CLICK FOR CLAIM PROMO !

Jumat, 30 Desember 2016

SEJARAH PANTAI KUTA DI BALI

Subscribe
SEJARAH PANTAI KUTA DI BALI

Pantai Kuta di Bali yang sangat terkenal memiliki sejarah penting sejak abad ke-14. Kuta mulai dikenal sejak 1336 M, dimana Gajahmada dan pasukannya dari Majapahit, mendarat di bagian selatan pantai ini. Karena sering menjadi lokasi persinggahan, pelan-pelan daerah ini menjadi pelabuhan kecil. Warga pun menyebut kawasan di Banjar Segara Kuta ini dengan nama Pasih Perahu yang berarti pantai perahu.
Sebelum menjadi kawasan wisata, Pantai Kuta merupakan sebuah pelabuhan dagang. Pada abad ke-19, salah seorang pedagang warga Denmark Mads Lange, datang ke Bali untuk mendirikan basis perdagangan di Kuta. Mads Lange terkenal pandai bernegosiasi sehingga bisa merebut hati raja-raja Bali dengan Belanda
Kuta semakin diperhitungkan setelah penulis Hugh Mahbett menerbitkan buku berjudul “Praise to Kuta” yang berisi ajakan kepada masyarakat setempat untuk menyiapkan fasilitas akomodasi wisata. Buku ini bertujuan untuk mengantisipasi ledakan wisatawan yang berkunjung ke Bali. Buku tersebut kemudian menginspirasi banyak orang untuk membangun fasilitas wisata seperti penginapan, restoran dan tempat hiburan.
Padahal tahun 1960-an Pantai Kuta masih sunyi. Para wisatawan pun belum banyak dan mereka dengan santainya telanjang di pantai. Menurut Horst Henry Geerken, menjelang akhir 1960-an, Kuta menjadi tempat favorit kaum hippies. Mariyuana, dan obat-obatan lain banyak dijual di sini. Namun setelah tahun 1970-an, turis sudah tidak bisa bebas lagi Mulai ada larangan turis telanjang di pantai. Namun tetap saja Pantai Kuta difavoritkan. 
Waktu itu hotel-hotel tidak banyak sebaliknya Kuta dipenuhi penginapan yang dimiliki penduduk lokal. Di sepanjang Pantai Kuta waktu itu masih terdapat perahu nelayan.
Kuta tumbuh semakin pesat sebagai tempat wisata andalan setelah Bandara pindah dari Kabupaten Singaraja di kawasan Bali Selatan, Kuta semakin dipenuhi bagunan dan akomodasi untuk kegiatan wisata. 
Pada tahun 2002 dan 2005 Kuta sepi akibat bom. Banyak negara melarang warganya untuk datang di Indonesia. Memang, pada serangan pertama, 12 Oktober 2002, teroris berhasil  menewaskan sebanyak 202 orang dan 209 orang lainnya cedera. Sedangkan serangan kedua terjadi pada 2005 tepat di Pantai Kuta
Namun seiring berjalannya waktu, kuta terus mengalami perbaikan-perbaikan. Pemerintah daerah Bali membuat rencana induk pengembangan wilayah ini untuk melestarikan pantai Kuta sebagai sebuah tempat wisata bernuansakan alam. 


PURA TIRTA EMPUL

Segala sesuatu berawal dari masa lalu, masa lalu itulah yang kita sebut dengan sejarah. Setiap bangunan, tempat dan lokasi selalu memiliki sejarah, baik itu sejarah tentang asal muasal sebuah nama, sebuah tempat ataupun sejarah mengapa bisa terbentuknya sebuah tempat tersebut.
Presiden pertama kita Ir.Soekarno pernah berpidato tentang JAS MERAH, yang mengajak seluruh rakyat indonesia untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah. Itu artinya sejarah itu adalah bagian terpenting bagi kehidupan manusia. Salah satu tempat di Bali yang memiliki sejarah adalah Pura Tirta Empul. Pura ini berlokasi di desa Manukaya kecamatan Tampaksiring kabupaten Gianyar – Bali. Pura Tirta Empul Adalah sebuah tempat persembahyangan bagi umat hindu yang di dalamnya terdapat beberapa pancuran air suci yang dipercaya sebagai air yang dapat menyucikan tubuh (Pelukat).
Pura Tirta Empul selain sebagai tempat suci untuk menyembah tuhan, juga memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Tak jarang kita temui wisatawan-wisatawan lokal maupun mancanegara di kawasan pura ini. Bahkan, turis asing ini juga ikut melukat (menyucikan diri) di pura ini dengan membasuh tubuhnya di pancuran air di kolam pura tirta empul ini. Untuk mengetahui daya tarik apa saja yang ada di Pura Tirta Empul ini, silahkan baca artikel kami tentang Pura Tirta Empul Tampak Siring Bali.
Pada zaman dahulu kala, tersebutlah seorang raja yang gagah perkasa dan tak tertandingi di daerah bali. Raja ini bernama Mayadanawa seorang raja di bali berketuruanan Daitya (raksasa) anak dari seorang Dewi Danu Batur. Raja ini terkenal dengan kesaktiannya yang sangat luar biasa, ia mampu merubah dirinya menjadi bentuk apapun yang ia kehendaki seperti menjadi kambing, ayam, pohon, batu dan yang lainnya. Dengan kesaktiannya tersebut, ia mampu menaklukan daerah-daerah seperti daerah makasar, sumbawa, bugis, lombok dan blambangan. Karena kesaktian dan tahta yang ia dapatkan, Mayadanawa menjadi sangat angkuh dan sombong. Bahkan ia melarang penduduk-penduduk di bali untuk menyembah tuhan dengan segala manifestasinya, karena ia merasa tak ada yang paling kuat selain dirinya maka ia menyuruh para penduduk untuk menyembah dirinya saja.
Dengan wewenang itu, para rakyat menjadi sangat tertekan, namun mereka tak berdaya untuk dapat mengalahan raja mayadanawa tersebut. Semenjak saat itu rakyat menjadi sangat sengsara, tanaman para penduduk menjadi rusak dan banyak wabah penyakit timbul dimana-mana. Melihat hal tersebut, seorang Mpu bernama Mpu Kul Putih memutuskan untuk melakukan samadhi di pura besakih untuk meminta petunjuk dari tuhan. Setelah lama beliau melakukan samadhi, akhirnya ia mendapat sebuah wahyu yang menuntunnya untuk pergi ke india mencari bantuan.
Alhasil datanglah bantuan dari sorga yang dipimpin oleh Bhatara Indra beserta para pasukan terkuatnya. Bhatara Indra kemudian mengutus salah satu pasukannya yakni Bagawan Naradha untuk menjadi mata-mata dan masuk ke keraton raja Mayadanawa. Setelah lama mendapatkan informasi dari raja mayadanawa akhirnya Raja Mayadanawa mengetahui bahwa kerajaannya telah terancam. Maka Raja Mayadanawa menyiapkan banyak pasukan untuk menyerang pasukan Bhatara Indra.
Pertempuran dahsyat pun tak terelakkan, Namun dengan pasukan Bhatara Indra tetap unggul. Pasukan Mayadanawa dibuat kalang kabut oeh pasukan Bhatara Indra namun karena hari sudah menjelang malam akhirnya pertempuran itupun dihentikan. Melihat pasukannya kalah telak, Mayadanawa pun bertindak licik untuk mengalahkan pasukan Bhatara Indra.
Pada larut malam, Mayadanawa membuat sebuah mata air beracun yang dibuat di dekat tempat peristirahatan para pasukan Bhatara Indra. Agar niat liciknya tidak diketahui oleh para pasukan Bhatara Indra, Mayadanawa berjalan mengendap-endap sambil memiringkan telapak kakinya untuk berjalan. Sejak saat itulah tempat itu diberi nama Tampaksiring. Pada keesokan harinya, para pasukan Bhatara Indra banyak yang jatuh sakit setelah meminum mata air beracun itu. Melihat kejadian itu, Bhatara Indra kemudian membuat mata air lainnya untuk menyembuhkan para pasukannya. Mata air suci inilah yang kemudian disebut sebagai Mata Air Tirta Empul.
Dengan meminum mata air tirta empul itu, para pasukan Bhatara Indra kembali sembuh. Pengejaran Mayadanawa pun dilanjutkan. Mengetahui hal itu, Mayadanawa sempat ingin bersembunyi dengan merubah dirinya menjadi bermacam-macam bentuk namun Bhatara Indra tetap mengetahuinya. Pada akhirnya, Mayadanawa merubah dirinya menjadi Batu Paras, diketahuiah oleh Bhatara Indra kemudian dipanah batu paras tersebut dan pada akhirnya Raja Mayadanawa menemui ajalnya.
Kematian mayadanawa itu kemudian di peringati oleh masyarakat hindu di bali sebagai peringatan hari raya galungan, yang mengandung makna “Kemenangan Darma melawan Adarma”.
Itulah sejarah pura tirta empul yang sekarang kita kenal sebagai pura tempat pelukatan atau tempat penyucian diri bagi umat hindu di bali.




GOA GAJAH, PENINGGALAN SEJARAH HINDU DAN BUDHA


Goa Gajah adalah sebuah tempat wisata dengan nilai sejarah dan spiritual yang terletak di Desa Bedulu Village, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar. Kawasan goa kuno ini berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Denpasar. Kata “Goa Gajah” dipercaya berasal dari sebuah kata yang muncul di dalam kitab Negarakertagama, “Lwa Gajah.” Goa ini dibangun sekitar abada ke 11 masehi saat Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten sedang bertahta. Tempat ini dulunya digunakan oleh beliau untuk bertapa. Selain itu ada pula tujuh kolam suci dengan tujuh patung bidadari yang memancarkan air di sekitar gua. Patung-patung ini adalah simbol dari tujuh sungai suci tempat lahirnya agama Hindu dan Budha yang ada di India. Memang banyak benda-benda penginggalan sejarah yang dapat ditemukan di kompleks tempat suci ini.
Kawasan tempat suci ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, sebuah kompleks bangunan suci Hindu yang dibangun sekitar abad ke 10 masehi. Selanjutnya, bangunan suci Hindu berbentuk pura-pura kecil atau disebut juga “pelinggih” yang dibangun setelahnya. Lalu bagian terakhir adalah bangunan peninggalan Budha yang kira-kira dibangun sekitar abada ke 8 atau bersamaan dengan waktu dibangunnya Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Di dalam gua bagian timur, terdapat tiga Lingga Besar yang bediri di dalam ceruk. Sedangkan di bagian barat terdapat arca Ganesha. Kemudian di bagian tengah akhir atau “keluwan” dari gua terdapat tiga Lingga lagi sebagai lambang Siwa, atau Sang Hyang Tri Purusa. Sementara itu di bagian depan gua atau “teben” terdapat sebuah patung Ganesha yang merupakan anak dari Siwa. Ganesha adalah dewa dengan tubuh manusia dan kepala gajah yang merupakan anak dari Siwa dan Parwati. Keberadaan patung inilah yang diperkirakan asal mula nama “Goa Gajah.”
Ganesha dalam kepercayaan Hindu adalah Dewa “Wighna-ghna” dan “Winayaka.” “Wighna” berarti halangan atau rintangan. Dengan memuja Tuhan God in the dengan manifestasi Ganesha, manusia berharap agar senantiasa diberikan tuntunan spiritual dan lindungan ari segala macam halangan dan rintangan hidup. Sedangkan memuja Ganesha sebagai “Winayaka” berarti mengharapkan tuntunan hidup berupa kebijaksanaan dari Tuhan. Kemampuan untuk menghadapi rintangan dan mengembangkan kebijaksanaan adalah awal dari kehidupan yang tenteram dan sejahtera.
Di depan gua gajah ini, terdapat pancuran kuno yang terletak di atas kolam suci. Mulanya patung ini tidak nampak karena tertutup tanah. Namun pada tahun 1954 patung ini ditemukan setelah sebelumnya dilakukan penggalian. Hasilnya, ditemukan enam patung “Widyadhari” atau bidadari yang tiga diantaranya berada di bagian utara dan tiga lainnya di bagian selatan. Patung-patung Widyadhari ini berdiri di atas sebuah pijakan berbentuk “Padma” atau teratai. Bunga teratai dalam agama Hindu merupakan simbol alam semesta. Selain itu, di tengah-tengah kolam ini terdapat sebuah patung “Widyadhara” atau bidadara, sehingga patung ini seperti dikelilingi oleh enam bidadari. Keenam yang memancarkan air ke dalam kolam tesebut dipercaya merupakan perlambangan kesuburan.
Selain pura Goa Gajah, ada juga bangunan suci Hindu yang merupakan peninggalan dari era Hindu Siwa Pasupata. Dipercaya bahwa bangunan suci ini kemudian difungsikan sebagai Pura di era Hindu Siwa Siddhanta. Oleh karena itu, di bagian tenggara dari Goa Gajah, dapat ditemukan beberapa pura seperti Limas Catu dan Limas Mujung yang merupakan pura untuk pesimpangan untuk Dewa Gunung Agung dan Gunung Batur. Terdapat pula Pura Gedong yang diperuntukkan untuk para leluhur dari Raja-raja Bedahulu dan Pura Ratu Taman untuk memuja Dewa Wisnu sebagai Dewa air.
Selain bangunan-bangunan Hindu yang disebutkan di atas, di kompleks bangunan ini juga terdapat peninggalan-peninggalan Budha yang umurnya bahkan lebih tua dari bangunan-bangunan Hindu tersebut. Di bagian luar gua, tepatnya di sebelah barat, terdapat sebuah patung bernuansa Budha bernama Dewi Hariti atau yang di Bali dikenal sebagai Patung “Men Brayut”. Patung dewi ini terlihat unik karena memangku banyak sekali anak kecil. Dalam mitologi Budha, Hariti dulunya adalah seorang kanibal yang suka memangsa daging anak-anak atau bayi. Namun, setelah mendapatkan pencerahan dari sang Budha, sosok yang sebelumnya sangat menakutkan itu kemudian berubah menjadi seorang yang taat beragama dan mencintai anak-anak.Melewati parit di bagian selatan dari Goa Gajah, terdapat juga sebuah patung Budha dengan sikap Dhyani Buddha Amitaba. Dalam sistem pantheon Buddha Mahayana, sikap Budha ini dapat diartikan sebagai Budha yang menjadi penjaga bagian barat dari alam semesta.











SEJARAH PURA TAMAN AYUN

Pura Taman Ayun sekarang dahulu pada tahun 1634M dinamakan Pura taman Ahyun.Taman Ahyun diambil dari kata “Taman” yang berarti kebun dan “Ahyun” dari kata “Hyun” yang berarti keinginan jadi Pura berarti pura yang didirikan pada sebuah kebun yang dikelilingi oleh kolam yang dapat memenuhi keinginan. Kata Hyun kemudian seiring perkembaganya berubah menjadi “Ayun”. Namun pengertian Ayun ini sedikit berbeda dari kata Hyun tersebut. Kata Ayun ini berarti indah, cantik. Jadi Taman Ayun berarti sebuah taman atau kebun yang indah dan cantik.Sejarah pembangunan pura taman ayun.
Sejarahnya Pura Taman Ayun ini dibangun pada abad ke-17 tepatnya dimulai tahun 1632.Dan selesai pada tahun 1634 oleh raja Kerajaan Mengwi yang pada saat itu mempunyai nama lain kerajaan "Mangapura", "Mangarajia", dan "Kawiyapura", yaitu I Gusti Agung Putu raja kerajaan mengwi saat itu. 
Dalam pembangunan Pura Taman Ayun Beliau dibantu oleh arsitek yang berasal dari seorang keturunan Cina dari Banyuwangi yang bernama Ing Khang Ghoew juga sering disebut I Kaco rekan dari Raja Mengwi. Pura Taman Ayun merupakan Pura Keluarga bagi Kerajaan Mengwi. Awalnya, pura ini didirikan karena pura-pura yang ada pada jama itu jaraknya terlalu jauh untuk dijangkau oleh masyarakat Mengwi. Maka dari itu, Sang Raja mendirikan sebuah tempat pemujaan dengan beberapa bangunan sebagai penyawangan (simbol) daripada 9 pura utama yang ada di Bali, seperti Pura Besakih, Pura Ulundanu, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan pura utama lainnya yang ada di Bali. 
Keberadaan dari Pura Taman Ayun ini terletak di Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Suasana di dalam Pura Taman Ayun ini begitu menenangkan, menyaksikan kemegahan pura dengan pahatan-pahatan seni dari jaman kerajaan. Sedikitnya ada 10 bangunan meru, yang tertinggi sampai tumpang sebelas. Pura ini dikelilingi kolam besar, sehingga dari kejauhan, pura ini seolah-olah terapung. Areal pura ini luasnya mencapai empat hektar, ditumbuhi berbagai macam bunga dan pohon buah-buahan. Memang, dulu pura ini merupakan pertamanan tempat beriatirahat. Pemerintah Daerah Bali pernah mengusulkan kepada UNESCO, agar Pura Taman Ayun termasuk dalam World Heritage List.






CANDI TEBING GUNUNG KAWI,

PERSEMAYAMAN ABADI RAJA-RAJA DINASTI UDAYANA

 

Di sisi utara Gianyar, terdapat sebuah situs arkeologi yang menakjubkan. Di antara areal persawahan bertingkat dengan sistem irigasi tradisional subak, terdapat 10 candi yang dipahat pada dinding tebing batu pasir.
Situs bersejarah bernama Candi Tebing Gunung Kawi ini termasuk dalam wilayah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan telah dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa dinasti Udayana (Warmadewa). Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 M) dan berakhir pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 Masehi), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah kompleks pertapaan (kantyangan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak, kesepuluh candi tersebar di tiga titik. Lima di antaranya berada di sisi timur Sungai Tukad Pakerisan, sementara sisanya tersebar di dua titik di sisi barat sungai. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi.
Di sebelah utara dari sisi barat Sungai Tukad Pakerisan, terdapat empat candi yang berderetan dari utara hingga ke selatan dan menghadap ke arah sungai. Sedangkan, satu candi lainnya berada di sisi selatan, kurang lebih berjarak 200 meter dari keempat candi tadi.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya Dharmapatni memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata – yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan bagi arwah sang ayah, Raja Udayana.
Di antara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna 'sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)' yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir dari Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari beberapa referensi sejarah pada zaman tersebut, keberadaan candi ini dapat dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya, Raja Anak Wungsu. Di kemudian hari, Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Bedahulu.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadatan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, di sekitar candi Hindu ini terdapat sejumlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahat pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu yang berdampingan dengan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama. [Ardee/IndonesiaKaya]












TEMPAT WISATA BUDAYA ART CENTER BALI


Art Center di kawasan Bali ini adalah Taman Budaya yang menggambarkan kearifan budaya lokal di Bali. Di sini adalah Taman Budaya terbesar yang terletak di tengah-tengah kota Denpasar. Art Center didirikan oleh gubernur pertama Bali yaitu Ida Bagus Mantra. Beliau mendirikan Art Center ini bertujuan untuk melestarikan dan mengenalkan budaya Bali ke seluruh dunia agar lebih dikenal ke mancanegara. Dengan kawasan yang memiliki luas sekitar 14 hektar ini dibangun di atas tanah peribadi milik beliau. Beliau berharap agar budaya Bali terus hidup dan dikenal oleh mata dunia dari generesi ke generasi. Dan bisa dibilang cita-cita beliau tersampaikan lewat dibangunya Taman Budaya ini.
Jika anda berkunjung ke tempat ini, ada beberapa komplek yang bisa anda kunjungi. Terdapat 4 komplek dengan fungsi dan kelebihanya masing-masing. Adapun 4 komplek yang dapat anda temui di sini adalah yang pertama Komplek Suci. Komplek ini meliputi Pura Taman Beji, Bale Selonding, dan Bale Pepaosan, serta ada beberapa titik wisata lainnya. Kemudian komplek yang kedua adalah Komplek Tenang. Komplek Tenang ini meliputi Perpustakaan Widya Kusuma yang berisi buku-buku sejarah tentang Bali. Jadi anda dapat menemukan segala hal tentang sejarah Bali di perpustakaan ini.
Dan komplek berikutnya adalah Komplek Setengah Ramai. Kawasan ini meliputi Wantilan, Studio Patung, Gedung Kriya, Wisma Seni dan Gedung Pameran Mahudara .Kawasan ini merupakan tempat di mana pameran seni Bali sering diadakan. Tempat ini merupakan sebuah aula tempat pameran seni Bali. Dan komplek yang terakhir adalah Komplek Ramai. Komplek ini meliputi kawasan Panggung Terbuka Ardha Candra dan juga Panggung tertutup Ksirarnawa, adapun keduanya bertempat di sebelah Selatan Sungai.
Setiap tahun di kawasan ini diadakan pesta kesenian Bali. Hingga acara ini biasanya menjadi acara tahunan yang menarik banyak wisatawan untuk datang ke sini. Di sini akan anda lihat barbagai pertunjukan budaya dan seni dari perwakilan seniman terbaik di seluruh Bali. Biasanya pentas seni ini diadakan pada pertengahan bulan Juni-July, Sehingga tempat ini dipenuhi para pengunjung ketika liburan sekolah tiba.
Kawasan wisata budaya Art Center ini berada di tengah-tengah kota Denpasar, lebih tepatnya di Jalan Busa Indah, Denpasar, Bali. Jika anda ingin berkunjung ke sini maka anda dapat menempuh perjalanan sekitar 15 km atau 30 menit dari Bandara Ngurah Rai dengan mengendarai kendaraan. Dari Bandara ambillah jurusan menuju ke arah pusat kota di Jalan Gajah Mada. Lalu lurus saja ke timur menuju Hayam Wuruk. Pada kawasan sebelah kiri setelah Banjar Kedaton anda akan temukan jalan Nusa Indah. Nah di sinilah lokasinya.

MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT BALI (BAJRA SANDHI)


Pada tanggal 26 Mei 2014, salah satu agenda pembelajaran Diklat Pim IV Angkatan V Kabupaten Badung adalah melaksanakan visitasi. Monumen Perjuangan Rakyat Bali atau yang sering disebut dengan Bajra Sandhi menjadi tujuan visitasi adalah untuk menumbuhkan rasa cinta dan wawasan berbangsa dan bernegara, khususnya untuk mengenang perjuangan pahlawan-pahlawan kita dalam rangka merebut serta mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia, khususnya perjuangan pahlawan yang terjadi di Pulau Dewata ini.
Pada tulisan saya kali ini berisi tentang Deskripsi Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB), yang sejujurnya baru kali ini saya sempat masuk ke dalam monumen padahal selama terbangun dan berfungsi saya hanya melihat dari luar saja. Ternyata monumen ini banyak berisikan materi-materi perjuangan rakyat Bali dan tentunya sangat berguna untuk menumbuhkembangkan kebanggaan berbangsa dan bernegara, khususnya menjadi bagian dari warga Bali.
Sejarah Monumen Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi)
Museum Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi) tercetus pada tahun 1980 yang berawal dari ide Prof. Dr. Ida Bagus Mantra yang saat itu adalah Gubernur Bali. Ia mencetuskan ide awalnya tentang museum dan monumen untuk perjuangan rakyat Bali. Lalu pada tahun 1981, diadakan sayembara desain monumen, yang dimenangkan oleh Ida Bagus Yadnya, dia adalah seorang mahasiswa jurusan arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana.]
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra
Lalu pada tahun 1988 dilakukan peletakan batu pertama dan selama kurang lebih 13 tahun pembangunan monumen selesai. Tahun 2001, bangunan fisik monumen selesai. Setahun kemudian, pengisian diorama dan penataan lingkungan monumen dilakukan. Pada bulan September 2002, SK Gubernur Bali tentang penunjukan Kepala UPTD Monumen dilaksanakan.
Dan akhirnya, pada tanggal 1 Agustus 2004, pelayanan kepada masyarakat dibuka secara umum, setelah sebelumnya pada bulan Juni 2003 peresmian monumen dilakukan oleh Presiden RI pada saat itu, yakni Ibu Megawati Soekarnoputri.
Monumen ini terletak di kawasan Lapangan Renon yang tentunya sangat menarik perhatian bagi semua orang karena tempatnya yang terawat dengan baik dan bersih dan lengkap dengan menara yang menjulang ke angkasa yang mempunyai arsitektur khas Bali yang indah. Lokasi monumen ini juga sangat strategis karena terletak di depan Kantor Gubernur Bali yang juga di depan Gedung DPRD Provinsi Bali tepatnya di Lapangan Niti Mandala Renon. Tempat ini merupakan tempat pertempuran jaman kemerdekaan antara rakyat Bali melawan pasukan penjajah. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang Puputan” yang berarti perang habis-habisan. Monumen ini didirikan untuk memberi penghormatan pada para pahlawan serta merupakan lambang penghormatan atas perjuangan rakyat Bali.
Museum ini menjadi simbol masyarakat Bali untuk menghormati para pahlawan serta merupakan lambang persemaian pelestarian jiwa perjuangan rakyat Bali dari generasi ke generasi dan dari zaman ke zaman, serta lambang semangat untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada di pintu utama, 8 buah tiang agung di dalam gedung monumen, dan monumen yang menjulang setinggi 45 meter.
Bentuk museum ini diambil berdasarkan cerita Hindu pada saat Pemutaran Gunung Mandara Giri oleh Para Dewa dan Raksasa guna mendapatkan Tirta Amertha atau Air Suci Kehidupan.
Dinamakan Museum Bajra Sandi karena bentuk museum ini seperti Bajra atau Genta yang dipakai oleh para pemimpin Agama Hindu dalam mengiringi pengucapan japa mantra pada saat melakukan upacara Agama Hindu. Adapun bagian-bagian yang penting dalam museum ini adalah sebagai berikut :
  • Bangunan Museum yang menjulang melambangkan Gunung Mandara Giri
  • Guci Amertha dilambangkan dalam bentuk Kumba (periuk) tepat bagian atas museum.
  • Naga yang melilit museum melambangkan Naga Basuki yang digunakan sebagai tali dalm pemutaran Mandara Giri.
  • Kura-kura yang terdapat di bagian bawah museum merupakan simbul dari Bedawang Akupa yang digunakan sebagai alas pemutaran Mandara Giri.
  • Kolam yang terdapat disekeliling museum merupakan simbul dari Lautan Susu yang mengelilingi Mandara Giri tempat beradanya Air Suci Kehidupan atau Tirtha Amertha.
Bentuk Bangunan Monumen Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi)
Letak monumen tersebut sangat strategis sebab berada persis di depan Kantor Gubernur Bali, atau tepatnya di Lapangan Niti Mandala Renon Denpasar. Luas bangunan monumen itu adalah 4.900 m2 (70 m x 70 m) dan luas tanah 138.830 m2 .
Monumen ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu:

Secara horizontal
Secara horizontal adalah susunan bangunannya berbentuk segi empat bujur sangkar, simetris dan mengacu pada konsep Tri Mandala, yaitu:
  1. Sebagai Utama Mandala adalah pelataran/gedung yang paling di tengah
  2. Sebagai Madya Mandala adalah pelataran yang mengitari Utama Mandala
  3. Sebagai Nista Mandala adalah pelataran yang paling luar yang mengitari Madya Mandala
Bangunan gedung monumen pada Utama Mandala tersusun menjadi 3 lantai yaitu:
  1. Utamaning Utama Mandala adalah lantai 3 yang berposisi paling atas berfungsi sebagai ruang ketenangan, tempat hening-hening menikmati suasana kejauhan di sekeliling monumen
  2. Madyaning Utama Mandala adalah lantai 2 berfungsi sebagai tempat diaroma yang berjumlah 33 unit. Lantai 2 ini sebagai tempat pajangan miniatur perjuangan rakyat Bali dari masa ke masa. Di bagian luar sekeliling ruangan ini terdapat serambi atau teras terbuka untuk menikmati suasana sekeliling.
  3. Nistaning Utama Mandala adalah lantai dasar gedung monumen, yang terdapat ruang informasi, ruang perpustakaan, ruang pameran, ruang pertemuan, ruang administrasi, gedung dan toilet. Di tengah-tengah ruangan terdapat telaga yang diberi nama sebagai Puser Tasik, delapan tiang agung dan juga tangga naik berbentuk tapak dara.
Secara vertikal
Secara vertikal, terbagi menjadi tiga bagian yaitu mengacu pada konsep Tri Angga. Konsep Tri Angga adalah:
  1. Utama atau kepala, yaitu tidak berisi apapun atau kosong yang merupakan simbul keabadian.
  2. Madya atau badan yaitu terdapat pajangan diorama
  3. Nista atau kaki, yaitu terdapat taman-taman
Selain Tri Angga dan Tri Mandala terdapat juga nilai filosofis, yaitu pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para dewa dan raksasa yang bekerja sama guna memperoleh Tirta Amertha.
Diorama Monumen Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi)
Pada monumen ini perjalanan sejarah masyarakat Bali tergambar jelas melalui 33 unit diorama. Diorama-diorama tersebut disusun melingkar mengikuti kontur ruangan. Setiap diorama berisi patung-patung lengkap dengan setting lingkungan alamiahnya. Untuk memudahkan pengunjung dalam memahami isi diorama tersebut, pada bagian luar terdapat label informasi dalam tiga bahasa : Bahasa Bali dalam Aksara Bali, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Di bagian-bagian awal diorama ditampilkan manusia purba pada masa berburu dan meramu. Di sana digambarkan Pithecanthropus erectus sedang berburu babi dengan kapak genggam. Bagian selanjutnya menggambarkan perkembangan masyarakat Bali pada masa kerajaan, masa penjajahan, masa revolusi fisik, hingga pasca kemerdekaan. Pada bagian akhir diilustrasikan proses pembangunan Universitas Udayana yang berlangsung pada tahun 1975.
Adapun kesimpulan yang dapat saya simpulkan dalam kegiatan visitasi ini adalah :
  1. Monumen Perjuangan Rakyat Bali merupakan sebuah monumen untuk mengenang kerja keras dan perjuangan heroik dari rakyat Bali sebelum dan sesudah kemerdekaan.
  2. Dalam monumen ini memiliki nilai relegius seperti sering disebut dengan Bajra Sandi karena bentuk museum ini seperti Bajra atau Genta yang dipakai oleh para pemimpin Agama Hindu dalam mengiringi pengucapan japa mantra pada saat melakukan upacara Agama Hindu.
  3. Monumen Perjuangan Rakyat Bali ini melambangkan semangat untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada di pintu utama, 8 buah tiang agung di dalam gedung monumen, dan monumen yang menjulang setinggi 45 meter. Hal ini mengingat kemerdekaan Negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
  4. Dalam membangun monumen ini terdapat beberapa makna kehidupan manusia dengan istilah budaya Hindu seperti menggambarkan Tri Mandala dan Tri Angga.

















SEJARAH PURA GOA LAWAH

Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung (lingga-yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, berdesak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang masa. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu.
Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.
Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Umat Hindu silih berganti menghaturkan bhakti dengan berbagai tujuan. Terutama ketika berlangsung piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.
 Di samping juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara rutin pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi, Saraswati, Siwaratri dan lainnya.
Begitu juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada saja yang menggelar upacara meajar-ajar atau nyegara-gunung.
Siapa yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun?
Sulit mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena usia bangunan pemujaan tersebut sudah tua, juga jarang ada narasumber yang benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya.
Memang, ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah. Tetapi, sangat jarang yang berani membuka secara jelas dan gamblang, siapa dan kapan salah satu pura Sad Kahyangan itu dibangun.
Jika dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat dijelaskan bahwa goa berarti goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura besar yang berstatus Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan.
Hal itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan. Sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung yang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan buku tentang ''Pura Goa Lawah.'' Dalam rekapan buku yang rencananya dipasupati bersamaan dengan pujawali di Pura Goa Lawah, 23 Mei mendatang, diceritakan, Mpu Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat pemerintahan dipimpin Anak Bungsu adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.
Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan.
Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di Pura-Pura seperti gedong dan meru serta arsitektur Bali.
Begitu juga dengan berbagai jenis upacara-upakara dan pedagingan pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan prikehidupan yang sangat prinsip seperti aturan-aturan ketertiban hidup bermasyarakat yang diwarisi sampai saat ini dalam bentuk Desa Pakraman.
Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat jaya pada masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa.
Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah. Perjalanan dihentikan. Sang pendeta masuk ke tengah Goa. Melihat-lihat goa kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu membangun padmasana yang notebena tempat bersthana para dewa.
 Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih. Penunjukkan itu mengingat Goa Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.
Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Basukih yang merupakan nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut.
Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga tempat masing-masing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih tembus Goa Lawah.
Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya, seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.

Dari kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Padmasana oleh Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan Pura Goa Lawah, seperti yang kita lihat dan warisi sampai sekarang. Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas pemberian amerta baik kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun kepada sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017