Subscribe
A.
PENDAHULUAN
pelimpahan kekuasaan/kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan yang berlaku.Tapi, dalam implementasinya, otonomi
daerah tak seindah yang dibayangkan,kekuasaan yang didistribusi dari pusat ke
daerah ternyata
memunculkan praktek korupsi di
tingkat daerah.Oleh karena itu dalam otonomi daerah tidak hanya kekuasaan yang
terdesentralisasi akan tetapi juga di ikuti oleh korupsi.Dengan maraknya
kasus-kasus korupsi di daerah yang dimuat dan diberitakan di media massa, ini
semua menunjukan bahwa penyebaran korupsi di daerah sudah pada tahap yang
sangat serius dan hal
ini bertentangan dengan tujuan dari
kebijakan otonomi daerah.Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari
sisi kuantitas maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di
Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), akan tetapi
sudah
merupakan kejahatan yang sangat luar
biasa (extra ordinary crimes).
Secara Internasional, korupsi diakui
sebagai masalah yang sangat kompleks, bersifat sistemik, dan meluas.Centre for
Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu organ Perserikatan Bangsa - Bangsa secara luas mendefinisikan korupsi
sebagai “missus of (public) power for private gain”.Menurut Customer Interrupt
Control Program (CICP)
korupsi mempunyai dimensi perbuatan
yang luas meliputi tindak pidana suap (bribery),
penggelapan (emblezzlement), penipuan
(fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan
(exortion), penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk
kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest,
insider trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik
(illegal
commission) dan kontribusi uang
secara illegal untuk partai politik
perundang-undangan. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga
Negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan yang
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagai badan
yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. UndangUndang Nomor 16 Tahun
2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia4, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia4, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana fungsi dan kewenangan Jaksa dalam penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hokum normatif yang bertujuan
untuk mencari pemecahan atas isu hukum sertaper masalahan yang timbul di
dalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian adalah memberikan
preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), , dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), mutlak diperlukan guna
mengkaji dan menganalisis lebih lanjut dasar hukum pengaturan fungsi dan
wewenang kejaksaan sebagai institusi negara di bidang penyidikan dan penuntutan
terhadap perkara pidana yang dalam penelitian ini tindak piodana korupsi serta
kendala-kendala yang dihadapi dalam proses penerapan peraturan
perundang-undangan tersebut.Pendekatan konseptual (conceptual approach), digunakan
untuk mengkaji dan menganalisis kerangka pikir atau kerangka konseptual maupun
landasan teoritis sesuai dengan isu hukum yang diajukan dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan utama penelitian. Data ini terdiri atas, bahan hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier
Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan utama penelitian. Data ini terdiri atas, bahan hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier
Bahan hukum primer yaitu, bahan hukum berupa
undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, yang terdiri dari : Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana; Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksanaan Republik Indonesia;
Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang
telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan; Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
Ins-002/A/JA/2005 tanggal 10 Januari 2005 tentang Perencanaan Stratejik dan
Rencana Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia; Sedangkan bahan hukum sekunder,
adalah pandangan para ahli, Jurnal ilmu hukum, laporan hasil penelitian, kamus
hukum, kamus umum Bahasa Indonesia, kamus Inggris- indonesia dan sumber
kepustakaan lainnya termasuk informasi melalui internet. Bahan hukum tertier
berupa majalah, surat kabar sebagai penunjang informasi dalam penelitian.,
Instrumen penelitian untuk pengumpulan data tersebut adalah studi kepustakaan.
Studi kepustakaan dimaksud berupa metode pengumpulan data dengan cara membaca
dan memahami literatur, dokumen-dokumen hasil penelitian terdahulu dan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Pada tahap ini data yang dikumpulkan akan diolah dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sehingga dapat digunakan untuk menjawab permasalahan. Penelitian ini
merupakan penelitian normatif, maka analisis bahan hukum yang digunakan adalah
analisis kualitatif. Yang dimaksud dengan analisis kualitatif adalah analisis
dengan menggunakan ukuran kualitatif. Setelah itu dilakukan penarikan
kesimpulan dengan deduktif yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari
proposisi umum yang sebenarnya telah diketahui, diyakini dan berakhir pada
suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus. Dalam hal ini yang
umum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konteks Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di era otonomi daerah.
D. PEMBAHASAN
1. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Kejaksaan dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
kehidupan.
Elemen-elemen esensial negara hukum (rechtsstaat) yang menjadi ciri
tegaknya supremasi hukum antara lain harus ada jaminan bahwa pemerintah dalam
menjalankan kekuasaannya selalu dan senantiasa berlandaskan hukum dan peraturan
perundang-undangan Dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat
(1) menegaskan bahwa
Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undangundang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam
menegakan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat berfungsi menjadi tulang punggung reformasi, sehingga dapat memperkokoh ketahanan dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan. Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan dalam penegakan
hukum di Indonesia., Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan
kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara . Undang-Undang Dasar 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesejahteraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan atas UU No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakan adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Segenap tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara Indeonesia, agar kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin kokoh.
Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undangundang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam
menegakan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat berfungsi menjadi tulang punggung reformasi, sehingga dapat memperkokoh ketahanan dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan. Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan dalam penegakan
hukum di Indonesia., Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan
kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara . Undang-Undang Dasar 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesejahteraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan atas UU No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakan adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Segenap tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara Indeonesia, agar kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin kokoh.
2. Kendala- Kendala Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi di Era Otonomi Daerah.
Tindak
pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab
terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena korupsi di
Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan
kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas.
Pertama, sadar atau tidak, program otonomi daerah yang digulirkan oleh
pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan,
keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai
pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah
tidak diikuti denganprogram demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan
masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini
hanya memberi peluang kepada elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi
dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau 5 Saldi Isra, dikutip dari
Gatot Wahyu dalam Tulisan “ Otonomi Daerah lahirkan Desentralisasi Korupsi”penyalahgunaan wewenang.
Kedua, tidak ada institusi
negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah.
Program otonomi daerah telah memotong struktur hierarki pemerintahan, sehingga tidak
efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan
struktural secara langsung yang memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota, tidak
lagi
ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD.
ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD.
Ketiga, legislatif daerah gagal
dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi
yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (pemerintah daerah) tidak berarti peluang adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif
dan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol.
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (pemerintah daerah) tidak berarti peluang adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif
dan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol.
Pada prinsipnya, peran Kejaksaan di berbagai Negara ikelompokkandalam 2 (dua) sistem, pertama,
disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua, disebut discretionary
prosecutorial system. Kejaksaan RI atau lazim disebut Korps Adhyaksa masuk
ke dalam kedua kelompok tersebut, baik mandatory prosecutorial system di
dalam penanganan perkara tindak pidana umum, dan discretionary prosecutorial
system khusus di dalam penanganan tindak pidana korupsi, mengacu pada pasal
284 ayat 2 KUHAP jo Pasal 26 Undang-Undang No 31/1999 jo Undang-Undang No
20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 40-44 ayat 4 serta
Pasal 50 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 30 huruf d Undang-Undang No 16/2004 tentang
Kejaksaan RI, sedangkan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia mengacu
kepada Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi
Manusia.
E. PENUTUP
Sebagai salah satu sub sistem dari suatu sistem
hukum, kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan hukum di
Indonesia. Untuk itu, fungsi dan kewenangan kejaksaan sebagaimana ditetapkan
dalam perundang-undangan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakan supremasi
hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Lembaga Kejaksaan harus memiliki anggaran dan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan integritas dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dilakukan lembaga penegak hukum lain serta berusaha membangun citra untuk mendapat kepercayaan
masyarakat. Hambatan yang dijumpai dalam proses penuntutan perkara tindak pidana korupsi mencakup hambatan yang bersifat non yuridis dan hambatan yang bersifat yuridis. Untuk itu lembaga kejaksaan perlu melakukan inisiatif atas langkah-langkah untuk menyamakan persepsi dengan lembaga penegak hukum lainnya dan lembaga-lembaga pemerintahan lain yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Disamping itu lebih mengintensifkan koordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya dan kegiatan sosialisasi terhadap aparat pemerintah daerah dan masyarakat dengan mengkutsertakan perguruan tinggi hukum di seluruh Indonesia
manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Lembaga Kejaksaan harus memiliki anggaran dan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan integritas dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dilakukan lembaga penegak hukum lain serta berusaha membangun citra untuk mendapat kepercayaan
masyarakat. Hambatan yang dijumpai dalam proses penuntutan perkara tindak pidana korupsi mencakup hambatan yang bersifat non yuridis dan hambatan yang bersifat yuridis. Untuk itu lembaga kejaksaan perlu melakukan inisiatif atas langkah-langkah untuk menyamakan persepsi dengan lembaga penegak hukum lainnya dan lembaga-lembaga pemerintahan lain yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Disamping itu lebih mengintensifkan koordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya dan kegiatan sosialisasi terhadap aparat pemerintah daerah dan masyarakat dengan mengkutsertakan perguruan tinggi hukum di seluruh Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Andreski, Stanislav ,: “Kleptocracy or corruption as a system of government,” in S. Andreski ed., The African Predicament: A Study in the Pathology of Modernization, London: Michael Joseph,1968
Anthon f. Susanto, Wajah Peradilan Kita, konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana.PT. Refika Aditama, Bandung,2004,
Dillon, H.S. Partnership for Government Reform: Facilitating Government Reform in the Indonesian Judiciary and Public Prosecution, makalah dibacakan dalam Seminar Nasional “Menuju Good Governance dan Clean Government Melalui Peningkatan Integritas Sektor Publik dan Swasta (Dalam Semangat Konvensi PBB Menentang Korupsi, Jakarta, 14-15 September2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA