Subscribe
Peringati
Hari HAM, Aktivis Kupang Soroti Perdagangan Manusia
Aliansi Menolak Perdagangan Orang (Ampera)
Kupang menggelar doa bersama di Tugu HAM, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang,
NTT. (Liputan6.com/Ola Keda)
Liputan6.com,
Kupang - Memperingati
Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, puluhan aktivis
forum peduli kemanusiaan yang tergabung dalam Aliansi Menolak Perdagangan Orang
(Ampera) Kupang menggelar doa bersama di Tugu HAM di Kelurahan Lai-Lai Bissi
Kopan, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.Kooordinator aksi,
Isodorus Hardiman mengatakan, dalam konteks nasional, masyarakat Indonesia
masih menyaksikan bagaimana negara membiarkan terjadinya berbagai pelanggaran HAM.Menurut dia, di berbagai daerah
di Indonesia semakin marak tindakan intoleransi atas minoritas agama atau suku,
pertikaian antaragama, tindakan represif oleh aparat militer terhadap warga
sipil. Serta, perampasan atas sumber-sumber produksi yang dilegitimasi oleh
negara terhadap warga.
"Di tahun 2015, Komnas HAM menerima 8.249
pengaduan dan tercatat pelanggaran HAM paling banyak dilakukan oleh institusi
kepolisian, korporasi, pemerintah daerah, TNI, dan terakhir lembaga
peradilan," ucap Hardiman kepada Liputan6.com, Sabtu, 10 Desember
2016.Hardiman mengungkapkan, di NTT pelanggaran HAM terbanyak dilakukan dalam
perdagangan orang atau eksploitasi tenaga kerja. Bahkan pada tahun 2016
tercatat 56 tenaga kerja Indonesia atau TKI asal NTT yang dipulangkan dalam
keadaan tak bernyawa.Pantauan Liputan6.com, selain doa bersama,
para aktivis kemanusiaan juga membakar seribu lilin di area Tugu HAM di Kupang. Aksi tersebut juga dihadiri beberapa pemuda muslim,
perwakilan gereja Protestan Pendeta Bobi Nale, dan perwakilan gereja Katolik
dari Keuskupan Kupang, Romo Hironimus.
Kontras Dorong MPR Usul Pembentukan Komite Kepresidenan
HAM
Zulkifli
Hasan mendengarkan salah satu anggota Kontras berbicara saat pertemuan di Ruang
Kerja Ketua MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/11). Dalam pertemuan tersebut
Zulkifli Hasan mendukung usulan pembentukan komite kepresidenan.
(Liputan6.com/Johan Tallo)
Liputan6.com,
Jakarta - Sejumlah
aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) meminta dukungan MPR, untuk mendorong
pembentukan Komite Kepresidenan HAM. Mereka mengusulkan agar Zulkifli Hasan
sebagai Ketua MPR berbicara kepada Presiden Joko Widodo, tentang pelanggaran
HAM berat masa lalu.
Usulan itu disampaikan aktivis HAM di antaranya
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar dan Harbrinderjit Singh Dillon, dalam
kunjungan ke Ketua MPR Zulkifli Hasan, Rabu kemarin, 16 November 2016.
"Sebelumnya kepada Presiden, Ketua MPR juga sudah
pernah bicara tentang penyelesaian pelanggaran HAM. Ketua MPR diharapkan
menyampaikan usulan dari masyarakat sipil agar Presiden membentuk Komite
Kepresidenan," kata Haris, usai pertemuan.
Menurut Haris, Komite Kepresidenan adalah sebuah
komite yang terdiri dari lima sampai tujuh orang, yang bekerja dalam kurun
tertentu, untuk merumuskan penyelesaian pelanggaran HAM kepada Presiden.
"Komite ini bukanlah penegak hukum. Komite ini
merumuskan satu kebijakan buat Presiden untuk penyelesaian hukum kasus
HAM," jelas dia.
Jika penyelesaian hukum pelanggaran HAM itu tidak bisa dilakukan,
lanjut Haris, lalu bagaimana penyelesaian nonhukumnya, serta kebijakan dan
proses yang akan diambil Presiden.
"Komite ini tidak melakukan penyelidikan
pelanggaran HAM, karena bahan-bahan sudah ada semua. Mereka hanya membuat
rumusan, misal lakukan A, B, C. Tinggal lihat, apakah bisa dengan bikin tim
sendiri atau kementerian ini bisa digunakan. Intinya, presiden bisa perintahkan
jajaran," papar dia.
Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut, lanjut Haris,
antara lain kasus Trisakti, kasus Semanggi, pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan
Talangsari. Semuanya sudah ada di Komnas HAM. Untuk kasus lain seperti kematian
Munir, Marsinah, komite ini bisa mengusulkan ke Presiden yang kemudian bisa
memanggil Komnas HAM.
Menurut Haris, pelanggaran HAM berat yang terjadi di
berbagai daerah selama 40 tahun belakangan ini belum ada penyelesaian. Sebab,
pemerintahan dari tahun ke tahun selalu berganti kebijakan.
"Apa yang dilakukan pemerintah hari ini tidak
terkonsolidasi dengan baik. Karena kabinet dan pejabat berganti, sehingga tidak
terkonsolidasi. Akibatnya, para korban pelanggaran HAM belum memperoleh
keadilan dari Aceh hingga Papua," tandas Haris.
Sementara, Ketua MPR Zulkfili Hasan mendukung
pembentukan Komite Kepresidenan tersebut. Ia juga berjanji akan berbicara
kembali dengan Presiden, bagaimana penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM
masa lalu.
Komnas HAM: Kepala BIN Harus Bersih dari Indikasi
Pelanggaran HAM
(Liputan6.com/
Edward Panggabean)
Liputan6.com,
Jakarta - Komnas
HAM menekankan agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjamin pejabat publik
yang akan diangkat bersih dari indikasi pelanggaran HAM, termasuk untuk
posisi Kepala Badan Intelijen Negara."Khusus
Kepala BIN, Komnas HAM meminta kandidat harus benar-benar bersih dari indikasi
pelanggaran HAM," kata Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga di Kantor
Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (23/2/2015).Menurut Sandra, Komnas
HAM telah memberikan saran kepada pemerintah mengenai kriteria pejabat publik
yang ideal pada Agustus 2014 silam. Saat itu, Jokowi merupakan kandidat yang
mendapatkan suara terbanyak dalam Pilpres 2014."Kami menekankan kriteria
pejabat publik, ada 6 poin yang kami utarakan pada Agustus lalu," tutur
Sandra.Pertama, menghargai pluralisme yang ada di Indonesia. Kedua, membawa
Indonesia menjadi negara yang memiliki kontribusi dan pengaruh di dunia
internasional."Ketiga, memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang
masing-masing. Keempat, berwawasan kebangsaan," papar Sandra.Kelima,
pejabat publik, khususnya penegak hukum dan keamanan harus menjunjung sikap
independen sehingga terbebas dari intervensi dan dominasi partai politik.Poin
terakhir, pejabat publik harus bersih dari indikasi pelanggaran HAM. "Juga
memiliki komitmen memajukan HAM," tutup dia. (Ado)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA