
Tindak pidana berupa
pemalsuan suatu surat dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(“KUHP”) yang berbunyi:
(1) Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama,
barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan
seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, di
dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan
bahwa:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1.
Akta-akta
otentik.
2.
Surat hutang
atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu
lembaga umum.
3.
Surat sero
atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan,
perseroan atau maskapai.
4.
Talon, tanda
bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3,
atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu.
5.
Surat kredit
atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama
barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang
isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195)
mengatakan bahwa:
“yang diartikan dengan surat dalam bab ini
adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis
memakai mesin tik, dan lain-lainnya”.
Surat yang
dipalsukan itu harus surat yang:
1. Dapat
menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan
lain-lain).
2. Dapat
menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian
jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya).
3. Dapat
menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu).
4. Surat
yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa (misalnya
surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat
angkutan, obligasi, dan lain-lain).
Adapun
bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:
1.
Membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya
(tidak benar).
2.
Memalsu surat : mengubah surat sedemikian rupa sehingga
isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak
senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara
mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.
3.
Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu
surat.
4.
Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak
(misalnya foto dalam ijazah sekolah).
Unsur-unsur
pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas adalah: (Ibid, hal. 196)
1. Pada
waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh
orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
2. Penggunaannya
harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian
itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup.
3. Yang
dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja
menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu
harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia
tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
4. Sudah
dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang
harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana
surat tersebut harus dibutuhkan.
5. Dalam
hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu
harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa
tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman
hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik.
Surat otentik.
“menurut
Soesilo adalah surat yang dibuat menurut
bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pegawai umum
seperti notaris (hal. 197).”
2.2.3. Badan Ketenagakerjaan Daerah
Badan Kepegawaian Daerah yang
selanjutnya disingkat BKD
adalah perangkat daerah yang merupakan unsur lembaga
teknis daerah
pendukung tugas Walikota. Dalam kedudukannya, BKD dipimpin oleh
kepala daerah yang berada di bawah dan
bertanggungjawab langsung kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah yang
bertugas menyelenggarakan kewenangan di bidang perencanaan dan pengelolaan
administrasi pegawai, pembinaan pegawai serta pendidikan dan pelatihan pegawai.
Di Kabupaten Tabanan Badan Kepegawaian Daerah merupakan
salah satu lembaga teknis daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Tabanan No. 3 Tahun 2008 yang merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah yang dipimpin oleh seorang
kepala Badan, bertanggunngjawab pada Bupati melalui sekretaris daerah. Adapun tugasnya adalah
melaksanakan urusan pemerintahan dalam bidang kepegawaian.
Dalam
melaksanakan tugas Badan Kepegawaian Daerah selaku lembaga teknis daerah
memiliki fungsi :
·
Perumusan
kebijaksanaan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya.
·
Penyelenggaraan
pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya.
·
Pembinaan
dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya.
·
Pelaksana
tugas lain yang dilaksanakan oleh Bupati sesuai dengan bidang tugasnya
Sesuai
dengan Kepres Nomor 159 Tahun 2000, Badan Kepegawaian Daerah memiliki tugas
pokok membantu Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dalam melaksanakan manajemen
Pegawai Negeri Sipil Daerah. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Bali memiliki fungsi:
·
Penyiapan
dan penyusunan peraturan perundang-undangan daerah di bidang kepegawaian.
·
Perencanaan
dan pengembangan kepegawaian daerah.
·
Penyiapan
kebijakan teknis pengembangan kepegawaian daerah.
·
Penyiapan
pelaksanaan pengangkatan, kenaikan pangkat, pemindahan dan pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil Daerah.
·
Pelayanan
administrasi kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, pemberhentian dalam
dan dari jabatan struktural dan fungsional.
·
Penyiapan
dan penetapan pensiun Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD).
·
Penyiapan
dan penetapan gaji, tunjangan, dan kesejahteraan PNSD.
·
Penyelenggaraan
administrasi PNSD.
·
Pengelolaan
sistem informasi kepegawaian daerah.
·
Penyampaian
informasi kepegawaian daerah kepada Badan Kepegawaian Negara.
2.2.4.
Karyawan Kontrak Pemda / Pegawai Honorer
Indonesia adalah Negara hukum sehingga segala
tindakan pemerintah harus berdasarkan dan diatur oleh hukum. Pada awalnya
masalah kepegawaian, pemerintah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang kini telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Keberadaan pengelolaan kepegawaian ini secara
filosofis adalah untuk melayani masyarakat dan meningkatkan pembangunan Negara,
akan tetapi pemerintah dalam memenuhi pelayanan masyarakat secara menyeluruh
sangatlah diakui keterbatasannya sehingga pemerintah memberikan kebijakan
khusus dalam mengantisipasi kekurangannya. Salah satu contohnya adalah akibat
terbatasnya jumlah Pegawai Negeri Sipil di beberapa instansi pemerintahan maka
pemerintah memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang untuk
memperbantukan
masyarakat yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi Pegawai Tidak Tetap
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Menurut Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian menjelaskan bahwa di samping Pegawai Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak
tetap. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar untuk di angkatnya tenaga honorer
yang nantinya akan di pekerjakan di instansi pemerintah.
Pegawai tidak tetap menurut Penjelasan Atas
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah : Pegawai yang diangkat untuk
jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang
bersifat teknis professional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan organisasi. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil, menyatakan tenaga honorer adalah :
“Seseorang yang
diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan
untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang
penghasilannya menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Penggunaan istilah antara Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil secara tersurat
memang berbeda, akan tetapi secara tersirat terdapat persamaan antara tenaga
honorer dengan pegawai tidak tetap yaitu sama-sama bukan berstatus sebagai
pegawai negeri/pegawai tetap dan sama-sama mendapatkan honor atas pengabdian
kepada Negara atas tenaga yang telah diberikan tanpa mendapatkan tunjangan
lainnya seperti yang didapat oleh seorang PNS.
Sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
maka istilah tenaga honorer semakin berkembang menjadi suatu paradigma baru di
lingkungan instansi pemerintahan, selain itu keberadaan tenaga honorer ini
merupakan salah satu yang cukup diistimewakan keberadaannya. Walaupun pekerjaan
yang dilakukan hampir sama dengan PNS, akan tetapi yang menjadi perbedaannya
yaitu seorang tenaga honorer tidak ada yang menempati jabatan struktural
penting dalam instansi pemerintahan. Hal ini karena sifat dari seorang tenaga
honorer tersebut hanya diperbantukan yang ditugaskan langsung melalui Surat Keputusan
Menteri ataupun Bupati/Walikota.
Selain tenaga honorer yang tenaganya dibutuhkan oleh
instansi pemerintah, istilah tenaga honorer yang ada saat ini juga identik
dengan tenaga yang berasal dari :
1. Tenaga
guru disebut GBS (Guru Bantu Sementara) di lingkungan Departemen Pendidikan
Nasional dan Departemen Agama melalui SK dan ketetapan, dengan gaji langsung
dari Menteri terkait melalui dana APBN.
2. Tenaga
Teknis dan Fungsional di lingkungan Departemen Kesehatan disebut PTT (Pegawai
Tidak Tetap) seperti Tenaga Dokter, Perawat dan Tenaga Teknis Kesehatan.
Mengenai dasar pelaksanaan tugas langsung melalui SK Menteri ataupun SK Bupati/
Walikota dengan gaji didanai oleh APBN/APBD.
3. Tenaga
Fungsional di lingkungan Departemen Pertanian disebut PTT (Pegawai Tidak Tetap)
seperti Penyuluh Pertanian dengan dasar pelaksanaan tugas langsung melalui SK
Menteri dengan gaji didanai oleh APBN.
Jika kita lihat dalam Penjelasan Umum Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil, jenis tenaga honorer ini dapat dibedakan menjadi 2
yaitu tenaga honorer katagori K1 dan tenaga honorer katagori K2. Adapun tenaga
honorer yang dimaksud terdiri dari :
a. Katagori
I
Tenaga
honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria diangkat
oleh pejabat yang berwenang bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling
sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih
bekerja secara terus menerus; berusia paling rendah 19 (Sembilan belas) tahun
dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari
2006.
b. Katagori
II
Tenaga
honorer yang penghasilannya dibiayai bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria diangkat
oleh pejabat yang berwenang bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling
sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih
bekerja secara terus menerus; berusia paling rendah 19 (Sembilan belas) tahun
dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari
2006.
Perbedaan
mendasar dari tenaga honorer katagori I dan katagori II adalah dari sumber
penghasilan mereka, yaitu baik yang berasal dari biaya APBN/ APBD dan bukan
APBN/APBD.
Menurut pemaparan diatas dapat di simpulkan bahwa
pengertian Pegawai Kontrak Pemda/Pegawai honorer adalah Seseorang yang diangkat
oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan dengan
kriteria sesuai peraturan pengangkatan pegawai honorer untuk melaksanakan tugas
tertentu pada instansi pemerintah dimana digaji oleh APBN atau APBD
2.2.5. Kriminologi
A. Pengertian
Kriminologi
Analisis
sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan merupakan bagian tertentu dari kajian
kriminologi, oleh sebab itu pengertian kriminologi diperlukan untuk
mengantarkan penulis kepada variabel-variabel penyebab terjadinya kejahatan.
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama
kriminologi yang ditemukan oleh :
P.Topinard
(P.Topinard, 1830-1911) seorang ahli antropologi Prancis,
secara harfiah berasal dari kata “Crimen” yang berarti kejahatan atau
penjahat, dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi
dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.
Beberapa
Sarjana memberikan defenisi berbeda mengenai kriminologi ini, antara lain:
Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang
bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon).
Menurut Sutherland kriminologi mencakup proses-proses perbuatan hukum,
pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.
Paul
Mudigno Mulyono (Topo Santoso 2003:11). Memberikan definisi
“kriminologi
sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia”.
Kriminologi
secara umum sebagaimana diungkap oleh Abdulsyani, (1987:6) bahwa ilmu
pengetahuan yang mempelajari kejahatan, dimana kriminologi berasal dari kata “Crime”
dan “Logos”. Crime artinya
kejahatan sedangkan Logos artinya
ilmu pengetahuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Abdulsyani tersebut
bahwa kriminologi mengandung pengertian yang sangat luas sehingga tidak mudah
ditangkap secara jelas. Dikatakan demikian karena dalam mempelejari kejahatan
tidak terlepas dari berbagai pengaruh dan sudut pandang, ada yang memandang
atau mempelajari kriminologi itu dari suatu latar belakang timbulnya kejahatan
dan adapula yang memandang kriminologi dari sudut perilaku yang menyimpang dari
norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
Semuanya ini sekaligus juga tidak dapat terlepas dari campur tangan
berbagai disiplin ilmu terutama yang berkaitan dengan obyek studinya.
Kemudian
apabila kriminologi ditinjau dari segi etimologis,
terlebih dahulu dapat diklasifikasikan bahwa kata kriminologi terdiri atas dua
suku kata, yakni “Crimen” artinya kejahatan dan “Logos” berarti
ilmu pengetahuan, dengan demikian maka kriminologi berarti ilmu tentang
kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu penjelasan lebih lanjut
agar tidak salah dan keliru memahami tentang kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan. Kriminologi yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari penjahat
dan kejahatan serta mempelajari tentang cara-cara penjahat melakukan kejahatan,
kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan dan berupaya untuk mencari dan menemukan konsepsi-konsepsi
yang dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan. Pengertian tersebut
diatas menunjukkan bahwa ternyata kriminologi mengandung arti yang sangat luas.
Dikatakan demikian karena dalam mempelajari kejahatan, tidak lepas dari
berbagai pengaruh dan sudut pandang, ada yang memandang kriminologis dari sudut
perilaku yang menyimpang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kesemuanya
ini sekaligus tidak dapat terlepas dari berbagai disiplin terutama yang
berkaitan objek studinya. Menurut Soedjono Dirdjosiswono(1986:1), mengemukakan
bahwa,
“Kriminologi adalah “ilmu pengetahuan dari
berbagai ilmu yang mempelajari kejahatan-kejahatan sebagai manusia”.
Demikian pula, Moeljatno(1982:6)
mengemukakan bahwa :
“Kriminologi
merupakan ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang
orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu”.
Sedangkan Romli
Atmasasmita (1988:41) mengemukakan bahwa :
“Bagi mereka yang menghendaki batasan dari
arti sempit dari pada kriminologi, di dalam mempelajari bentuk tertentu dari
tingkah laku kriminal, di dasarkan agar selalu berpegang pada batasan dalam
arti yuridis”.
Dengan demikian
di harapkan tidak hanya keseragaman dalam mempelajari objek kriminologi dalam
batasan yuridis yang berbeda-beda, tetapi juga di harapkan objek kriminologi
itu berkembang lebih mudah tanpa terikat pada perumusan yuridis.
Berdasarkan
pandangan dari beberapa pakar hukum tentang
kriminologi tersebut diatas, nampak mempunyai persamaan satu sama
lainnya, walaupun variasi bahasa dalam mengungkapkan berbeda-beda, tetapi
perbedaan itu tidak di pengaruhi hakekat kriminologi sebagai suatu Paul
Moedigdo Meoliono (Topo Santoso, 2003:11) memberikan definisi kriminologi :
“Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri
sendiri, sedangkan masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan gejala
social”.
Karena
kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat dilakukan
manusia. Agar makna kejahatan jelas, perlu memahami eksistensi manusia.
Wolffgang
Savita dan Jhonston dalam The Sosiology of Crime and delinquency (Topo
Santoso, 2003:12) memberikan definisi kriminologi sebagai berikut :
“Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan
tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh penjahat sedangkan pengertian
mengenai gejala kesehatan merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisa
secara ilmiah keterangan-keterangan dari kejahatan, pelaku kejahatan, serta
reaksi masyarakat terhadap keduanya”.
Menurut
Michael dan Adler ( Topo Santoso, 2003:12)
mengemukakan bahwa definisi kriminologi adalah :
“Keseluruhan
keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari
penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai pada perlakuan
secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh
anggota masyarakat”.
Sedangkan
menurut Wold (Abd Salam, 2007:5 ) merumuskan definisi kriminologi bahwa :
“Sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan
jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam
perilaku jahat dan perbuatan tercela itu”.
Berdasarkan
rumusan para ahli diatas, Penulis
dapat melihat
penyisipan kata kriminologi sebagai ilmu-menyelidiki-mempelajari. Selain itu,
yang menjadi perhatian dari perumusan kriminologi adalah mengenai pengertian
kejahatan. Jadi kriminologi bertujuan mempelajari kejahatan secara lengkap,
karena kriminologi mempelajari kejahatan, maka sudah selayaknya mempelajari
hak-hak yang berhubungan dengan kejahatan tersebut (etiologi, reaksi sosial).
Penjahat
kejahatan tidak dapat dipisahkan, hanya dapat dibedakan. Menurut Wood (Abd
Salam, 2007:5), bahwa kriminologi secara ilmiah dapat dibagi atas 3 (tiga)
bagian, yaitu :
1. Ilmu
pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai
masalah yuridis yang menjadi objek pembahasan ilmu hukum
pidana dan acara hukum pidana.
2. Ilmu
pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai
masalah antropologi yang menjadi inti pembahasan kriminologi
dalam arti sempit, yaitu sosiologi dan biologi.
3. Ilmu
pengetahuan mempelajari mengenai kejahatan sebagai masalah teknik yang menjadi
pembahasan kriminalistik, seperti ilmu kedokteran forensik, limu alam forensik,
dan ilmu kimia
forensik.
Sepeti
dikatakan bahwa kriminologi membahas masalah kejahatan, maka timbul pertanyaan
sejauh manakah suatu tindakan dapat di sebutkan kejahatan, secara formal
kejahatan dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh negara diberi
pidana (Misdaad is een emstige anti sociale handeling, seaw tegen de staat
bewust reageer). Dalam hal pemberian pidana di maksudkan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu adalah ketertiban masyarakat dan
masyarakat menjadi resah. Terkadang tindakan tidak sesui dengan tuntutan
masyarakat, yang di mana masyarakat bersifat dinamis, maka tindakanpun harus
dinamis sesuai dengan irama perubahan masyarakat. Ketidaksesuian tersebut
dipengaruhi oleh faktor waktu dan tempat. Masyarakat menilai dari segi
hukum bahwa sesuatu tindakan merupakan kejahatan sedang dari segi
sosiologi (pergaulan) bukan kejahatan. Inilah yang disebut kejahatan
yuridis. Sebaliknya bisa terjadi suatu tindakan dilihat dari segi sosiologis
merupakan kejahatan, sedangkan dari segi yuridis bukan kejahatan. Inilah yang
disebut kejahatan sosiologis (kejahatan kriminologi).
Usaha
untuk merumuskan dan mendefenisikan kejahatan dalam kriminologi hampir satu
bidang pengetahuan ilmiah itu sendiri. Hal itu menyangkut sejumlah
pendapat-pendapat kontroversial dan beberapa benturan pendapat ilmiah yang pada
dasarnya merupakan bagian proses perkembangan suatu ilmu. Kejahatan pada
mulanya tidak secara resmi dirumuskan dan tidak menyangkut suatu tindakan resmi
terhadapnya, melainkan hanya merupakan masalah pribadi. Seorang yang melakukan
kesalahan memperoleh pembalasan baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap
keluarganya.
B.
Fungsi
Kriminologi.
Menurut
Topo santoso (2003:23) mengemukakan bahwa:
“Kriminologi
mempelajari kejahatan sebagai fenomena social sehingga sebagai
pelaku kejahatan tidak terlepas dari interaksi
sosial, artinya kejahatan menarik perhatian karena pengaruh
perbuatan tersebut yang dirasakan dalam hubungan antar
manusia. Kriminologi merupakan kumpulan ilmu pengetahuan dan
pengertian gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan
menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman
keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan secara reaksi
masyarakat terhadap keduanya”.
Menurut
Topo santoso (2003:12) mengemukakan bahwa objek, studi kriminologi meliputi:
1.
Perbuatan yang disebut kejahatan
2.
Pelaku kejahatan
3.
Reaksi masyarakat yang ditujukan baik
terhadap perbuatan
maupun terhadap pelakunya.
Dengan melihat keberadaan kriminilogi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, fungsi kriminologi bersifat luas. Namun
demikian, karena keberadaan kriminologi dalam sejarahnya tidak dapat dipisahkan
dari hukum pidana, fungsi kriminologi ini dapat dibedakan kepada dua hal, yaitu
fungsi klasik dan fungsi modern.
Pada fungsinya yang klasik, keberadaan kriminologi
berkaitan dengan hukum pidana, dimana dua disiplin ilmu ini saling berhubungan
dan saling bergantung antara satu dengan lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi
dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Dalam perkembangan selanjutnya
kriminologi dijadikan sebagai ilmu yang membantu hukum pidana (ilmu pembantu),
dan sekarang hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, karena perkembangan
kriminologi sudah menjadi disiplin yang berdiri sendiri.
Hubungan antara kriminologi dengan hukum pidana ini
sedemikian dekatnya sehingga diibaratkan sebagai “dua sisi diantara satu mata uang”, dimana hukum pidana pada
dasarnya menciptakan kejahatan (kejahatan formal) dan rumusan kejahatan yang
dimuat dalam hukum pidana itulah yang menjadi kajian pokok kriminologi.
Disamping itu hukum pidana sebagai suatu disiplin yang bersifat normatif yang
bersifat “abstrak”, di lain pihak kriminologi yang bersifat “faktual”. Maka,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Vrij bahwa :
“Kriminologi
menyandarkan hukum pidana kepada kenyataan. Bahkan karena cara pandang
kriminologi yang lebih luas terhadapp kejahatan ketimbang hukum pidana, dapat
dikatakan bahwa kriminologi itu membuat bijak berlakunya hukum pidana”.
Dari kerangka hubungan yang dekat sekali antara
kriminologi
dengan hukum pidana tersebut, maka fungsi kriminologi yang klasik ini adalah
fungsinya dalam masalah hukum pidana, yaitu :
a. Dalam
perumusan atau pembuatan hukum pidana.
b. Dalam
penerapan hukum pidana.
c. Dalam
pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal :
Ø Kriminalisasi
Ø Deskriminalisasi
Ø Depenalisasi
2.3. Landasan Teori
2.3.1. Teori Aktifitas Rutin
Marcus Felson sebagai pencetus Routine Activities Theory (aktifitas
rutin) mengungkapkan bahwa kejahatan akan terjadi bila dalam satu tempat dan
waktu hadir dalam waktu yang bersamaan elemen berikut:
a) A Motivated
Offender (Adanya motivasai dari penjahat).
b) A Suitable
Target (Target atau sasaran yang
menarik atau mudah).
c) The Absence of
Capable Guardian (Kondisi yang aman untuk
melakukan kejahatan).
Ketiga elemen ini harus ada
secara bersamaan saat terjadinya kejahatan. Inti dari teori ini adalah
tergantung pada kesempatan-kesempatan yag tersedia. Bila seorang target tidak
cukup dilindungi, dan bila ganjarannya cukup berharga, maka kejahatan
akan tejadi. Kejahatan tidak membutuhkan pelanggar-pelanggar kelas berat, pemangsa-pemangsa super, para residivis atau orang-orang jahat, kejahatan hanya
membutuhkan kesempatan.
Premis dasar dari teori aktifitas
rutin adalah bahwa kejahatan adalah kasus kecil (dengan jumlah kecil) yang
tidak dilaporkan kepada polisi. Kejahatan bukanlah suatu yang spekatakuler
ataupun dramatis. Semuanya itu kejadian yang umum dan terjadi setiap saat
terutama saat ada tujuan yang tidak bisa didapatkan dengan cara yang baik.
Dalam teori aktifitas rutin oleh
Markus Felson 1987 dan Robert K.Cohen ada tiga elemen yang dapat mempengaruhi
mudahnya muncuk kejahatan, diantaranya adanya pelaku yang termotivasi, adanya
target yang layak, dan ketiadaan penjaga. (Steven P. Lab,2006 : 111)
1.
Adanya pelaku
yang termotivasi
Adaya yang dilakukan merupakan dorongan-dorongan pribadi yang menjadikan
kejahatan sebagai sumber utama dalam mencapai tujuan tanpa ada alasan-alasan
dan sebab apapun kondisi seperti ini merupakan bakat melakukan kejahatan bawaan
sejak lahir. (Erlangga Masdiana, 2006:59)
Cara-cara melakukan kejahatan juga begitu berani. Pelaku seakan-akan
menganggap korban sebagai musuh yang harus ditaklukkan seketika. Korban tidak
diberi ampun atau diberi kesempatan untuk menyatakan dirinya
sebagai manusia. Korban yang memiliki uang atau harta lain wajib menyerahkan
kepada pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan bagaikan raja yang bebas meminta upeti kepada korban dengan cara-cara kekerasan (Erlangga
Masdiana, 2006:59).
2.
Adanya target
yang Layak
Kesempatan merupakan faktor yang menentukan bagi pelaku kejahatan untuk
melakukan kejahatan, dalam hal ini ada kalanya Karena desakan oleh kebutuhan
hidup dan ada kalanya karena kebiasaan (Arrajid.1986:69).
(Lesley 91989)
menyatakan “semakin banyak orang membuka diri untuk berinteraksi dengan orang lain dan
berada ditempat-tempat tertentu, maka orang itu sagat rentan menjadi korban
kejahatan (ditempat ramai) seperti di stasiun, terminal, dan
persimpangan-persimpangan jalan.Tempat-tempat yang rentan ini sebaiknya
mendapatkan perhatian pihak aparat kepolisian” (Erlangga Masdiana, 2006:20).
3.
Tidak hadirnya
penjagaan
Kebiasaan beraktifitas memungkinkan orang menjadi korban kejahatan. Ada kejahatan dilakukan saat korban sedang bekerja, pergi ke pasar,
bersekolah, dan lain-lain. Pelaku kejahatan yang cerdas pasti melakukan aksinya didasarkan pada
pengamatan ilmiah tentang karakteristik individu, kebiasaan berperilaku calon korban,
dan tingkat “pengawalan” korban. Jika sistem pengamanan lingkungan tidak memungkinkan proteksi terhadap
korban atau calon korban, maka pelaku kejahatan dapat dengan mudah melumpuhkan
korban (Erlangga Masdiana, 2006:66).
Berdasarkan pemaparan diatas,
teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab rumusan masalah nomor 1 yakni “Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten
Tabanan?”.
2.3.2. Teori Kontrol Sosial / Perspektif control
Teori Kontrol Sosial / Perspektif control adalah
perspektif yang terbatas untuk
penjelasan delikuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan
pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau
macetnya integrasi sosial. Teori kontrol sosial menunjuk pada pembahasan
delikuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat
sosiologis antara lain struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan
demikian pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol
lainnya.
Durkheim “a
society will always have a certain number of deviance and that devience is
really a normal phenomenon” Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu Personal Control (internal control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri
untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Social control atau kontrol eksternal adalah
kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan
norma-norma atau peraturan menjadi efektif. Walter Reckles dengan bantuan Simon
Dinitz, mengemukakan teori containment
theory. Teori kontrol sosial adalah :
“Hasil akibat
dari irrelasi antara dua bentuk kontrol yaitu kontrol eksternal atau social
control dan control internal atau internal control”.
Berdasarkan pemaparan diatas, teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab
rumusan masalah nomor 1 yakni “Apakah faktor-faktor yang menjadi
penyebab terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan
Daerah Kabupaten Tabanan?”.
2.3.3. Teori Kriminologi Menurut John Hagan
John Hagan membuat suatu perbandingan,
mengklasifikasikan teori-teori kriminologi yaitu :
1. Teori-teori
Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti
teori disorganisasi sosial, teori netralisasi dan teori kontrol sosial. Pada
asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan
kebanyakan orang tidak demikian.
2. Teori-teori
Kultur, status dan opportunity
seperti teori status frustasi, teori kultur kelas dan teori opportunity yang menekankan mengapa
adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat
dimana mereka tinggal dan hidup.
3.
Teori Over Control yang terdiri dari teori labeling, teori konflik kelompok dan teori marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang
bereaksi terhadap kejahatan.
Berdasarkan pemaparan diatas, teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab
rumusan masalah nomor 2 yakni “Bagaimanakah proses upaya
penanggulangan terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan
Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?”.
2.3.4. Teori Penegakan Hukum
Faktor-faktor
mempengaruhi penegak hukum.
Menurut Soerjono
Soekanto menjelaskan ada 5 (lima) Faktor-faktor penghambat penegakan hukum agar
suatu kaedah hukum benar-benar berfungsi, yaitu :
A. Faktor
Hukum itu sendiri
Berlakunya
kaedah hukum di dalam masyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri,
menurut teori-teori hukum harus memenuhi tiga macam hal berlakunya kaedah
hukum, yaitu :
a) Berlakunya
secara yuridis, artinya kaedah hukum itu harus dibuat sesuai dengan mekanisme
dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai syarat berlakunya suatu kaedah
hukum.
b) Berlakunya
secara sosiologis, artinya kaedah hukum itu dapat berlaku secara efektif, baik
karena dipaksakan oleh penguasa walau tidak diterima masyarakat ataupun berlaku
dan diterima masyarakat.
c) Berlaku
secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif
yang tertinggi. Jika hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum tersebut
hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
B.
Faktor Penegak Hukum
Komponen
yang bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan
oleh sistem hukum. Lembaga-lembaga tersebut memiliki undang-undang tersendiri
hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa komponen yang bersifat
struktural ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu sistem
hukum ini harusnya bekerja.
C.
Faktor Sarana atau Fasilitas
Fasilitas dapat dirumuskan sebagai
sarana yang bersifat fisik, yang
berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan. Fasilitas
pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras.
D.
Faktor Masyarakat
Setiap warga masyarakat
atau kelompok pasti mempunyai kesadaranhukum, yakni kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana
diketahui kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum
dan perilaku hukum.
Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan
masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan. Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap
suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi.
E.
Faktor Kebudayaan
Sebagai hasil karya,
cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Variasi kebudayaan yang
banyak dapat menimbulkan persepsi-persepsi
tertentu terhadap penegakan hukum. Variasi-variasi kebudayaan sangat sulit
untuk diseragamkan, oleh karena itu penegakan hukum
harus disesuaikan dengan kondisi setempat.
Kelima
Faktor inilah yang merupakan tolak ukur dalam proses penegakan hukum, khususnya
hukum pidana.
Teori
penegakan hukum menurut Friedman bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum
bergantung pada:
1) Substansi
hukum
Substansi hukum adalah keseluruhan
asas-asas hukum, norma hukum dan aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak
tertulis termasuk putusan pengadilan.
2) Struktur
hukum
Struktur hukum adalah keseluruhan
intitusi penegak hukum, beserta aparatnya jadi menakup dari kepolisian,
kejaksaan, serta kantor pengacara dan pengadilan dengan para hakim.
3) Budaya
hukum
Budaya hukum adalah
kebiasaan-kebiasaan, opini-opini cara berfikir dan bertidak baik para penegak
hukum maupun wara masyarakat
Berdasarkan pemaparan diatas, teori ini Peneliti gunakan untuk menjawab
rumusan masalah nomor 3 yakni “Apakah yang menjadi penghambat
dalam upaya menanggulangi terjadinya pemalsuan terhadap dokumen-dokumen Badan
Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan?”.
2.4. Model Penelitian
Model Penelitian
merupakan hubungan antara variabel-variabel yang ada untuk menjawab dan
memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Penelitian ini berangkat
dari adanya suatu kasus pelanggaran pidana yang tersangkanya dengan sengaja
hendak menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak memakai barang dengan
keadaan palsu, kata-kata bohong dan memalsukan surat sehingga para korban
tertipu. Penipuan ini dengan latar belakang lowongan pegawai kontrak sebagai
karyawan Tata Usaha di Sekolah Dasar di wilayah kota Tabanan.
Hal ini berawal
dari kisaran bulan September tahun 2015, dimana pelaku bernama I Dewa Made
Adnyana Alias Dewa Jokowi, yang dulu pernah bekerja sebagai Satuan Polisi
Pamong Praja (SATPOL PP) di Kabupaten Tabanan ini, di datangi oleh korban yang
berinisial MS untuk mencarikan pekerjaan anaknya yang bernama Ni Putu Susi
Sukmayanti sebagai pegawai kontrak di Kabupaten
Tabanan. Pada awalnya korban Ni Putu Susi Sukmayanti bertanya kepada Tersangka I
Dewa Made Adnyana tentang adanya lowongan pegawai kontrak, setelah itu I Dewa Made Adnyana menjawab “ada” dan
segera menyuruh Ni Putu Susi Sukmayanti untuk menyiapkan surat-surat yang di
perlukan untuk registrasinya.
Berbekal
informasi tersebut penelitian diawali dengan kunjungan ke Unit 1 Reskrim Polres
Tabanan dikarenakan kasus tersebut sudah ada putusan dan tersangka kini menekam
di penjara, hal ini dilakukan untuk menggali informasi, serta memperoleh data
yang diperlukan untuk merangkum kronologis serta melihat putusan apa yang dijatuhkan
kepada Tersangka.
Teknik yang
dipergunakan dalam penentuan informan ini adalah purposive sampling, yakni teknik penentuan responden secara sengaja
yang benar-benar berkompeten dan terkait dengan penelitian ini. Selanjutnya
dilakukan pengumpulan data persepsi dari wisatawan yang berkunjung pada saat
penelitian dilaksanakan, yaitu pada hari Senin, tanggal 12 Februari 2018 dan
diperoleh berkas perkara pelaku yang diberikan oleh Bagian Unit 1 Polres
Tabanan. Teknik penentuan responden adalah purposive sampling,
yakni teknik atau metode penarikan sampel secara detail dan penuh pertimbangan
dan kompeten dibidangnya, dalam hal ini adalah Bripka Ahmad Safii selaku salah satu Penyidik Unit 1 Sat Reskrim
Polsres Tabanan di lokasi saat penelitian dilaksanakan. Hasil pengumpulan data
akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Selanjutnya
untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian didasarkan pada beberapa Teori
penelitian.
Maka dapat
dirumuskan rekomendasi terhadap para pihak yang terkait dengan upaya mencari
penyebab, penanggulangan dan Apa saja yang menjadi kendala dalam menanggulangi
masalah pemalsuan berkedok lowongan pegawai kontrak ini. Beranjak dari konsep
pemikiran tersebut. Berbekal informasi serta masukan yang penulis dapatkan maka
secara skematis dapat digambarkan alur pikir penelitian sebagai berikut :
2.5. Struktur Kerangka Berfikir
Hasil Temuan Penelitian Rekomendasi / saran Pemalsuan Dokumen Badan
Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan Tinjauan Kriminologi Upaya Penanggulangan Kendala terjadinya upaya
penanggulangan Faktor-Faktor Penyebab Teori
1.
Teori Aktifitas Rutin 2.
Teori Kriminologi 3.
Teori Kontrol Sosial 4.
Teori
Penegakan Hukum
Gambar
Struktur 2.1. Kerangka Berfikir / Model Penelitian
Keterangan :
Penjelasan
Kerangka Berfikir :
Dari
pemaraparan Struktur kerangka pemikiran di atas, Peneliti jelaskan bahwa
terkait dengan judul penelitian yang peneliti angkat dalam penelitian ini akan
dilihat dan dibedah melalui sudut pandang Kriminologi dimana tujuan Peneliti
adalah untuk mempelajari kasus yang terjadi di Kabupaten Tabanan ini.
Selanjutnya setelah di pelajari dari sudut pandang Kriminologi dan tata cara
pembelajaran suatu kasus, didapatkan 3 rumusan masalah. Dari 3 rumusan masalah
ini penulis menggunakan 4 teori untuk memecahkan masalah yang ditemukan
Peneliti dalam Penelitian ini, setelah dipercahkan, diharapkan peneliti akan
memperoleh hasil penelitian yang kompatibel dan dapat dipertanggungjawabkan
nantinya. Selanjutnya setelah mempelajari keseluruhan kasus ini dan menjawab
semua rumusan masalah, diharapkan Peneliti dapat menyimpulkan hasil temuan dan memberikan saran
dalam mencegah
masalah yang ditemukan dalam rumusan masalah.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan mengetahui faktor-faktor
penyebab terjadinya pelanggaran tindak pidana pemalsuan dokumen-dokumen Badan Ketenagakerjaan
Daerah di Kabupaten Tabanan, serta mencari tahu upaya
penanggulangan dan Apa saja yang menjadi kendala dalam menanggulangi masalah
pemalsuan berkedok lowongan pegawai kontrak dengan metode sample yang mengkhusus yakni mencari Narasumber
yang tahu jelas serta kompeten di bidangnya sebagai narasumber/informan. Studi ini menjabarkan partisipasi
masyarakat dan pihak
berwajib dalam hal ini instansi Polri untuk mencegah hal serupa dikemudian hari. Tahapan penyiapan data awal dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap hasil putusan serta mempelajari berkas perkara Pelaku
di Polres Tabanan. Pengamatan
dilakukan pada solusi-solusi pencegahan yang diberikan serta kendala-kendala
apa saja yang berpengaruh dalam penerapan solusi pemecahan masalah. Selain
itu dilakukan
juga pengumpulan informasi yang
dianggap penting
dan relevan terhadap
penelitian
sesuai dengan rumusan masalah yang dibahas.
3.2. Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian merupakan hal yang sangat
penting untuk ditentukan. Penelitian ini dilakukan Polres Tabanan. Lokasi ini
dipilih karena pelaku sudah di jatuhi hukuman 1 (satu) Tahun 4 (empat) Bulan di
pengadilan dan telah menekam di penjara selain itu di lokasi ini juga memiliki berkas-berkas
mengenai perkara penipuan atau membuat surat palsu tersebut.
3.3. Jenis Data Dan Sumber Data
3.3.1. Jenis Data
Dalam penyusunan laporan penelitian
ini digunakan metode Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat, dan
gambar
(Sugiyono, 2010:15). Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh
melalui observasi/pengamatan secara langsung oleh peneliti sendiri di lapangan. Selain itu, juga berupa fakta-fakta serta komentar yang dipaparkan langsung oleh para responden yang memiliki relevansi terhadap permasalahan yang dibahas. Data tersebut antara lain mengenai sistem pengelolaan yang telah
berjalan,
bentuk partisipasi masyarakat serta
pihak pemerintah melalui instansi terkait. Data hasil wawancara
tersebut kemudian dipadukan dengan data yang diperoleh
melalui hasil observasi langsung.
3.3.2. Sumber data
Sumber data yang diperlukan
dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut :
a. Sumber data primer, diperoleh secara langsung melalui hasil observasi/
pengamatan langsung di lapangan. Selain itu data juga
diperoleh dari hasil wawancara atau interview
dengan Narasumber
yang terkait perkara penipuan yang berkedok lowongan
tenaga kerja sebagai pegawai kontrak tersebut.
b. Sumber data sekunder, berupa data
yang dipilih melalui
sumber tidak
langsung dimana data diperoleh melalui survey ke
instansi terkait serta
kelembagaan
formal maupun informal.
Adapun
sumber data sekunder yang dipergunakan dari penelitian ini adalah dari
buku, jurnal, Berkas Perkara, serta informasi di internet sebagai peluas
informasi yang didapatkan.
3.4. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat ukur yang dipergunakan dalam
melakukan penelitian (Sugiyono,
2010:118). Instrumen utama
dalam penelitian ini adalah Peneliti sendiri dengan alat bantu berupa interview guide, daftar
pertanyaan
(kuesioner), tape
recorder, alat
tulis,
laptop dan kamera digital.
Peneliti menggunakan interview guide (pedoman wawancara) untuk menggali informasi dari informan.
Menurut
Kerlinger (dalam Gunawan, 2014:169), beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun pertanyaan
adalah
:
1.
Pertanyaan harus berkaitan dengan masalah penelitian.
2.
Ketepatan/kepantasan
jenis
pertanyaan yang dipilih.
3.
Pertanyaan jelas dan
tidak mengundang tafsir majemuk.
Berdasarkan kriteria jenis pertanyaan seperti tersebut di atas, maka
peneliti kemudian menyusun pertanyaan yang
menghasilkan kredibilitas yang tinggi, sehingga jawaban yang diperoleh
dapat terarah dan terfokus terhadap penelitian
serta dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam penelitian ini, kuesioner yang dipergunakan adalah dengan
menggunakan daftar pertanyaan yang sifatnya gabungan antara tertutup dan
terbuka yang di dibacakan oleh Peneliti. Bersifat tertutup dengan maksud bahwa
jawaban kuesioner
telah tersedia dan responden tinggal memilih beberapa alternatif jawaban yang
telah disediakan. Disamping itu bersifat terbuka dalam artian responden diberikan kebebasan dalam
mengungkapkan uraian
pendapatnya
terkait upaya penanggulangan dan Apa saja yang
menjadi kendala dalam menanggulangi masalah pemalsuan dengan latar belakang
lowongan pegawai kontrak
tersebut.
Selain kuesioner, instrumen penelitian lainnya adalah tape recorder. Alat
ini dipergunakan untuk merekam hasil wawancara terkait
komentar. Hasil rekaman kemudian ditranskripsikan
melalui pencatatan dengan menggunakan
alat tulis dan laptop untuk memudahkan dalam mengelompokkan data.
Terakhir
adalah
instrumen kamera digital yang berfungsi untuk mendokumentasikan gambar
di lapangan.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan di dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mempergunakan
prosedur pengumpulan
data sebagai berikut:
3.5.1. Observasi
Objek observasi dalam penelitian ini adalah di Polres Tabanan yang
dilaksanakan pada bulan Februari
2018. Observasi dilakukan bersifat non-partisipatif, di mana peneliti tidak terlibat secara
langsung
dan hanya sebagai pengamat independen (Sugiyono, 2010:167). Peneliti mengamati interaksi antara kegiatan-kegiatan atau program pengelolaan yang sedang dilakukan. Hal
ini dimaksudkan agar Peneliti mengetahui berbagai bentuk partisipasi pihak terkait dalam pengelolaan yang telah berjalan. Selain itu juga mengidentifikasi Pelaku
atau orang yang
memainkan peran
atau kegiatan tertentu
yang berhubungan
dengan pengelolaan. Dengan
harapan
dapat memperoleh
informasi terkait
permasalahan yang diteliti.
3.5.2.
Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah suatu percakapan yang
di arahkan pada suatu masalah tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan di mana dua orang atau
lebih berhadapan secara
fisik (Setyadin,
2005:22). Hal ini menandakan wawancara sebagai suatu hubungan komunikasi dua arah antara pewawancara
dan
narasumber.
Metode wawancara yang
dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan secara mendalam. Wawancara mendalam dipergunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila Peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan permasalahan yang
harus diteliti, dan juga apabila Peneliti ingin
mengetahui hal–hal dari responden yang
lebih mendalam (Sugiyono, 2010:157). Wawancara dilakukan dengan berbagai pihak yang dinilai berkompeten serta memiliki
informasi yang terkait dengan
topik penelitian, yaitu pihak Kepolisian, para
Korban, serta instansi pemerintah terkait.
Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
terstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan di mana
mula-mula pewawancara menanyakan serentetan pertanyaan yang
sudah tersusun kemudian satu persatu diperdalam untuk memperoleh keterangan yang lebih detail. Dengan
demikian jawaban yang
diperoleh bisa meliputi semua variabel dengan keterangan
yang rinci
dan mendalam.
3.5.3. Kepustakaan
Metode ini digunakan untuk
memperdalam lagi informasi yang diperoleh dengan menggunakan hasil penelitian
yang sudah ada dan hampir serupa untuk menyempurnakan hasil laporan ini.
3.5.4. Dokumentasi
Dokumen merupakan pelengkap dari penggunan metode
observasi dan wawancara. Hasil
penelitian akan lebih dapat
dipercaya jika
didukung
oleh adanya dokumen. Studi
dokumen merupakan metode pengumpulan data baik
dari bahan tertulis, arsip–arsip,
brosur, grafik maupun dalam bentuk gambar
yang dapat dipergunakan untuk memperluas dan memperkaya data yang telah dimiliki.
Moleong (2007:217) memberikan
alasan-alasan mengapa
studi dokumen berguna
bagi
penelitian
kualitatif, yaitu :
1. Karena merupakan
sumber yang stabil dan
kaya.
2. Berguna sebagai evident (bukti) untuk suatu pengujian.
3. Berguna dan sesuai karena sifatnya yang alamiah, sesuai
dengan konteks.
4. Relatif murah dan tidak
sukar
ditemukan, hanya membutuhkan
waktu.
5.
Hasil pengkajian isi akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas pengetahuan
terhadap sesuatu yang diselidiki.
Dalam penelitian ini, dokumen-dokumen
diperoleh
dari instansi terkait. Dokumen tersebut meliputi artikel,
serta informasi dari para
Saksi maupun Korban. Selain itu, pendokumentasian
juga
dilakukan dalam bentuk fotocopy KTP serta berkas-berkas yang
peroleh langsung di lokasi penelitian. Hal tersebut terkait pembahasan maupun temuan penting yang terkait dengan topik
permasalahan.
3.6. Analisis Data
Analisis data dilakukan
sepanjang berlangsungnya penelitian dan dilakukan terus menerus dari awal
hingga akhir penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Data primer
dan sekunder telah terkumpul melalui studi observasi atau pengamatan lapangan,
melalui hasil wawancara, dan kepustakaan dipandang sudah cukup, maka langkah
berikutnya yang dilakukan adalah menganalisis data.
3.7.
Cara Penyajian Analisis Data
Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk deskriptif dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku dengan bahasa
keilmuan dengan ciri-cirinya, bahasa lugas, formal, objektif, harus
argumentatif.
Metode
Deskriptif adalah cara pengolahan data yang dilakukan dengan cara menyusun
secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum (koentjoroningrat,
1982 : 74).
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Pemalsuan Dokumen-Dokumen di Kabupaten Tabanan
Sebelum
penulis menguraikan penerapan hukum pidana dan faktor-faktor
penyebab terjadinya masalah pemalsuan dalam kasus pemalsuan terhadap
dokumen-dokumen yang di keluarkan Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten
Tabanan terhadap calon pegawai kontrak di PEMDA Kabupaten Tabanan, maka perlu diketahui terlebih dahulu posisi kasus dengan
melihat acara pemeriksaan pada dokumen bukti dan pemeriksaan di Polres Tabanan dalam
bentuk Berita Acara Pidana, serta tuntutan dan putusan dari PN-Tabanan yang
memeriksa dan Mengadili.
4.1.1.
Laporan Pertama
a.
Identitas Terlapor/Terdakwa
Terdakwa
bernama I Dewa Made Adnyana. Alias Dewa Jokowi, lahir di Banjar Tegal, 13 Juni
1970 saat berstatus terdakwa berusia 46 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
berkebangsaan Indonesia, beragama Hindu, suku Bali, beralamat tinggal di Banjar
Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, berkerja sebagai
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tabanan (SATPOL PP).
b.
Identitas
Pelapor
Pelapor
bernama I Nengah Sudana Yasa, lahir di Tabanan, 15 November 1958, saat membuat
laporan berusia 58 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, beragama Hindu, Suku Bali,
beralamat tinggal di Banjar Dinas Banjar Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan
Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
c.
Identitas
Korban
Korban
pertama bernama Ni Made Devi Saparida Utami, S.Pd. SD., lahir di Tiying Gading,
23 Agustus 1985, berjenis kelamin perempuan, beragama Hindu, Suku Bali,
berkebangsaan Indonesia, Beragama Hindu, beralamat tinggal di Banjar Dinas
Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja
sebagai Guru Abdi di SD No. 3 Bajera.
Korban
Kedua bernama Drs. I Made Yasa, ATD, MM, M.Si., lahir di Singaraja, 17 Agustus
1962, berjenis kelamin laki-laki, Beragama Hindu, suku Bali, berkebangsaan
Indonesia, beralamat tinggal di Jalan Patih Nambi IV FFR, No. 6, Dusun Permata
Anyar, Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kodya Denpasar, bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kepala BKD Kabupaten Tabanan.
d.
Posisi
Kasus / Uraian Singkat Laporan
Pada
sekitar akhir bulan September 2015, anak
pelapor dijanjikan akan dijadikan Tenaga Kontrak Guru oleh Terlapor,
selanjutnya anak pelapor sempat mengurus surat-surat berupa fotocopy ijazah
terakhir untuk diserahkan kepada terlapor. Kemudian sekitar bulan Oktober
2015 pelapor di suruh mengambil SK
Tenaga Kontrak sebagai guru di SD No. 3 Bajera dengan SK pertanggal 1 Oktober
2015 ke rumah Terlapor. Dengan adanya SK
tersebut sudah keluar, Pelapor disuruh
menyerahkan sejumlah uang sebesar RP. 17.500.00,- (tujuh belas juta lima ratus
rupiah). Kemudian berdasarkan SK tersebut anak Pelapor telah bekerja di SD No.
3 Bajera selama 3 (tiga) bulan namun setelah anak Pelapor memperpanjang masa
kontrak SK tersebut ternyata nama anak Pelapor tidak terdaftar sebagai Pegawai
Kontrak di BKD Kabupaten Tabanan dan SK yang dimiliki oleh anak Pelapor
dikatakan palsu karena Kepala BKD Kabupaten Tabanan (Drs. I Made Yasa, ATD, MM,
M.Si.) tidak pernah menandatangani SK tersebut. Dengan kejadian tersebut
Pelapor berusaha menghubungi Terlapor dan di janjikan permasalahan tersebut
akan diselesaikan sampai akhir Januari 2016, namun kenyataannya sampai saat ini
SK tersebut tidak diperpanjang. Sehingga Pelapor merasa dirugikan dan
melaporkan kejadian tersebut ke SPKT Polres Tabanan guna penanganan lebih
lanjut.
4.1.2.
Laporan
Kedua
a. Identitas Terlapor/Terdakwa
Terdakwa
bernama I Dewa Made Adnyana. Alias Dewa Jokowi, lahir di Banjar Tegal, 13 Juni
1970 saat berstatus terdakwa berusia 46 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
berkebangsaan Indonesia, beragama Hindu, suku Bali, beralamat tinggal di Banjar
Tegal, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, berkerja sebagai
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tabanan (SATPOL PP).
b. Identitas Pelapor
Pelapor
bernama I Ketut Suartana, lahir di Tiying Gading, 8 April 1970, berjenis
kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia,
beragama Hindu, Suku Bali, beralamat tinggal di Banjar Dinas Banjar Anyar, Desa
Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai Perangkat
Desa.
c. Identitas Korban
Korban
pertama bernama Ni Putu Susi Sukmayanti, lahir di Tiying Gading, 15 Maret 1996,
berjenis kelamin perempuan, beragama Hindu, Suku Bali, berkebangsaan Indonesia,
Beragama Hindu, beralamat tinggal di Banjar Dinas Anyar, Desa Tiying Gading,
Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, bekerja sebagai Tata Usaha SD No.3 Bajra.
Korban
Kedua bernama Ni Made Sutini, lahir di Antap, 5 Mei 1971, berjenis kelamin Perempuan,
Beragama Hindu, suku Bali, berkebangsaan Indonesia, beralamat tinggal di Banjar
Dinas Anyar, Desa Tiying Gading, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan,
bekerja sebagai Perangkat Desa.
d. Posisi Kasus / Uraian Singkat
Laporan
Berawal
dari Pelapor meminta tolong kepada saksi atas nama Ni Made Sutini, untuk
mencarikan anak Pelapor sebagai Tata Usaha Kontrak dan selanjutnya saksi
mengatakan akan meminta bantuan kepada Terlapor. Kemudian bulan Agustus tahun
2015, anak Pelapor mempersiapkan surat-surat dan menyerahkan kepada saksi untuk
di serahkan kepada Terlapor, kemudian pada bulan September tahun 2015, Pelapor
di bawakan SK Tenaga Kontrak sebagai Tata Usaha dengan no SK. Pertanggal : 01
September 2015, di rumah Pelapor. Kemudian pelapor menyerahkan sejumlah uang
RP. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) kepada saksi untuk diserahkan kepada
Terlapor. Setelah itu anak Pelapor berdasarkan SK tersebut bekerja sebagai Tata
Usaha kontrak di SD No. 3 Bajra selama 4 (empat)
bulan. Namun setelah anak Pelapor memperpanjang kontrak SK tersebut tidak
terdaftar di kantor BKD Tabanan dan dikatakan SK tersebut bermasalah (bodong).
Dengan kejadian tersebut Pelapor berusaha menghubungi Terlapor bersama saksi
dan dijanjikan permasalahan selesai sampai pertengahan bulan Februari 2016,
namun kenyataannya sampai saat ini SK tersebut tidak dapat di perpanjang,
sehingga Pelapor merasa dirugikan dan melaporkan kejadian tersebut ke SPKT
Polres Tabanan. Guna penanganan lebih lanjut Pelapor/Pengadu membenarkan semua
keterangannya.
Berdasarkan berita acara yang dibuat oleh I Dewa
Made Adnyana alias Dewa Jokowi yang dalam hal ini disebut sebagai Terlapor di
Polres Tabanan yang di panggil dan selanjutnya diperiksa yang kemudian
didengarkan keterangannya sebagai Tersangka dalam Perkara yang diduga Tindak
Pidana Penipuan SK Palsu, sesuai dengan laporan polisi Nomor :
Lp/29/III/2016/Bali/Res Tbn. Tanggal 21 Maret 2016 dan laporan polisi Nomor :
Lp/30/III/2016/Bali/Res Tbn. Tanggal 21 Maret 2016, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 378 KUHP dan 263 KUHP, jo Pasal 65 KUHP.
Dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Tambahan,
Tersangka yang maju sendiri tanpa didampingi kuasa hukum itu bersedia
memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya dalam pemeriksaan dan pembuatan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut. Dalam menjawab pertanyaan dari
penyidik, Tersangka menjawab semua pertanyaan dan mengakui tuntutan dari
penyidik.
Dalam
melancarkan aksinya Tersangka menjelaskan “
mulai tahun 2003 sampai tahun 2015 saat saya menjadi PNS di Satpol PP, kantor
saya bersebelahan dengan BKD jadi saya mendapatkan informasi dari orang-orang
dan melihat bagaimana proses penerimaan pegawai kontrak selain itu saya juga
waktu itu sempat memasukan menantu saya menjadi pegawai kontrak dengan cara
yang sah, jadi garis besarnya saya tahu, sampai saya juga mengetahui besaran
gaji pegawai kontrak yaitu sebesar Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu
rupiah) karena saya membaca dari surat kontrak tersebut”.
Dalam hal ini tersangka mengaku menjalani aksinya dalam
keadaan sadar dan tidak dipengaruhi oleh oranglain melainkan melihat keadaan
sosial di sekitarnya yang banyak adanya pengangguran dan melihat adanya kesempatan untuk melakukan pemalsuan sekaligus
penipuan,
kemudian kurangnya kesadaran korban yang tidak langsung melaporkan kejadian
tersebut ke pihak berwajib yang mengakibatkan timbulnya korban penipuan akibat
pemalsuan yang dilakukan Tersangka.
Saat terjadinya penangkapan dan ditetapkannya
Tersangka menjadi Buronan, Tersangka mengakui alat bukti berupa alat tulis dan
tulisan-tulisan tersebut Tersangka sudah lupa meletakkannya dimana, sedangkan
barang bukti SK sudah di buang di pinggir jalan Bypas Ir. Soekarno,Tabanan dan untuk Stample BKD palsu yang
digunakan dirusak dan dimasukan kantung kresek kemudian di buang di Jalan Anggrek, Tabanan dekat/selatan Alfamart.
Berdasarkan surat perintah penahanan nomor :
SP-Han/09/V/2016/Reskrim. Pelaku atas nama I Dewa Made Adnyana alias Dewa
Jokowi di tahan dan di tempatkan di Rumah Tahanan Negara Polres Tabanan, untuk
selama 20 hari, terhitung mulai tanggal 15 Mei 2016 sampai dengan tanggal 3
Juni 2016, karena di duga telah melakukan tindak pidana Penipuan SK Pegawai
Kontrak, yang terjadi bulan Oktober 2015 di Banjar Tegal, Desa Nyitdah,
Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, yang sebagaimana diatur dalam pasal 378
KUHP. Kemudian dikarenakan penyidikan perkaranya belum selesai bersadasarkan
surat nomor: B/2373/V/2016/Polres
Tbn, perihal Permohonan Perpanjangan Penahanan terhadap Tersangka I Dewa Made
Adnyana Alias Dewa Jokowi. Maka, untuk kepentingan pemeriksaan lebih lanjut,
diminta penahanan Tersangka dapat di perpanjang selama 40 (empat puluh) hari di
Tumah Tahanan Polres Tabanan terhitung mulai tanggal 04 Juni 2016 sampai dengan
tanggal 03 Juli 2016.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti secara
Kriminologi yakni mempelajari suatu kejahatan dari awal hingga akhir. Diperoleh
kesimpulan sebagai berikut. Dari pemaparan kasus yang di peroleh dari Berkas
Perkara milik Polres Tabanan. Peneliti mendapatkan data yang mencangkup rumusan
masalah bagian 1 (satu).
faktor-faktor penyebab terjadinya masalah pemalsuan dokumen-dokumen di Kabupaten Tabanan
dari Tersangka I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi. Bahwa Tersangka melakukan
kejahatan Pemalsuan
sekaligus Penipuan bukan hanya alasan ekonomi saja melainkan dikarenakan adanya
kesempatan yang ditimbulkan oleh kebutuhan sosial dan banyaknya peminat pegawai
kontrak yang tidak mendapatkan kesempatan karena tidak memenuhi kriteria dalam
seleksi pegawai kontrak resmi serta terlalu lamanya orang-orang yang telah
memperoleh gelar sarjana menganggur. Hal ini mengakibatkan mulusnya niat jahat
Tersangka dalam melaksanakan aksinya.
Berdasarkan Teori aktifitas rutin
yang dicetuskan oleh Marcus Felson sebagai pencetus Routine Activities Theory (aktifitas rutin) mengungkapkan bahwa
kejahatan akan terjadi bila dalam satu tempat dan waktu hadir dalam waktu yang
bersamaan elemen berikut:
a)
A Motivated Offender (Adanya
motivasai dari penjahat)
b)
A Suitable Target (Target atau
sasaran yang menarik atau mudah)
c)
The Absence of Capable Guardian (Kondisi yang
aman untuk melakukan kejahatan)
Berdasarkan hal tersebut semua
elemen telah terpenuhi, dimana Tersangka I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi
ini melakukan aksinya dengan sengaja menipu dengan cara membuat Dokumen-dokumen
palsu milik BKD Kabupaten Tabanan, kemudian adanya minat dari para korban yang
ingin bekerja sebagai Pegawai Kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan. Di tambah
dengan kondisi jaman sekarang yang membuat para Sarjana yang menganggur akibat
sedikitnya lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang di miliki serta
tidak sesuainya kriteria penerimaan pekerjaan membuat Tersangka dengan
gampangnya menipu para korban dengan alasan lowongan Pegawai Kontrak Pemda
Kabupaten Tabanan.
Dalam memecahkan
rumusan masalah nomor 1 (satu), dalam hal ini yang dimaksud adalah
faktor-faktor penyebab terjadinya masalah pemalsuan dokumen-dokumen milik BKD
Kabupten Tabanan, Peneliti menggunakan teori tambahan untuk menambah rangkuman
masalah temuan dalam penelitian ini, teori yang digunakan yakni Teori Control Sosial / Perspektif control seperti yang di jelaskan pada Bab II Penelitian
ini adalah perspektif yang terbatas
untuk penjelasan delikuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan
penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan
masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Teori control sosial menunjuk pada pembahasan delikuensi dan kejahatan
dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis antara lain
struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan
teori control sosial ini berbeda
dengan teori control lainnya.
Dalam pembahasan Delekuensi bagian 1 (satu) tentang
masalah struktur keluarga, Peneliti menemukan sedikit informasi di luar pokok pembahasan masalah yakni dalam
temuan di lapangan Tersangka memiliki keluarga yang cukup harmonis, walaupun
dalam penyidikan dilapangan yang dilakukan satuan Penyidik Polres Tabanan
menemukan bahwa Tersangka memiliki istri simpanan, namun keluarga yang
dimilikinya cukup harmonis walaupun Cuma anak perempuannya saja yang menemani
Tersangka dalam Penyidikan yang dilakukan Penyidik Polres Tabanan, Peneliti
tidak menemukan bahasan tentang istri sah yang dimiliki Tersangka. Dalam pokok
pembahasan Delekuensi bagian 2 (dua) tentang masalah Pendidikan, Peneliti
menemukan bahwa Tersangka juga merupakan orang yang berpendidikan, bahkan telah
menjadi salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Tabanan, hal ini
menyebabkan Peneliti menduga jika masalah ini bukan faktor kurangnya pendidikan
dari Tersangka.
Jadi dalam pembahasan menggunakan teori Kontrol
Sosial Peneliti menyimpulkan bahwa, Tersangka tidak ada masalah dalam
variable-variable yang bersifat sosiologi, karena Tersangka adalah orang yang
berkecukupan, terlebih lagi Tersangka adalah salah satu Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di Kabupaten Tabanan dalam Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) di
Kabupaten Tabanan. Peneliti menemukan bahwa alasan Tersangka melakukan tindakan
pidana pemalsuan dan penipuan adalah karena rasa kurang puas atas yang
dimiliki, dan dengan sengaja melakukan tindakan pidana pemalsuan dan penipuan
untuk menguntungkan dirinya sendiri.
4.2. Upaya
Penanggulangan Terjadinya Pemalsuan Dokumen-Dokumen di Kabupaten
Tabanan.
Dalam
mempelajari kriminologi, diperlukan pemahaman mendetail dalam membedah suatu
kasus yang akan dibahas dalam bidang kriminologi hukum. Dalam penelitian yang
dilakukan peneliti dalam kasus Pemalsuan Dokumen-dokumen milik Badan
Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan yang dilakukan terhadap Calon Pegawai
Kontrak Pemda Kabupaten Tabanan, peneliti pertama membahas faktor-faktor
penyebab terjadinya kasus tersebut yang diantaranya mencangkup latar belakang
kasus serta identitas para orang
yang terlibat dan sekarang peneliti juga menemukan beberapa cara penanggulangan
dalam menanggulangi kasus seperti ini di kemudian hari. Dalam hal ini peneliti
menggunakan teori John Hangan dalam memecahkan rumusan masalah nomor 2 ini.
John Hagan membuat suatu perbandingan,
mengklasifikasikan teori-teori kriminologi yaitu :
1. Teori-teori
Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti
teori disorganisasi sosial, teori netralisasi dan teori control sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada
orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.
2. Teori-teori
Kultur, status dan opportunity seperti teori status frustasi, teori kultur kelas dan
teori opportunity yang menekankan
mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan
masyarakat dimana mereka tinggal dan hidup.
3.
Teori Over Control yang terdiri dari teori labeling, teori konflik kelompok dan teori marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang
bereaksi terhadap kejahatan
Dalam hal ini peneliti menggunakan Teori Under Control, yakni mengatasi
perilaku jahat. Sebenarnya dalam teori ini membahas Tersangka sebagai subjek
teori. Peneliti berfikir dalam hal menemukan cara menanggulangi menjadi korban
penipuan, kita harus mengetahui pada saja isi pemikiran Tersangka hingga ia
memiliki niat dan dapat berbuat kejahatan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa alasan yang
menjadi dasar terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh Tersangka Dewa Jokowi,
yakni sebagai berikut :
1.
Banyaknya peminat dari masyarakat untuk menjadi salah
satu dari Pegawai Kontrak Pemda di Kabupaten Tabanan.
2.
Adanya kesempatan serta celah hukum yang mengakibatkan
Tersangka dengan leluasa dapat meniru serta membuat dokumen-dokumen palsu yang
sangat mirip dengan aslinya yang di keluarkan oleh BKD di Kabupaten Tabanan.
3.
Kesediaan masyarakat menggunakan uang untuk mendapat
pekerjaan yang di inginkan.
4.
Kurangnya kesadaran masyarakat serta lemahnya
kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah dalam pelaksanaan
penerimaan calon tenaga kerja kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan.
Dari sekian banyak temuan yang peneliti temukan, ada 4 (empat) alasan yang
peneliti yakini sebagai dasar dari terjadinya kejahatan penipuan dan pemalsuan
yang dilakukan Tersangka I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi.
Dengan demikian kita sebagai masyarakat setidaknya harus menyadari dari kemajuan
teknologi, juga berdampak negatif yang dapat membuat segalanya menjadi mungkin.
Terlebih lagi jaman sekarang tidak ada data yang tidak dapat digandakan, bahkan
kasus pemalsuan uangpun tetap terjadi hingga sekarang, perlu kejelian,
ketelitian dan rasa waspada terhadap sekitar.
Jadi dapat di simpulkan upaya-upaya yang digunakan untuk menanggulangi
dalam mengatasi kasus pemalsuan dalam hal ini dokumen-dokumen penting milik
Badan Ketenagakerjaan Daerah Kabupaten Tabanan yakni sebagai berikut :
1.
Budayakan rasa percaya diri
Dengan
menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri sendiri akan memupuk rasa kesabaran
dalam memperoleh apa yang dicita-citakan dan juga rasa pantang menyerah.
2.
Bertanya
Kepada Orang Lain dan Kantor yang Bersangkutan Mengenai Informasi Lowongan
Pekerjaan.
Bagi masyarakat yang mendapatkan informasi yang
berhubungan dengan lowongan pekerjaan dalam hal ini lowongan sebagai Pegawai
Kontrak di Pemda Kabupaten Tabanan. Maka baiknya bertanya dulu pada orang yang
lebih paham dan sebaiknya datang langsung ke kantor yang bersangkutan untuk
mendapat informasi yang lengkap. Tujuanya agar diri sendiri lebih mengerti terkait dengan info yang diterima,
dalam hal ini tanamkan rasa tidak malu untuk bertanya pada orang yang lebih
tahu.
3. Selektif
dalam mengelolah informasi yang di peroleh.
Dengan
membudayakan diri untuk mengelolah informasi yang diperoleh, Peneliti yakin
masyarakat tidak akan mudah tertipu dengan berita maupun informasi yang
bersifat merugikan. Karena tujuan kita adalah untuk bekerjan, bekerja untuk
mencari uang bukan memberi uang untuk mendapatkan uang.
4.
Teliti masalah nomor registrasi dan instansi
yang mengeluarkan dokumen-dokumen
penting yang dimiliki.
Selain
harus selektif dalam mengelolah informasi yang diterima, ada baiknya kita
selalu mengecek nomor registrasi yang
tertera dalam dokumen penting yang dimiliki, peneliti yakin jika kita teliti
dalam masalah nomor registrasi dan instansi yang mengeluarkan dokumen-dokumen penting yang
dimiliki, dan mengecek dokumen-dokumen yang dimiliki, kita akan terhindar dari
masalah pemalsuan dan penipuan yang berkedok penerimaan pekerjaan apalagi
masalah pemalsuan SK yang sangat penting bagi seorang pegawai kontrak/honorer.
4.3. Penghambat Dalam Upaya
Menanggulangi Terjadinya Pemalsuan Dokumen-Dokumen di Kabupaten Tabanan.
Adapun hambatan
yang Peneliti temukan dalam penelitian ini antara lain mencangkup instansi
maupun masyarakat itu sendiri. Dalam memecahkan rumusah masalah nomor 3 (tiga)
ini, Peneliti menggunakan teori Penegakan Hukum yang di gunakan agar
mempermudah dalam menjelaskan serta merumuskan apapun yang Peneliti temukan
dalam Penelitian ini.
Dalam penelitian
ini, Peneliti menemukan beberapa faktor-faktor yang menghambat dalam
menanggulani terjadinya pemalsuan dokumen-dokumen di Kabupten Tabanan.
Seperti yang di
jelaskan sebelumnya pada Bab 2 (dua) Menurut Soerjono Soekanto menjelaskan ada
5 (lima) Faktor-faktor penghambat penegakan hukum agar suatu kaedah hukum
benar-benar berfungsi, yaitu :
1. Faktor
Hukum itu sendiri.
Berlakunya
kaedah hukum di dalam masyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri, dalam
penelitian ini Peneliti menemukan bahwa hampir tidak ada celah kekosongan hukum
yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana, hampir tidak mungkin jika
suatu instansi pemerintas seperti Badan Ketenagakerjaan Daerah tidak
mengantisipasi masalah penipuan tersebut, terkecuali ada keterlibatan orang
dalam atau instansi terkait dalam Tersangka melakukan aksinya.
2. Faktor
penegak hukum.
Komponen yang
bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh
sistem hukum. Dalam hal ini penegak hukum yang dibicarakan adalah instansi Kepolisian. Dalam temuan di lapangan,
peneliti menemukan tidak ada kekurangan bahkan tidak ada kesalahan dalam
prosedur pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan instansi penegak hukum
dalam hal ini instansi kepolisian Polres Tabanan. Bahkan dalam menyelesaikan
kasus ini kepolisian Polres Tabanan dapat menyelesaikannya dengan tuntas dan berhasil menjebloskan
Tersangka ke penjara. Perlu diketahui kepolisian tidak akan bertindak jika
tidak adanya laporan dari masyarakat.
3.
Faktor sarana atau fasilitas.
Fasilitas dapat dirumuskan
sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung
untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini temuan yang ditemukan Peneliti dilapangan
bahwa tidak ada masalah dalam faktor sarana
atau fasilitas dalam
penghambat penegakan hukum di Kabupaten Tabanan. Semua berjalan sesuai dengan
prosedur yang sudah diatur undang-undang daerah.
4. Faktor
masyarakat.
Setiap warga
masyarakat atau kelompok pasti mempunyai kesadaran hukum, yakni kepatuhan hukum
yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui kesadaran hukum
merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum dan
perilaku hukum.
Dapat dikatakan
bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu
indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Artinya, jika derajat kepatuhan
warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut
memang berfungsi.
Dalam temuan
dilapangan, Peneliti menemukan kesadaran masyarakat tentang hukum itu tinggi
dan tidak ada masalah dalam pelaksanaan maupun penerapannya. Terlebih lagi
Peneliti meyakini bahwa Tersangka maupun Pelaku kejahatan lainnya juga
menyadari tentang hukum yang berlaku, tetapi tetap melanggarnya karena adanya
kepentingan-kepentingan yang mengharuskannya melanggar hukum walaupun sudah tau
jika itu dilarang dan menimbulkan sanksi.
5.
Faktor Kebudayaan.
Sebagai hasil
karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Variasi kebudayaan yang banyak dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu
terhadap penegakan hukum.
Menurut temuan
di lapangan, Peneliti menemukan bahwa faktor kebudayaan tidak ada masalah dalam
penerapan hukum di Kabupaten Tabanan.
Dan menurut Teori
penegakan hukum menurut Friedman bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum
bergantung pada :
1) Substansi
Hukum.
Menurut
temuan di lapangan yang dilakukan
Peneliti, tidak ada masalah dalam pelaksanaan aturan yang ada di Kabupaten
Tabanan. Semua berjalan sesua dengan prosedur yang ada baik asas hukum, norma
hukum, bahkan aturan yang tidak tertulis sekalipun.
2) Struktur
Hukum.
Dalam
penelitian ini, Peneliti menemukan tidak ada masalah dalam pelaksanaan tugas
intitusi penegak hukum, beserta aparatnya jadi menakup dari kepolisian,
kejaksaan, serta kantor pengacara dan pengadilan dengan para hakim.
3) Budaya
Hukum.
Dalam
penelitian ini, Peneliti menemukan faktor Budaya hukum ini sangat berpengaruh
untuk menghambat dalam menanggulangi terjadinya
pelanggaran hukum, dalam hal ini kasus Pemalsuan dokumen-dokumen milik BKD
Kabupaten Tabanan.
Peneliti
berasumsi bahwa budaya masyarakat yang percaya “jika tidak ada uang, maka tidak akan mendapat pekerjaan yang
diinginkan” akan terus menjadi penghambat dalam penanggulangan masalah
hukum di Kota Tabanan.
Karena hal ini akan menyebabkan banyak timbulnya oknum-oknum yang berniat buruk
untuk menipu dengan segala cara, dalam hal ini menawarkan pekerjaan yang
diinginkan dengan membayar sejumlah uang guna mendapatkannya.
Jadi
kesimpulannya dari semua teori yang digunakan dalam membahas rumusan masalah
nomor 3 (tiga) ini yang paling mendekati tentang masalah yang di bahas dalam
penelitian ini adalah Faktor Budaya Hukum dari Friedman. Karena menurut
peneliti, kejahatan tidak akan terjadi jika tidak ada hal yang membuat
kesempatan kejahatan itu terjadi.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Kesimpulan.
Dari rumusan masalah, berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan
yang telah diuraikan di atas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Peranan
korban dalam terjadinya kejahatan penipuan dalam penerimaan pegawai kontrak di
Kabupaten Tabanan yaitu ketidakpercayaan korban pada pemerintah dalam melakukan
seleksi penerimaan pegawai secara bersih, sikap para korban yang tidak percaya
pada kemampuan diri sendiri atau malas belajar, serta sikap terlalu mudah
percaya korban akan imingiming lulus seleksi penerimaan menjadi pegawai kontrak
di Kabupaten Tabanan.
2.
Dari
penanggulangan yang sudah di lakukan di Kabupaten Tabanan sesuai penelitian
yang telah dilakukan oleh Penulis, sudah termasuk baik. Karena dengan
menanamkan rasa percaya diri pada diri sendiri Penulis yakin, tidak ada
pekerjaan yang tidak dapat peroleh. Karena semua berawal dari diri sendiri,
jika ingin memperoleh apa yang diinginkan maka kita harus berusaha untuk
mendapatkannya
3.
5.2. Saran.
Adapun saran yang Peneliti dapat
berikan sehubungan dengan
penulisan skiripsi ini sebagai berikut :
1.
Diharapkan
masyarakat lebih teliti dalam memperoleh informasi, dalam hal ini tentang
lowongan pekerjaan sebagai pegawai kontrak di Pemda yang mengharuskan
menyerahkan uang sebagai persyaratan untuk diterima sebagai tenaga kerja.
2.
Diharapkan
kita sebagai masyarakat yang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan
keinginan, janganlah kita cepat menyerah dan mencari cara yang salah untuk
mendapatkannya, karena jika terjadi sesuatu yang hal seperti halnya yang
dibahas dalam skripsi ini, selain pihak Tersangka, separuhnya adalah kesalahan
kita sebagai masyarakat. Karena jika dari awal kita tidak percaya dengan istilah
“segala persoalan dapat diselesaikan dengan menggunakan uang” kita tidak akan
tertipu oleh kasus pemalsuan itu.
3.
Diharapkan
pihak pemerintah dalam hal ini sekolah maupun instansi pemerintah lainnya yang
mememiliki pegawai kontrak/pegawai honorer untuk mengecek setiap nomor
registrasi yang tertera dalam SK yang di serahkan oleh pegawainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Adami
Chazawi, 2000, Kejahatan
Terhadap Pemalsuan,
Rajawali Pers, Jakarta.
_________. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
_________. 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
_________. 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan,P.T. Grafindo, Persada Jakarta.Atmasasmita.
Romli. 1992. Kapita
Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Mandar Maju.
Bemmelen,
J.M. Van, 1986, Hukum
Pidana 2 Hukum Penitensier, Binacipta, Bandung.
Barda
Nawawi Arief. 1999. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang : Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro.
Chazawi, Adami. 2008. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batasan berlakunya Hukum Pidana) Bag 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Gunawan, Imam. 2014. Metode
Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta:
Bumi
Aksara.
Harini, Sri.
Dan Kusumawati, Ririen. 2007.
Metode Statistika.
Jakarta:
Prestasi
Pustaka.
Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
Moeljatno.
1983. Asas-Asas
Hukum Pidana. Jakarta
: PT Bina Aksara. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana. P.A.F.
Lamintang. 1997. Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Muladi
dan Barda Nawawi Arief, 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung Muladi. 2002 Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.
Mulyadi, Lilik. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan
Viktimologi. Denpasar: Djambatan.
Musanef. 1984. Manajemen
Kepegawaian. Gunung agung: Jakarta.
Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosda
Karya.
Neumann, W.L.2003.
Social Research Methods: Qualitative
and
Quantitative
Approaches. Boston: Allyn and Bacon.
Peter
Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Surabaya.
Rangkuti, Freddy. 2003.
Measuring Customer Satisfaction:
Gaining
CustomerRelationship
Strategy. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka
Utama.
Riduan. 2007. Metode
dan Teknik Menyusun
Tesis. Bandung: Alfabeta.
Soejono
Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet 10, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sugiyono. 2010.
Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan
Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D). Bandung: Alfabeta.
Soesilo.R., 1980. Kitab Undang-Undang Hukun Pidana (KUHP) Dengan Penjelasan, Polteian,
Bogor.
Sugiyono,
2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta.
Wiryono
Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung.
Widjaja, A.W. 2006. Administrasi kepegawaian. Rajawali: Jakarta.
Panduan Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dengan Penjelasan
serta Komentar-Komentarnya. Terbitan Politeia, Bogor. Karya R. Soesilo/ 1980.
Kitab Undang-Undang KUHP dan Penjelasannya. Terbitan Usaha Nasional Surabaya.
Karya R. Sugandhi, SH / 1980.
Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya. Terbitan Alumni Ahaem, Petehaem
Jakarta. Karya SR. Sianturl, SH. / 1989.
Kajian Pustaka :
Berkas
Perkara atas nama I Dewa Made Adnyana alias Dewa Jokowi,
dalam perkara kasus Pemalsuan dan Penipuan berkedok Penerimaan Pegawai Kontrak
/ Pegawai Honorer di Pemda Kabupaten Tabanan.
Andi Junaedi Zadsaly M.
(NIM: B111 08 996) dari Bagian Hukum Pidana, Fakultas
Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, yang di susun pada tahun 2014, dengan
judul “Tinjauan Viktimologis Terhadap
Kejahatan Penipuan Dalam Penerimaan Pegawai Negeri Sipil Di Kota Makassar”.
Lukkas Syahputra Burutu, dari Fakultas Hukum
Sumatera Utara Medan. penelitiannya berjudul “Tindak Pidana Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan Menurut Kitab
Undang-Undang Kitab Pidana (Study Kasus Perkara No. 3175/Pid. B/2003 PN-Medan)”.
Regulasi:
Undang-Undang No.8 Tahun 1974 (pasal ini tidak diubah oleh UU No.43
Tahun 1999) Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.8 Tahun 1974.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi
Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 65, Kitab Undang-Undang
KUHPidana Bab XII tentang Memalsukan
Surat-Surat.
Pasal 378 Kitab Undang-Undang KUHPidana Bab XII
tentang Penipuan.
Website
:
http://irwansyah-hukum.blogspot.co.id/2012/08/analisis-hukum-terhadap-tindak-pidana_4343.html.
https://www.academia.edu/5742264/Skripsi_Tinjauan_Yuridis_Terhadap_Tindak_Pidana_Penipuan.
http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/01/contoh-proposal-skripsi-hukum-pidana.html.
http://jasaprima134.blogspot.co.id/2015/05/tinjauan-kriminologi-terhadap-penipuan_10.html.
http://gerrytri.blogspot.co.id/2013/06/teknik-pengambilan-sampel-dalam.html.
http://www.kajianpustaka.com/2016/03/pemalsuan-dokumen.html.
www.hukumonline.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA