Subscribe
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan
yang berlandaskan Pancasila dan terdiri dari 33 provinsi dan juga di bagi lagi
menjadi banyak kecamatan di setiap provinsinya. Perbedaan adat, budaya dan ras
membuat indonesia semakin beragam. Tidak dapat menampih kebernaran perbedaan
tersebut sering juga menyebabkan konflik antara suku, ras juga agama.
Penindasan masyarakat mayoritas terhadap masyarakat minoritas membuat indonesia
di landa krisis Sosial, oleh karena itu di perlukan aturan-aturan,
kaidah-kaidah yang dapat mengatur kehidupan masyarakat di indonesia sekarang.
Dewasa ini pemikiran tentang aturan
serta kaidah-kaidah yang berkembang dimasyarakat terus berkembang seiring
perkembangan zaman. Aturan serta kaidah-kaidah tersebut di tuntut untuk selalu
fleksibel serta mencangkup semua. Seiring berjalannya waktu timbul
masalah-masalah baru yang terjadi di masyarakat terutama masyarakat adatnya.
Masalah-masalah tersebut menyebabkan pula perubahan terhadap adat serta budaya yang
berada di masyarakat. Perubahan di perlukan agar tidak adat serta budaya
tersebut menjadi beban terhadap masyarakatnya.
Di tambah dengan krisis budaya, adat
dan sosial yang melanda indonesia sekarang, pemerintah di tuntut untuk dapat
memilih serta menerapkan aturan serta teori mana yang akan di terapkan di
indonesia sekarang.
1.2.
Rumusan Masalah
-
Pengertian
Relativisme Budaya
-
Pengertian
Hukum Universal / Internasional
-
Manakah
yang lebih cocok di terapkan di indonesia ?
1.3.
Tujuan Penulisan
Agar pembaca dapat mengetahui pengertian dari
Relativisme Budaya dan Teori Universal dan dapat membedakan kegunaan
masing-masing dan juga dapat memilih yang mana lebih cocok di terapkan di
negara indonesia dengan perbedaan di setiap daerah agar mencakup segala
kalangan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Relativisme Budaya
Relativisme
budaya adalah sebuah aliran pemikiran dalam kebudayaan yang menolak adanya
suatu klaim legitimatif yang menentukan cita rasa, aktivitas, ketertarikan dan
norma-norma yang berlaku secara universal.
Menurut
Franz
Boas Relativisme budaya adalah prinsip bahwa kepercayaan dan
aktivitas setiap orang harus dipahami menurut budaya orang itu sendiri.
Prinsip ini dirintis sebagai aksioma dalam penelitian antropologi Franz Boas pada beberapa dasawarsa pertama abad
ke-20, lalu dipopulerkan oleh para mahasiswanya. Boas pertama kali memaparkan
gagasannya pada tahun 1887: "...peradaban bukan sesuatu yang absolut,
melainkan ... relatif, dan ... gagasan dan bayangan kita selalu benar sepanjang
peradaban manusia terus ada." Namun
demikian, Boas tidak menciptakan istilah ini. However, Boas did not coin the
term.
Menurut Oxford English Dictionary, istilah
ini pertama kali digunakan oleh filsuf dan teoriwan sosial Alain Locke pada tahun 1924 untuk menjelaskan
"relativisme budaya ekstrem" Robert Lowie yang terdapat di buku Lowie tahun
1917, Culture and
Ethnology. Istilah ini
mulai lazim di kalangan antropolog setelah Boas meninggal dunia tahun 1942.
Para antropolog berusaha menjelaskan sintesis beberapa gagasan yang
dikembangkan Boas. Boas percaya bahwa cakupan budaya yang dapat ditemukan di
subspesies manapun sangat luas dan menjalar sampai-sampai tidak mungkin ada
hubungan antara budaya dan ras. Relativisme budaya meliputi klaim epistemologi dan metodologi. Para ilmuwan masih
memperdebatkan apakah klaim ini memerlukan sudut pandang etika. Prinsip ini
tidak sama dengan relativisme moral.
Dalam
selera musik, misalnya, musik pop tidak dapat dianggap lebih rendah daripada
musik klasik; pengetahuan tentang fisika atau filsafat tidak dapat dianggap
lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan pengetahuan tentang sepak bola. Berdasarkan
prinsip ini kaum egalitarian menuntut keragaman kurikulum sesuai dengan
latarbelakang kebudayaan setiap siswa.
2.2.
Relativisme nilai dalam produk kebudayaan
Berdasarkan relativisme nilai kita
tidak dapat menilai tinggi-rendahnya nilai yang terkandung dalam sebuah produk
kebudayaan. Pandangan ini mengandung dua kekeliruan sebagaimana akan
dijelaskan di bawah ini:
1)
Karya-karya besar
adalah milik semua orang. Karya besar seperi Bhagavad Gita; The Brothers
Karamazov, Beethoven, The Critique of Pure Reason merupakan produk-produk
kebudayaan yang tak ternilai harganya bagi umat manusia. Adalah kekeliruan
menarik kesimpulan bahwa karya-karya itu tidak bermutu hanya karena alasan
bahwa tidak semua orang dapat memahaminya. Ketidakmampuan untuk mengapresiasikan
suatu produk kebudayaan tidak menyatakan bahwa produk tersebut bernilai rendah.
Problematika ini mirip dengan pandangan yang mengatakan bahwa karya sastra
Eropa yang termasyhur adalah lebih berguna daripada karya sastra Timur. Karya
sastra Eropa adalah refleksi kebudayaan orang Eropa yang tidak terdapat dalam
karya sastra Timur. Kesadaran orang Eropa hidup dalam karya sastra Eropa.
Kesadaran orang Timur hidup dalam karya sastra Timur dalam suasana yang asing
bagi orang Eropa. Nah, jika logika penilaian ini diterima, maka kita tidak
dapat mengatakan bahwa Bhagavad Gita adalah sebuah karya besar hanya
bagi orang India. Bhagavad Gita adalah sebuah karya besar pada
dirinya (as it is) – baik bagi orang India maupun bagi bangsa lain.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa karya sastra Eropa (atau Timur) mempunyai
nilai besar bagi orang Eropa (Timur) bukan merupakan pemahaman relativisme
budaya. Pendapat ini sebetulnya muncul dari fakta bahwa ada kecenderungan
baik pada orang Eropa maupun pada orang Timur (Asia) untuk membaca karya sastra
yang bercerita tentang kebudayaan mereka masing-masing. Fakta ini adalah
sesuatu yang wajar karena setiap orang akan cenderung memilih karya yang
merefleksikan pengalaman kehidupan di seputarnya.
2)
Karya-karya besar
tidak selamanya menjadi milik kelas menengah. Tidak semua karya besar yang
dinikmati oleh kelas menengah menggambarkan kebudayaan kelas menengah.
Majalah Times, atau teori ekonomi Karl Marx, misalnya, tidak banyak
bercerita tentang kehidupan masyarakat kelas menengah.
2.3.
Latar Historis Lahirnya Relativisme Budaya
Istilah relativisme budaya dapat
dilihat dari ragamnya. Relativisme terbagi ke dalam relativisme
individual, disebut
subjektivisme dan relativisme
sosial, disebut
konvensionalisme (Pojman:1990). Relativisme
individual adalah bahwa setiap individu menentukan kaidah moralnya
sendiri. Subjektivisme (istitilah lain dari relativisme
individual) memandang bahwa pilihan-pilihan individu menentukan validitas
sebuah prinsip moral. Penegasannya adalah moralitas bersemayam di mata orang
yang melihatnya (Shomali, 2005). Relativisme sosialadalah sebuah teori
yang menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya
sendiri. Hal ini seperti dinyatakan (Donaldson, 1989) bahwa kebenaran moral
hanyalah kesepakatan kultural di
masyarakat. Konvensionalisme (istilah lain dari relativisme
sosial) memandang bahwa prinsip-prinsip moral secara relatif benar, sesuai
dengan kovensi budaya atau masyarakat tertentu. Nama lain dari relativisme
sosialadalah Relativisme budaya (Shomali, 2005).
Relativisme budaya, secara
Epistemologi, berasal dari Jerman, sebagai tanggapan terhadap adanya
etnosentrisme barat, yang jika dibiarkan berkembang akan melahirkan
rasisme, yaitu adanya kebencian dari suku bangsa terhadap suku bangsa yang
lain, atau istilah Mulyana (1996) etnosentrisme adalah akar rasisme. Kita bisa
melihat pengaruh dari rasisme di Jerman, terutama di bawah kekuasaan Hitler,
yang menghasilkan kebencian dari Ras Jerman terhadap Ras Yahudi yang
menimbulkan pembantaian jutaan manusia yang tidak berdosa.
Secara teoritis, relativisme budaya
didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan budaya tidak sama dari setiap
wilayah di belahan bumi. Ada batas
relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang (Koentjaraningrat: . Jadi jika suatu budaya tidak sama, berarti ada perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusianya, dan kondisi lingkungan fisik.
relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang (Koentjaraningrat: . Jadi jika suatu budaya tidak sama, berarti ada perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusianya, dan kondisi lingkungan fisik.
Jika perkembangan budaya antara satu
wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran
dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang
lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif.
Meskipun demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis
dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa
tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada
kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan
bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas
budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus
difahami berdasarkan kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil
penelitian Frans Boaz dalam dekade awal abad ke 20 dan kemudian
dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz sendiri tidak menggunakan istilah itu,
tetapi istilah tersebut menjadi umum antar ahli antropologi setelah
kematian Boas tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali digunakan
dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana
murid-murid Boas meringkas dari berbagai prinsip pemikiran Boas.
Franz Boas, awalnya sebagai pengajar
dalam ilmu fisika dan ilmu geografi, dan dipengaruhi begitu kuat oleh pemikiran
Immanuel Kant (1724-1804) yang berargumentasi bahwa manusia tidak mampu
mengarahkan dan memediasi pengetahuan di dunia. Semua pengalaman kita di dunia
dimediasi lewat pikiran manusia, yang secara
universal persepsi terbentuk berdasarkan pada kondisi wilayah dan
waktu tertentu. Suatu budaya dapat menjadi media dalam pemahaman yang terbatas
terhadap realitas yang samar. Ia memahami "budaya"
termasuk bukan hanya seperti rasa dalam makanan, seni dan musik, atau
kepercayaan dalam agama. Ia berasumsi jauh lebih luas dalam mengartikan budaya,
yang didefinisikan sebagai: the totality of the mental and physical
reactions and activities that characterize the behavior of the individuals
composing a social group collectively and individually in relation to their
natural environment, to other groups, to members of the group itself, and of
each individual to himself (Boas:1963); keseluruhan dari
reaksi mental, fisik dan aktifitas karakter perilaku dari individu
yang menggubah suatu kelompok sosial secara bersama dan secara individu dalam
hubungannya terhadap lingkungan alami, kelompok yang lain,
kelompoknya, dan tehadap dirinya sendiri.
Pengertian budaya ini di hadapan para
antropolog terdapat dua permasalahan: pertama, bagaimana
untuk lepas dari ikatan budayanya yang tidak disadarinya, yang tidak
dapat dihindari dari tanggapan bias kita dan berbagai reaksi dunia, dan kedua,
bagaimana memahami budaya yang tidak familier. Karenanya, prinsip relatifitas
budaya memaksa ahli antropologi untuk mengembangkan strategi metoda-metoda dan
heuristik yang inovatif.
2.4.
Sebagai Suatu Alat Metodologis
Diantara perang dunia I dan perang
dunia II, “relatifisme budaya” menjadi alat bagi para antropolog Amerika
sebagai penolakan terhadap klaim barat tentang ke- universal-an dan
menyelamatkan berbagai kebudayaan non-barat (timur). Hal ini difungsikan
untuk mentrasfer epistemologi Boas ke dalam pelajaran metodologi.
Yang paling
jelas dalam persoalan bahasa. Meski bahasa biasanya dibahas sebagai
alat komunikasi, Boas memahami bahwa hal itu juga bermakna sebagai kategori
pengalaman. Dengan demikian, meski tiap orang merasa melihat
pancaran dengan cara yang sama, dari suatu rangkaian pada warna,
orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang berbeda membagi atas rangkaian
ini ke dalam warna-warna terpisah dengan berbagai cara.
Beberapa bahasa tidak memiliki kata
yang berpasangan dengan Orang-Orang Inggris seperti
kata "hijau”. Ketika orang-orang yang berbicara bahasa-bahasa seperti
itu ditunjukkan sesuatu yang berwarna hijau, beberapa kelompok
masyarakat mengidentifikasi-nya menggunakan kata mereka untuk biru, yang lain
mengidentifikasi nya menggunakan kata mereka untuk kuning. Melville Herskovits
(2008), murid Boas, meringkas prinsip relativism budaya: Judgements
are based on experience, and experience is interpreted by each individual in
terms of his own enculturation "tiap pendapat didasarkan pada
pengalaman, dan pengalaman ditafsirkan oleh masing-masing individu berdasarkan
budayanya sendiri.
Boas dan para siswa-nya menyadari bahwa
untuk melakukan penelitian ilmiah terhadap budaya lain, mereka perlu
menggunakan metoda yang dapat menolong mereka terlepas dari konsep dasar
etnosentris. Metoda tersebut adalah etnografi, yaitu
ilmu yang mempelajari sukubangsa beserta kebudayaannya.
Pada dasarnya, mereka siap menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang
lain untuk satu periode waktu tertentu, sehingga mereka bisa belajar
bahasa lokal dan budaya setempat, paling tidak secara
parsial, di dalam kebudayaan tersebut.
Di dalam konteks ini, relativism budaya
menjadi sangat penting sebagai metodologis, karenanya perlu perhatian
kita semua bahwa betapa pentingnya memahami budaya lokal berdasarkan keyakinan
masyarakat tertentu. Heyer menyatakan: Cultural relativity, to phrase it
in starkest abstraction, states the relativity of the part to the whole. The part
gains its cultural significance by its place in the whole, and cannot retain
its integrity in a different situation (1948:
163); "Relatifitas budaya, untuk mengutarakan nya dalam kondisi
paling abstrak, menyatakan bahwa relativitas merupakan bagian dari keseluruhan.
Bagian yang diperoleh pada makna budaya berdasarkan wilayah di dalam
keseluruhannya dan tidak dapat mempertahankan keutuhannya dalam
situasi yang berbeda.
2.5.
Relativisme Budaya dalam Kajian Pemikir Modern
1.
Gilbert Harman
Gilbert
Harman merupakah salah satu tokoh yang berpengaruh di era modern dalam
memperkokoh ekstensi paham relativisme budaya, khususnya di bidang moral
sebagai bagian dari unsur budaya. Dalam pandangan Harman, versi strandar
relativisme yang ada selama ini tidak lagi efektif. Oleh karena itu, dia
bersama-sama dengan David Wong – tokoh relavisme yang juga akan dikaji dalam
makalah ini – mengembangkan bentuk relativisme yang rumit dan moderat untuk
menghadapi kelompok-kelompok yang menentang paham ini (Shomali: 2005, 178).
Harman mengkaji relativisme moral dengan cara yang sangat berbeda dengan
absolutisme moral. Namun demikian, melalui pendekatan internalistinya, dia
tetap menganggap absolitisme moral sebagai pendapat tentang alasan moral yang
mendasari manusia. Dia mengatakan “Saya akan memahami keyakinan terhadap
nilai-nilai mutlak sebagai keyakinan bahwa setiap orang memiliki alasan untuk
berharap atau bercita-cita. Mengatakan adanya hukum moral yang berlaku pada
setiap orang menurut saya berarti mengatakan setiap orang mempunyai alasan yang
memadai untuk mengikuti hukum itu” (Harman: 1989, 370).
Menurut
Harman moral berbeda dengan nihilisme moral. Tidak ada satu pun moralitas yang
benar, namun nilihisme moral “menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menolak
sama sekali moralitas, termasuk segala bentuk moral relatif (Harman: 1996, 5).
Bentuk nihilisme yang paling mederat menegaskan bahwa ada fakta-fakta moral,
namun tidak jalan untuk mengetahuinya. Pernyataan ini menunjukan bahwa
tanggungjawab moral bergantung pada pengetahuan. Di sini, tampak jelas bahwa
nihilisme mengabaikan moralitas. Relativisme moral lebih moderat, menurutnya,
moralitas tidak boleh diabaikan dan putusan moral relatif dapat terus
memainkan peran yang serius dalam pemikiran moral.
Harman
berupaya menampilkan relativisme moral sebagai sebuah tesis logika. Dia
menyatakan bahwa dia tdak menolak bahwa sebagian moralitas “secara objektif”
lebih benar daripada yang lain atau bahwa ada ukuran-ukuran obyektif terhadap
moral. Baginya, sesuatu itu besar hanya berarti dalam hubungan dengan
perbandingan yang lain. Demikian juga, seseorang bersalah dalam melakukan
sesuatu hanya berarti dalam hubungan dengan sebuah kesepakatan atau pemahaman.
Tesis logika yang dimaksud Harman itu menurut Pojman (1990), bagi Harman,
internalisme merupakan sebuah tesis logika tentang bentuk sebuah putusan moral.
Harman menyatakan bahwa putusan moral mempunyai dua putusan logika atau dua
macam implikasi: keduanya mengisyaratkan bahwa sang agen mempunyai alasan yang
baik untuk berbuat menurut cara tertentu, dan bahwa sang pembicara menyetujui
alasan itu dan mengira si pendengar atau subjek putusan itu juga melakukan hal
yang serupa. Dengan demikian, Harman mengatakan bahwa secara logis tidaklah
pantas mengatakan, “Hitler tidak boleh berbuat menurut caranya sendiri”, karena
dia tidak mempunyai prinsip yang sama dengan kita.
Tesis
logika Harman di atas harus dicermati lebih jeli karena ada ruang-ruang logikanya yang
cenderung dipaksakan dan ketidakpastian. Di antaranya, adalah benar sulit
mendapatkan konsep “besar” tanpa dipersandingan/diperbadingkan dengan konsep
“kecil”. Tapi, hal yang sama tidak terjadi pada moral. Tidaklah sulit bagi
seseorang untuk mendefinisikan “benar” tanpa merujuk pada konsep “salah”.
Hal lain yang harus dikritisi dalam tesis logika Harman adalah tentang
putusan moral dalam kaitan dengan perbuatan seseorang. Sangat diragukan bahwa
keputusan moral yang diambil oleh seseorang bersifat linier dengan perbuatan
yang dilakukan.
Selain
menggunakan tesis logika, untuk memperkuat argumentasi relativisme moralnya,
Harman mencoba membandingkan realitivisme moral dengan relativisme Einstein.
Menurut Einstein, sebuah objek dapat memiliki massa yang berbeda terkait dengan
bingkai ruang dan waktu dan tidak ada bingkai ruang waktu yang istimewa yang
menentukan massa yang sebenarnya. Dalam Moral Relativism and Moral Objectivity,
Harman, menggunakan logika Einstein tersebut untuk menjabarkan relativisme
moral. Kebenaran dan kesalahan moral bersifat relatif terhadap bingkai moral
tertentu. Dan tidak ada bingkai moral yang secara objektif istimewa sebagai
moralitas yang benar (Shomali: 2005).
Langkah
perbandingan Harman di atas menyisakan pertanyaan-tertanyaaan, seperti apakah
perbedaan/ perselisihan gerak dan moral disebabkan oleh prinsip yang mendasar
atau penilaian yang berbeda terhadap “fakta-fakta kasus yang ada”. Karena dalam
kenyataannya, tidak ada jaminan dua orang yang berada di bingkai moral yang
berbeda (dalam kasus keharusan menolong orang yang lemah misalnya) ketika
dipertemukan, mereka mengakatan bahwa mereka berselisih. Di samping itu,
Menurut Shomali (2005, 187), salah satu sebab timbulnya perselisihan moral
adalah kegagalan mengidentifikasi semua faktor yang relevan. Di samping itu,
tidak seluruhnya tepat membandingan relafisme fisik Einstein dengan
realifisme moral. Berbeda dengan gerak relatif, yang bisa jadi gerak itu
sendiri, moral relatif bukan moral itu sendiri, tetapi moral dalam persepsi dan
atau moral dalam budaya (Moh. A. Shomali, 186). Contoh, mencuri itu salah. Itu
prinsip moral, tetapi secara perseptual atau dalam kasus buadaya, mencuri itu
bisa salah juga bisa benar.
2.
David Wong
Teori
relatisme etika Wong disadarkan atas pernyataan tidak adanya satu pun moralitas
yang benar, dan bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk
mengatasi pertentangan batin dan antrapribadi. Menurutnya, kesulitan utama
dalam menjelaskan pengalaman moral adalah mendamaikan ciri pengalaman kita yang
menyatakan objektivitas moralitas dengan ciri lain yang menyatakan subjektivitas
moralitas.Secara teoritis, Wong menerima konsep “kebenaran”, tetapi
membuat “keberanaran” itu menjadi relatif. Secara tegas dia menyatakan bahwa
tidak ada dasar objektif dan independen bagi moralitas karena moralitas
didasarkan atas kepentingan dan keinginan manusia (Moh. A. Shomali: 2005, 242)
Relativisme
moral Wong berpijak pada tiga jenis ketakterbandingan
(incommensurability); pertama, ketakterbandingan menyangkut penerjemahan.
Menurutnya, ada beberapa istilah dari berbagai bahasa tertentu yang tidak
dapat diterjemahkan ke dalam istilah bahasa kita sendiri; kedua,
ketakterbandingan menyangkut justifikasi. Adanya beberapa teori yang masuk akal
yang mempunyai premis yang berbeda mengenai hakekat dunia atau bentuk-bentuk
penalaran; ketiga, ketakterbangingan evaluatif. Katanya, seseorang tidak
dapat mengatakan bahwa teorinya sendiri lebih baik daripada teori orang lain.
Bertolak
dari ketiga ketakterbandingan di atas, Wong mengatakan kita dapat
menjustifikasi premis dan bentuk penalaran kita sendiri yang paling mendasar,
sehingga tidak ada cara yang menunjukkan bahwa pendapat orang lain lebih rendah
daripada pendapat kita.
Atas
dasar tiga dalil ketakterbandingan di atas, Wong yakin terdapat berbagai
moralitas yang berbeda secara fundamental yang tidak diakibatkan oleh penerapan
nilai atau prinsip umum yang berbeda. Menurutnya, contoh terbaik atas adanya
perbedaan moralitas tersebut adalah perbedaan moralitas yang berintikan
perbaikan dan moralitas yang berintikan hak. Moralitas kebaikan menekankan
cita-cita bentuk tertentu kehidupan komunitas di mana indiviu diterima dan
mungkin berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak
individu untuk kebebasan atau kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk
menjamin kesejahteraan seseorang. Moralitas yang berintikan kebaikan bekerja
dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Sedangkan
moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang
kepentingan pribadi atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas (Shaomali:
2005, 252).
Untuk
mengatasi konflik batin dan antarpribadi sebagaiaman tersebut di atas, Wong
memandang perlu adanya kaidah yang dilaksanakan oleh masayarakat (Wong: 1984,
37). Wong mengkaui ada tiga jenis kaidah: seperangkat kaidah yang menunjukkan
sarana yang mutlak atau efisien untuk mencapai tujuan tertentu; seperangkat
kaidah yang mendefinisikan prilaku sosial atau itiket; dan seperangkat kaidah
untuk menangani konflik batin dan antarpribadi. Menurutnya, kaidah ketiga
inilah yang melahirkan moralitas.
Berbeda
dengan teori yang digunakan Harman yang bersifat internalistik, teori Wong
membedakan antara menjadi benar dan memberikan alasan bagi tindakan. Wong tidak
percaya konvensionalisme moral dan tawar menawar implisit. Meskipun demikian,
dia percaya moralitas meruapakan kreasi sosial. Dia seorang realis, menerima
fakta-fakta khas yang bersifat moral.. Pernyataan-pernyataan moral menurutnya,
benar selama berhubungan dengan fakta-fakta moral. Bagi Wong moralitas
berakar pada watak dan kebutuhan nyata manusia. Yang agak aneh, Wong mengangap
tidak ada persoalan dalam menerapkan kaidah moral terhadap orang dari budaya
lain. Pandangan Wong yang disebut terakhir ini menempatkan dirinya bukan
golongan aliran relativisme sejati.
Banyak
hal yang perlu dicermati dari pandangan Wong di atas antara lain: apakah benar
asal-usul moralitas berakar pada realitas dan khususnya watak manusia; apakah
moralitas yang berintikan kebaikan betul-betul berbeda dengan moralitas yang
berintikan hak. Bukankah kedua jenis moralitas tersebut memiliki titik
persamaan dan saling melengkapi; Jika demikian dimana letak relativitas moral.
3.
George Bernard Shaw
George
Bernard Shaw lahir Dublin, 26
Juli 1856 – meninggal 2 November 1950
di Hertfordshire adalah
novelis, kritikus, esaias, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Pada 18 Desember 1926, ia menolak hadiah uang ketika menerima Nobel
Kesusasteraan
(pada 1925) danAcademy
Award for Writing Adapted Screenplay (pada
1938 untuk Pygmalion). Saat menerima penghargaan dalam acara itu, ia
mengatakan, "Aku bisa memaafkan Alfred Nobel atas penemuan dinamit, tapi
hanya iblis dalam sosok manusia yang bisa menerima Hadiah Nobel. Padahal, ia
yang lebih dikenal sebagai dramawan, memulai karier dalam kondisi frustasi
akibat kemiskinan.
Pemikiran Shaw tentang relativisme
budaya salah satunya dapat terlacak dalam bentuk novel dan kumpulan-kumpulan
surat pribadinya. Novel Shaw tersebut berjudul Saint, Major Barbara,
Androcles and the Lion. Novel itu banyak membahas dogma kristen dan pribadi
Yesus. Di antara sub bahasan novel Shaw ini yang ada kaitannya dengan
pembahasan makalah ini adalah masalah relativitas agama. Jika setuju dengan
pendapat E.B. Tylor dan pernyataan Clifford Geertz bahwa agama (kepercayaan)
bagian dari budaya, maka konsep relativitasme budaya juga terjadi pada
agama. Artinya, bahwa kebenaran yang diusung oleh agama juga bersifat relatif.
Relativitasme agama banyak mempengaruhi pengikut aliran ini dalam membangun
teologi inklusif dalam agama. Agama berpenampilan ramah terhadap agama lain.
Wujud suatu agama bukan ancaman bagi agama lain. Dalam konteks inilah, agama
akan mewujud menjadi doktrin yang toleran. Pluralitas agama dipandang sesuatu
yang niscaya bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis.
Nalar ini akan menjadi rujukan bagi pengikut
relativisme agama termasuk Shaw. Maka wajar jika kemudian Shaw dikenal sebagai
tokoh yang toleran. Toleransi Shaw dapat dapat diperhatikan dari pernyataannya.
Menurut Shaw (1956, 333) bahwa agama yang toleran terhadap minoritas agama pada
hakekatnya sama dengan mentoleransi agama itu sendiri. Memang perubahan
nama agama dan format agama yang terbentuk telah menimbulkan sedikit perbedaan,
tapi perbedaan itu jangan sampai menghambat sikap terpuji tersebut.
Di samping menimbulkan sikap toleran,
konsep relativitas budaya juga menimbuhkan cara pandang yang realistis
sebagaimana dipelihatkan oleh Harman di atas. Relativitas budaya disamping
sebagian didasari oleh nalar realisme juga menghasilkan cara pandang yang
realistik. Hal ini juga diperlihatkan oleh Shaw. Misalnya, dia tidak
segan-segan mengakui keistimewaan Nabi Muhammad sebagai penyelamat manusia.
Katanya "Saya telah mempelajari dia
(Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) laki-laki yang luar biasa
dan menurut saya, terlepas dari pemikiran anti kristen, dia adalah penyelamat
umat manusia." (George Bernard Shaw dalam “The Genuine of Islam” (Islam
yang Murni), volume I no. 81936).
2.6. Hukum
Internasional / Hukum Universal
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai
perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan
internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga
hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi
internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum
internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum
antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan
dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu.
Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan
asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
2.6.1. Bentuk-Bentuk
Hukum Internasional
Hukum
Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang
khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu :
Ø
Hukum Internasional Regional
Hukum
Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum
Internasional Amerika / Amerika
Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep
perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the
sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum
Internasional Umum.
Ø
Hukum Internasional Khusus
Hukum Internasional dalam bentuk
kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa
mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf
perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat
yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum
kebiasaan.
Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaedah dan
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
1.
negara dengan negara
2.
negara dengan subyek hukum lain
bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.
2.6.2.
Perbedaan Hukum
Internasional / Universal dengan Hukum Dunia
Ø
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran
adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang
berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak
dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara
anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Ø
Hukum Dunia berpangkal pada dasar pikiran lain.
Dipengaruhi analogi dengan Hukum Tata Negara (constitusional law), hukum dunia
merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia
ini. Negara dunia secara hirarki berdiri di atas negara-negara nasional. Tertib
hukum dunia menurut konsep ini merupakan suatu tertib hukum subordinasi.
2.6.3. Landasan Sosiologi Hukum Internasional / Universal
Adanya masyarakat-masyarakat
Internasional sebagai landasan sosiologis hukum internasional.
1.
Adanya suatu masyarakat
Internasional. Adanya masyarakat internasional ditunjukkan adanya hubungan yang
terdapat antara anggota masyarakat internasional, karena adanya kebutuhan yang
disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan dan perkembangan industri yang
tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan di lapangan
kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga mengakibatkan
timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama merupakan
suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan
Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur kepastian yang
diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Masyarakat Internasional pada
hakekatnya adalah hubungan kehidupan antar manusia dan merupakan suatu kompleks
kehidupan bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang menjalin dengan
erat.
2.
Asas hukum yang bersamaan sebagai
unsur masyarakat hukum internasional. Suatu kumpulan bangsa untuk dapat
benar-benar dikatakan suatu masyarakat Hukum Internasional harus ada unsur
pengikat yaitu adanya asas kesamaan hukum antara bangsa-bangsa di dunia ini.
Betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di tiap-tiap negara
tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa-bangsa merupakan hukum alam
(naturerech) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara
damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk
mempertahankan jenisnya.
2.7.
Kedaulatan
Negara
Kedaulatan
Negara : Hakekat dan Fungsinya Dalam Masyarakat Internasional. Negara
dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau
ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan
tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada
kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:
1.
Kekuasaan itu berakhir dimana
kekuasaan suatu negara lain mulai.
2.
Kekuasaan itu terbatas pada batas
wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa indonesia tidak dapat memberlakukan semua hukum Internasional yang
bersifat universal karena tidak sesuai dengan butir-butir Pancasila dan juga
jika diberlakukan hukum internasional tersebut maka negara harus merubah
tatanan negara nya seperti undang-undang dan
sumber-sumber hukum lainnya selain itu alasan lain penulis tidak setuju
hukum internasional di berlakukan di indonesia adalah karena hukum
Internasional memandang semua masyarakat sama tidak melihat ras, suku, agama,
adat, sosial dan budaya seseorang. Oleh karena itu penulis tidak terlalu setuju
hukum Internasional di berlakukan sepenuhnya di indonesia. penulis lebih setuju
dengan teori Relativisme Budaya di karenakan teori tersebut masih mementingkan
perbedaan ras, suku, agama, adat, sosial dan budaya seseorang walaupun akhirnya
akan timbul perpecahan atau pertikaian di kemudian hari. Tetapi penulis yakin
pemerintah dapat memecahkan masalah tersebut dengan solusi-solusinya. Karena
itulah resiko jika manusia dikelompok-kelompokan. Perbedaan pendapat tetap
menjadi penyebab utamanya. Terlebih lagi minimnya pendidikan yang mengakibatkan
seseorang mengambil inisiatif sendiri.
3.2.
Saran
Pemerintah harus lebih sigap memilih hukum
internasional mana yang baik masuk ke dalam negara dan mana yang tidak. Agar
tidak merusak tatanan negara yang sudah tertata.
DAFTAR PUSTAKA
2. Deddy Mulyana dan
Jalaluddin Rakhmat (Ed.). 1998. Komunikasi Antarbudaya: Pandungan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
3. Endang Saifuddin
Anshari. 1980. Agama dan Kebudayaan. PT. Bina Ilmu: Surabaya.
4. Franz Boas 1963
[1911] The Mind of Primitive Man New York: Collier Books.
5. George Bernard Shaw, (1956)
Saint Joan Major Barbara Androcles and the Lion, New York, The Modern Library.
7. http://ulil.net/2008/01/06/karate-keluarga-dan-relativisme-budaya/#comment.
9. Harman, Gilbert,
(1989), “Precis of Moral Relativism and Objetivity” – Precis Part of One”,
Philosophy and Phenominolgical Research, Vol. LVIII, No. 1 Maret.
10. Koentjaraningrat.
1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia:
Jakarta.
11. Pojman, Louis P.,
(1990), “Gilbert Harman’s Internalist Moral Realtivsm”, dalam The Modern
Schoolman, LXVIII.
12. Shomali, Mohammad A.
(2005), Realtivisme Etika menyisir perdebatan hangat dan memetik wawasan baru
tentang dasar-dasar baru, terj. Zaimul Am, Jakart, Serambi.
13. T.O. Ihromi (Ed.).
2000. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA