Subscribe
SEJARAH PANTAI
KUTA DI BALI
Pantai Kuta di Bali yang sangat terkenal memiliki sejarah penting sejak
abad ke-14. Kuta mulai dikenal sejak 1336 M, dimana Gajahmada dan pasukannya
dari Majapahit, mendarat di bagian selatan pantai ini. Karena sering menjadi
lokasi persinggahan, pelan-pelan daerah ini menjadi pelabuhan kecil. Warga pun
menyebut kawasan di Banjar Segara Kuta ini dengan nama Pasih Perahu yang
berarti pantai perahu.
Sebelum menjadi kawasan wisata, Pantai Kuta merupakan
sebuah pelabuhan dagang. Pada abad ke-19, salah seorang pedagang warga Denmark
Mads Lange, datang ke Bali untuk mendirikan basis perdagangan di Kuta. Mads
Lange terkenal pandai bernegosiasi sehingga bisa merebut hati raja-raja Bali
dengan Belanda
Kuta semakin diperhitungkan setelah penulis Hugh Mahbett menerbitkan
buku berjudul “Praise to Kuta” yang berisi ajakan kepada masyarakat setempat
untuk menyiapkan fasilitas akomodasi wisata. Buku ini bertujuan untuk
mengantisipasi ledakan wisatawan yang berkunjung ke Bali. Buku tersebut
kemudian menginspirasi banyak orang untuk membangun fasilitas wisata seperti
penginapan, restoran dan tempat hiburan.
Padahal tahun 1960-an Pantai Kuta masih sunyi. Para wisatawan pun belum
banyak dan mereka dengan santainya telanjang di pantai. Menurut Horst Henry
Geerken, menjelang akhir 1960-an, Kuta menjadi tempat favorit kaum hippies. Mariyuana, dan obat-obatan lain
banyak dijual di sini. Namun setelah tahun 1970-an, turis sudah tidak bisa
bebas lagi Mulai ada larangan turis telanjang di pantai. Namun tetap saja
Pantai Kuta difavoritkan.
Waktu itu hotel-hotel tidak banyak sebaliknya Kuta
dipenuhi penginapan yang dimiliki penduduk lokal. Di sepanjang Pantai Kuta
waktu itu masih terdapat perahu nelayan.
Kuta tumbuh semakin pesat sebagai tempat wisata andalan setelah Bandara
pindah dari Kabupaten Singaraja di kawasan Bali Selatan, Kuta semakin dipenuhi
bagunan dan akomodasi untuk kegiatan wisata.
Pada tahun 2002 dan 2005 Kuta sepi akibat bom. Banyak negara melarang
warganya untuk datang di Indonesia. Memang, pada serangan pertama, 12 Oktober
2002, teroris berhasil menewaskan sebanyak 202 orang dan 209 orang
lainnya cedera. Sedangkan serangan kedua terjadi pada 2005 tepat di Pantai
Kuta.
Namun seiring berjalannya waktu, kuta terus mengalami
perbaikan-perbaikan. Pemerintah daerah Bali membuat rencana induk pengembangan
wilayah ini untuk melestarikan pantai Kuta sebagai sebuah tempat wisata
bernuansakan alam.
PURA TIRTA
EMPUL
Segala sesuatu berawal dari masa lalu, masa lalu itulah yang kita sebut
dengan sejarah. Setiap bangunan, tempat dan lokasi selalu memiliki sejarah,
baik itu sejarah tentang asal muasal sebuah nama, sebuah tempat ataupun sejarah
mengapa bisa terbentuknya sebuah tempat tersebut.
Presiden pertama kita Ir.Soekarno pernah berpidato tentang JAS MERAH,
yang mengajak seluruh rakyat indonesia untuk tidak sekali-kali melupakan
sejarah. Itu artinya sejarah itu adalah bagian terpenting bagi
kehidupan manusia. Salah satu tempat di Bali yang memiliki sejarah adalah Pura
Tirta Empul. Pura ini berlokasi di desa Manukaya kecamatan Tampaksiring
kabupaten Gianyar – Bali. Pura Tirta Empul Adalah sebuah tempat persembahyangan
bagi umat hindu yang di dalamnya terdapat beberapa pancuran air suci yang
dipercaya sebagai air yang dapat menyucikan tubuh (Pelukat).
Pura Tirta Empul selain sebagai tempat suci untuk menyembah tuhan,
juga memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Tak jarang kita temui
wisatawan-wisatawan lokal maupun mancanegara di kawasan pura ini. Bahkan, turis
asing ini juga ikut melukat (menyucikan diri) di pura ini dengan membasuh
tubuhnya di pancuran air di kolam pura tirta empul ini. Untuk
mengetahui daya tarik apa saja yang ada di Pura Tirta Empul ini, silahkan baca
artikel kami tentang Pura Tirta Empul Tampak Siring Bali.
Pada zaman dahulu kala, tersebutlah seorang raja yang gagah perkasa dan
tak tertandingi di daerah bali. Raja ini bernama Mayadanawa seorang raja di
bali berketuruanan Daitya (raksasa) anak dari seorang Dewi Danu Batur. Raja ini terkenal dengan
kesaktiannya yang sangat luar biasa, ia mampu merubah dirinya menjadi bentuk
apapun yang ia kehendaki seperti menjadi kambing, ayam, pohon, batu dan yang
lainnya. Dengan kesaktiannya tersebut, ia mampu menaklukan daerah-daerah
seperti daerah makasar, sumbawa, bugis, lombok dan blambangan. Karena kesaktian
dan tahta yang ia dapatkan, Mayadanawa menjadi sangat angkuh dan sombong.
Bahkan ia melarang penduduk-penduduk di bali untuk menyembah tuhan dengan
segala manifestasinya, karena ia merasa tak ada yang paling kuat selain dirinya
maka ia menyuruh para penduduk untuk menyembah dirinya saja.
Dengan wewenang itu, para rakyat menjadi sangat tertekan, namun mereka
tak berdaya untuk dapat mengalahan raja mayadanawa tersebut. Semenjak saat itu
rakyat menjadi sangat sengsara, tanaman para penduduk menjadi rusak dan banyak
wabah penyakit timbul dimana-mana. Melihat hal tersebut, seorang Mpu bernama
Mpu Kul Putih memutuskan untuk melakukan samadhi di pura besakih untuk meminta
petunjuk dari tuhan. Setelah lama beliau melakukan samadhi, akhirnya ia
mendapat sebuah wahyu yang menuntunnya untuk pergi ke india mencari bantuan.
Alhasil datanglah bantuan dari sorga yang dipimpin oleh Bhatara Indra
beserta para pasukan terkuatnya. Bhatara Indra kemudian mengutus salah satu
pasukannya yakni Bagawan Naradha untuk menjadi mata-mata dan masuk ke keraton
raja Mayadanawa. Setelah lama mendapatkan informasi dari raja mayadanawa
akhirnya Raja Mayadanawa mengetahui bahwa kerajaannya telah terancam. Maka Raja
Mayadanawa menyiapkan banyak pasukan untuk menyerang pasukan Bhatara Indra.
Pertempuran dahsyat pun tak terelakkan, Namun dengan pasukan Bhatara
Indra tetap unggul. Pasukan Mayadanawa dibuat kalang kabut oeh pasukan Bhatara
Indra namun karena hari sudah menjelang malam akhirnya pertempuran itupun
dihentikan. Melihat pasukannya kalah telak, Mayadanawa pun bertindak licik
untuk mengalahkan pasukan Bhatara Indra.
Pada larut malam, Mayadanawa membuat sebuah mata air beracun yang dibuat
di dekat tempat peristirahatan para pasukan Bhatara Indra. Agar niat liciknya
tidak diketahui oleh para pasukan Bhatara Indra, Mayadanawa berjalan
mengendap-endap sambil memiringkan telapak kakinya untuk berjalan. Sejak saat
itulah tempat itu diberi nama Tampaksiring. Pada keesokan harinya,
para pasukan Bhatara Indra banyak yang jatuh sakit setelah meminum mata air
beracun itu. Melihat kejadian itu, Bhatara Indra kemudian membuat mata air
lainnya untuk menyembuhkan para pasukannya. Mata air suci inilah yang kemudian
disebut sebagai Mata Air Tirta Empul.
Dengan meminum mata air tirta empul itu, para pasukan Bhatara Indra
kembali sembuh. Pengejaran Mayadanawa pun dilanjutkan. Mengetahui hal itu,
Mayadanawa sempat ingin bersembunyi dengan merubah dirinya menjadi
bermacam-macam bentuk namun Bhatara Indra tetap mengetahuinya. Pada akhirnya,
Mayadanawa merubah dirinya menjadi Batu Paras, diketahuiah oleh Bhatara Indra
kemudian dipanah batu paras tersebut dan pada akhirnya Raja Mayadanawa menemui
ajalnya.
Kematian mayadanawa itu kemudian di peringati oleh masyarakat hindu di
bali sebagai peringatan hari raya galungan, yang mengandung makna “Kemenangan
Darma melawan Adarma”.
Itulah sejarah pura tirta empul yang sekarang kita kenal sebagai pura
tempat pelukatan atau tempat penyucian diri bagi umat hindu di bali.
GOA GAJAH, PENINGGALAN SEJARAH HINDU DAN BUDHA
Goa Gajah adalah sebuah tempat wisata dengan
nilai sejarah dan spiritual yang terletak di Desa Bedulu Village, Kecamatan
Blahbatu, Kabupaten Gianyar. Kawasan goa kuno ini berjarak sekitar 27 km dari
pusat kota Denpasar. Kata “Goa Gajah” dipercaya berasal dari sebuah kata yang
muncul di dalam kitab Negarakertagama, “Lwa Gajah.” Goa ini dibangun sekitar
abada ke 11 masehi saat Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten sedang bertahta.
Tempat ini dulunya digunakan oleh beliau untuk bertapa. Selain itu ada pula
tujuh kolam suci dengan tujuh patung bidadari yang memancarkan air di sekitar
gua. Patung-patung ini adalah simbol dari tujuh sungai suci tempat lahirnya
agama Hindu dan Budha yang ada di India. Memang banyak benda-benda penginggalan
sejarah yang dapat ditemukan di kompleks tempat suci ini.
Kawasan tempat suci ini dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama, sebuah kompleks bangunan suci Hindu yang dibangun
sekitar abad ke 10 masehi. Selanjutnya, bangunan suci Hindu berbentuk pura-pura
kecil atau disebut juga “pelinggih” yang dibangun setelahnya. Lalu bagian
terakhir adalah bangunan peninggalan Budha yang kira-kira dibangun sekitar
abada ke 8 atau bersamaan dengan waktu dibangunnya Candi Borobudur di Jawa
Tengah.
Di dalam gua bagian timur, terdapat
tiga Lingga Besar yang bediri di dalam ceruk. Sedangkan di bagian barat
terdapat arca Ganesha. Kemudian di bagian tengah akhir atau “keluwan” dari gua
terdapat tiga Lingga lagi sebagai lambang Siwa, atau Sang Hyang Tri Purusa. Sementara
itu di bagian depan gua atau “teben” terdapat sebuah patung Ganesha yang
merupakan anak dari Siwa. Ganesha adalah dewa dengan tubuh manusia dan kepala
gajah yang merupakan anak dari Siwa dan Parwati. Keberadaan patung inilah yang
diperkirakan asal mula nama “Goa Gajah.”
Ganesha dalam kepercayaan Hindu
adalah Dewa “Wighna-ghna” dan “Winayaka.” “Wighna” berarti halangan atau
rintangan. Dengan memuja Tuhan God in the dengan manifestasi Ganesha, manusia
berharap agar senantiasa diberikan tuntunan spiritual dan lindungan ari segala
macam halangan dan rintangan hidup. Sedangkan memuja Ganesha sebagai “Winayaka”
berarti mengharapkan tuntunan hidup berupa kebijaksanaan dari Tuhan. Kemampuan
untuk menghadapi rintangan dan mengembangkan kebijaksanaan adalah awal dari
kehidupan yang tenteram dan sejahtera.
Di depan gua gajah ini, terdapat
pancuran kuno yang terletak di atas kolam suci. Mulanya patung ini tidak nampak
karena tertutup tanah. Namun pada tahun 1954 patung ini ditemukan setelah
sebelumnya dilakukan penggalian. Hasilnya, ditemukan enam patung “Widyadhari”
atau bidadari yang tiga diantaranya berada di bagian utara dan tiga lainnya di
bagian selatan. Patung-patung Widyadhari ini berdiri di atas sebuah pijakan
berbentuk “Padma” atau teratai. Bunga teratai dalam agama Hindu merupakan
simbol alam semesta. Selain itu, di tengah-tengah kolam ini terdapat sebuah
patung “Widyadhara” atau bidadara, sehingga patung ini seperti dikelilingi oleh
enam bidadari. Keenam yang memancarkan air ke dalam kolam tesebut dipercaya merupakan
perlambangan kesuburan.
Selain pura Goa Gajah,
ada juga bangunan suci Hindu yang merupakan peninggalan dari era Hindu Siwa
Pasupata. Dipercaya bahwa bangunan suci ini kemudian difungsikan sebagai Pura
di era Hindu Siwa Siddhanta. Oleh karena itu, di bagian tenggara dari Goa
Gajah, dapat ditemukan beberapa pura seperti Limas Catu dan Limas Mujung yang
merupakan pura untuk pesimpangan untuk Dewa Gunung Agung dan Gunung Batur.
Terdapat pula Pura Gedong yang diperuntukkan untuk para leluhur dari Raja-raja
Bedahulu dan Pura Ratu Taman untuk memuja Dewa Wisnu sebagai Dewa air.
Selain bangunan-bangunan Hindu yang
disebutkan di atas, di kompleks bangunan ini juga terdapat
peninggalan-peninggalan Budha yang umurnya bahkan lebih tua dari bangunan-bangunan
Hindu tersebut. Di bagian luar gua, tepatnya di sebelah barat, terdapat sebuah
patung bernuansa Budha bernama Dewi Hariti atau yang di Bali dikenal sebagai
Patung “Men Brayut”. Patung dewi ini terlihat unik karena memangku banyak
sekali anak kecil. Dalam mitologi Budha, Hariti dulunya adalah seorang kanibal
yang suka memangsa daging anak-anak atau bayi. Namun, setelah mendapatkan
pencerahan dari sang Budha, sosok yang sebelumnya sangat menakutkan itu
kemudian berubah menjadi seorang yang taat beragama dan mencintai
anak-anak.Melewati parit di bagian selatan dari Goa Gajah,
terdapat juga sebuah patung Budha dengan sikap Dhyani Buddha Amitaba. Dalam
sistem pantheon Buddha Mahayana, sikap Budha ini dapat diartikan sebagai Budha
yang menjadi penjaga bagian barat dari alam semesta.
SEJARAH PURA TAMAN AYUN
Pura Taman Ayun sekarang dahulu pada tahun 1634M dinamakan Pura
taman Ahyun.Taman Ahyun diambil dari kata “Taman” yang berarti kebun dan
“Ahyun” dari kata “Hyun” yang berarti keinginan jadi Pura berarti pura
yang didirikan pada sebuah kebun yang dikelilingi oleh kolam yang dapat
memenuhi keinginan. Kata Hyun kemudian seiring perkembaganya berubah
menjadi “Ayun”. Namun pengertian Ayun ini sedikit berbeda dari kata Hyun
tersebut. Kata Ayun ini berarti indah, cantik. Jadi Taman Ayun berarti sebuah
taman atau kebun yang indah dan cantik.Sejarah pembangunan pura taman ayun.
Sejarahnya Pura Taman Ayun ini dibangun pada abad ke-17 tepatnya dimulai
tahun 1632.Dan selesai pada tahun 1634 oleh raja Kerajaan Mengwi yang pada saat
itu mempunyai nama lain kerajaan "Mangapura", "Mangarajia",
dan "Kawiyapura", yaitu I Gusti Agung Putu raja kerajaan mengwi saat
itu.
Dalam pembangunan Pura Taman Ayun Beliau dibantu oleh arsitek yang
berasal dari seorang keturunan Cina dari Banyuwangi yang bernama Ing Khang
Ghoew juga sering disebut I Kaco rekan dari Raja Mengwi. Pura Taman Ayun
merupakan Pura Keluarga bagi Kerajaan Mengwi. Awalnya, pura ini didirikan
karena pura-pura yang ada pada jama itu jaraknya terlalu jauh untuk dijangkau
oleh masyarakat Mengwi. Maka dari itu, Sang Raja mendirikan sebuah tempat
pemujaan dengan beberapa bangunan sebagai penyawangan (simbol) daripada 9 pura
utama yang ada di Bali, seperti Pura Besakih, Pura Ulundanu, Pura Batur, Pura
Uluwatu, Pura Batukaru, dan pura utama lainnya yang ada di Bali.
Keberadaan dari Pura Taman Ayun ini terletak di Desa
Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Suasana di dalam Pura Taman
Ayun ini begitu menenangkan, menyaksikan kemegahan pura dengan pahatan-pahatan
seni dari jaman kerajaan. Sedikitnya ada 10 bangunan meru, yang tertinggi
sampai tumpang sebelas. Pura ini dikelilingi kolam besar, sehingga dari
kejauhan, pura ini seolah-olah terapung. Areal pura ini luasnya mencapai
empat hektar, ditumbuhi berbagai macam bunga dan pohon buah-buahan. Memang,
dulu pura ini merupakan pertamanan tempat beriatirahat. Pemerintah Daerah
Bali pernah mengusulkan kepada UNESCO, agar Pura Taman Ayun termasuk dalam
World Heritage List.
CANDI TEBING GUNUNG KAWI,
PERSEMAYAMAN ABADI RAJA-RAJA DINASTI UDAYANA
Di sisi utara Gianyar, terdapat
sebuah situs arkeologi yang menakjubkan. Di antara areal persawahan bertingkat
dengan sistem irigasi tradisional subak, terdapat 10 candi yang dipahat pada
dinding tebing batu pasir.
Situs bersejarah bernama
Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa
Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi
diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa
dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada
masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja
Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja
Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak
yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai
Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati.
Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing
Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak,
kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur
Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat
sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian
utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi
barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara
hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya
berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi
tadi.
Menurut sejarah, Raja
Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu
Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat
menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok
Saat Udayana wafat, tahta
diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu.
Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai
tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi
di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang
posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini
didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada
bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang
raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi
inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi
lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak
Raja Udayana.
Sementara, empat candi
yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan
kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana.
Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk
salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat
raja.
Dari beberapa referensi
sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok
Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja
Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama
raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi
ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja
Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk
yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat
Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat
pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan
kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan
Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam
kehidupan beragama. [Ardee/IndonesiaKaya]
TEMPAT WISATA
BUDAYA ART CENTER BALI
Art Center di kawasan Bali ini adalah
Taman Budaya yang menggambarkan kearifan budaya lokal di Bali. Di sini adalah
Taman Budaya terbesar yang terletak di tengah-tengah kota Denpasar. Art Center
didirikan oleh gubernur pertama Bali yaitu Ida Bagus Mantra. Beliau mendirikan
Art Center ini bertujuan untuk melestarikan dan mengenalkan budaya Bali ke
seluruh dunia agar lebih dikenal ke mancanegara. Dengan kawasan yang memiliki
luas sekitar 14 hektar ini dibangun di atas tanah peribadi milik beliau. Beliau
berharap agar budaya Bali terus hidup dan dikenal oleh mata dunia dari generesi
ke generasi. Dan bisa dibilang cita-cita beliau tersampaikan lewat dibangunya
Taman Budaya ini.
Jika anda berkunjung ke tempat ini,
ada beberapa komplek yang bisa anda kunjungi. Terdapat 4 komplek dengan fungsi
dan kelebihanya masing-masing. Adapun 4 komplek yang dapat anda temui di sini
adalah yang pertama Komplek Suci. Komplek ini meliputi Pura Taman Beji, Bale
Selonding, dan Bale Pepaosan, serta ada beberapa titik wisata lainnya. Kemudian
komplek yang kedua adalah Komplek Tenang. Komplek Tenang ini meliputi
Perpustakaan Widya Kusuma yang berisi buku-buku sejarah tentang Bali. Jadi anda
dapat menemukan segala hal tentang sejarah Bali di perpustakaan ini.
Dan komplek berikutnya adalah Komplek
Setengah Ramai. Kawasan ini meliputi Wantilan, Studio Patung, Gedung Kriya,
Wisma Seni dan Gedung Pameran Mahudara .Kawasan ini merupakan tempat di mana
pameran seni Bali sering diadakan. Tempat ini merupakan sebuah aula tempat
pameran seni Bali. Dan komplek yang terakhir adalah Komplek Ramai. Komplek ini
meliputi kawasan Panggung Terbuka Ardha Candra dan juga Panggung tertutup
Ksirarnawa, adapun keduanya bertempat di sebelah Selatan Sungai.
Setiap tahun di kawasan ini diadakan
pesta kesenian Bali. Hingga acara ini biasanya menjadi acara tahunan yang
menarik banyak wisatawan untuk datang ke sini. Di sini akan anda lihat barbagai
pertunjukan budaya dan seni dari perwakilan seniman terbaik di seluruh Bali. Biasanya pentas seni ini diadakan pada
pertengahan bulan Juni-July, Sehingga tempat ini dipenuhi para pengunjung
ketika liburan sekolah tiba.
Kawasan wisata budaya Art Center ini
berada di tengah-tengah kota Denpasar, lebih tepatnya di Jalan Busa Indah,
Denpasar, Bali. Jika anda ingin berkunjung ke sini maka anda dapat menempuh
perjalanan sekitar 15 km atau 30 menit dari Bandara Ngurah Rai dengan
mengendarai kendaraan. Dari Bandara ambillah jurusan menuju ke arah pusat kota
di Jalan Gajah Mada. Lalu lurus saja ke timur menuju Hayam Wuruk. Pada kawasan
sebelah kiri setelah Banjar Kedaton anda akan temukan jalan Nusa Indah. Nah di
sinilah lokasinya.
MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT BALI (BAJRA SANDHI)
Pada tanggal 26 Mei 2014, salah satu
agenda pembelajaran Diklat Pim IV Angkatan V Kabupaten Badung adalah
melaksanakan visitasi. Monumen Perjuangan Rakyat Bali atau yang sering disebut
dengan Bajra Sandhi menjadi tujuan visitasi adalah untuk menumbuhkan rasa cinta
dan wawasan berbangsa dan bernegara, khususnya untuk mengenang perjuangan
pahlawan-pahlawan kita dalam rangka merebut serta mempertahankan kemerdekaan
Bangsa Indonesia, khususnya perjuangan pahlawan yang terjadi di Pulau Dewata
ini.
Pada tulisan saya kali ini berisi
tentang Deskripsi Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB), yang sejujurnya baru
kali ini saya sempat masuk ke dalam monumen padahal selama terbangun dan
berfungsi saya hanya melihat dari luar saja. Ternyata monumen ini banyak
berisikan materi-materi perjuangan rakyat Bali dan tentunya sangat berguna
untuk menumbuhkembangkan kebanggaan berbangsa dan bernegara, khususnya menjadi
bagian dari warga Bali.
Sejarah Monumen Perjuangan
Rakyat Bali (Bajra Sandhi)
Museum Perjuangan Rakyat Bali (Bajra
Sandhi) tercetus pada tahun 1980 yang berawal dari ide Prof. Dr. Ida Bagus
Mantra yang saat itu adalah Gubernur Bali. Ia mencetuskan ide awalnya tentang
museum dan monumen untuk perjuangan rakyat Bali. Lalu pada tahun 1981, diadakan
sayembara desain monumen, yang dimenangkan oleh Ida Bagus Yadnya, dia adalah
seorang mahasiswa jurusan arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana.]
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra
Lalu pada tahun 1988 dilakukan
peletakan batu pertama dan selama kurang lebih 13 tahun pembangunan monumen
selesai. Tahun 2001, bangunan fisik monumen selesai. Setahun kemudian,
pengisian diorama dan penataan lingkungan monumen dilakukan. Pada bulan
September 2002, SK Gubernur Bali tentang penunjukan Kepala UPTD Monumen
dilaksanakan.
Dan akhirnya, pada tanggal 1 Agustus
2004, pelayanan kepada masyarakat dibuka secara umum, setelah sebelumnya pada
bulan Juni 2003 peresmian monumen dilakukan oleh Presiden RI pada saat itu,
yakni Ibu Megawati Soekarnoputri.
Monumen ini terletak di kawasan
Lapangan Renon yang tentunya sangat menarik perhatian bagi semua orang karena
tempatnya yang terawat dengan baik dan bersih dan lengkap dengan menara yang
menjulang ke angkasa yang mempunyai arsitektur khas Bali yang indah. Lokasi monumen
ini juga sangat strategis karena terletak di depan Kantor Gubernur Bali yang
juga di depan Gedung DPRD Provinsi Bali tepatnya di Lapangan Niti Mandala
Renon. Tempat ini merupakan tempat pertempuran jaman kemerdekaan antara rakyat
Bali melawan pasukan penjajah. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang Puputan” yang berarti perang habis-habisan.
Monumen ini didirikan untuk memberi penghormatan pada para pahlawan serta
merupakan lambang penghormatan atas perjuangan rakyat Bali.
Museum ini menjadi simbol masyarakat
Bali untuk menghormati para pahlawan serta merupakan lambang persemaian
pelestarian jiwa perjuangan rakyat Bali dari generasi ke generasi dan dari
zaman ke zaman, serta lambang semangat untuk mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada
di pintu utama, 8 buah tiang agung di dalam gedung monumen, dan monumen yang
menjulang setinggi 45 meter.
Bentuk museum ini diambil berdasarkan
cerita Hindu pada saat Pemutaran Gunung Mandara Giri oleh Para Dewa dan Raksasa guna
mendapatkan Tirta Amertha atau Air Suci Kehidupan.
Dinamakan Museum Bajra Sandi karena
bentuk museum ini seperti Bajra atau Genta yang dipakai oleh para pemimpin
Agama Hindu dalam mengiringi pengucapan japa mantra pada saat melakukan upacara
Agama Hindu. Adapun bagian-bagian yang penting dalam museum ini adalah sebagai
berikut :
- Bangunan Museum yang menjulang melambangkan Gunung
Mandara Giri
- Guci Amertha dilambangkan dalam bentuk Kumba (periuk)
tepat bagian atas museum.
- Naga yang melilit museum melambangkan Naga Basuki yang
digunakan sebagai tali dalm pemutaran Mandara Giri.
- Kura-kura yang terdapat di bagian bawah museum merupakan
simbul dari Bedawang Akupa yang digunakan sebagai alas pemutaran Mandara
Giri.
- Kolam yang terdapat disekeliling museum merupakan
simbul dari Lautan Susu yang mengelilingi Mandara Giri tempat beradanya
Air Suci Kehidupan atau Tirtha Amertha.
Bentuk Bangunan Monumen
Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi)
Letak monumen tersebut sangat
strategis sebab berada persis di depan Kantor Gubernur Bali, atau tepatnya di
Lapangan Niti Mandala Renon Denpasar. Luas bangunan monumen itu adalah 4.900 m2
(70 m x 70 m) dan luas tanah 138.830 m2 .
Monumen ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, baik
secara horizontal maupun vertikal, yaitu:
Secara horizontal
Secara horizontal adalah susunan
bangunannya berbentuk segi empat bujur sangkar, simetris dan mengacu pada konsep
Tri Mandala, yaitu:
- Sebagai Utama Mandala adalah pelataran/gedung yang
paling di tengah
- Sebagai Madya Mandala adalah pelataran yang mengitari
Utama Mandala
- Sebagai Nista Mandala adalah pelataran yang paling luar
yang mengitari Madya Mandala
Bangunan gedung monumen pada Utama Mandala tersusun menjadi 3 lantai yaitu:
- Utamaning Utama Mandala adalah lantai 3 yang berposisi paling atas berfungsi
sebagai ruang ketenangan, tempat hening-hening menikmati suasana kejauhan
di sekeliling monumen
- Madyaning Utama Mandala adalah lantai 2 berfungsi sebagai tempat diaroma yang
berjumlah 33 unit. Lantai 2 ini sebagai tempat pajangan miniatur
perjuangan rakyat Bali dari masa ke masa. Di bagian luar sekeliling
ruangan ini terdapat serambi atau teras terbuka untuk menikmati suasana
sekeliling.
- Nistaning Utama Mandala adalah lantai dasar gedung monumen, yang terdapat ruang
informasi, ruang perpustakaan, ruang pameran, ruang pertemuan, ruang
administrasi, gedung dan toilet. Di tengah-tengah ruangan terdapat telaga
yang diberi nama sebagai Puser Tasik, delapan tiang agung dan juga
tangga naik berbentuk tapak dara.
Secara vertikal
Secara vertikal, terbagi menjadi tiga
bagian yaitu mengacu pada konsep Tri Angga. Konsep Tri Angga adalah:
- Utama atau kepala, yaitu tidak berisi apapun atau
kosong yang merupakan simbul keabadian.
- Madya atau badan yaitu terdapat pajangan diorama
- Nista atau kaki, yaitu terdapat taman-taman
Selain Tri Angga dan Tri Mandala
terdapat juga nilai filosofis, yaitu pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para dewa dan raksasa yang
bekerja sama guna memperoleh Tirta Amertha.
Diorama Monumen Perjuangan
Rakyat Bali (Bajra Sandhi)
Pada monumen ini perjalanan sejarah masyarakat
Bali tergambar jelas melalui 33 unit diorama. Diorama-diorama tersebut disusun
melingkar mengikuti kontur ruangan. Setiap diorama berisi patung-patung lengkap
dengan setting lingkungan
alamiahnya. Untuk memudahkan pengunjung dalam memahami isi diorama tersebut,
pada bagian luar terdapat label informasi dalam tiga bahasa : Bahasa Bali dalam
Aksara Bali, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Di bagian-bagian awal diorama
ditampilkan manusia purba pada masa berburu dan meramu. Di sana digambarkan Pithecanthropus erectus sedang berburu babi dengan kapak
genggam. Bagian selanjutnya menggambarkan perkembangan masyarakat Bali pada
masa kerajaan, masa penjajahan, masa revolusi fisik, hingga pasca kemerdekaan.
Pada bagian akhir diilustrasikan proses pembangunan Universitas Udayana yang
berlangsung pada tahun 1975.
Adapun kesimpulan yang dapat saya simpulkan dalam
kegiatan visitasi ini adalah :
- Monumen Perjuangan Rakyat Bali merupakan sebuah monumen
untuk mengenang kerja keras dan perjuangan heroik dari rakyat Bali sebelum
dan sesudah kemerdekaan.
- Dalam monumen ini memiliki nilai relegius seperti
sering disebut dengan Bajra Sandi karena bentuk museum ini seperti Bajra
atau Genta yang dipakai oleh para pemimpin Agama Hindu dalam mengiringi
pengucapan japa mantra pada saat melakukan upacara Agama Hindu.
- Monumen Perjuangan Rakyat Bali ini melambangkan
semangat untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada di pintu utama, 8 buah
tiang agung di dalam gedung monumen, dan monumen yang menjulang setinggi
45 meter. Hal ini mengingat kemerdekaan Negara Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945.
- Dalam membangun monumen ini terdapat beberapa makna
kehidupan manusia dengan istilah budaya Hindu seperti menggambarkan Tri
Mandala dan Tri Angga.
SEJARAH PURA GOA LAWAH
Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada
perpaduan antara laut dan gunung (lingga-yoni). Seperti namanya, di pura ini
terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada
henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor
terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, berdesak-desakkan di
dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang
abadi sepanjang masa. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar)
putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di
Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu.
Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di
pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.
Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura,
Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Umat Hindu silih
berganti menghaturkan bhakti dengan berbagai tujuan. Terutama ketika
berlangsung piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210
hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan
penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.
Di samping juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara
rutin pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi, Saraswati,
Siwaratri dan lainnya.
Begitu juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya
ada saja yang menggelar upacara meajar-ajar atau nyegara-gunung.
Siapa yang
membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun?
Sulit mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping
karena usia bangunan pemujaan tersebut sudah tua, juga jarang ada narasumber
yang benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya.
Memang, ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa
Lawah. Tetapi, sangat jarang yang berani membuka secara jelas dan gamblang,
siapa dan kapan salah satu pura Sad Kahyangan itu dibangun.
Jika dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat
dijelaskan bahwa goa berarti goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa
lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar, sekilas ada yang
menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura besar yang berstatus
Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu
Kuturan.
Hal itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu
Kuturan. Sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Klungkung yang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan buku tentang ''Pura Goa
Lawah.'' Dalam rekapan buku yang rencananya dipasupati bersamaan dengan
pujawali di Pura Goa Lawah, 23 Mei mendatang, diceritakan, Mpu Kuturan datang
ke Bali abad X yakni saat pemerintahan dipimpin Anak Bungsu adik Raja
Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba,
Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan
kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte
tersebut.
Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah
ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan
terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan.
Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap
desa pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah
satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa, Mpu
Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di Pura-Pura seperti
gedong dan meru serta arsitektur Bali.
Begitu juga dengan berbagai jenis upacara-upakara dan pedagingan
pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat
landasan prikehidupan yang sangat prinsip seperti aturan-aturan ketertiban
hidup bermasyarakat yang diwarisi sampai saat ini dalam bentuk Desa Pakraman.
Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang
Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti
Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem
Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat jaya pada masanya dan
membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan seorang pendeta yang
melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau
Lombok dan Sumbawa.
Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan
perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di
Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke
Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah.
Perjalanan dihentikan. Sang pendeta masuk ke tengah Goa. Melihat-lihat goa
kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu bunga-bunga bersinar,
jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah keindahan
perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa
yang terlihat indah. Lalu membangun padmasana yang notebena tempat bersthana
para dewa.
Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin
atas petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang
menjadi pemangku di Pura Besakih. Penunjukkan itu mengingat Goa Lawah memiliki
hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalan
keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa Raja,
terutama ketika berkehendak masucian di pantai.
Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara
Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah
seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Basukih yang merupakan nagaraja,
memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa Raja Besakih yang
konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali terlihat secara samar
sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu menuju
pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan
diri, mandi ke laut.
Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga
tempat masing-masing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid
Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap mengepul keluar dari
muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih tembus Goa Lawah.
Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada
zaman itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah
menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga
menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya, seperti
batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat
Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap
kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih
bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa
Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan
alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang
awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang
bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan
pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja
masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.
Dari kilasan di
atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal
dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu
dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa
dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi dengan
membangun Padmasana oleh Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah
keberadaan Pura Goa Lawah, seperti yang kita lihat dan warisi sampai sekarang.
Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah,
mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi
Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas pemberian
amerta baik kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun kepada
sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas dasar konsep inilah Umat
Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA