Subscribe
BAB I
Buku II KUH Pdt atau BW terdari dari
suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum bab I sampai dengan bab IV,
memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya
tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Buku III KUH Pdt menganut azas “kebebasan berkontrak” dalam membuat
perjanjian, asal tidak melanggar ketentuan apa saja, asal tidak melanggar
ketentuan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat
disimpulkan dari pasal 1338 KUH Pdt yang menyatakan bahwa segala perjanjian
yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya. Yang dimaksud dengan pasal ini adalah bahwa semua perjanjian
“mengikat” kedua belah pihak.
Terjadinya prestasi, wanprestasi,
keadaan memaksa, fiudusia, dan hak tangunggan dikarenakan hukum perikatan
menurut Buku III B.W ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta
benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan untuk
memenuhi tuntutan itu. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu
selalu berupa suatu tuntut-menuntut maka Buku III juga dinamakan hukum
perhutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau
“debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang
menurut undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan
suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah :
1. Apa pengertian dari Perjanjian?.
2. Apa pengertian prestasi dan
wanprestasi?.
3. Apa pengertian azas azas kontrak
bisnis?.
4.
Apa
pengertian perjanjian kontrak?.
5.
Apa
pengertian risiko dan keadaan memaksa?.
6.
Apa
pengertian fidusia?.
7.
Apa
pengertian hak tanggungan?.
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan dari pembahasan
makalah ini adalah untuk :
1.
Memahami
pengertian perjanjian.
2.
Memahami
prestasi dan wanprestasi.
3.
Memehami
azas azas kontrak bisnis.
4.
Memahami
perjanjian kredit.
5.
Memahami
risiko dan keadaan memaksa.
6.
Memahami
fidusia.
7.
Memahami
hak tanggungan.
2.1 Pengertian Perjanjian.
1.
Menurut
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada
beberapa kelemahan
Kelemahan- kelemahan itu adalah
seperti diuraikan di bawah ini:
1. Hanya menyangkut sepihak saja, hal
ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa
consensus
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
4. Tanpa menyebut tujuan
5. Ada bentuk tertentu, lisan dan
tulisan
6. Ada syarat- syarat tertentu sebagai
isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
·
syarat
ada persetuuan kehendak
·
syarat
kecakapan pihak- pihak
·
ada
hal tertentu
·
ada
kausa yang halal
2.
Menurut
Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hukum
yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada,
tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang
ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas
beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak
secara timbal balik.
3.
Menurut
adat
Perjanjian menurut adat disini
adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk
mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa
dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka)
.
2.2 Prestasi dan Wanprestasi
2.2.1 Pretasi
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan
bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan:
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban
si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Dari pasal tersebut di atas maka
dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu”
mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya
hingga waktu penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu”
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai
dua pengertian, yaitu:
1.
Penyerahan
kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
2.
Penyerahan
hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan
penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang
lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu
adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan
sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak
telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana
mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak
bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana
yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Salah
satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan,
yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:
1.
Memberikan
sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
2.
Berbuat
sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu
lukisan untuk pemesan.
3.
Tidak
berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan,
perjanjian tidak akan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi
dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
1.
Suatu
prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan
jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah
memenuhi prestasi atau belum.
2.
Prestasi
harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak
dapat mengadakan tuntutan.
3.
Prestasi
harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.
Prestasi
harus mungkin dilaksanakan.
Wanprestasi adalah keadaan
dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh
Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak dipenuhinya
perikatan hukum.
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala
ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Menurut R.Subekti, melakukanprestasi tetapi tidak sebagaimana
mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan
adalah sejak kapandebitur dapat dikatakan wanprestasi.
Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab
bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur
dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya
“memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian
telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya.
Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasisudah ditentukan dalam
perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, debitur sudah dianggap
wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut.
Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka
dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna
memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur tersebut
dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai
alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang
wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk
menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab
bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian
maka ia dinyatakan telah wanprestasi.
Wanprestasi berarti debitur tidak
melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal
dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Debitur dianggap
wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan lalai
maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat
berupa 4 (empat) macam:
1.
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2.
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3.
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada
pendapat lain mengenai syara-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:
1.
Debitur sama sekali tidak berprestasi,
dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau
teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak
mampu berprestasi;
2.
Debitur berprestasi tidak sebagaimana
mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk
melakukanprestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;
3.
Debitur terlambat berprestasi, dalam
hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi namun
terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
Akibat
hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi sebagai berikut:
1.
Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti-rugi;
2.
Pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3.
Peralihan risiko.
Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak
dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4.
Membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus
menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam
menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai
berikut:
1.
Dapat
menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;
2.
Dapat
menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi
tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
3.
Dapat
menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian;
4.
Dapat
menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan
5.
Dapat
menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
2.3 Asas-Asas dalam Kontrak Bisnis
Dalam bisnis kontrak sangat dipergunakan
orang, bahkan hampir semua kegiatan bisnis selalu diawali oleh adanya kontrak,
kalaupun dibuat secara sederhana. Karena fungsinya yang sangat penting, maka
pembuatan kontrak haruslah memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam suatu
kontrak. Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum
terhadap suatu kontrak, antara lain
1.
Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
Hukum
mengatur (aanvullen recht) adalah peraturan-peraturan hukum hukum yang berlaku
bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi,
ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya, karena jika para pihak
mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak
tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat umum mengatur dapat disimpangi oleh
para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak termasuk kategori hukum mengatur,
yakni sebagian besar (meskipun tidak menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut
dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh karena itu,
hukum kontrak ini disebut hukukm yang mempunyai sistem terbuka (open system).
Sebagai lawan dari hukum mengatur adalah hukum yang memaksa (dwingend recht,
mandatory). Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan
hukum yang berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat
disimpangi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan hukum, termasuk
oleh para pihak dalam suatu kontrak.
2.
Asas Kebebasan Berkontrak (freedom
of contract)
Asas
ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu
asas yang mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak para pihak pada prinsipnya
bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasanya untuk
mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi
oleh rambu-rambu hukum sebagai berikut :
a.
harus
memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b.
tidak
dilarang oleh undang-undang
c.
tidak
bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d.
harus
dilaksanakan dengan itikad baik
3.
Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah
”pacta sunt servanda” mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, yang dimaksud
dengan asas kebebasan berkontrak ini ialah bahwa kontrak yang dibuat secara sah
oleh para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain
dari asas ini adalah ”my word is my bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia
bahwa jika sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya, mengikat
secara penuh atas kontrak-kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum
kekuatanya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu
undang-undang. Oleh karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang telah
dibuatnya oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan kontrak secara
paksa.
4.
Asas Konsensual
Yang
dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu
kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada
prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk
beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.
5.
Asas Obligatoir
Asas
obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu kontrak telah
dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas
timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan
karena kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika
terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum
berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru
dapat berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah
terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini
karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat
tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena hukum adat memberlakukan
asas kontrak riil, artinya suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalah hal
ini harus dibuat secara terang dan tunai. Kontrak harus dilakukan di depan
pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang
sekaligus juga dilakukan levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti
dalam sistem obligatoir, dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak mempunyai
kekuatan sama sekali.
2.4 Perjanjian Kredit
Menurut pasal 1 ayat (11)
UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 tahun 1992 tentang
Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Unsur-unsur
perjanjian kredit:
1.
Kepercayaan,
keyakinan pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan terbayar kembali
2.
Waktu,
pemberian kredit dan pembayaran kembali memiliki jangka waktu tertentu
3.
Resiko,
bahwa setiap pemberian kredit selalu memiliki resiko, semakin lama jangka waktu
yang diberikan, semakin tinggi resiko kredit tersebut
4.
Prestasi,
prestasi dalam perjanjian kredit adalah pemberian obyek kredit (bisa berupa
uang ataupun barang dan jasa, tapi yang paling sering dijumpai adalah uang)
Jenis-jenis
Kredit:
Dari
segi tujuan penggunaannya, kredit dibagi menjadi:
1.
Kredit
produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada bentuk usaha yang menghasilkan
barang dan/atau jasa. Kredit Produktif dapat berupa KMK (kredit modal kerja)
yaitu kredit diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha, atau KI (kredit
investasi) yaitu kredit diberikan untuk membiayai pengadaan barang modal/jasa.
2.
Kredit
komsumtif, yaitu kredit diberikan untuk membiayai kebutuhan konsumtif
masyarakan pada umumnya
Dari
segi jangka waktunya, kredit dibagi menjadi:
1.
Kredit
jangka pendek, tidak melebihi 1 tahun
2.
Kredit
jangka menengah, lebih dari 1 tahun tapi tidak lebih dari 3 tahun
3.
Kredit
jangka panjang, lebih dari 3 tahun
Setiap kredit yang telah disepakati antara pemberi dan
penerima kredit, harus dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit. Akar dari
perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam. Syarat sah perjanjian
kredit adalah sama dengan syarat sah perjanjian pada umumnya, yaitu yang
tercantum pada pasal 1320 BW: kesepakatan, cakap hukum, suatu hal tertentu dan
suatu sebab yang halal. Fungsi dari dibuatnya perjanjian kredit adalah sebagai:
·
Perjanjian
pokok, yang biasanya diikuti dengan perjanjian penjaminan
·
Sebagai
alat bukti, mengenai hak dan kewajiban para pihak
·
Sebagai
alat pemantauan kredit
Bentuk perjanjian kredit dapat berupa akta bawah tangan
ataupun akta otentik. Pasal 1874 KUHPer: Akta dibawah tangan adalah surat atau
tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang
berwenang untuk dijadikan alat bukti
Pasal 1868 KUHPer: Akta otentik adalah akta yang didalam
bentuk yang ditentukan oleh UU yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang
berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Yang
dimaksud dengan pegawai umum antara lain notaries, PPAT, pegawai KUA, dll
Pihak-pihak dalam perjanjian kredit:
1.
Kreditur,
kreditur (pemberi kredit) dalam perjanjian kredit adalah bank atau lembaga
pembiayaan selain bank, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam, pemberi
pinjaman bisa saja individu biasa.
2.
Debitur,
debitur (penerima kredit) adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek
hukum, baik individu (person) atau badan hukum (recht person).
Pengakhiran
perjanjian kredit:
Perjanjian
kredit dapat berakhir oleh hal-hal sebagai berikut:
1.
Pembayaran/pelunasan,
tindakan sukarela dari debitor untuk memenuhi perjanjian.
2.
Subrogasi,
penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga (pasal 1400 KUHper).
3.
Pembaruan
Utang (novasi), ada tiga bentuk novasi yaitu:
·Mengganti kreditur
·Mengganti debitur
·Merubah obyek/isi perjanjian
4. Perjumpaan utang (kompensasi), kedua
pihak memperjumpakan atau memperhitungkan utang-piutang di antara keduanya
sehingga perjanjian kredit menjadi hapus (1425 KUHPer)
2.5 Risiko dan Keadaan Memaksa
2.5.1
Risiko
Risiko ialah kewajiban memikul
kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu
pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan karena ada suatu kecelakaan
misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam. Barang yang dipersewakan
habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Siapakah yang harus memikul
kerugian-kerugian itu. Inilah yang disebut risiko.
Dari apa yang sudah diuraikan
tentang pengertian risiko di atas, kita lihat peristiwa risiko berpokok pangkal
pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan satu pihak yang mengadakan
perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum
perjanjian dinamakan : keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari
suatu keadaan memaksa, sebagai mana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.
Bagaimana soal risiko itu diatur
dalam hukum perjanjian? Dalam buku ke III kitab undang-undang hukum perdata,
sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu pasal, yaitu pasal 1237. Pasal ini
berbunyi sebagai berikut : “ Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah
tanggungan si berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan
“risiko”. Dengan begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu
tadi, jika barang ini sebelum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar
kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu
pihak yang menerima barang itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu
barang tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak.
Dengan kata lain, pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian
timbal-balik, dimana pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga
berhak menuntut suatu kontraprestasi Dia hanya memikirkan pada suatu perikatan
secara abstrak, dimana ada satu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan
suatu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Pasal 1237 hanya dapat
dipakai pada perjanjian sepihak saja.
2.5.2
Keadaan
Memaksa (Overmacht).
Overmacht artinya keadaan memaksa.
Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga
tidak dapat memenuhi prestasinya, Debitur tidak dapat dipersalahkan / di luar
kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena
keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya.
Dengan demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang
dimiliki oleh Kreditur dalam wanprestasi.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan:
“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum
mengganti biaya, rugi, dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal
tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu,
disebabkan karena suatu hal yang tak terduka, pun tidak dapat dipertanggung
jawabkan padanya, karenanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya”.
Pasal
1245 KUH Perdata:
“Tidaklah biaya
rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang”.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa
keadaan memaksa adalah keadaan dimana Debitur terhalang dalam memenuhi
prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan
bunga.
Akibat
keadaan memaksa:
1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3. Resiko tidak beralih kepada debitur.
Unsur-unsur Keadaan memaksa:
1.
Peristiwa
yang memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan;
2.
Peristiwa
yang menghalangi Debitur berprestasi;
3.
Peristiwa
yang tidak dapat diketahui oleh Kreditur/Debitur sewaktu dibuatnya perjanjian.
Sifat
Keadaan memaksa:
Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu:
1.
Keadaan
memaksa absolut:
Adalah suatu keadaan di mana debitor
sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditor, oleh karena
adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contoh:si A ingin membayar
utangnya pada si B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran
utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali tidak dapat membayar utangnya
pada B.
2.
Keadaan
memaksa yang relatif:
Adalah suatu keadaan yang menyebabkan
debitor masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan
prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar, yang tidak
seimbang, atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia, atau
kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh: seorang
penyanyi telah mengikatkan dirinya untuk menyanyi di suatu konser, tetapi
beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal
dunia.
2.6 Fidusia
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan
suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia mengatur tentang
sifat-sifat dari jaminan fidusia yang akan dijelaskan di bawah ini. Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda. Sedangkan jaminan fidusia adalah hak-hak jaminan atas
benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak
bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi pelunasan
utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima
fidusia terhadap kreditor lainnya. Ketentuan jaminan fidusia ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dan berikut
sifat-sifat dari jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan undang-undang: Jaminan
fidusia bersifat accesoir, yang berarti bahwa jaminan fidusia bukan hak yang
berdiri sendiri melainkan kelahiran dan keberadaannya atau hapusnya tergantung
dari perjanjian pokok fidusia itu sendiri; Jaminan fidusia bersifat droit de
suite, yang berarti bahwa penerima jaminan fidusia/kreditur mempunyai hak
mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda
itu berada, dengan artian bahwa dalam keadaan debitur lalai maka kreditur
sebagai pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya untuk mengeksekusi
objek fidusia walaupun objek tersebut telah dijual dan dikuasai oleh pihak
lain; Jaminan fidusia memberikan hak preferent, yang berarti bahwa kreditor
sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan untuk mendapatkan
pelunasan utang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal
debitur cedera janji atau lalai membayar utang;
Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada, yang berarti bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Fidusia, yakni:
Utang yang telah ada, adalah besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit; Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; Utang yang pada saat eksekusi, dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang, yang berarti bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang fidusia; Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Dan eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan publisitas, dengan maksud spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan di kantor pendaftaran fidusia; Jaminan fidusia berisikan hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan bila debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditur. Dan ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan kreditur;
Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan klaim asuransi. Dan objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud (seperti kendaraan bermotor, mesin pabrik, perhiasan, perkakas rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak berwujud (seperti sertipikat, saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah milik orang lain); serta benda-benda yang diperoleh dikemudian hari.
Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada, yang berarti bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Fidusia, yakni:
Utang yang telah ada, adalah besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit; Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; Utang yang pada saat eksekusi, dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang, yang berarti bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang fidusia; Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Dan eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan publisitas, dengan maksud spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan di kantor pendaftaran fidusia; Jaminan fidusia berisikan hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan bila debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditur. Dan ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan kreditur;
Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan klaim asuransi. Dan objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud (seperti kendaraan bermotor, mesin pabrik, perhiasan, perkakas rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak berwujud (seperti sertipikat, saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah milik orang lain); serta benda-benda yang diperoleh dikemudian hari.
2.7
HAK TANGGUNGAN
Hak
Tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Penggunaan
hak tanggungan, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk
pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Kemudian
siapa yang bisa dikatakan sebagai pemengang hak tanggungan atau subjek hak
tanggungan ialah Pemberi Hak Tanggungan dan Pemegang Hak Tanggungan. Yang
dimaksud sebagai Pemberi hak tanggungan ialah orang atau badan hukum yang
mempuyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Sedangkan yang pemegang Hak tanggungan adalah
orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Klasifikasi Objek dari Hak Tanggungan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung pada perkembangan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak tanggungan. Jika ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa menjadi objek hak tanggungan hanyalah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).Kemudian apabila ditinjau dari Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi macam hak tanggungan ialah Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan sebagaimana Yang ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT) menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya didirikan di atas tanah Hak Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.
Klasifikasi Objek dari Hak Tanggungan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung pada perkembangan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak tanggungan. Jika ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa menjadi objek hak tanggungan hanyalah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).Kemudian apabila ditinjau dari Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi macam hak tanggungan ialah Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan sebagaimana Yang ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT) menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya didirikan di atas tanah Hak Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.
Hak
Tanggungan memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dengan berbagai hak lainnya
ialah
·
Membuat
kedudukan seorang kreditor menjadi diutamakan dibandingkan kreditornya (“droit
de preference”);
·
Mengikuti
obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (“droit de suite”);
·
Dapat
mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum pada pihak-pihak yang
berkepentingan ketika memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas;
·
menyederhanakan
pelaksanaannya eksekusi.
Hak
Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni
1.
Tidak
dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh
obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin
tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak
Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum
dilunasi.
2.
Hak
Tanggungan hanya merupakan ikutan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir
dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang
dijamin pelunasannya tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, maka penulis
memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”. Itu berarti bila seseorang atau lebih menbuat suatu ikatan terhadap
seseorang, orang tersebut bisa dikatakan sudah membuat suatu perjanjian.
2. Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang
dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan
sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. Sedangkan Wanprestasi berarti
debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar
perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
3. Asas dimaknai sebagai hal-hal
mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya suatu norma atau aturan atau
kaidah. Sebelum membuat suatu aturan biasanya ditentukan dahulu asasnya yang
biasanya lebih bersifah filosofis.
4. Perjanjian kredit merupakan
perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang
melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar
kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan
kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.
5. Risiko berarti kewajiban untuk
memikul kerugian jika ada suatu kejadian diluar kesalahan salah satu yang
menimpa benda yang dimaksudkan dalam bentuk kontrak. Sedangkan keadaan memaksa
ada yang bersifat mutlak (absolut), contohnya bencana alam, seperti banjir,
gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat tak mutlak
(relatief), contohnya berupa suatu keadaan dimana kontrak masih dapat
dilaksanakan tapi dengan biaya yang lebih tinggi, misalnya terjadi perubahan
kerja yang tinggi secara mendadak akibat dari resulasi pemerintah terhadap
produk tertentu krisis ekonomi yang mengakibatkan ekspor produk terhenti
sementara dan lain-lain.
6. Dari definisi yang diberikan jelas
bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia
merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah
jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.
7. Hak Tanggungan merupakan hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA