Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman
dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri Kerajaan-Kerajaan
Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu sebuah
Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa
menyatukan seluruh wilayahnya sampai keMadagaskar.Pada jaman itu sudah ada
hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang
saat ini Negara Cina. Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman
keemasannya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya
bernama Gajah Mada.
Pada jaman itu perkembangan budaya
yang berlandaskan Agama Hindu sangat pesat termasuk di Daerah Bali dan
perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit
sebagian besar hijrah ke Bali dan di Daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih
memantapkan ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang.Masyarakat Hindu di Bali
dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu
warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual
dalam Falsafah Tri Hita Karana. Arti kata Tri Hita Karana yakni Tiga
keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan, diantaranya:
1. Parhyangan, hubungan yang harmonis
antara manusia dengan Tuhan
2. Pawongan, hubungan yang harmonis
antara manusia dengan manusia
3. Palemahan, hubungan yang harmonis
antara manusia dengan alam
Manusa yadnya adalah korban suci
yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir bathin manusia
mulai dari sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai pada akhir hidup
manusia itu. Pembersihan lahir bathin manusia sangat perlu di lakukan selama
hidupnya, karena kebersihan itu dapat menimbulka adanya kesucian. Kebersihan (
kesucian ) secara lahir bathin ini dapat menghindarkan manusia itu sendiri dari
jalan yang sesat. Dengan kebersihan tersebut, manusia akan dapat berpikir,
berkata dan berbuat yang benar sehingga dapat meningkatkan dirinya ke taraf
hidup yang lebih sempurna. Unsur-unsur pembersihan di dalam Upacara Manusa
Yadnya dapat di ketahui dengan adanya upakara-upakara seperti tirtha
panglukatan atau tirtha pembersihan dan lain sebagainya. Tirtha-tirtha ini
adalah air suci yang telah di berkati oleh sang sulinggih pandita ( pendeta ),
sehingga air suci tersebut mempunyai “ twah “ ( wasiat ), yang secara spiritual
dapat menimbulkan adanya kebersihan ( kesucian ) itu. Di dalam Manusa yadnya,
pada dasarnya terdapat empat rangkaian upacara yang satu dengan yang lainnya
tidak dapat di pisahkan. Adapun upacara-upacara teresbut antara lain adalah
Upacara Mabhyakala ( Mabhyakaonan ), Upacara Melukat ( Mejaya-jaya ), Upacara
Natab ( Ngayab ), dan Upacara Muspa. Masing-masing upacara ini mempunyai maksud
dan tujuan-tujuan tertentu.
Agama Hindu, merupakan satu bentuk
kewajiban yang harus dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya
sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya
berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan
dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan
diri kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Sahayajñáh prajah strishtva
puro vácha prajápatih
anena prasavishya dhvam
esha va stv ishta kámadhuk
puro vácha prajápatih
anena prasavishya dhvam
esha va stv ishta kámadhuk
Dahulu kala Hyang Widhi (Prajapati), menciptakan manusia
dengan jalan yadnya, dan bersabda: “dengan ini (yadnya) engkau akan berkembang
dan mendapatkan kebahagiaan (kamadhuk) sesuai dengan keinginanmu”.
Deván bhávayatá nena
te devá bhávayantuvah
parasparambhávayantah
sreyah param avápsyatha.
te devá bhávayantuvah
parasparambhávayantah
sreyah param avápsyatha.
Dengan ini (yadnya), kami berbakti
kepada Hyang Widhi dan dengan ini pula Hyang Widhi memelihara dan mengasihi
kamu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan
yang maha tinggi.
Tanpa penciptaan melalui yadnya-Nya
Hyang Widhi maka alam semesta berserta segala isinya ini, termasuk pula manusia
tidak mungkin ada. Hyang Widhilah yang pertama kali beryadnya menciptakan dunia
dengan segala isinya ini dengan segala cinta kasih-Nya. Karena inilah
pelaksanaan yadnya di dalam kehidupan ini sangat penting artinya dan merupakan
suatu kewajiban bagi umat manusia di dunia. Karena itu pula kita dituntut untuk
mengerti, memahami dan melaksanakan yadnya tersebut di dalam realitas hidup
sehari-hari sebagai salah satu amalan ajaran agama yang diwahyukan oleh Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
1.2. Rumusan masalah
A.
Makna
dan Tujuan Yadnya?
B.
Jenis-Jenis dan Tingkatan Pelaksanaan Yadnya?
C.
Hubungan
yadnya dengan Tri Guna?
1.3. Tujuan
Tujuan dari ditulisnya makalah ini
saya harapkan agar dapat para pembaca/ umat hindu agar mengetahui makna dan
tujuan yadnya, mengetahui jenis-jenis dan tingkatan pelaksanaan yadnya,
mengetahui hubungan yadnya dengan tri guna. Dan dapt menyampaikan hal-hal
tersebut kepada sesama nya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Yadnya
Jika ditinjau secara ethimologinya,
kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata “yaj” yang artinya
memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan
mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata
yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh penghormatan), yajus
(sakral, retus, agama) dan yajna (pemujaan, doa persembahan) yang kesemuanya
ini memiliki arti sama dengan Brahma.
Yadnya (yajna) dapat juga diartikan
korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih.
Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi
yang telah menciptalan alam semesta dengan segala isinya dengan yadnya-Nya.
Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia
dengan Hyang Widhi beserta semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa
dan persatuan Atman dengan Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian,
penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar
dari hati sanubari yang suci dan tulus iklas sebagai pengabdian yang sejati
kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dengan demikian jelaslah bahwa
yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta
kasih, pengabdian yang tulus iklas dengan tanpa pamerih. Kita beryadnya, karena
kita sadar bahwa Hyang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk
manusia dengan yadnyanya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas
korban suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya
ini termasuk manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup
dan berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta
berserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan mahluk
dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi mahluk hidup tersebut
sehingga teratur dan harmonis. jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan
berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada
Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup.
Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi
kelangsungan hidup makhluk di dunia.
Agnim ile purohitam yajnasya devam
rtvijam, hotaram ratna dhatanam Hamba memuja Agni, pendeta agung upacara
yadnya, yang suci, penganugrah, yang menyampaikan persembahan (kepada para
Dewa), dan pemilik kekayaan yang melimpah.
Ishtân bhogaân hi vo devâ
dâsyante yahjna bhâvitâh
tair dattân apradâyai byo
yo bhunkte stena eva sah.
dâsyante yahjna bhâvitâh
tair dattân apradâyai byo
yo bhunkte stena eva sah.
Sebab dengan yadnyamu (pujaanmu)
Hyang Widhi (dewata) akan memberkahi kebahagiaan bagimy, dia yang tidak
membalas rakhmat ini kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.
Yâjna sishtâsinah santo
muchyante sarva kilbishaih
bhunjate te ty agham pâpâ
ye paehamty atma karanat
muchyante sarva kilbishaih
bhunjate te ty agham pâpâ
ye paehamty atma karanat
Yang baik makan setelah upacara bakti akan terlepas dari
segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka
ini, sesungguhnya makan dosa.
Sesorang hendaknya menyadari , bahwa sesuatu yang dimakan,
dipakai maupun yang digunakan dalam hidup ini pada hakikatnya adalah karunia
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Berdosalah ia yang hanya suka menerima
namun tidak mau memberi. Setiap orang ingin terlepas dari segala dosa, maka itu
setiap orang patut beryadnya. Dengan yadnya, Hyang Widhi akan memberkahi
kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dia yang tidak beryadnya, yang tidak
membalas rahmat yang ia terima sebagaimana yadnya dan anugrah yang diberikan
oleh Hyang Widhi, sesungguhnya ia itu adalah pencuri.
Jadi dengan memperhatikan beberapa
sloka di atas, maka jelaslah bahwa yadnya adalah suatu amal ibadah agama yang
hukumnya adalah wajib atau setidak-tidaknya dianjurkan untuk dilaksanakan oleh
umat manusia yang iman terhadap Hyang Widhi. Seseorang hendaknya mengabdikan
diri kepada-Nya dengan penuh kesujudan dan rasa bakti dengan mengadakan
pemujaan dan persembahan yang dilakukan secara tulus iklas.
Patram
pushpam phalam toyam
yo me bhaktya prayachchati
tad aham bhaaktypahritam
asnami prayatatmanah.
yo me bhaktya prayachchati
tad aham bhaaktypahritam
asnami prayatatmanah.
Siapa yang sujud kepada-Ku dengan
persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk
air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Biasanya pemujaan dan persembahan
itu dapat dilakukan dalam bentuk upacara yadnya, yaitu persembahan berupa
banten atau sajen-sajen, yang terdiri dari bahan-bahan seperti bunga,
daun-daun, air dan buah-buahan. Semuanya ini adalah persembahan yang bersifat
simbolik. Yang terutama adalah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam
keseimbangan tertuju kepada Hyang Widhi.
Ye yatha
mam prapadyante
tams tathai va bhajamy aham
mama vartma nurvartante
manushyah partha sarvatah
tams tathai va bhajamy aham
mama vartma nurvartante
manushyah partha sarvatah
Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima
dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh Parta.
Hyang Widhi akan menemui setiap
orang yang mengharapkan karunia daripada-Nya. Hyang Widhi tidak menghapus
harapan setiap orang yang melaksanakan yadnya menurut cara dan kepercayaannya
masing-masing. Disini tidak harus satu cara atau jalan tertentu untuk mencapai
hubungan dengan Hyang Widhi, sebab semuanya menuju kepada-Nya. Didalam
pelaksanaan upacara yadnya, hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, kala,
Patra. Desa adalah menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia ditempat
yang bersangkutan, di tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan,
karena biasanya antara tempat yang satu dengan tempat yang yang lainnya
mempunyai cara-cara yang berbeda. Kala adalah penyesuaian terhadap waktu untuk
beryadnya, atau kesempatan di dalam pembuatan dan pelasksanaan yadnya tersebut.
Sedangkan Patra adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan di dalam
melakukan yadnya. Orang tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau
yang kecil. Yang penting disini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak
mengurangi tujuan yadnya itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi,
karena di dalam bakti inilah letak nilai-nilai dari pada yadnya tersebut.
2.2.
Panca Yadnya menurut ajaran
1. Dewa Yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat Hindu.
2.3. jenis-jenis Upacara Manusa Yadnya,
di antaranya ada beberapa yang penting yaitu :
a. Upacara Pagedong-gedongan (
Garbha Wedana atau Upacara Bayi dalam Kandungan )
Upacara ini bertujuan memohon kehadapan Hyang Widhi agar bayi yang ada di dalam kandungan itu di berkahi kebersihan secara lahir bathin. Demikian pula ibu beserta bayinya ada dalam keadaan selamat dan dikemudian setelah lahir dan dewasa dapat berguna di masyarakat serta dapat memenuhi harapan orang tua. Di samping perlu adanya upacara semasih bayi ada di dalam kan-dungan, agar harapan tersebut dapat berhasil, maka si ibu yang sedang hammil perlu melakukan pantangan-pantangan terhadap perbuatan atau perkataan-perkataan yang kurang baik dan sebaliknya mendengarkan nasehat-nasehat serta membaca membaca buku-buku wiracarita atau buku lain yang mengandung pendidikan yang bersifat positif. Sebab tingkah laku dan kegemaran si ibu di waktu hamil akan mempengaruhi sifat si anak yangmasih di dalam kandungan.
Upacara ini bertujuan memohon kehadapan Hyang Widhi agar bayi yang ada di dalam kandungan itu di berkahi kebersihan secara lahir bathin. Demikian pula ibu beserta bayinya ada dalam keadaan selamat dan dikemudian setelah lahir dan dewasa dapat berguna di masyarakat serta dapat memenuhi harapan orang tua. Di samping perlu adanya upacara semasih bayi ada di dalam kan-dungan, agar harapan tersebut dapat berhasil, maka si ibu yang sedang hammil perlu melakukan pantangan-pantangan terhadap perbuatan atau perkataan-perkataan yang kurang baik dan sebaliknya mendengarkan nasehat-nasehat serta membaca membaca buku-buku wiracarita atau buku lain yang mengandung pendidikan yang bersifat positif. Sebab tingkah laku dan kegemaran si ibu di waktu hamil akan mempengaruhi sifat si anak yangmasih di dalam kandungan.
b.
Upacara
Bayi Lahir.
Upacara ini merupakan cetusan rasa gembira dan terima kasih serta angayu Bagia atas kelahirannya si bayi kedunia dan mendoakan agar bayi tetap selamat serta sehat walafiat. Pada saat bayi lahir, yang perlu juga di perhatikan adalah upacara perawatan Ari-ari. Ari-ari ini di cuci dengan air bersih atau air kumkuman, kemudian di masukkan ke dalam sebutir kelapa yang di belah dua dengan Ongkara ( pada bagian atas ) dan Ahkara pada bagian bawah. Kelapa tersebut di bungkus dengan kain putih kemudian di pendam ( di tanam ) di muka pintu rumah ( yang laki di sebelah kanan dan yang perempuan di sebelah kiri ). Setelah di tanam pada bagian atasnya hendaknya di isi daun pandan yang berduri dengan tujuan untuk menolak gangguan dari kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif.
Upacara ini merupakan cetusan rasa gembira dan terima kasih serta angayu Bagia atas kelahirannya si bayi kedunia dan mendoakan agar bayi tetap selamat serta sehat walafiat. Pada saat bayi lahir, yang perlu juga di perhatikan adalah upacara perawatan Ari-ari. Ari-ari ini di cuci dengan air bersih atau air kumkuman, kemudian di masukkan ke dalam sebutir kelapa yang di belah dua dengan Ongkara ( pada bagian atas ) dan Ahkara pada bagian bawah. Kelapa tersebut di bungkus dengan kain putih kemudian di pendam ( di tanam ) di muka pintu rumah ( yang laki di sebelah kanan dan yang perempuan di sebelah kiri ). Setelah di tanam pada bagian atasnya hendaknya di isi daun pandan yang berduri dengan tujuan untuk menolak gangguan dari kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif.
c. Upacara Kepus Puser.
Upacara ini juga di sebut Upacara Mapanelahan. Setelah puser itu putus maka puser tersebut di bungkus dengan secarik kain, lalu di masukkan ke dalam sebuah tipat kukur yang di sertai dengan bumbu-bumbu dan kemudian tipat tersebut di gantungkan di atas tempat tidur si bayi. Mulai saat inilah si bayi di buatkan Kumara, yaitu tempat memuja Dewa Kumara sebagai pelindung anak-anak.
Upacara ini juga di sebut Upacara Mapanelahan. Setelah puser itu putus maka puser tersebut di bungkus dengan secarik kain, lalu di masukkan ke dalam sebuah tipat kukur yang di sertai dengan bumbu-bumbu dan kemudian tipat tersebut di gantungkan di atas tempat tidur si bayi. Mulai saat inilah si bayi di buatkan Kumara, yaitu tempat memuja Dewa Kumara sebagai pelindung anak-anak.
d. Upacara Bayi berumur 42 hari.
Upacara ini disebut juga upacara
tutug kambuhan. Pada usia 42 hari bayi di buatkan upacara “ Macolongan “.
Tujuannya adalah memohon pembersihan dari segala keletehan ( kekotoran dan noda
), terutama si ibu dan bayinya di beri tirtha pangklutan pabersihan, sehingga
si ibu dapat memasuki tempat-tempat suci seperti Pura, Merajan dan sebagainya.
e.
Upacara
Nyambutin.
Upacara Nyambutin ini diadakan
setelah bayi tersebut berumur 105 hari. Pada umur ini si bayi telah di anggap
suatu permulaan untuk belajar duduk, sehingga di adakan upacara Nyambuitn di
sertai dengan upacara “ Tuwun di pane “ dan mandi sebagai penyucia atas
kelahirannya di dunia. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang
Widhi agar jiwatman si bayi benar-benar kembali kepada raganya.
f. Upacara Satu Oton.
Upacara satu oton atau yang di sebut dengan Otonan ini di lakukan setelah bayi
berumur 210 hari, dengan mempergunakan perhitungan pawukon. Upacara ini
bertujuan agar segala keburukan dan kesalahan-kesalahan yang mungkin di bawa
oleh si bayi dan semasa hidupnya terdahulu dapat di kurangi atau di tebus,
sehingga kehidupan yang sekarang benar-benar merupakan kesempatan untuk
memperbaiki serta meningkatkan diri untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Serangkaian pula dengan Upacara Otonan ini adalah upacara pemotongan rambut
yang pertama kali, yang bertujuan untuk membersihkan ubun-ubun ( Ciwa Dwara ).
Pelaksanaan upacara satu oton ini juga di maksudkan untuk memohon kehadapan Ibu
Pertiwi agar ikut mengasuh si bayi sehingga si bayi tidak mendapatkan kesulitan,
selamat dan tumbuh dengan sempurna. Untuk ini di adakan pula upacara turun
tanah yang di injakkan untuk pertama kalinya di beri gambar bedawang nala
sebagai lambang dasar dunia, sedangkan si bayi di tutupi dengan sangkar yang di
sebut sudamala.
g. Upacara Meningkat Dewasa ( Munggah
Daa ).
Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar yang
bersangkutan di berikan petunjuk atau bimbingan secara gaib sehingga ia dapat
mengendalikan diri dalam menghadapi masa pancaroba. Upacara ini pada umumnya di
titikberatkan pada anak perempuan. Hal ini mungkin di sebabkan karena wanita di
anggap kaum yang lemah serta lebih banyak menanggung akibat
pertimbangan-pertimbangan. Di samping itu, menurut Hindu bahwa kaum wanita
dapat di anggap sebagai barometer tingi rendah atau baik dan buruknya martabat
dari suatu keluarga dan lain-lain.
h. Upacara Potong Gigi.
Upacara ini dapat di lakukan baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan
yang sudah menginjak dewasa. Dalam Upacara potong gigi ini, maka gigi yang di
potong ada 6 ( enam ) buah, yaitu empat buah gigi atas dan dua buah lagi gigi
taring atas. Secara rohaniah pemotongan terhadap ke enam gigi tersebut
merupakan simbolis untuk mengurangi ke enam sifat Sad Ripu yang sering menyesatkan
dam menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan atau kesengsaraan. Sifat-sifat
Sad Ripu yang di maksud adalah nafsu birahi, kemarahan, keserakahan,
kemabukkan, kebingungan dan sifat iri hati. Tetapi secara lahiriah, pemotongan
gigi itu dapat pula di anggap untuk memperoleh keindahan, kecantikan dan lain
sebagainya. Pelaksanaan Upacara Potong gigi ini bertujuan, di samping agar yang
bersangkutan kelak nanti setelah mati dapat bertemu dengan para leluhurnya dan
bersatu dengan Hyang Widhi, juga agar yang bersangkutan selalu sukses dalam
segala usaha, terhindar dari segala penyakit serta dapat mengendalikan diri dan
mengusir kejahatan.
i.
Upacara
Perkawinan.
Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian, baik kehadapan Hyang Widhi Wasa
maupun kepada mayarakat luas, bahwa kedua mempelai mengikat dan mengikrarkan
diri sebagai pasangan suami istri yang sah. Di samping itu, di tinju dari segi
rohaniah, upacara perkawinan ini merupakan pembersihan diri terhadap kedua
orang mempelai, terutama terhadap benih atau bibit baik laki maupun perempuan (
Sukla dan Swanita ), apabila bertemu agar bebas dari pengaruh-pengaruh buruk
sehingga dapat di harapkan atman yang akan menjelma adalah atman yang dapat
memberi sinar dan mempunyai kelahiran yang baik dan sempurna. Upacara
perkawinan, pada umumnya dapat di bagi atas dua bagian, yaitu Upacara
Makala-kalaan dan Natab. Upacara Makala-kalaan sebagai rangkaian dari upacara
perkawinan merupakan kebahagiaan tersendiri, karena secara Samskara kedua
mempelai ini di hadapkan kepada Hyang Widhi mohon pembersihan dan persaksian
atas upacara yang di laksanakan. Sedangkan upacara Natab bertujuan untuk
meningkatkan pembersihan, memberi bimbingan hidup dan menentukan status kedua
mempelai.
Kegiatan Yadnya ini didasari oleh Tri Rna yaitu tiga hutang
yang mesti dibayar sehubungan dengan keberadaan kita. adapun tri rana tersebut
adalah
1. Dewa Rna, hutang kepada Ida Sang
Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai para dewata yang telah memberikan
anungrahnya kepada setiap mahluk.
2. Pitra Rna, hutang kepada para
leluhur termasuk orang tua, sehubungan dengan kelahiran kita serta perhatiannya
semasahidup.
3. Rsi Rna, hutang kepada para
sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas bimbingannya selama ini.
Hutang – hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya,
yang kemudian diaplikasikan dengan Panca Yadnya. adapun cara pembayaran
tersebut adalah:
1.
Dewa
Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
2.
Pitra
Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
3.
Rsi
Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya.
Sesuai dengan agama dan tradisi di
Bali, masyarakat Bali Hindu sesungguhnya manusia yang penuh ritual agama yang
terbungkus dalam Panca Yadnya. Ritual agama itu dilakukan terhadap manusia Bali
Hindu dari sejak dalam kandungan, dari lahir sampai menginjak dewasa, dari
dewasa sampai mulih ke tanah wayah (meninggal).
Pemberkahan demi pemberkahan
dilakukan untuknya dengan segala bebantenan serta mantra-mantranya agar munusia
Bali Hindu itu menjadi manusia yang berbudi luhur atau memiliki sifat
kedewataan di mayapada ini dan bisa amoring acintya dengan Sanghyang Widhi di
alam vaikunta (alam keheningan).
Semua upacara di atas disertai
dengan bebantenan sesuai dengan fungsi atau peruntukannya. Daftar ritual agama
di atas menunjukkan bahwa manusia Bali Hindu secara tradasi penuh dengan ritual
agama. Seolah-olah tiada hidup tanpa ritual agama baik pada dunia maya ini
maupun pada dunia akhirat (sekala dan niskala).
Jika semua upacara itu bisa
diterapkan sesuai dengan aturannya, maka manusia Bali diharapkan menjadi
manusia yang memiliki sifat yang mengarah kesifat kedewataan, pergerakan
perilaku dari tamasik- rajasik mengarah ke rajasik-satwika atau bahkan pada
satwika. Perputaran perilaku itu dapat dihasilkan dari begitu dalam makna tahap
demi tahap ritual agama itu utk menghantarkan menjadi manusia yang bersifat
rajasik-satwika atau satwika dari getaran-getaran energi positif getaran
bebantenan dan mantra-mantranya secara sinergistik.
Tingkatan Yadnya didasari oleh besar
kecilnya upakara yang dipersembahkan dan dibedakan menjadi tiga tingkatan,yaitu
:
· Nista
· Madya
· Utama
Masing-masing dari ketiga tingkatan diatas dapat dibedakan
dalam tiga tingkatan lagi berdasarkan dari besar kecilnya upakara yang menjadi
sarana persembahannya, yaitu :
–
Nistaning
Nista
–
Nistaning
Madya
–
Nistaning
Utama
–
Madyaning
Nista
–
Madyaning
Madya
–
Madyaning
Utama
–
Utamaning
Nista
–
Utamaning
Madya
–
Utamaning
Utama
Perbedaan tingkatan yadnya ini disesuaikan dengan tingkat
kemampuan umat yang akan melaksanakan karena tujuan yadnya yang menuju
kesejahtraan dan kebahagian tidak memberiikan penderitaan
bagi umat.Dandari segi kualitas kesembilan tingkatan yadnya tersebut
tidaklah ada perbedaan sepanjang dilaksanakan dengan rasa bakti,ketulusan dan
kesucian hati.
2.4. Hubungan Yadnya Dengan Tri Guna
Dilihat dari segi kualitas tri guna yang melatar belakangi
pelaksanaan yadnya, Bhagawadgita membedakan tiga jenis yadnya, yaitu :
a. Sattwika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan
dengan keiklasan tanpa mengharapkan hasilnya dan dilaksanakan sebagai suatu
kewajiban yang patut dilaksanakan, serta sesuai dengan sastranya.
Aphalakanksibhir yajno vidhi-drsto
ya ijyate,
Yastavyam eveti manah samadhaya sa sattvikah
(bhagawadgita.XVII.11)
Artinya :
Yadnya yang dihaturkan sesuai dengan sastranya, oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya dan teguh kepercayaannya, bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryadnya, adalah satwika(baik)
Yastavyam eveti manah samadhaya sa sattvikah
(bhagawadgita.XVII.11)
Artinya :
Yadnya yang dihaturkan sesuai dengan sastranya, oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya dan teguh kepercayaannya, bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryadnya, adalah satwika(baik)
b.
Rajasika
Yadnya
Adalah yadnya yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.
Adalah yadnya yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.
Abhisandhaya tu phalam dambhartham
api caiva yat,
Ijyate bharata-srestha tam yajnam vidhi rajasam
(bhagawadgita. XVII.12)
Artinya :
Akan tetapi apa yang dihaturkan degan pengharapan akan buahnya atau hanya untuk memamerkan, ketahuilah oh arjuna, bahwa yadnya itu adalah rajasika(bernafsu).
Ijyate bharata-srestha tam yajnam vidhi rajasam
(bhagawadgita. XVII.12)
Artinya :
Akan tetapi apa yang dihaturkan degan pengharapan akan buahnya atau hanya untuk memamerkan, ketahuilah oh arjuna, bahwa yadnya itu adalah rajasika(bernafsu).
c.
Tamasika
Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya, tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada daksina, serta tidak dilandasi keyakinan dan kepercayaan.
Adalah yadnya yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya, tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada daksina, serta tidak dilandasi keyakinan dan kepercayaan.
Vidhi-hinam asrstannam mantram-hinam
adaksinam,
Sraddha-vivirahitam yajnam tamasam paricaksate.
(bhagawadgita, XVII.13)
Artinya:
Yadnya yang tidak sesuai degan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan dan tidak ada punia daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka sebut yadnya yang tamasika(bodoh).
Sraddha-vivirahitam yajnam tamasam paricaksate.
(bhagawadgita, XVII.13)
Artinya:
Yadnya yang tidak sesuai degan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan dan tidak ada punia daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka sebut yadnya yang tamasika(bodoh).
Dengan
demikian tinkat kualitas yadnya dibedakan atas dasar pengaruh tri guna yang
memberi motivasi dalampelaksanaannya.Dalam tingkatan ini besar kecilnya
tingkatan yadnya tidak menjadi ukuran, namun tingkat spiritual suatu
persembahan/yadnya lebih ditentukan oleh sradha, bakti, keimanan, keiklasan serta
jauh dari rasa ego
2.5. Pengertian Sembahyang
– Arti
dan makna Sembahyang
Sembahyang
adalah salah satu perwujudan dari rasa bakti manusia kepada tuhan dengan tulus
ikhlas.
– Cara
Sembahyang
Pelaksanaan sembahyang dibagi menjadi dua yaitu : sembahyang
yang dilakukan sehari-hari dan sembahyang yang dilakukan sewaktu-waktu. Kalau
sembahyang yang dilakukan sehari-hari disebut “Trisandhya”, sebanyak tiga kali
sehari, yaitu pada waktu pagi, siang dan malam hari. Sedangkan sembahyang yang
dilaksanakan sewktu-waktu dalam upacara tertentu, misalnya : Galungan dan
Kuningan, saraswati, Pagerwesi dll.
– Jenis, arti dan fungsi sarana persembahyangan
Untuk melakukan sembahyang diperlukan sarana sembahyang yang
meliputi dua bagian, yaitu : sarana yang berwujud benda (material) dan sarana
yang bukan berwujud benda (non material).
Sarana yang berwujud material terdiri dari :
1)
Bunga dan daun, bunga berfungsi sebagai simbol
Tuhan (Siva) dan berfungsi sebagai sarana persembahyangan
2)
Kewangen yang artinya keharuman yang berfungsi
sebagai isaroh untuk mengharumkan nama Tuhan
3)
Api, dupa dan dipa, dupa adalah sejenis
harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum
4)
Air, merupakan sarana persembahyangan yang
penting, dan air yang dipergunakan untuk membersihkan mulut dan tangan serta
air suci yang disebut tirtha.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Panca
yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas yang didasari atas rasa bhakti
dan kasih sayang serta tanpa pamrih.Yadnya memiliki lima pembagian (panca
yadnya), yaitu dewa yadnya, manusa yadnya, butha yadnya, pitra yadnya dan rsi
yadnya.Pelaksanaan yadnya ini bukan ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun
oleh tri guna.Karena bagaimanapun besarnya sebuah upacara, jika tanpa didasari
oleh ketulusan, iklas,bhakti, kasih sayang dan tanpa pamrih(phala). Upacara
tersebut tidak akan menjadi sempurna (kurang bermakna).
3.2.Saran
Berdasarkan
uraian diatas hendaknya kita menyadari bahwa nilai sebuah yadnya bukan
ditentukan oleh tingkatan yadnya, namun bagaimana cara kita belajar untuk
iklas, tulus, penuh kasih sayang dan didasari oleh hati yang suci nirmala dalam
melaksanakan sebuah pengorbanan (yadnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA