CLICK FOR CLAIM PROMO !

Jumat, 04 September 2015

MAKALAH PPKN TENTANG KORUPSI

Subscribe
A.    PENDAHULUAN

pelimpahan kekuasaan/kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku.Tapi, dalam implementasinya, otonomi daerah tak seindah yang dibayangkan,kekuasaan yang didistribusi dari pusat ke daerah ternyata
memunculkan praktek korupsi di tingkat daerah.Oleh karena itu dalam otonomi daerah tidak hanya kekuasaan yang terdesentralisasi akan tetapi juga di ikuti oleh korupsi.Dengan maraknya kasus-kasus korupsi di daerah yang dimuat dan diberitakan di media massa, ini semua menunjukan bahwa penyebaran korupsi di daerah sudah pada tahap yang sangat serius dan hal
ini bertentangan dengan tujuan dari kebijakan otonomi daerah.Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), akan tetapi sudah
merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes).

Secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat kompleks, bersifat sistemik, dan meluas.Centre for Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu organ Perserikatan Bangsa -  Bangsa secara luas mendefinisikan korupsi sebagai “missus of (public) power for private gain”.Menurut Customer Interrupt Control Program (CICP)

korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap (bribery),
penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan
(exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest, insider trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal
commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik

perundang-undangan. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan yang melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia4, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana fungsi dan kewenangan Jaksa dalam penyidikan dan  penuntutan tindak pidana
     korupsi.





C. METODOLOGI PENELITIAN

            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hokum normatif yang bertujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum sertaper masalahan yang timbul di dalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), , dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach), mutlak diperlukan guna mengkaji dan menganalisis lebih lanjut dasar hukum pengaturan fungsi dan wewenang kejaksaan sebagai institusi negara di bidang penyidikan dan penuntutan terhadap perkara pidana yang dalam penelitian ini tindak piodana korupsi serta kendala-kendala yang dihadapi dalam proses penerapan peraturan perundang-undangan tersebut.Pendekatan konseptual (conceptual approach), digunakan untuk mengkaji dan menganalisis kerangka pikir atau kerangka konseptual maupun landasan teoritis sesuai dengan isu hukum yang diajukan dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan utama penelitian. Data ini terdiri atas, bahan hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier

             Bahan hukum primer yaitu, bahan hukum berupa undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, yang terdiri dari : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksanaan Republik Indonesia; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan; Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Ins-002/A/JA/2005 tanggal 10 Januari 2005 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia; Sedangkan bahan hukum sekunder, adalah pandangan para ahli, Jurnal ilmu hukum, laporan hasil penelitian, kamus hukum, kamus umum Bahasa Indonesia, kamus Inggris- indonesia dan sumber kepustakaan lainnya termasuk informasi melalui internet. Bahan hukum tertier berupa majalah, surat kabar sebagai penunjang informasi dalam penelitian., Instrumen penelitian untuk pengumpulan data tersebut adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dimaksud berupa metode pengumpulan data dengan cara membaca dan memahami literatur, dokumen-dokumen hasil penelitian terdahulu dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Pada tahap ini data yang dikumpulkan akan diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menjawab permasalahan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka analisis bahan hukum yang digunakan adalah analisis kualitatif. Yang dimaksud dengan analisis kualitatif adalah analisis dengan menggunakan ukuran kualitatif. Setelah itu dilakukan penarikan kesimpulan dengan deduktif yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi umum yang sebenarnya telah diketahui, diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus. Dalam hal ini yang umum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konteks Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di era otonomi daerah.

D. PEMBAHASAN

1. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Kejaksaan dalam pemberantasan
    tindak pidana korupsi.
kehidupan. Elemen-elemen esensial negara hukum (rechtsstaat) yang menjadi ciri tegaknya supremasi hukum antara lain harus ada jaminan bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya selalu dan senantiasa berlandaskan hukum dan peraturan perundang-undangan Dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa
Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undangundang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam
menegakan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat berfungsi menjadi tulang punggung reformasi, sehingga dapat memperkokoh ketahanan dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan. Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan dalam penegakan
hukum di Indonesia., Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan
kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara . Undang-Undang Dasar 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesejahteraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan atas UU No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakan adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Segenap tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan supremasi hukum di negara Indeonesia, agar kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin kokoh.

2. Kendala- Kendala Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana
    Korupsi di Era Otonomi Daerah.
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Pertama, sadar atau tidak, program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti denganprogram demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau 5 Saldi Isra, dikutip dari Gatot Wahyu dalam Tulisan “ Otonomi Daerah lahirkan Desentralisasi Korupsi”penyalahgunaan wewenang.
Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hierarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung yang memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota, tidak lagi
ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD.
Ketiga, legislatif daerah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (pemerintah daerah) tidak berarti peluang adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif
dan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol.
Pada prinsipnya, peran Kejaksaan di berbagai Negara  ikelompokkandalam 2 (dua) sistem, pertama, disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua, disebut discretionary prosecutorial system. Kejaksaan RI atau lazim disebut Korps Adhyaksa masuk ke dalam kedua kelompok tersebut, baik mandatory prosecutorial system di dalam penanganan perkara tindak pidana umum, dan discretionary prosecutorial system khusus di dalam penanganan tindak pidana korupsi, mengacu pada pasal 284 ayat 2 KUHAP jo Pasal 26 Undang-Undang No 31/1999 jo Undang-Undang No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 40-44 ayat 4 serta Pasal 50 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 30 huruf d Undang-Undang No 16/2004 tentang Kejaksaan RI, sedangkan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia mengacu kepada Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.
















E. PENUTUP
Sebagai salah satu sub sistem dari suatu sistem hukum, kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu, fungsi dan kewenangan kejaksaan sebagaimana ditetapkan dalam perundang-undangan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Lembaga Kejaksaan harus memiliki anggaran dan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan integritas dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dilakukan lembaga penegak hukum lain serta berusaha membangun citra untuk mendapat kepercayaan
masyarakat. Hambatan yang dijumpai dalam proses penuntutan perkara tindak pidana korupsi mencakup hambatan yang bersifat non yuridis dan hambatan yang bersifat yuridis. Untuk itu lembaga kejaksaan perlu melakukan inisiatif atas langkah-langkah untuk menyamakan persepsi dengan lembaga penegak hukum lainnya dan lembaga-lembaga pemerintahan lain yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Disamping itu lebih mengintensifkan koordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya dan kegiatan sosialisasi terhadap aparat pemerintah daerah dan masyarakat dengan mengkutsertakan perguruan tinggi hukum di seluruh Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Andreski, Stanislav ,: “Kleptocracy or corruption as a system of government,” in S. Andreski ed., The African Predicament: A Study in the Pathology of Modernization, London: Michael  Joseph,1968

Anthon f. Susanto, Wajah Peradilan Kita, konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana.PT. Refika Aditama, Bandung,2004,


Dillon, H.S. Partnership for Government Reform: Facilitating Government Reform in the Indonesian Judiciary and Public Prosecution, makalah dibacakan dalam Seminar Nasional “Menuju Good Governance dan Clean Government Melalui Peningkatan Integritas Sektor Publik dan Swasta (Dalam Semangat Konvensi PBB Menentang Korupsi, Jakarta, 14-15 September2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017