CLICK FOR CLAIM PROMO !

Senin, 24 Oktober 2016

MAKALAH TEORI HUKUM UNIVERSAL ATAU TEORI RELATIVITISME BUDAYA

Subscribe
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila dan terdiri dari 33 provinsi dan juga di bagi lagi menjadi banyak kecamatan di setiap provinsinya. Perbedaan adat, budaya dan ras membuat indonesia semakin beragam. Tidak dapat menampih kebernaran perbedaan tersebut sering juga menyebabkan konflik antara suku, ras juga agama. Penindasan masyarakat mayoritas terhadap masyarakat minoritas membuat indonesia di landa krisis Sosial, oleh karena itu di perlukan aturan-aturan, kaidah-kaidah yang dapat mengatur kehidupan masyarakat di indonesia sekarang.
Dewasa ini pemikiran tentang aturan serta kaidah-kaidah yang berkembang dimasyarakat terus berkembang seiring perkembangan zaman. Aturan serta kaidah-kaidah tersebut di tuntut untuk selalu fleksibel serta mencangkup semua. Seiring berjalannya waktu timbul masalah-masalah baru yang terjadi di masyarakat terutama masyarakat adatnya. Masalah-masalah tersebut menyebabkan pula perubahan terhadap adat serta budaya yang berada di masyarakat. Perubahan di perlukan agar tidak adat serta budaya tersebut menjadi beban terhadap masyarakatnya.
Di tambah dengan krisis budaya, adat dan sosial yang melanda indonesia sekarang, pemerintah di tuntut untuk dapat memilih serta menerapkan aturan serta teori mana yang akan di terapkan di indonesia sekarang.

1.2.            Rumusan Masalah
-          Pengertian Relativisme Budaya
-          Pengertian Hukum Universal / Internasional
-          Manakah yang lebih cocok di terapkan di indonesia ?



1.3.            Tujuan Penulisan
Agar pembaca dapat mengetahui pengertian dari Relativisme Budaya dan Teori Universal dan dapat membedakan kegunaan masing-masing dan juga dapat memilih yang mana lebih cocok di terapkan di negara indonesia dengan perbedaan di setiap daerah agar mencakup segala kalangan.


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1.     Pengertian Relativisme Budaya
Relativisme budaya adalah sebuah aliran pemikiran dalam kebudayaan yang menolak adanya suatu klaim legitimatif yang menentukan cita rasa, aktivitas, ketertarikan dan norma-norma yang berlaku secara universal.
Menurut Franz Boas Relativisme budaya adalah prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas setiap orang harus dipahami menurut budaya orang itu sendiri.
Prinsip ini dirintis sebagai aksioma dalam penelitian antropologi Franz Boas pada beberapa dasawarsa pertama abad ke-20, lalu dipopulerkan oleh para mahasiswanya. Boas pertama kali memaparkan gagasannya pada tahun 1887: "...peradaban bukan sesuatu yang absolut, melainkan ... relatif, dan ... gagasan dan bayangan kita selalu benar sepanjang peradaban manusia terus ada." Namun demikian, Boas tidak menciptakan istilah ini. However, Boas did not coin the term.
Menurut Oxford English Dictionary, istilah ini pertama kali digunakan oleh filsuf dan teoriwan sosial Alain Locke pada tahun 1924 untuk menjelaskan "relativisme budaya ekstrem" Robert Lowie yang terdapat di buku Lowie tahun 1917, Culture and Ethnology. Istilah ini mulai lazim di kalangan antropolog setelah Boas meninggal dunia tahun 1942. Para antropolog berusaha menjelaskan sintesis beberapa gagasan yang dikembangkan Boas. Boas percaya bahwa cakupan budaya yang dapat ditemukan di subspesies manapun sangat luas dan menjalar sampai-sampai tidak mungkin ada hubungan antara budaya dan ras. Relativisme budaya meliputi klaim epistemologi dan metodologi. Para ilmuwan masih memperdebatkan apakah klaim ini memerlukan sudut pandang etika. Prinsip ini tidak sama dengan relativisme moral.
Dalam selera musik, misalnya, musik pop tidak dapat dianggap lebih rendah daripada musik klasik; pengetahuan tentang fisika atau filsafat tidak dapat dianggap lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan pengetahuan tentang sepak bola. Berdasarkan prinsip ini kaum egalitarian menuntut keragaman kurikulum sesuai dengan latarbelakang kebudayaan  setiap siswa. 

2.2.     Relativisme nilai dalam produk kebudayaan
Berdasarkan relativisme nilai kita tidak dapat menilai tinggi-rendahnya nilai yang terkandung dalam sebuah produk kebudayaan. Pandangan ini mengandung dua  kekeliruan sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:
1)    Karya-karya besar adalah milik semua orang. Karya besar seperi Bhagavad Gita; The Brothers Karamazov, Beethoven, The Critique of Pure Reason merupakan produk-produk kebudayaan yang tak ternilai harganya bagi umat manusia. Adalah kekeliruan menarik kesimpulan bahwa karya-karya itu tidak bermutu hanya karena alasan bahwa tidak semua orang dapat memahaminya. Ketidakmampuan untuk mengapresiasikan suatu produk kebudayaan tidak menyatakan bahwa produk tersebut bernilai rendah. Problematika ini mirip dengan pandangan yang mengatakan bahwa karya sastra Eropa yang termasyhur adalah lebih berguna daripada karya sastra Timur. Karya sastra Eropa adalah refleksi kebudayaan orang Eropa yang tidak terdapat dalam karya sastra Timur. Kesadaran orang Eropa hidup dalam karya sastra Eropa. Kesadaran orang Timur hidup dalam karya sastra Timur dalam suasana yang asing bagi orang Eropa. Nah, jika logika penilaian ini diterima, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa Bhagavad Gita adalah sebuah karya besar hanya bagi orang India.  Bhagavad Gita adalah sebuah karya besar pada dirinya (as it is) – baik bagi orang India maupun bagi bangsa lain. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa karya sastra Eropa (atau Timur) mempunyai nilai besar bagi orang Eropa (Timur) bukan merupakan pemahaman relativisme budaya.  Pendapat ini sebetulnya muncul dari fakta bahwa ada kecenderungan baik pada orang Eropa maupun pada orang Timur (Asia) untuk membaca karya sastra yang bercerita tentang kebudayaan mereka masing-masing. Fakta ini adalah sesuatu yang wajar karena setiap orang akan cenderung memilih karya yang merefleksikan pengalaman kehidupan di seputarnya.
2)   Karya-karya besar tidak selamanya menjadi milik kelas menengah. Tidak semua karya besar yang dinikmati oleh kelas menengah menggambarkan kebudayaan kelas menengah.  Majalah Times, atau teori ekonomi Karl Marx, misalnya, tidak banyak bercerita tentang kehidupan masyarakat kelas menengah.

2.3.     Latar Historis Lahirnya Relativisme Budaya
Istilah relativisme budaya dapat dilihat dari ragamnya. Relativisme terbagi ke dalam relativisme individual, disebut subjektivisme dan relativisme sosial, disebut konvensionalisme (Pojman:1990). Relativisme individual adalah bahwa setiap individu menentukan kaidah moralnya sendiri. Subjektivisme (istitilah lain dari relativisme individual) memandang bahwa pilihan-pilihan individu menentukan validitas sebuah prinsip moral. Penegasannya adalah moralitas bersemayam di mata orang yang melihatnya (Shomali, 2005). Relativisme sosialadalah sebuah teori yang menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya sendiri. Hal ini seperti dinyatakan (Donaldson, 1989) bahwa kebenaran moral hanyalah kesepakatan kultural di masyarakat. Konvensionalisme (istilah lain dari relativisme sosial) memandang bahwa prinsip-prinsip moral secara relatif benar, sesuai dengan kovensi budaya atau masyarakat tertentu. Nama lain dari relativisme sosialadalah Relativisme budaya  (Shomali, 2005).
Relativisme budaya, secara Epistemologi, berasal dari Jerman, sebagai tanggapan terhadap adanya etnosentrisme barat, yang jika dibiarkan berkembang akan melahirkan rasisme, yaitu adanya kebencian dari suku bangsa terhadap suku bangsa yang lain, atau istilah Mulyana (1996) etnosentrisme adalah akar rasisme. Kita bisa melihat pengaruh dari rasisme di Jerman, terutama di bawah kekuasaan Hitler, yang menghasilkan kebencian dari Ras Jerman terhadap Ras Yahudi yang menimbulkan pembantaian jutaan manusia yang tidak berdosa.
Secara teoritis, relativisme budaya didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas
relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku  manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya
seseorang atau sekelompok orang (Koentjaraningrat: . Jadi  jika suatu budaya tidak sama, berarti ada perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusianya, dan kondisi lingkungan fisik.
Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boaz dalam dekade awal abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah  tersebut pertama kali digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai prinsip pemikiran Boas.
Franz Boas, awalnya sebagai pengajar dalam ilmu fisika dan ilmu geografi, dan dipengaruhi begitu kuat oleh pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) yang berargumentasi bahwa manusia tidak mampu mengarahkan dan memediasi pengetahuan di dunia. Semua pengalaman kita di dunia dimediasi lewat pikiran manusia,  yang secara universal  persepsi terbentuk berdasarkan pada kondisi wilayah dan waktu tertentu. Suatu budaya dapat menjadi media dalam pemahaman yang terbatas terhadap realitas yang samar.  Ia memahami "budaya" termasuk bukan hanya seperti rasa dalam makanan, seni dan musik, atau kepercayaan dalam agama. Ia berasumsi jauh lebih luas dalam mengartikan budaya, yang didefinisikan sebagai:  the totality of the mental and physical reactions and activities that characterize the behavior of the individuals composing a social group collectively and individually in relation to their natural environment, to other groups, to members of the group itself, and of each individual to himself  (Boas:1963);  keseluruhan dari reaksi mental,  fisik dan aktifitas karakter perilaku dari individu yang menggubah suatu kelompok sosial secara bersama dan secara individu dalam hubungannya terhadap   lingkungan alami, kelompok yang lain, kelompoknya, dan tehadap dirinya sendiri.
Pengertian budaya ini di hadapan para antropolog  terdapat dua permasalahan:  pertama, bagaimana untuk lepas  dari ikatan budayanya yang tidak disadarinya, yang tidak dapat dihindari dari tanggapan bias kita dan berbagai reaksi dunia, dan kedua, bagaimana memahami budaya yang tidak familier. Karenanya, prinsip relatifitas budaya memaksa ahli antropologi untuk mengembangkan strategi metoda-metoda dan heuristik yang inovatif.

2.4.     Sebagai Suatu Alat Metodologis
Diantara perang dunia I dan perang dunia II, “relatifisme budaya” menjadi alat bagi para antropolog Amerika sebagai penolakan terhadap klaim barat  tentang ke- universal-an dan menyelamatkan berbagai kebudayaan non-barat (timur).  Hal ini difungsikan untuk mentrasfer epistemologi Boas ke dalam pelajaran metodologi.
Yang   paling jelas  dalam persoalan bahasa. Meski bahasa biasanya dibahas sebagai alat komunikasi, Boas memahami bahwa hal itu juga bermakna sebagai kategori pengalaman. Dengan demikian,  meski tiap orang merasa melihat pancaran dengan cara yang sama,  dari suatu rangkaian pada warna, orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang berbeda membagi atas rangkaian ini ke dalam warna-warna terpisah dengan berbagai cara.
Beberapa bahasa tidak memiliki kata yang berpasangan dengan Orang-Orang Inggris  seperti kata "hijau”. Ketika orang-orang yang berbicara bahasa-bahasa seperti itu ditunjukkan sesuatu yang berwarna  hijau, beberapa kelompok masyarakat mengidentifikasi-nya menggunakan kata mereka untuk biru, yang lain mengidentifikasi nya menggunakan kata mereka untuk kuning. Melville Herskovits (2008), murid Boas, meringkas prinsip relativism budaya:  Judgements are based on experience, and experience is interpreted by each individual in terms of his own enculturation "tiap pendapat didasarkan pada pengalaman, dan pengalaman ditafsirkan oleh masing-masing individu berdasarkan budayanya sendiri.
Boas dan para siswa-nya menyadari bahwa untuk melakukan penelitian ilmiah terhadap budaya lain, mereka  perlu menggunakan metoda yang dapat menolong mereka terlepas dari konsep dasar etnosentris. Metoda tersebut  adalah etnografi, yaitu ilmu  yang mempelajari sukubangsa beserta kebudayaannya. Pada  dasarnya, mereka siap menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang lain untuk satu periode waktu tertentu, sehingga mereka bisa belajar bahasa  lokal dan budaya setempat, paling tidak  secara parsial, di dalam kebudayaan tersebut.
Di dalam konteks ini, relativism budaya menjadi sangat penting sebagai metodologis, karenanya perlu perhatian kita semua bahwa betapa pentingnya memahami budaya lokal berdasarkan keyakinan masyarakat tertentu. Heyer menyatakan: Cultural relativity, to phrase it in starkest abstraction, states the relativity of the part to the whole. The part gains its cultural significance by its place in the whole, and cannot retain its integrity in a different situation (1948: 163);  "Relatifitas budaya, untuk mengutarakan nya dalam kondisi paling abstrak, menyatakan bahwa relativitas merupakan bagian dari keseluruhan. Bagian yang diperoleh pada makna budaya berdasarkan wilayah di dalam keseluruhannya dan tidak dapat mempertahankan  keutuhannya dalam situasi yang berbeda.

2.5.     Relativisme Budaya dalam Kajian Pemikir Modern
1.   Gilbert Harman
Gilbert Harman merupakah salah satu tokoh yang berpengaruh di era modern dalam memperkokoh ekstensi paham relativisme budaya, khususnya di bidang moral sebagai bagian dari unsur budaya. Dalam pandangan Harman, versi strandar relativisme yang ada selama ini tidak lagi efektif. Oleh karena itu, dia bersama-sama dengan David Wong – tokoh relavisme yang juga akan dikaji dalam makalah ini – mengembangkan bentuk relativisme yang rumit dan moderat untuk menghadapi kelompok-kelompok yang menentang paham ini (Shomali: 2005, 178). Harman mengkaji relativisme moral dengan cara yang sangat berbeda dengan absolutisme moral. Namun demikian, melalui pendekatan internalistinya, dia tetap menganggap absolitisme moral sebagai pendapat tentang alasan moral yang mendasari manusia. Dia mengatakan “Saya  akan memahami keyakinan terhadap nilai-nilai mutlak sebagai keyakinan bahwa setiap orang memiliki alasan untuk berharap atau bercita-cita. Mengatakan adanya hukum moral yang berlaku pada setiap orang menurut saya berarti mengatakan setiap orang mempunyai alasan yang memadai untuk mengikuti hukum itu” (Harman: 1989, 370).
Menurut Harman moral berbeda dengan nihilisme moral. Tidak ada satu pun moralitas yang benar, namun nilihisme moral “menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menolak sama sekali moralitas, termasuk segala bentuk moral relatif (Harman: 1996, 5). Bentuk nihilisme yang paling mederat menegaskan bahwa ada fakta-fakta moral, namun tidak jalan untuk mengetahuinya. Pernyataan ini menunjukan bahwa tanggungjawab moral bergantung pada pengetahuan. Di sini, tampak jelas bahwa nihilisme mengabaikan moralitas. Relativisme moral lebih moderat, menurutnya, moralitas tidak boleh diabaikan  dan putusan moral relatif dapat terus memainkan peran yang serius dalam pemikiran moral.
Harman berupaya menampilkan relativisme moral sebagai sebuah tesis logika. Dia menyatakan bahwa dia tdak menolak bahwa sebagian moralitas “secara objektif” lebih benar daripada yang lain atau bahwa ada ukuran-ukuran obyektif terhadap moral. Baginya, sesuatu itu besar hanya berarti dalam hubungan dengan perbandingan yang lain. Demikian juga, seseorang bersalah dalam melakukan sesuatu hanya berarti dalam hubungan dengan sebuah kesepakatan atau pemahaman.  Tesis logika yang dimaksud Harman itu menurut Pojman (1990), bagi Harman, internalisme merupakan sebuah tesis logika tentang bentuk sebuah putusan moral. Harman menyatakan bahwa putusan moral mempunyai dua putusan logika atau dua macam implikasi: keduanya mengisyaratkan bahwa sang agen mempunyai alasan yang baik untuk berbuat menurut cara tertentu, dan bahwa sang pembicara menyetujui alasan itu dan mengira si pendengar atau subjek putusan itu juga melakukan hal yang serupa. Dengan demikian, Harman mengatakan bahwa secara logis tidaklah pantas mengatakan, “Hitler tidak boleh berbuat menurut caranya sendiri”, karena dia tidak mempunyai prinsip yang sama dengan kita.
Tesis logika Harman di atas harus dicermati lebih jeli karena ada ruang-ruang logikanya yang cenderung dipaksakan dan ketidakpastian. Di antaranya, adalah benar sulit mendapatkan konsep “besar” tanpa dipersandingan/diperbadingkan dengan konsep “kecil”. Tapi, hal yang sama tidak terjadi pada moral. Tidaklah sulit bagi seseorang untuk mendefinisikan “benar” tanpa merujuk pada konsep “salah”.  Hal lain yang harus dikritisi dalam tesis logika Harman adalah tentang putusan moral dalam kaitan dengan perbuatan seseorang. Sangat diragukan bahwa keputusan moral yang diambil oleh seseorang bersifat linier dengan perbuatan yang dilakukan.
Selain menggunakan tesis logika, untuk memperkuat argumentasi relativisme moralnya, Harman mencoba membandingkan realitivisme moral dengan relativisme Einstein. Menurut Einstein, sebuah objek dapat memiliki massa yang berbeda terkait dengan bingkai ruang dan waktu dan tidak ada bingkai ruang waktu yang istimewa yang menentukan massa yang sebenarnya. Dalam Moral Relativism and Moral Objectivity, Harman, menggunakan logika Einstein tersebut untuk menjabarkan relativisme moral. Kebenaran dan kesalahan moral bersifat relatif terhadap bingkai moral tertentu. Dan tidak ada bingkai moral yang secara objektif istimewa sebagai moralitas yang benar (Shomali: 2005).
Langkah perbandingan Harman di atas menyisakan pertanyaan-tertanyaaan, seperti apakah perbedaan/ perselisihan gerak dan moral disebabkan oleh prinsip yang mendasar atau penilaian yang berbeda terhadap “fakta-fakta kasus yang ada”. Karena dalam kenyataannya, tidak ada jaminan dua orang yang berada di bingkai moral yang berbeda (dalam kasus keharusan menolong orang yang lemah misalnya) ketika dipertemukan, mereka mengakatan bahwa mereka berselisih. Di samping itu, Menurut Shomali (2005, 187), salah satu sebab timbulnya perselisihan moral adalah kegagalan mengidentifikasi semua faktor yang relevan. Di samping itu, tidak seluruhnya tepat  membandingan relafisme fisik Einstein dengan realifisme moral. Berbeda dengan gerak relatif, yang bisa jadi gerak itu sendiri, moral relatif bukan moral itu sendiri, tetapi moral dalam persepsi dan atau moral dalam budaya (Moh. A. Shomali, 186). Contoh, mencuri itu salah. Itu prinsip moral, tetapi secara perseptual atau dalam kasus buadaya, mencuri itu bisa salah juga bisa benar.

2.    David Wong
Teori relatisme etika Wong disadarkan atas pernyataan tidak adanya satu pun moralitas yang benar, dan bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antrapribadi. Menurutnya, kesulitan utama dalam menjelaskan pengalaman moral adalah mendamaikan ciri pengalaman kita yang menyatakan objektivitas moralitas dengan ciri lain yang menyatakan subjektivitas moralitas.Secara teoritis, Wong menerima  konsep “kebenaran”, tetapi membuat “keberanaran” itu menjadi relatif. Secara tegas dia menyatakan bahwa tidak ada dasar objektif dan independen bagi moralitas karena moralitas didasarkan atas kepentingan dan keinginan manusia (Moh. A. Shomali: 2005, 242)
Relativisme moral Wong berpijak pada tiga jenis ketakterbandingan (incommensurability); pertama, ketakterbandingan menyangkut penerjemahan. Menurutnya, ada beberapa istilah dari berbagai bahasa  tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam istilah bahasa kita sendiri; kedua, ketakterbandingan menyangkut justifikasi. Adanya beberapa teori yang masuk akal yang mempunyai premis yang berbeda mengenai hakekat dunia atau bentuk-bentuk penalaran; ketiga, ketakterbangingan evaluatif. Katanya, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa teorinya sendiri lebih baik daripada teori orang lain.
Bertolak dari ketiga ketakterbandingan di atas, Wong mengatakan kita dapat menjustifikasi premis dan bentuk penalaran kita sendiri yang paling mendasar, sehingga tidak ada cara yang menunjukkan bahwa pendapat orang lain lebih rendah daripada pendapat kita.
Atas dasar tiga dalil ketakterbandingan di atas, Wong yakin terdapat berbagai moralitas yang berbeda secara fundamental yang tidak diakibatkan oleh penerapan nilai atau prinsip umum yang berbeda. Menurutnya, contoh terbaik atas adanya perbedaan moralitas tersebut adalah perbedaan moralitas yang berintikan perbaikan dan moralitas yang berintikan hak. Moralitas kebaikan menekankan cita-cita bentuk tertentu kehidupan komunitas di mana indiviu diterima dan mungkin berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak individu untuk kebebasan atau kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan seseorang. Moralitas yang berintikan kebaikan bekerja dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Sedangkan moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang kepentingan pribadi atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas (Shaomali: 2005, 252).
Untuk mengatasi konflik batin dan antarpribadi sebagaiaman tersebut di atas, Wong memandang perlu adanya kaidah yang dilaksanakan oleh masayarakat (Wong: 1984, 37). Wong mengkaui ada tiga jenis kaidah: seperangkat kaidah yang menunjukkan sarana yang mutlak atau efisien untuk mencapai tujuan tertentu; seperangkat kaidah yang mendefinisikan prilaku sosial atau itiket; dan seperangkat kaidah untuk menangani konflik batin dan antarpribadi. Menurutnya, kaidah ketiga inilah yang melahirkan moralitas.
Berbeda dengan teori yang digunakan Harman yang bersifat internalistik, teori Wong membedakan antara menjadi benar dan memberikan alasan bagi tindakan. Wong tidak percaya konvensionalisme moral dan tawar menawar implisit. Meskipun demikian, dia percaya moralitas meruapakan kreasi sosial. Dia seorang realis, menerima fakta-fakta khas yang bersifat moral.. Pernyataan-pernyataan moral menurutnya, benar selama berhubungan dengan fakta-fakta  moral. Bagi Wong moralitas berakar pada watak dan kebutuhan nyata manusia. Yang agak aneh, Wong mengangap tidak ada persoalan dalam menerapkan kaidah moral terhadap orang dari budaya lain. Pandangan Wong yang disebut terakhir ini menempatkan dirinya bukan golongan aliran relativisme sejati.
Banyak hal yang perlu dicermati dari pandangan Wong di atas antara lain: apakah benar asal-usul moralitas berakar pada realitas dan khususnya watak manusia; apakah moralitas yang berintikan kebaikan betul-betul berbeda dengan moralitas yang berintikan hak. Bukankah kedua jenis moralitas tersebut memiliki titik persamaan dan saling melengkapi; Jika demikian dimana letak relativitas moral.

3.    George Bernard Shaw
George Bernard Shaw lahir Dublin26 Juli 1856 – meninggal 2 November 1950  di Hertfordshire adalah novelis, kritikus, esaias, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Pada 18 Desember 1926, ia menolak hadiah uang ketika menerima Nobel Kesusasteraan (pada 1925) danAcademy Award for Writing Adapted Screenplay (pada 1938 untuk Pygmalion). Saat menerima penghargaan dalam acara itu, ia mengatakan, "Aku bisa memaafkan Alfred Nobel atas penemuan dinamit, tapi hanya iblis dalam sosok manusia yang bisa menerima Hadiah Nobel. Padahal, ia yang lebih dikenal sebagai dramawan, memulai karier dalam kondisi frustasi akibat kemiskinan.
Pemikiran Shaw tentang relativisme budaya salah satunya dapat terlacak dalam bentuk novel dan kumpulan-kumpulan surat pribadinya. Novel Shaw tersebut berjudul Saint, Major Barbara, Androcles and the Lion. Novel itu banyak membahas dogma kristen dan pribadi Yesus. Di antara sub bahasan novel Shaw ini yang ada kaitannya dengan pembahasan makalah ini adalah masalah relativitas agama. Jika setuju dengan pendapat E.B. Tylor dan pernyataan Clifford Geertz bahwa agama (kepercayaan) bagian dari budaya, maka  konsep relativitasme budaya juga terjadi pada agama. Artinya, bahwa kebenaran yang diusung oleh agama juga bersifat relatif. Relativitasme agama banyak mempengaruhi pengikut aliran ini dalam membangun teologi inklusif dalam agama. Agama berpenampilan ramah terhadap agama lain. Wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam konteks inilah, agama akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama dipandang sesuatu yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis.
Nalar ini akan menjadi rujukan bagi pengikut relativisme agama termasuk Shaw. Maka wajar jika kemudian Shaw dikenal sebagai tokoh yang toleran. Toleransi Shaw dapat dapat diperhatikan dari pernyataannya. Menurut Shaw (1956, 333) bahwa agama yang toleran terhadap minoritas agama pada hakekatnya sama dengan mentoleransi agama itu sendiri.  Memang perubahan nama agama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan sedikit perbedaan, tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap terpuji tersebut.
Di samping menimbulkan sikap toleran, konsep relativitas budaya juga menimbuhkan cara pandang yang realistis sebagaimana dipelihatkan oleh Harman di atas. Relativitas budaya disamping sebagian didasari oleh nalar realisme juga menghasilkan cara pandang yang realistik. Hal ini juga diperlihatkan oleh Shaw. Misalnya, dia tidak segan-segan mengakui keistimewaan Nabi Muhammad sebagai penyelamat manusia. Katanya "Saya telah mempelajari dia (Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) laki-laki yang luar biasa dan menurut saya, terlepas dari pemikiran anti kristen, dia adalah penyelamat umat manusia." (George Bernard Shaw dalam “The Genuine of Islam” (Islam yang Murni), volume I no. 81936).
2.6.     Hukum Internasional / Hukum Universal
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
2.6.1.      Bentuk-Bentuk Hukum Internasional
Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
Ø  Hukum Internasional Regional 
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum.

Ø  Hukum Internasional Khusus 
Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.
Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
1.      negara dengan negara
2.      negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.
2.6.2.      Perbedaan Hukum Internasional / Universal dengan Hukum Dunia
Ø  Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Ø  Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain. Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
2.6.3.      Landasan Sosiologi Hukum Internasional / Universal
Adanya masyarakat-masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional.
1.      Adanya suatu masyarakat Internasional. Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Masyarakat Internasional pada hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan erat.
2.      Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional. Suatu kumpulan bangsa untuk dapat benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini. Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum alam (naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya.
2.7.       Kedaulatan Negara
Kedaulatan Negara : Hakekat dan Fungsinya Dalam Masyarakat Internasional. Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:
1.      Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.
2.      Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.



BAB III
PENUTUP

3.1.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa indonesia tidak dapat memberlakukan semua hukum Internasional yang bersifat universal karena tidak sesuai dengan butir-butir Pancasila dan juga jika diberlakukan hukum internasional tersebut maka negara harus merubah tatanan negara nya seperti undang-undang dan  sumber-sumber hukum lainnya selain itu alasan lain penulis tidak setuju hukum internasional di berlakukan di indonesia adalah karena hukum Internasional memandang semua masyarakat sama tidak melihat ras, suku, agama, adat, sosial dan budaya seseorang. Oleh karena itu penulis tidak terlalu setuju hukum Internasional di berlakukan sepenuhnya di indonesia. penulis lebih setuju dengan teori Relativisme Budaya di karenakan teori tersebut masih mementingkan perbedaan ras, suku, agama, adat, sosial dan budaya seseorang walaupun akhirnya akan timbul perpecahan atau pertikaian di kemudian hari. Tetapi penulis yakin pemerintah dapat memecahkan masalah tersebut dengan solusi-solusinya. Karena itulah resiko jika manusia dikelompok-kelompokan. Perbedaan pendapat tetap menjadi penyebab utamanya. Terlebih lagi minimnya pendidikan yang mengakibatkan seseorang mengambil inisiatif sendiri.

3.2.       Saran
Pemerintah harus lebih sigap memilih hukum internasional mana yang baik masuk ke dalam negara dan mana yang tidak. Agar tidak merusak tatanan negara yang sudah tertata.








DAFTAR PUSTAKA


1.      Cultural Relativism or Ethical Imperialismniles.logue@gordon.edu, Dakses November 2008.
2.      Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (Ed.). 1998. Komunikasi Antarbudaya: Pandungan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
3.      Endang Saifuddin Anshari. 1980. Agama dan Kebudayaan. PT. Bina Ilmu: Surabaya.
4.      Franz Boas 1963 [1911] The Mind of Primitive Man New York: Collier Books.
5.      George Bernard Shaw, (1956) Saint Joan Major Barbara Androcles and the Lion, New York, The Modern Library.
7.      http://ulil.net/2008/01/06/karate-keluarga-dan-relativisme-budaya/#comment.
8.      Heyer, Virginia 1948 "In Reply to Elgin Williams" in American Anthropologist.
9.      Harman, Gilbert, (1989), “Precis of Moral Relativism and Objetivity” – Precis Part of One”, Philosophy and Phenominolgical Research, Vol. LVIII, No. 1 Maret.
10.  Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia: Jakarta.
11.  Pojman, Louis P., (1990), “Gilbert Harman’s Internalist Moral Realtivsm”, dalam The Modern Schoolman, LXVIII.
12.  Shomali, Mohammad A. (2005), Realtivisme Etika menyisir perdebatan hangat dan memetik wawasan baru tentang dasar-dasar baru, terj. Zaimul Am, Jakart, Serambi.
13.  T.O. Ihromi (Ed.). 2000. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
14.  Melville Herskovits (2008) (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_relativism).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA

SIMAK JUGA ARTIKEL DAN MAKALAH LAINNYA

Soal UAS PKN TAHUN 2017