Subscribe
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masyarakat Bali,
khususnya etnis Bali yang beragama Hindu, terkenal dengan kehidupanadat dan
budayanya. Nilai adat dan budaya ini merupakan suatu ketentuan yang harus di
ikuti bagi masyarakat bali. Sebagai warga negara Indonesia, orang orang
Bali tentu saja juga tunduk kepada hukum negara, yaitu peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia. Disamping tunduk kepada hukum negara,
bagi orang Bali juga berlaku hukum adat, bahkan pada bidang-bidang kehidupan tertentu,
hukum adat Bali justru berlaku dengan sangat kuat terutama akibat belum
adanya hukum nasional yang mengatur bidang kehidupan tersebut.Kehidupan hukum
adat bali ini merupakan suatu warisan dari leluhur terdahulu yangsampai
sekarang terjaga dan dilakukan, walaupun memang ada beberapa bagaian dalam
hukumadat bali mengalami suatu proses penyesuaian hukum sesuai perkembanghan
jaman. Hukum adat bali bagi masyarakat bali merupakan suatu petunjuk
,jalan, dan batasan dalam melakukan suatu perbuatan dalam ranah hukum
adat. Hingga begitu kentalnya hukum adat bali ini tidak dapat
dipisahkan dari ajaran agama, sehingga sulit bagi kita untuk
membedakan antara hukumadat , dan mana agama, karena dalam hukum adat bali
antara adat dan agama ini seolahmenyatu, saling keterkaitan. Selain agama hukum
adat bali ini juga sering dihubungkan dengansejarah kehidupan masyarakat adat
di bali, terutama kisah-kisah kerajaaan yang ada di bali yangmemuat bagaimana
system social masyarakat adat di Bali.
Masyarakat Bali
sejak zaman Mpu Kuturan mengenal sistem Kahyangan Tiga yang dalam kehidupan
sosial masyarakatnya di-implementasikan dalam wadah desa pakraman yang terbagi
lagi dalam konsep banjar-banjar.Konsep yang adiluhung ini sekaligus menjadi
pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalammenopang adat dan budayanya yang
diwarisi sampai sekarang.
Hukum adat bali tidak hanya mengatur
mengenai masyarakat adat tetapi juga pribadi/perorangan terhadap, hak dan
kewajibannya yang didasarkan atas kedudukannya (status social dan keturunan)
serta mengenaisanksi atas pelanggaran hukum adat tersebut.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah hukum perorangan didalam hukum adat bali ?
2.
Bagaimanakah hukum kekeluargaan didalam hukum adat bali ?
3.
Bagaimanakah hukum perkawinan didalam hukum adat bali ?
4.
Bagaimanakah hukum waris didalam
hukum adat bali ?
5.
Bagaimanakah keberadaan hukum delik
adat yang ada dalam hukum adat bali ?
1.3.Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas
dapat dilihat bahwa tujuan pembuatan makalah ini adalahagar kita dapat
mengetahui hukum adat bali baik hukum perorangan, hukum kekeluargaan,hukum
perkawinan, hukum waris, dan hukum delik adat.
1.4.Manfaat
Dapat menambah wawasan kita
terhadap Hukum Adat Bali juga sebagai sebuah kewajiban bagi kita terutama mahasiswa
asal bali untuk mengetahui adat bali, sehingga kita secara tidak langsung
sudah ikut berkontribusi dalam menjaga hukum adat bali.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1.Hukum Perorangan
Hukum Perorangan, adalah keseluruhan
kaedah hukum yang mengatur kedudukan manusia sebagai subjek hukum dan wewenang
untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak-hak dan kewajiban ke dalam
lalu lintas hukum serta kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya,
juga hal – hal yang mempengaruhi kedudukan subjek hukum.
Dalam artian sempit hukum perorangan dapat diartikan sebagai hukum orangyang
hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum. Dan dalam artian yang luas Hukum
orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum
tetapi juga termasuk aturan hukum keluarga. Pengertian hokum perorangan menurut
subekti adalah peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan
kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal
yang mempengaruhi kecakapan itu. Definisi ini terlalu sempit karenahukum
perorangan tidak hanya mengkaji ketiga hal tersebut, namun juga mengkaji
tentangdomisili dan catatan sipil. Jadi, hukum perorangan adalah keselurah
kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek hukum dan kewenangan, kecakapan,
domisili, dan catatan sipil. Definisi ini dititikberatkan pada wewenang subyek
hukum dan ruang lingkup peraturan hukum perorangan.
1.
Subjek Hukum Perorangan
Subjek
hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban yaitu : manusia
(Natuurlijk persoon) dan badan huum(rechts persoon).
a. Manusia
(Natuurlijk Persoon).
Manusia menurut pengertian hukum
terdiri dari tiga pengertian
1. Mens,
yaitu manusia dalam pengertian biologis yang mempunyai anggota tubuh, kepala,
tangan, kaki dan sebagainya.
2. Persoon,
yaitu manusia dalam pengertian yuridis, baik sebagai individu / pribadi maupun sebagai
makhluk yang melakukan hubungan Hukum dalam masyarakat.
3. Rehts
Subject (Subjek Hukum). yaitu manusia dalam hubungan dengan hubungan hukum
(rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada
azasnya manusia (naturlijk persoon) merupakan subjek hukum ( pendukung hak dan kewajiban )
sejak lahirnya sampai meninggal. Dapat dihitung surut, apabila memang
untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam
kandungan ibunya. (Teori Fiksi Hukum). Bahkan pasal 2 KUH.Perdata mengatakan :
“
Anak ada dalam kandunganseorang perempuan dianggap telah
dilahirkan (menjadi subjek hukum)
bila mana kepentingan si anak
menghendakinya
misal mengenai pewarisan dan jika sianak mati
sewaktu
dilahirkandianggap sebagai tidak pernah ada.”
b. Badan Hukum (Recht Person).
Badan Hukum adalah subjek hukum
yang bukan manuia yang mempunyai wewenang dan cakap bertindak dalam hukum melalui
wakil-wakil atau pengurusnya. Sebagai subjek hukum yang bukan manusia tentu
Badan Hukum mempunyai perbedaaan dengan Subjek
hukummanusia terutama dalam lapangan Hukum Kekeluargaan seperti kawin,beranak,mempunyaikekuasaan
sebagai suami atau orangtua dan sebagainya.
2.
Cakap Hukum
Menurt
hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang
yang sudahdewasa. Ukuran dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi
kenyataan-kenyataan tertentu.‘Soepomo’ memberikan cirri-ciri seseorang dianggap
dewasa yaitu:
a. Mampu
bekerja (dapat mampu bekerja sendiri), cakap untuk melakukan segala
pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta dapat mempertanggungjawabkan sendiri segala perbuatannya.
b. Cakap
mengurus harta bendanya dan keperluannya sendiri.
c. Tidak
menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tuanya. Dibali
sendiri hukum perorangan ini di identikkan dengan tanggung jawab seseorang berdasarkan atas kasta.
Kasta ini merupakan sistem pelapisan sosial yang bersifat turun temurun. Dimana
antara kasta yang satu dengan yang lainnya memiliki tugas dan wewenangserta hak
kewajiban yang berbeda-beda. Adapun kasta tersebut seperti : Brahmana.
Ksatria,waisya, dan sudra. Namun seiring perkembangan jaman sistem kasta ini
mulai tidak menjadi pembatas antara kaum yang satu dengan lainnya.
2.2.Hukum
Kekeluargaan
2.2.1. Pengertian Hukum Kekeluargaan
Hukum keluarga
diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan,
kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir).
1. Kekeluargaan
sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang
mempunyai keluhuran yang sama. Hukum keluarga adalah keseluruhan
norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulisyang mengatur
hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan hubungan kekeluargaan, baik yang
diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan oleh suatu perbuatan
tertentu. Hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang
sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak terhadapa orang tua dan
sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah
perwalian anak.Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat menimbulkan hubungan kekeluargaan
antara lain adalah pengangkatan anak dan perkawinan. Hubungan-hubungan kekaluargaan
itu berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam kehidupan keluarga, seperti
hak dan kewajiban anak terhadap orang tua atau sebaliknya hak dankewajiban
suami istri, dan seterusnya. Norma-norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur hubungan-hubungan tersebut di sebut hukum adat kekeluargaan. Hubungan
hukum kekeluargaan yang diatur oleh hukum keluarga ini umumnya disebabkan oleh adanya
hubungan se-darah, tetapi ternyata tidak semua hubungan sedarah menimbulkan
hubungan hukum kekeluargaan seperti misalnya kasus anakluar kawin yang tidak memiliki
hubungan hukum dengan bapak biologisnya. Sebaliknya tidak semua hubungan kekeluargaan
disebabkan oleh adanya hubungan darah, seperti terjadi
dalam kasus anak angkat (sentana peperasan) Di Bali Sentana Peperasan tidak semuanya memiliki hubungan darah dengan orang tua
angkat, tetapi karena sesuatu perbuatan hukum tertentu (pengangkatan anak)
kemudian merekamempunyai hubungan hukum kekeluargaan sama seperti hubungan anak
kandung dengan orangtuanya.
Jadi Ruang hukum adat Keluarga di Bali
meliputi :
hubungan hukum antara anak dengansanak
saudara (kerabat) baik dari pihak Bapak maupun ibu, mengenai pemeliharaan anak dibawah
umur terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Kekeluargaan
karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara
seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
2. Sistem
Kekeluargaan
•
Sistem kekeluargaan diartikan sebagai cara
menarik garis keturunan, sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang
mempunyai garis keturunan
•
Secara umum system kekeluargaan di Indonesia
dapat digolongkan atas tiga yaitu :
o
Sistem kekeluargaan patrilinial
o
Sistem kekeluargaan matrilineal
o
Sistem kekeluargaan parental
•
Masyarakat adat Bali menganut system kekeluargaan
patrilinial atau kebapaan yang dikenal luas dengan istilah kepurusa atau
purusa. Prinsip ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yaang dianut dalamkitab
Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai kitab hukum Hindu.
•
Hukum keluarga yang berlaku dalam suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh sistemkekeluargaan.
•
Sistem kekeluargaan pada prinsipnya
adalah suatu cara untuk menarik garisketurunan.
•
Sistem kekeluargaan ini pula yang
menjadi inti yang mempengaruhi bidang bidang hukum perkawinan dan waris,
menentukan bagaimana bentuk-bentuk perkawinan serta siapa yang berstatus sebagai
pelanjut keturunan dan menjadi ahli waris dalam keluarga. Sistem kekeluargaan
yang berlaku di Indonesia sangat beragam, dan untuk Bali berlaku system kekeluargaan
yang lebih dikenal dengan sistem kekeluargaan purusa.
•
Menurut Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar,
BZn disebut sebagai Hukum Kesanak Saudaraan( Verwantschaps Recht ) dan Djaren
Saragih, S.H. ( 1984 : 113 ) menamakannya sebagai Hukum Keluarga ( Hukum
Kesanak Saudaraan ), sedangkan Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. ( 1992
:201 ) menyebutkan sebagai Hukum Adat Kekerabtan. Pada dasarnya Hukum Adat
Kekeluargaan atau Hukum Adat Kekerabatan, adalah : Hukum Adat yang mengatur
tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat
( keluarga ), kedudukan anak terhadap
orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah
perwakilan anak ”.Dalam suasana Hukum Adat Indonesia, perbedaan dalam hubungan
– hubungan yang ditimbulkan adalah merupakan akibat dari hubungan hukum yang
disebut dengan Perkawinan dan hubungan – hubungan hukum Kesanak Saudaraan,
selanjutnya itupun ditentukan oleh bentuk perkawinan yang dilakukan antara
kedua belah pihak mempelai. Demikian pula
kedudukan hukum dan keanggotaan dalam keluarga, seorang anak ditentukan oleh bentuk
perkawinan orang tua.
3. Hubungan anak dengan keluarganya
Pada
umumnya hubungan anak dengan keluarganya ini sangat tergantung dari ke
adaansosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang kita ketahui di
indonesia terdapat persekutuan-persekutuan yang susunan masyarakatnya berdasarkan
3 (tiga) macam garis keturunan, yaitu :
a. Garis keturunan bapak (
patilineal )
b. Garis
ketrunan ibu ( matrilinel )
c. Garis
keturunan ibu bapak ( parental )
Dalam persetuan hukum yang masyarakatnya menganut garis
keturunan ibu bapak (Parental) atau disebut juga masyarakat Bilateral hubungan
anak dengan pihak bapak maupunibunya adalah sama eratnya ataupun sama
derajatnya, sehingga dengan susunan bilateral inimaka mengenai larangan
perkawinan, warisan, kewajiban memelihara dan lain – lain hukumterhadap kedua
belah pihak keluarga adalah sama. Lain halnya dalam persekutuan hukum
yangsifatnya uni lateral ( baik patrilinear maupun matriinear ) hubungan hukum
dari pihak ibumaupun dari bapak lebih penting atau lebih tinggi derajatnya. Akan
tetapi dalam hal ini bukan Di Bali perbuatan ini disebut
"nyentanayung". Anak lazimnya diambil dari salah suatudan yang ada
hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa, tetapi akhir-akhir ini
dapat pula anak diambil dari luar dan itu. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak darilingkungan
keluarga isteri (pradana).Prosedur pengambilan anak di Bali ini adalah
seperti berikut:
•
Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak
itu lebih dahulu wajib mernbicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara
matang.
•
Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaan
dengan ibunya dan dengan keluarganya secara adat harus diputuskan, yaitu dengan
jalan membakar benang (hubungan anak dengan keluarganya putus) dan membayar
menurut adat seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak
dengan ibu menjadi putus).
•
Anak kemudian dimasukkan dalam hubungan kekeluargaan
dari keluarga yang memungutnya (istilahnya diperas).
•
Pengumuman kepada warga desa (siar) untuk
siar ini pada jaman kerajaan dahulu dibutuhkan izin raja, sebab pegawai
kerajaan untuk keperluan adopsi ini membuat "surat peras"
(akta).
Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan Perbuatan
ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya. Sebab-sebab untuk
mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini adalah:
•
Pertama : Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut keponakantersebut,
merupakan jalan untuk mendapat keturunan.
•
Kedua : Karena belum dikurnia anak, sehingga dengan memungut keponakan inidiharapkan
akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
•
Ketiga : Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan,misalnya
karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.
Dari pembahasan diatas saya dapat menyimpulkan bahwa
hukum keluarga itu tidak lepasdari yang namanya perkawinan, karena keluarga ada
dikarenakan adanya perkawinan. Kalau berbicara masalah keluarga kita juga
harus tahu apa itu perkawinan, karena perkawinan adahubungan
yang sangat erat dengan keluarga. Selain itu kita juga bisa mengetahui sumber
hukum keluarga diantaranya sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum
keluarga yang tidak tertulis serta kita dapat mengetahui ruang lingkup hukum
keluarga yakni perkawinan, putusnya perkawinan, dan harta benda
dalam perkawinan.
2.3.Hukum
Waris
2.3.1.
Pengertian
Hukum Waris menurut ahli :
a. Prof.
Soepomo, merumuskan hukum waris adalah : Hukum waris memuat
peraturan-peraturanyang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang- barang tidak berwujud dari angkatan
manusia kepada turunannya.
b. Ter
Haar, merumuskan hukum waris adalah Hukum waris meliputi peraturan-peraturan hukum
yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan
tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immaterial dari suatu
generasikepada generasi berikutnya.
c. Wirjono
Prodjodikoro, S.H. menyatakan : Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan sesorang pada waktu
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
2.3.2.
Beberapa
hal penting dalam Hukum Adat Waris :
Hukum adat waris erat hubungannya
dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukumyang bersangkutan,
misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.- Pengoperan warisan dapat
terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut“penghibahan”
atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia
yangdisebut warisan.- Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan
serta memperhatikan keadaanistimewa dari tiap ahli waris- Adanya persamaan hak
para ahli waris- Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli
waris.- Pembagian warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian
saja.- Harta warisan tidak merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari
sifat, macam asal dankedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.
2.3.3.
Hukum
Waris di dalam Adat Bali
Berbicara
kehidupan bermasyarakat seringkali kita berhadapan dengan kesenjangan sosial.
Di Bali sebagian besar beraggapan bahwa kaum perempuan sering ditindas dan
tidak dihargai terutama persoalan pembagian waris. Hal ini disebabkan
sistem kekeluargaan yangdianut di Bali. Suatu sistem apabila tidak dipahami
secara benar maka akan melahirkan anggapanyang keliru bahkan menyesatkan.Waris
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia.Hukumwaris
adalah bagian dari hukum kekayaan, akan tetapi erat sekali kaitannya dengan
hukumkeluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas
hubungan keluargasedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian, hukum waris
termasuk bentuk campuranantara bidang yang dinamakan hukum kekayaan dan hukum
keluarga.
Masyarakat
adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang
lebihdikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusaan atau purusa.
Kepurusaan tidak selalu keturunan berdasarkan garis laki-laki, adakalanya
berdasarkan garis perempuan, terutamadalam perkawinan nyentana, ini terjadi
bilamana sebuah keluarga tidak memiliki keturunan laki-laki. Sistim kewarisan
menurut garis purusa yang sepenuhnya tidak identik dengan garis lurus laki-laki,
karena perempuanpun bias menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan
sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga.Prinsip-prinsip dalam
kekeluargaan kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yangdianut dalam kitab
Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum
Hindu.hal ini tidak terlepas dari agama yang dianut mayoritas penduduk masyarakat Bali. Sistemkekeluargaan
ini dalam ilmu hukum disebut sistem kekeluargaan patrilineal, sistem
kekeluargaanini dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba dan beberapa daerah
lainnya. demikian jugahalnya dalam pewarisan ternyata prinsip-prinsip pewarisan
hamper serupa dengan ketentuan kitab Manawa Dharmasastra, hanya saja sedikit
terjadi penyimpangan, dimana dalam HukumHindu perempuan mendapat seperempat,
sedangkan di Bali perempuan tidak mendapat warisan. Seiring dengan kemajuan
teknologi dan informasi, kaum perempuan mulai menuntut kesetaraan khususnya dalam
hal pewarisan.
Sebagian perempuan Hindu Bali menghendaki adanya
pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan, hal ini dianggap
sebagaisebuah keadilan.Di Indonesia, sistem pewarisan menggunakan tiga sistem
yaitu:
(1) sistem
hukum warisIslam,
(2) sistem
hukum kewarisan perdata barat dari Burgerlijk Wetboek (BW) atau umumdikenal
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
(3) sistem
hukum adat.
Tampaknya
tuntutan pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi
system kewarisan dalam hukum kewarisan perdata barat (BW), dimana keturunan laki-laki
dan perempuan mendapat warisan yang sama Sedangkan di Bali system kewarisan menggunakan
system kewarisan adat yang dijiwai Hukum Agama Hindu.Berbicara warisan memang
seolah-olah ada kesenjangan didalam hukum adat Bali, tetapisebenarnya
tidak demikian.
Berbicara
warisan adalah berbicara hak dan kewajiban. Perempuan Bali pada umumnya hanya
sedikit mendapatkan warisan bahkan hampir tidak mendapat warisansedangkan
lelaki mendapat warisan lebih besar. Perempuan yang kawin adalah wajar mendapat
sedikit warisan dari orang tua kandungnya karena ia akan
melakukan kewajiban di rumah Suaminya dan mendapat warisan bersama
sang suami. Sedangkan seorang laki-laki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap
leluhurnya misalnya upacara “ngaben”, sehingga wajar ia mendapatkan warisan
lebih besar pula. Menurut Ketut Sri Utari (2006), Konsep warisan dalam hukum
adat bali memiliki bedamakna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang
selalu merupakan hak dan bersifatmateriil atau memiliki nilai uang. Di Bali
warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak
bersifat materiil maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya
berupa:
1) Kewajiban
terhadap Desa Adat
2) Kewajiban
menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya
3) Kewajiban
melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua
maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis.
4) Kewajiban
melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat
5) Mewarisi
harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.
6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari
yang menjadi tanggung jawabnya.
Dari
6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu
hak mewaris hartakekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang tua
kaya, tetapi lebih banyak yangapes/tidak beruntung bila hidup mereka pas-pasan
dan bahkan bila sangat miskin seperti itu,tanggung jawab tetap harus
dipikulnya. Apabila berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan
kewajiban maka akan terjadikesesatan dalam berpikir. Seperti beberapa
daftar kewajiban utama keturunan laki-laki makadapat disimpulkan kewajiban dan
tanggung jawab keturunan laki-laki begitu berat. Sehinggawajar mendapat warisan
lebih besar.Selain itu sebenarnya hukum Hindu (adat) juga tidak melarang orang
tua memberi hibah berupa tanah untuk anak perempuannya yang kawin, inilah yang disebut
dengan harta tata dan, tentu wewenang sepenuhnya ada pada orang tua. Seorang
perempuan Hindu yang kawin jugamendapat “bekel” atau harta bawaan dan apabila
ditinjau dari sudut pandang hukum Hindu perempuan mendapat bagian warisan
seperempat dari keturunan laki-laki. Sebagai akibat hukum yang timbul atas
pemberian harta tatadan, harus merawat orang tuanantinya kalau ia sudah
sakit-sakitan sebagai wujud bhakti anak terhadap orang tua dan jugaharus
memelihara harta tatadan yang diberikan oleh orang tuanya. Dikemudian hari,
bilamana Ruang lingkup Delik Adat meliputi lingkup dari hukum perdata adat,
yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris Didalam setiapmasyarakat
pasti akan terdapat ukuran mengenai hal apa yang baik dan apa yang buruk. Perihal
apa yang buruk atau sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan
imbalan yang negative/sanksi.
Soepomo
menyatakan bahwa Delik Adat :
“ Segala
perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala
perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian
masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya
dinyatakan pula :
“Delik yang
paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antaradunia
lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan
masyarakat”.
Walaupun agak abstrak,
tetapi dapat diperoleh suatu pedoman sebagai ukuran dalam menentukan
sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban
batin masyarakat dengan ketertiban dunia gaib. Dengan demikian (Purnadi
Purbacaraka, Soerjono Soekanto mengatakan : “... menurut pandangan adat,
ketertiban ada dalam alam semesta atau Cosmos. Kegiatan-kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat serta warga –warganyaditempatkan didalam garis
ketertiban kosmis tersebut.Bagi setiap orang garis ketertiban kosmis tersebut
harus dijalnkan dengan spontan atau sertamerta........ Penyelewengan atau
sikap-tindak (perikelakuan) yang menggangu keseimbangan kosmis, maka para
pelakunya harus mengembalikan keslarasan yang semula ”Menurut Teer Haar, suatu
delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada
barang-barang materiil dan immaterial milik hidup seorang atau
kesatuanorang-orang yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, yang dengan reaksi
ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Pada dasarnya suatu
adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya
yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta
keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, gunamemulihkan keadaan ini
maka terjadilah reaksi-reaksi adat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian makalah kami ini dapat kami simpulkan bahwa hukum adat bali merupakan sekumpulan
peraturan baik tertulis / awig-awig maupun tidak tertulis berdasarkan atas kebiasaan
yang menjadi arah dan petunjuk dan batasan terhadapaktivitas
agama ataupun perbuatan anggota masyarakat adat. Adapun beberapa contohhokum
adat bali itu mengatur baik hokum perorangan, hokum kekeluargaan, hukum waris,
hukum perkawinan dan hokum delik adat. Selain itu hukum adat bali juga sangat erat
kaitannya bahkan tidak terpisahkan dengan agama hindu, karena beberapa dari hukum
adat yang ada bersumber dari ajaran agama. Sehingga kadang sulit
dibedakanantara hukum adat dengan agama. Sehingga hokum adat bali ini pada
akhirnya akanmenunjukkan jiwa/roh masyarakat bali yang
kental dengan budaya, dan tradisinya. Darihokum adat bali itu
merupakan perwujudan dari konsep Tri Hita Karane , Bagaimana menjalin hubungan yang
harmonis antara manusia dengan tuhan, manusia dengan sesamanya,
dan hubungan manusia dengan alam.
B. Saran
Melihat perkembangan
jaman tentu membawa perubahan, karena sifat hukum yang mengikuti pekembangan
manusia , begitu juga hokum adat bali sehingga untuk dapat memahami secara utuh
hukum adat bali perlu pengkajian mengenai bagaimana perkembangan
hukum adat di bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA