CLICK FOR CLAIM PROMO !

Sabtu, 16 Januari 2016

Makalah / Paper tentang HUKUM PEWARISAN DALAM HINDU

Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Masyarakat Bali, khususnya etnis Bali yang beragama Hindu, terkenal dengan kehidupanadat dan budayanya. Nilai adat dan budaya ini merupakan suatu ketentuan yang harus di ikuti bagi masyarakat bali. Sebagai warga negara Indonesia, orang orang Bali tentu saja juga tunduk kepada hukum negara, yaitu peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Disamping tunduk kepada hukum negara, bagi orang Bali juga berlaku hukum adat, bahkan pada bidang-bidang kehidupan tertentu, hukum adat Bali justru berlaku dengan sangat kuat terutama akibat belum adanya hukum nasional yang mengatur bidang kehidupan tersebut.Kehidupan hukum adat bali ini merupakan suatu warisan dari leluhur terdahulu yangsampai sekarang terjaga dan dilakukan, walaupun memang ada beberapa bagaian dalam hukumadat bali mengalami suatu proses penyesuaian hukum sesuai perkembanghan jaman. Hukum adat bali bagi masyarakat bali merupakan suatu petunjuk ,jalan, dan batasan dalam melakukan suatu perbuatan dalam ranah hukum adat. Hingga begitu kentalnya hukum adat bali ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama, sehingga sulit bagi kita untuk membedakan antara hukumadat , dan mana agama, karena dalam hukum adat bali antara adat dan agama ini seolahmenyatu, saling keterkaitan. Selain agama hukum adat bali ini juga sering dihubungkan dengansejarah kehidupan masyarakat adat di bali, terutama kisah-kisah kerajaaan yang ada di bali yangmemuat bagaimana system social masyarakat adat di Bali.
Masyarakat Bali sejak zaman Mpu Kuturan mengenal sistem Kahyangan Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya di-implementasikan dalam wadah desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar.Konsep yang adiluhung ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalammenopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang.
Hukum adat bali tidak hanya mengatur mengenai masyarakat adat tetapi juga pribadi/perorangan terhadap, hak dan kewajibannya yang didasarkan atas kedudukannya (status social dan keturunan) serta mengenaisanksi atas pelanggaran hukum adat tersebut.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah hukum perorangan didalam hukum adat bali ?
2.      Bagaimanakah hukum kekeluargaan didalam hukum adat bali ?
3.      Bagaimanakah hukum perkawinan didalam hukum adat bali ?
4.      Bagaimanakah hukum waris didalam hukum adat bali ?
5.      Bagaimanakah keberadaan hukum delik adat yang ada dalam hukum adat bali ?

1.3.Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat dilihat bahwa tujuan pembuatan makalah ini adalahagar kita dapat mengetahui hukum adat bali baik hukum perorangan, hukum kekeluargaan,hukum perkawinan, hukum waris, dan hukum delik adat.

1.4.Manfaat
Dapat menambah wawasan kita terhadap Hukum Adat Bali juga sebagai sebuah kewajiban bagi kita terutama mahasiswa asal bali untuk mengetahui adat bali, sehingga kita secara tidak langsung sudah ikut berkontribusi dalam menjaga hukum adat bali.








BAB II
PEMBAHASAN

1.1.Hukum Perorangan
Hukum Perorangan, adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak-hak dan kewajiban ke dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk  bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya, juga hal – hal yang mempengaruhi kedudukan subjek hukum. Dalam artian sempit hukum perorangan dapat diartikan sebagai hukum orangyang hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum. Dan dalam artian yang luas Hukum orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum tetapi juga termasuk aturan hukum keluarga. Pengertian hokum perorangan menurut subekti adalah peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu. Definisi ini terlalu sempit karenahukum perorangan tidak hanya mengkaji ketiga hal tersebut, namun juga mengkaji tentangdomisili dan catatan sipil. Jadi, hukum perorangan adalah keselurah kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subyek hukum dan kewenangan, kecakapan, domisili, dan catatan sipil. Definisi ini dititikberatkan pada wewenang subyek hukum dan ruang lingkup peraturan hukum perorangan.
1.      Subjek Hukum Perorangan
Subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban yaitu : manusia (Natuurlijk  persoon) dan badan huum(rechts persoon).
a.       Manusia (Natuurlijk Persoon).
Manusia menurut pengertian hukum terdiri dari tiga pengertian
1.      Mens, yaitu manusia dalam pengertian biologis yang mempunyai anggota tubuh, kepala, tangan, kaki dan sebagainya.
2.      Persoon, yaitu manusia dalam pengertian yuridis, baik sebagai individu / pribadi maupun sebagai makhluk yang melakukan hubungan Hukum dalam masyarakat.
3.      Rehts Subject (Subjek Hukum). yaitu manusia dalam hubungan dengan hubungan hukum (rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada azasnya manusia (naturlijk persoon) merupakan subjek hukum      ( pendukung hak dan kewajiban ) sejak lahirnya sampai meninggal. Dapat dihitung surut, apabila memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam kandungan ibunya. (Teori Fiksi Hukum). Bahkan pasal 2 KUH.Perdata mengatakan :
“ Anak ada dalam kandunganseorang perempuan dianggap telah
dilahirkan (menjadi subjek hukum) bila mana kepentingan si anak
menghendakinya misal mengenai pewarisan dan jika sianak mati
sewaktu dilahirkandianggap sebagai tidak pernah ada.”

b.      Badan Hukum (Recht Person).
Badan Hukum adalah subjek hukum yang bukan manuia yang mempunyai wewenang dan cakap bertindak dalam hukum melalui wakil-wakil atau pengurusnya. Sebagai subjek hukum yang bukan manusia tentu Badan Hukum mempunyai perbedaaan dengan Subjek hukummanusia terutama dalam lapangan Hukum Kekeluargaan seperti kawin,beranak,mempunyaikekuasaan sebagai suami atau orangtua dan sebagainya.

2.      Cakap Hukum
Menurt hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang yang sudahdewasa. Ukuran dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi kenyataan-kenyataan tertentu.‘Soepomo’ memberikan cirri-ciri seseorang dianggap dewasa yaitu:
a.       Mampu bekerja (dapat mampu bekerja sendiri), cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta dapat mempertanggungjawabkan sendiri segala perbuatannya. 
b.      Cakap mengurus harta bendanya dan keperluannya sendiri.
c.       Tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tuanya. Dibali sendiri hukum perorangan ini di identikkan dengan  tanggung jawab seseorang berdasarkan atas kasta. Kasta ini merupakan sistem pelapisan sosial yang bersifat turun temurun. Dimana antara kasta yang satu dengan yang lainnya memiliki tugas dan wewenangserta hak kewajiban yang berbeda-beda. Adapun kasta tersebut seperti : Brahmana. Ksatria,waisya, dan sudra. Namun seiring perkembangan jaman sistem kasta ini mulai tidak menjadi pembatas antara kaum yang satu dengan lainnya.

2.2.Hukum Kekeluargaan
2.2.1. Pengertian Hukum Kekeluargaan
Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir).
1.      Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat  antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Hukum keluarga adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulisyang mengatur hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan oleh suatu perbuatan tertentu. Hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak terhadapa orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian anak.Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat menimbulkan hubungan kekeluargaan antara lain adalah pengangkatan anak dan perkawinan. Hubungan-hubungan kekaluargaan itu berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam kehidupan keluarga, seperti hak dan kewajiban anak terhadap orang tua atau sebaliknya hak dankewajiban suami istri, dan seterusnya. Norma-norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan-hubungan tersebut di sebut hukum adat kekeluargaan. Hubungan hukum kekeluargaan yang diatur oleh hukum keluarga ini umumnya disebabkan oleh adanya hubungan se-darah, tetapi ternyata tidak semua hubungan sedarah menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan seperti misalnya kasus anakluar kawin yang tidak memiliki hubungan hukum dengan bapak biologisnya. Sebaliknya tidak semua hubungan kekeluargaan disebabkan oleh adanya hubungan darah, seperti terjadi dalam kasus anak angkat (sentana peperasan) Di Bali Sentana Peperasan tidak semuanya memiliki hubungan darah dengan orang tua angkat, tetapi karena sesuatu perbuatan hukum tertentu (pengangkatan anak) kemudian merekamempunyai hubungan hukum kekeluargaan sama seperti hubungan anak kandung dengan orangtuanya.
Jadi Ruang hukum adat Keluarga di Bali meliputi :
hubungan hukum antara anak dengansanak saudara (kerabat) baik dari pihak Bapak maupun ibu, mengenai pemeliharaan anak dibawah umur terutama anak-anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
2.      Sistem Kekeluargaan
         Sistem kekeluargaan diartikan sebagai cara  menarik garis keturunan, sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang mempunyai  garis keturunan
         Secara umum system kekeluargaan di Indonesia dapat digolongkan atas tiga yaitu :
o   Sistem kekeluargaan patrilinial
o   Sistem kekeluargaan matrilineal
o   Sistem kekeluargaan parental
         Masyarakat adat Bali menganut system kekeluargaan patrilinial atau kebapaan yang dikenal luas dengan istilah kepurusa atau purusa. Prinsip ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yaang dianut dalamkitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai kitab hukum Hindu.
         Hukum keluarga yang berlaku dalam suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh sistemkekeluargaan. 
         Sistem kekeluargaan pada prinsipnya adalah suatu cara untuk menarik garisketurunan.
         Sistem kekeluargaan ini pula yang menjadi inti yang mempengaruhi bidang bidang hukum perkawinan dan waris, menentukan bagaimana bentuk-bentuk perkawinan serta siapa yang berstatus sebagai pelanjut keturunan dan menjadi ahli waris dalam  keluarga. Sistem kekeluargaan yang berlaku di Indonesia sangat beragam, dan untuk Bali berlaku system kekeluargaan yang lebih dikenal dengan sistem kekeluargaan purusa.
         Menurut Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar, BZn disebut sebagai Hukum Kesanak Saudaraan( Verwantschaps Recht ) dan Djaren Saragih, S.H. ( 1984 : 113 ) menamakannya sebagai Hukum Keluarga ( Hukum Kesanak Saudaraan ), sedangkan Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. ( 1992 :201 ) menyebutkan sebagai Hukum Adat Kekerabtan. Pada dasarnya Hukum Adat Kekeluargaan atau Hukum Adat Kekerabatan, adalah : Hukum Adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat ( keluarga ), kedudukan anak  terhadap orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwakilan anak ”.Dalam suasana Hukum Adat Indonesia, perbedaan dalam hubungan – hubungan yang ditimbulkan adalah merupakan akibat dari hubungan hukum yang disebut dengan Perkawinan dan hubungan – hubungan hukum Kesanak Saudaraan, selanjutnya itupun ditentukan oleh bentuk perkawinan yang dilakukan antara kedua belah  pihak mempelai. Demikian pula kedudukan hukum dan keanggotaan dalam keluarga, seorang anak ditentukan oleh bentuk perkawinan orang tua.

3.      Hubungan anak dengan keluarganya
Pada umumnya hubungan anak dengan keluarganya ini sangat tergantung dari ke adaansosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang kita ketahui di indonesia terdapat persekutuan-persekutuan yang susunan masyarakatnya berdasarkan 3 (tiga) macam garis keturunan, yaitu :
a.       Garis keturunan bapak ( patilineal ) 
b.      Garis ketrunan ibu ( matrilinel )
c.       Garis keturunan ibu bapak ( parental )
Dalam persetuan hukum yang masyarakatnya menganut garis keturunan ibu bapak (Parental) atau disebut juga masyarakat Bilateral hubungan anak dengan pihak bapak maupunibunya adalah sama eratnya ataupun sama derajatnya, sehingga dengan susunan bilateral inimaka mengenai larangan perkawinan, warisan, kewajiban memelihara dan lain – lain hukumterhadap kedua belah pihak keluarga adalah sama. Lain halnya dalam persekutuan hukum yangsifatnya uni lateral ( baik patrilinear maupun matriinear ) hubungan hukum dari pihak ibumaupun dari bapak lebih penting atau lebih tinggi derajatnya. Akan tetapi dalam hal ini bukan Di Bali perbuatan ini disebut "nyentanayung". Anak lazimnya diambil dari salah suatudan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar dan itu. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak darilingkungan keluarga isteri (pradana).Prosedur pengambilan anak di Bali ini adalah seperti berikut:
         Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak itu lebih dahulu wajib mernbicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara matang.
         Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaan dengan ibunya dan dengan keluarganya secara adat harus diputuskan, yaitu dengan jalan membakar benang (hubungan anak dengan keluarganya putus) dan membayar menurut adat seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak dengan ibu menjadi putus).
         Anak kemudian dimasukkan dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga yang memungutnya (istilahnya diperas).
         Pengumuman kepada warga desa (siar) untuk siar ini pada jaman kerajaan dahulu dibutuhkan izin raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini membuat "surat peras" (akta).
Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan Perbuatan ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya. Sebab-sebab untuk mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini adalah:
         Pertama : Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut keponakantersebut, merupakan jalan untuk mendapat keturunan.
         Kedua : Karena belum dikurnia anak, sehingga dengan memungut keponakan inidiharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
         Ketiga : Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan,misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.
Dari pembahasan diatas saya dapat menyimpulkan bahwa hukum keluarga itu tidak lepasdari yang namanya perkawinan, karena keluarga ada dikarenakan adanya perkawinan. Kalau berbicara masalah keluarga kita  juga harus tahu apa itu perkawinan, karena perkawinan adahubungan yang sangat erat dengan keluarga. Selain itu kita juga bisa mengetahui sumber hukum keluarga diantaranya sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum keluarga yang tidak tertulis serta kita dapat mengetahui ruang lingkup hukum keluarga yakni perkawinan, putusnya perkawinan, dan harta benda dalam perkawinan.

2.3.Hukum Waris
2.3.1.      Pengertian Hukum Waris menurut ahli :
a.       Prof. Soepomo, merumuskan hukum waris adalah : Hukum waris memuat peraturan-peraturanyang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang- barang tidak berwujud dari angkatan manusia kepada turunannya. 
b.      Ter Haar, merumuskan hukum waris adalah Hukum waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immaterial dari suatu generasikepada generasi berikutnya.
c.       Wirjono Prodjodikoro, S.H. menyatakan : Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan sesorang pada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

2.3.2.      Beberapa hal penting dalam Hukum Adat Waris :
Hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat hukumyang bersangkutan, misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.- Pengoperan warisan dapat  terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut“penghibahan” atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia yangdisebut warisan.- Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan keadaanistimewa dari tiap ahli waris- Adanya persamaan hak para ahli waris- Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.- Pembagian warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian saja.- Harta warisan tidak merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dankedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.
2.3.3.      Hukum Waris di dalam Adat Bali
Berbicara kehidupan bermasyarakat seringkali kita berhadapan dengan kesenjangan sosial. Di Bali sebagian besar beraggapan bahwa kaum perempuan sering ditindas dan tidak dihargai terutama persoalan pembagian waris. Hal ini disebabkan sistem kekeluargaan yangdianut di Bali. Suatu sistem apabila tidak dipahami secara benar maka akan melahirkan anggapanyang keliru bahkan menyesatkan.Waris memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia.Hukumwaris adalah bagian dari hukum kekayaan, akan tetapi erat sekali kaitannya dengan hukumkeluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas hubungan keluargasedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian, hukum waris termasuk bentuk campuranantara bidang yang dinamakan hukum kekayaan dan hukum keluarga.
Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebihdikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusaan atau purusa. Kepurusaan tidak selalu keturunan berdasarkan garis laki-laki, adakalanya berdasarkan garis perempuan, terutamadalam perkawinan nyentana, ini terjadi bilamana sebuah keluarga tidak memiliki keturunan laki-laki. Sistim kewarisan menurut garis purusa yang sepenuhnya tidak identik dengan garis lurus laki-laki, karena perempuanpun bias menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga.Prinsip-prinsip dalam kekeluargaan kepurusa sama dengan sistem kekeluargaan yangdianut dalam kitab Manawa Dharmasastra, yang dikenal sebagai salah satu kitab Hukum Hindu.hal ini tidak terlepas dari agama yang dianut mayoritas penduduk masyarakat Bali. Sistemkekeluargaan ini dalam ilmu hukum disebut sistem kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaanini dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba dan beberapa daerah lainnya. demikian jugahalnya dalam pewarisan ternyata prinsip-prinsip pewarisan hamper serupa dengan ketentuan kitab Manawa Dharmasastra, hanya saja sedikit terjadi penyimpangan, dimana dalam HukumHindu perempuan mendapat seperempat, sedangkan di Bali perempuan tidak mendapat warisan. Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, kaum perempuan mulai menuntut kesetaraan khususnya dalam hal pewarisan.
 Sebagian perempuan Hindu Bali menghendaki adanya pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan, hal ini dianggap sebagaisebuah keadilan.Di Indonesia, sistem pewarisan menggunakan tiga sistem yaitu:
(1)   sistem hukum warisIslam,
(2)   sistem hukum kewarisan perdata barat dari Burgerlijk Wetboek (BW) atau umumdikenal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
(3)   sistem hukum adat.
Tampaknya tuntutan pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi system kewarisan dalam hukum kewarisan perdata barat (BW), dimana keturunan laki-laki dan perempuan mendapat warisan yang sama Sedangkan di Bali system kewarisan menggunakan system kewarisan adat yang dijiwai Hukum Agama Hindu.Berbicara warisan memang seolah-olah ada kesenjangan didalam hukum adat Bali, tetapisebenarnya tidak demikian. 
Berbicara warisan adalah berbicara hak dan kewajiban. Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit mendapatkan warisan bahkan hampir tidak mendapat warisansedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar. Perempuan yang kawin adalah wajar mendapat sedikit warisan dari orang tua  kandungnya karena ia akan melakukan kewajiban di rumah Suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami. Sedangkan seorang laki-laki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap leluhurnya misalnya upacara “ngaben”, sehingga wajar ia mendapatkan warisan lebih besar pula. Menurut Ketut Sri Utari (2006), Konsep warisan dalam hukum adat bali memiliki bedamakna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu merupakan hak dan bersifatmateriil atau memiliki nilai uang. Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak  bisa ditolak bersifat materiil maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa:
1)      Kewajiban terhadap Desa Adat
2)      Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya
3)      Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis.
4)      Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat
5)      Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.
6)      Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari yang menjadi tanggung jawabnya.
Dari 6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu hak mewaris hartakekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang tua kaya, tetapi lebih banyak yangapes/tidak beruntung bila hidup mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu,tanggung jawab tetap harus dipikulnya. Apabila berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan kewajiban maka akan terjadikesesatan dalam berpikir. Seperti beberapa daftar kewajiban utama keturunan laki-laki makadapat disimpulkan kewajiban dan tanggung jawab keturunan laki-laki begitu berat. Sehinggawajar mendapat warisan lebih besar.Selain itu sebenarnya hukum Hindu (adat) juga tidak melarang orang tua memberi hibah berupa tanah untuk anak perempuannya yang kawin, inilah yang disebut dengan harta tata dan, tentu wewenang sepenuhnya ada pada orang tua. Seorang perempuan Hindu yang kawin jugamendapat “bekel” atau harta bawaan dan apabila ditinjau dari sudut pandang hukum Hindu perempuan mendapat bagian warisan seperempat dari keturunan laki-laki. Sebagai akibat hukum yang timbul atas pemberian harta tatadan, harus merawat orang tuanantinya kalau ia sudah sakit-sakitan sebagai wujud bhakti anak terhadap orang tua dan jugaharus memelihara harta tatadan yang diberikan oleh orang tuanya. Dikemudian hari, bilamana Ruang lingkup Delik Adat meliputi lingkup dari hukum perdata adat, yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris Didalam setiapmasyarakat pasti akan terdapat ukuran mengenai hal apa yang baik dan apa yang buruk. Perihal apa yang buruk atau sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan imbalan yang negative/sanksi.
Soepomo menyatakan bahwa  Delik Adat :
“ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang  kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya dinyatakan pula :
“Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antaradunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”.
Walaupun agak abstrak, tetapi dapat diperoleh suatu pedoman sebagai ukuran dalam menentukan sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban batin masyarakat dengan ketertiban dunia gaib. Dengan demikian (Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto mengatakan : “... menurut pandangan adat, ketertiban ada dalam alam semesta atau Cosmos. Kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta warga –warganyaditempatkan didalam garis ketertiban kosmis tersebut.Bagi setiap orang garis ketertiban kosmis tersebut harus dijalnkan dengan spontan atau sertamerta........ Penyelewengan atau sikap-tindak (perikelakuan) yang menggangu keseimbangan kosmis, maka para pelakunya harus mengembalikan keslarasan yang semula ”Menurut Teer Haar, suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materiil dan immaterial milik hidup seorang atau kesatuanorang-orang yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, yang dengan reaksi ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Pada dasarnya suatu adat delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, gunamemulihkan keadaan ini maka terjadilah reaksi-reaksi adat.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah kami ini dapat kami simpulkan bahwa hukum adat bali merupakan  sekumpulan peraturan baik tertulis / awig-awig maupun tidak tertulis berdasarkan atas kebiasaan yang menjadi arah dan petunjuk dan batasan terhadapaktivitas agama ataupun perbuatan anggota masyarakat adat. Adapun beberapa contohhokum adat bali itu mengatur baik hokum perorangan, hokum kekeluargaan, hukum waris, hukum perkawinan dan hokum delik adat. Selain itu hukum adat bali juga sangat erat kaitannya bahkan tidak terpisahkan dengan agama hindu, karena beberapa dari hukum adat yang ada bersumber dari ajaran agama. Sehingga kadang sulit dibedakanantara hukum adat dengan agama. Sehingga hokum adat bali ini pada akhirnya akanmenunjukkan jiwa/roh masyarakat bali yang kental dengan budaya, dan tradisinya. Darihokum adat bali itu merupakan perwujudan dari konsep Tri Hita Karane , Bagaimana menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan tuhan, manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
B.     Saran

Melihat perkembangan jaman tentu membawa perubahan, karena sifat hukum yang mengikuti pekembangan manusia , begitu juga hokum adat bali sehingga untuk dapat memahami secara utuh hukum adat bali perlu pengkajian mengenai bagaimana perkembangan hukum adat di bali 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017