Subscribe
Cerita
Rakyat Sangkuriang
Sangkuriang adalah cerita
rakyat daerah Jawa
Barat,
menceritakan seorang pemuda yang ingin menikahi ibunya sendiri, yaitu Dayang
Sumbi. Oleh masyarakat Jawa Barat, cerita Sangkuriang biasa dikaitkan dengan
asal mula Gunung Tangkuban Perahu.
Konon dahulu kala, ada seekor babi hutan tengah kehausan. Di
tengah hutan, babi tersebut melihat air tertampung di sebuah daun keladi hutan.
Diminumnya air tersebut karena sudah merasa kehausan. Tanpa ia sadari, ternyata
air tersebut adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Raja Sungging
Perbangkara terkenal sakti mandraguna. Karena meminum air seni raja sakti, si
babi hutan menjadi hamil. Sembilan bulan kemudian ia melahirkan seorang
anak manusia berjenis kelamin perempuan.
Kelahiran
Dayang Sumbi
Raja Sungging Perbangkara diberitahu oleh rakyatnya bahwa ada
babi melahirkan anak perempuan. Raja Perbangkara akhirnya menyadari bahwa babi
tersebut pasti telah meminum air seninya. Ia segera ke hutan untuk mencari si
babi hutan. Setelah ia temukan si bayi perempuan, ia kemudian membawanya pulang
ke istana kerajaan. Sang Raja memberinya nama Dayang Sumbi.
Waktu cepat berlalu, Dayang Sumbi telah tumbuh menjadi seorang
gadis cantik jelita. Banyak para bangsawan, raja, dan pangeran berlomba ingin
mempersunting Dayang Sumbi. Namun semua pinangan tersebut ditolak dengan halus
oleh Dayang Sumbi. Ternyata penolakan tersebut justru menimbulkan peperangan
diantara para pria yang melamarnya. Hal tersebut membuat Dayang Sumbi menjadi
sedih.
Karena merasa sedih, Dayang Sumbi kemudian meminta izin ayahnya,
Raja Sungging Perbangkara untuk mengasingkan diri. Raja Sungging Perbangkara
akhirnya mengizinkan Dayang Sumbi mengasingkan diri di sebuah bukit. Raja
Perbangkara memberikan seekor anjing jantan bernama Tumang untuk menemani
Dayang Sumbi.
Selama di pengasingan, Dayang Sumbi mengisi waktu luangnya
dengan menenun kain. Suatu ketika, saat tengah menenun, peralatan tenunnya
terjatuh. Dayang Sumbi malas untuk mengambilnya. Ia kemudian melontarkan ucapan
tanpa disadarinya. “Siapa pun juga yang bersedia mengambilkan peralatan
tenunku, seandainya ia laki-laki, ia akan kujadikan suami. Seandainya ia
perempuan, ia akan kujadikan saudara.”
Si Tumang, anjing yang menemaninya turun ke bawah mengambilkan
peralatan tenun. Si Tumang kemudian memberikannya pada Dayang Sumbi.
Melihat Si Tumang mengambilkan peralatan tenunnya, Dayang Sumbi
langsung merasa lemas. Ia sangat menyesali ucapannya. Namun mau tidak mau ia
harus menepati janjinya. Dayang Sumbi kemudian menikah dengan Si Tumang,
anjingnya. Si Tumang ternyata bukan seekor anjing biasa. Ia adalah seorang Dewa
yang melakukan kesalahan, dikutuk menjadi anjing, lantas dibuang ke bumi. Tidak
lama setelah menikah, Dayang Sumbi pun melahirkan seorang anak laki-laki. Ia
memberinya nama Sangkuriang.
Kelahiran
Sangkuriang
Waktu terus berlalu, Sangkuriang kini telah tumbuh menjadi
seorang anak laki-laki tampan lagi sakti mandraguna. Sejak kecil, ia sudah
sering berburu. Setiap kali pergi berburu, ia selalu ditemani oleh Si Tumang.
Dayang Sumbi tidak pernah memberi tahu bahwa Si Tumang adalah ayahnya sendiri.
Suatu hari, Sangkuriang tengah berburu di hutan mencari Kijang
ditemani Si Tumang. Ibunya ingin makan hati Kijang. Di tengah hutan, ia melihat
seekor kijang tengah makan. Ia segera memerintahkan Si Tumang untuk mengejar
kijang tersebut. Namun aneh, Si Tumang kali ini menolak perintahnya, padahal biasanya
sangat penurut. Melihat si Tumang hanya diam, Sangkuriang menjadi marah. Ia
mengancam akan membunuh Si Tumang jika tak mau menuruti perintahnya. Namun Si
Tumang tetap menolak untuk mengejar kijang buruan. Sangkuriang hilang
kesabarannya, Ia membunuh Si Tumang. Sangkuriang kemudian mengambil hati anjing
malang untuk dibawanya pulang.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang memberikan hati Si Tumang pada
ibunya. Dayang Sumbi kemudian memasaknya. Ia kemudian memakan hati Si Tumang.
Seusai makan, Ia menanyakan perihal Si Tumang pada Sangkuriang. Sangkuriang
kemudian mengatakan hal sebenarnya, bahwa hati yang dimakan oleh ibunya adalah
hati Si Tumang. Mengetahui hal tersebut, Dayang Sumbi marah luar biasa. Ia
mengambil gayung tempurung kelapa, lantas memukulkannya ke kepala
Sangkuriang.
Sangkuriang
Pergi Meninggalkan Rumah
Dengan kepala terluka karena pukulan ibunya, Sangkuriang pergi
meninggalkan ibunya, mengembara ke arah timur. Ia sangat marah pada ibunya. Ia
menganggap ibunya lebih menyayangi Si Tumang daripada dirinya.
Sepeninggal Sangkuriang, Dayang Sumbi menyesal telah memukul
kepala anaknya. Ia merasa bersalah karena tidak memberi tahu Sangkuriang
bahwa Si Tumang adalah ayahnya. Ia kemudian bertapa guna memohon ampun atas
kesalahan yang diperbuatnya pada Dewata. Dewa mengetahui tindakan Dayang Sumbi
menerima permohonan ampun Dayang Sumbi. Dewa lalu mengaruniakan kecantikan
abadi pada Dayang Sumbi. Ia menjadi berumur panjang tapi tetap terlihat cantik
awet muda.
Sudah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara tanpa tujuan
jelas. Ia mengembara hanya mengikuti kemanapun langkah kakinya. Tanpa
disadarinya, Sangkuriang berjalan berputar balik kembali ke tempat Dayang Sumbi
berada.
Saat bertemu Dayang Sumbi, Sangkuriang terpesona oleh
kecantikannya. Begitu pula Dayang Sumbi terpesona oleh ketampanan dan kesaktian
Sangkuriang. Mereka berdua sudah lama tak bertemu hingga tidak menyadari bahwa
mereka sebenarnya adalah ibu dan anak. Keduanya kemudian merencanakan
untuk menikah.
Ingin
Menikahi Dayang Sumbi
Sebelum dilakukan pernikahan, Sangkuriang hendak berburu
terlebih dahulu. Sebelum berburu, Dayang Sumbi membantu mengikatkan ikat kepala
ke kepala Sangkuriang. Saat itulah Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala
nya. Dayang Sumbi sangat kaget melihat bekas luka di kepala itu. Ia langsung
menyadari bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya sendiri.
Dayang Sumbi kemudian meminta Sangkuriang membatalkan pernikahan
mereka. Ia menjelaskan bahwa mereka berdua adalah ibu dan anak. Namun
Sangkuriang tidak perduli dengan penjelasan ibunya. Ia tetap ingin menikahi
Dayang Sumbi karena sangat cantik jelita.
Mengetahui keinginan kuat anaknya sendiri
untuk menikahinya, Dayang Sumbi akhirnya bersedia dinikahi. Tapi
ia memberikan syarat sangat berat. “Baiklah jika engkau memang ingin
menikahiku. Aku bersedia menjadi istrimu tapi syaratnya sangat berat.”
“Apa syarat yang kau minta? Aku pasti menyanggupinya.” kata
Sangkuriang.
“Baiklah. Engkau harus membendung sungai Citarum kemudian
membuat perahu sangat besar. Semua itu harus selesai dalam waktu satu malam.”
kata Dayang Sumbi.
“Baik, aku menyanggupinya. Akan aku selesaikan dalam waktu satu
malam.” Sangkuriang segera bekerja keras untuk mewujudkan syarat Dayang Sumbi.
Ia menebang sebuah pohon besar. Dari kayu pohon tersebut, Ia membuat perahu
besar. Cabang dan ranting-ranting pohon yang tidak Ia gunakan, ditumpuknya.
Tumpukan cabang dan ranting pohon tersebut kemudian menjelma menjadi Gunung
Burangrang. Sementara tunggul atau pangkal pohon yang ia tebang kemudian
menjelma menjadi sebuah gunung. Sekarang dikenal dengan nama Gunung Bukit
Tunggul.
Tidak lama kemudian, perahu besar permintaan Dayang Sumbi
selesai dibuat. Kemudian ia menuju sungai Citarum untuk membendungnya menjadi
sebuah danau. Untuk pekerjaan membendung sungai, ia memanggil mahluk-mahluk
halus yang pernah ia kalahkan untuk membantunya.
Mengetahui perkembangan pekerjaan membendung sungai Citarum
sangat cepat, Dayang Sumbi menjadi cemas. Ia harus menggagalkan pekerjaan itu
agar mereka berdua batal menikah. Ia kemudian meminta pertolongan Dewa agar
memberinya jalan keluar dari masalahnya.
Dewa memberikan petunjuk pada Dayang Sumbi agar menebarkan kain
putih hasil tenunan agar matahari cepat terbit. Dayang Sumbi segera melakukan
petunjuk Dewa tersebut. Tidak lama kemudian Matahari pun terbit.
Terbitnya matahari membuat para mahluk halus yang tengah bekerja
membendung Sungai Citarum menjadi berhamburan meninggalkan pekerjaannya.
Sangkuriang marah besar menyaksikan matahari terbit. Ia tahu bahwa Dayang Sumbi
telah berbuat curang membuat fajar cepat tiba. Dengan sangat marah, Ia lantas
menjebol bendungan Sanghyang Tikoro. Sumbat aliran sungai Citarum lantas ia
lemparkan kearah timur yang kemudian menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air di
danau tersebut menjadi surut. Masih belum puas, ia kemudian menendang perahu
besar buatannya hingga terlempar hingga jatuh tertelungkup. Perahu besar
tersebut kemudian menjelma menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Kemarahan Sangkuriang masih juga belum reda. Ia berlari mengejar
Dayang Sumbi. Dayang Sumbi lari ketakutan. Dayang Sumbi berlari menuju Gunung
Putri. Tubuhnya kemudian menghilang dan berubah menjadi Bunga Jaksi. Sementara
Sangkuriang terus berlari mengejar sampai akhirnya tiba di Ujung Berung. Di
Ujung Berung, tubuh nya kemudian menghilang ke alam gaib.
KEBO IWA
Cerita Rakyat Bali Kebo Iwa memiliki beberapa versi yang
cukup berbeda. Pada blog dongengceritarakyat.com kami sebelumnya memposting
cerita rakyat bali kebo iwa dengan judul Cerita Anak
Rakyat Bali : Legenda Asal Mula Danau Batur. Pada cerita sebelumnya
dikisahkan kebo iwa sebagai orang yang mudah marah namun padacerita rakyat kali ini Kebo Iwa digambarkan sebagai pahlawan bagi
Kerajaan Bali. Yang jelas kedua cerita rakyat
Indonesia Kebo Iwa sangat menarik untuk disimak. Penasaran
dengan kisahnya? Silahkan membaca hingga selesai.
Cerita Rakyat Bali : Gugurnya Putro Terbaik Bali (Kebo Iwa)
Cerita
Rakyat Bali Kebo Iwa Putra Bali
Seorang bayi lelaki yang montok telah lahir. “Oekkk…
ooekkk…,” si bayi terus menangis. “Mungkin ia lapar,” kata ibunya. Namun
meskipun telah disusui, bayi itu masih terus menangis. Tangannya
menggapai-gapai ke arah nasi di meja.
“Dari tadi ia menunjuk nasi itu, Bu. Coba kau berikan
sedikit padanya,” kata suaminya. Tak dinyana, si bayi melahap nasi itu dengan
cepat dan menghabiskan sepiring nasi!
Bayi itu tumbuh menjadi pemuda yang berbadan besar dan
bertenaga kuat. Orang memanggilnya Kebo Iwa, yang artinya Paman Kerbau. Ia
dinamai seperti itu karena ia makan seperti kerbau. Ia selalu makan dan makan.
Lama kelamaan, kedua orangtuanya yang semakin tua tak sanggup lagi memberinya
makan.
Itulah sebabnya mereka menemui kepala desa untuk memohon
bantuan. Sejak itu, penduduk desa bahu membahu memberi makan Kebo Iwa. Sebagai
balas budi, Kebo Iwa menjaga keamanan desanya.
Dengan badannya yang besar, ia tidak kesulitan mengalahkan
siapa saja yang hendak mengganggu desanya. Para warga sayang padanya. Meskipun
badannya besar, hatinya baik dan suka menolong.
Suatu hari, Raja Bedahulu mengundang Kebo Iwa ke istana.
Beliau hendak mengangkatnya menjadi patih. Kebo Iwa sangat tersanjung, “Hamba
akan mengabdikan hidup untuk menjaga kerajaan. Selama hamba masih bernapas,
Pulau Bali ini tak akan pernah dikuasai oleh siapa pun,” katanya mantap. Sejak
saat itu, Kerajaan Majapahit yang selalu menyerang Bali tak bisa lagi
mengganggu.
Sedangkan di Pulau Jawa, patih Kerajaan Majapahit yang
bernama Gajah Mada memang bertekad untuk menyatukan Nusantara. Ia bahkan
bersumpah untuk tidak menikmati kenikmatan duniawi jika tekadnya itu belum
tercapai. Sumpah itu dikenal dengan Sumpah Palapa.
Patih Gajah Mada mulai bingung. Semua serangannya ke Bali
gagal. Ia berusaha keras mencari cara untuk menguasai pulau Bali. Akhirnya ia
mendatangi Raja Bedahulu. “Kami dari
Kerajaan Majapahit tak akan lagi menyerang pulau Bali. Kami
ingin bersahabat saja dengan rakyat Bali.” katanya. Raja Bedahulu dan Patih
Kebo Iwa percaya pada ucapan Patih Gajah Mada. Setelah mereka mengadakan
perdamaian, Patih Gajah Mada pun diundang pada jamuan makan siang.
“Baginda Raja, hamba ingin mengundang Patih Kebo Iwa ke
Majapahit. Tentu Raja mengizinkan, bukan?” tanya Patih Gajah Mada.
Raja Bedahulu dan Kebo Iwa berembuk, tak ada salahnya
membalas kunjungan Patih Gajah Mada. Mereka setuju, Kebo Iwa akan berkunjung ke
Majapahit.
Setibanya di Majapahit, Kebo Iwa disambut dengan meriah.
“Inilah orang yang mengalahkan pasukan kita,” bisik rakyat Majapahit. “Selamat
datang Patih Kebo Iwa. Kami amat tersanjung atas kehadiranmu,” sambut Patih
Gajah Mada. Kebo Iwa lalu dijamu makan siang. Seperti biasa, Kebo Iwo makan
banyak sekali. “Patih Kebo Iwa, sepertinya hubungan kita sudah lebih baik,
bukankah begitu?” tanya Patih Gajah Mada.
“Ya, memang lebih baik hidup damai daripada terus berperang”.
“Jika begitu, maukah kau membantu kami?” tanya Patih Gajah Mada lagi. “Apa
itu?” tanya Kebo Iwa.
“Saat ini kerajaan kami sedang kekurangan air. Maukah kau
menggali sumur raksasa untuk kami? Dengan tenagamu yang kuat, tentu mudah
sekali menggalinya, bukan?”
Kebo Iwa dengan senang hati mengangguk, “Aku akan membantu
kalian.”
Keesokan haringa, Kebo Iwa mulai bekerja. Agak aneh, banyak
pasukan Majapahit mengelilinginya. Mereka seolah siap menunggu perintah. Kebo
Iwa tak curiga, ia terus menggali sumur. Dalam waktu singkat, ia sudah menggali
sangat dalam. Tiba-tiba terdengar teriakan Patih Gajah Mada “Laksanakan!!
Timbun ia dengan batu!” Bagai gempa bumi, batu-batu berhamburan ke dalam lubang
sumur itu. Kebo Iwa syok. Ia tak mengangka kalau ini adalah jebakan Patih Gajah
Mada.
Cerita
Rakyat Bali Kebo Iwa
Dengan segenap tenaga, Kebo iwa melempar balik batu-batu itu
ke atas. Batu-batu itu mengenai para prajurit Majapahit. Kebo Iwa melesat
keluar. “Rupanya kau menjebakku? Ketahuilah, aku telah bersumpah, selama aku
masih hidup, Bali tak akan bisa ditaklukkan oleh siapa pun!” teriaknya marah.
Kebo Iwa terlibat pertarungan sengit melawan Patih Gajah
Mada. “Mengerahlah Patih Kebo Iwa. Niat kami hanga ingin mempersatukan
Nusantara!” teriak Patih Gajah Mada. Kebo Iwa tak peduli. Ia terus menyerang
dan menyerang. Ketika keduanya mulai lelah, Patih Gajah Mada berkata “Sia-sia
saja kita melanjutkan pertempuran ini. Suka atau tidak, suatu saat Bali akan
kami kuasai. Niat kami mulia, bukan untuk menjajah atau menyengsarakan rakyat
Bali.” Kebo Iwa mulai bimbang. Melihat Patih Gajah Mada yang gigih, ia yakin
memang suatu saat Bali akan kalah.
Setelah diam beberapa saat, Kebo Iwa berkata, “Aku tahu
tujuanmu, tapi aku tak mungkin menyerah. Aku tak mau mengkhianati negara dan rajaku.
Aku telah bersumpah, untuk menjaga Bali seumur hidupku.”
“Jika begitu, aku harus membunuhmu,” kata Patih Gajah Mada.
“Kau tak mungkin membunuhku. Aku memiliki kesaktian yang
amat sangat. Kecuali satu hal, jika kau bisa menghancurkan gunung kapur dan
mengoleskannya ke kepalaku, maka kesaktianku akan hilang,” jawab Kebo Iwa.
Patih Gajah Mada terkejut, “Mengapa ia membuka rahasianya sendiri?” tanyanya
dalam hati. Patih Gajah Mada segera melesat menuju ke gunung kapur. Ia
menghancurkan gunung kapur dan membawa segenggam serbuk kapur. Sekali lagi
mereka terlibat pertempuran yang sengit. Patih Gajah Mada berusaha mengoleskan
serbuk kapur itu ke kepala Kebo Iwa.
Akhirnya Patih Gajah Mada berhasil. Kebo Iwa langsung lemas,
seolah tak bertenaga lagi. “Kau menang Patih. Bunuhlah aku, supaya kau bisa
menguasai Bali,” kata Kebo Iwa.
Patih Gajah Mada ragu, ia tak mungkin membunuh orang yang
sudah tak berdaya. Tapi Kebo Iwo terus mendesak, “Ingat cita-citamu. Kematianku
akan membawa kebaikan bagi kita semua.” Dengan terpaksa, Patih Gajah Mada
menancapkan kerisnya ke tubuh Kebo Iwo. Ia kagum akan jiwa kesatria Kebo Iwo
yang rela berkorban demi tujuan yang mulia. Akhirnya, Kebo Iwo mengembuskan
napas terakhirnya. Sebelum meninggal, ia sempat berucap, “Semoga dengan kematianku
Nusantara dapat bersatu. Tidak ada lagi peperangan dan perpecahan.” Patih Gajah
Mada menjawab, “Aku berjanji akan mewujudkan persatuan Nusantara. Yakinlah,
kematianmu tidak akan sia-sia.”
Akhirnya Bali kehilangan putra terbaiknya. Kerajaan Majapahit
menaklukkan Bali dengan mudah. Namun, sesuai janji Patih Gajah Mada pada Kebo
Iwa, niatnya memang murni untuk menyatukan Nusantara, bukan untuk menjajah atau
menyengsarakan rakyat Bali.
Pesan dari Cerita Rakyat Bali Kebo Iwa Putra Bali untukmu
adalah mengalah tidak berarti kalah. Mengalah demi kepentingan orang banyak
yang lebih besar adalah tindakan yang mulia
KEONG MAS
Di Kerajaan Daha, hiduplah dua orang putri yang sangat
cantik jelita. Putri nan cantik jelita tersebut bernama Candra Kirana dan Dewi
Galuh. Kedua putri Raja tersebut hidup sangat bahagia dan serba kecukupan.
Hingga suatu hari datanglah seorang pangeran yang sangat
tampan dari Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama
Raden Inu Kertapati. Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk melamar
Candra Kirana. Kedatangan Raden Inu Kertapati sangat disambut baik oleh Raja
Kertamarta, dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu Kertapati.
Pertunangan itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa iri.
Kerena dia merasa kalau Raden Inu Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Oleh
karena itu Dewi Galuh lalu pergi ke rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek
sihir itu menyihir Candra Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan
dari Raden Inu. Nenek Sihir pun menyetujui permintaan Dewi Galuh, dan menyihir
Candra Kirana menjadi Keong Emas, lalu membuangnya ke sungai.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala,
dan keong emas terangkut dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu lalu dibawanya
pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi di sungai,
tetapi tak mendapat ikan seekorpun. Kemudian Nenek tersebut memutuskan untuk
pulang saja, sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja sudah
tersedia masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya pada dirinya
sendiri, siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu pula hari-hari berikutnya si nenek menjalani
kejadian serupa, keesokan paginya nenek ingin mengintip apa yang terjadi pada
saat dia pergi mencari ikan. Nenek itu lalu berpura-pura pergi ke sungai untuk
mencari ikan seperti biasanya, lalu pergi ke belakang rumah untuk mengintipnya.
Setelah beberapa saat, si nenek sangat terkejut. Karena keong emas yang ada
ditempayan berubah wujud menjadi gadis cantik. Gadis tersebut lalu memasak dan
menyiapkan masakan tersebut di meja. Karena merasa penasaran, lalu nenek
tersebut memberanikan diri untuk menegur putri nan cantik itu. Siapakah kamu ini putri cantik, dan
dari mana asalmu?, tanya si nenek. Aku
adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh nenek sihir
utusan saudaraku karena merasa iri kepadaku, kata keong emas. Setelah menjawab
pertanyaan dari nenek, Candra Kirana berubah lagi menjadi Keong Emas, dan nenek
sangat terheran-heran.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika
tahu candra kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi
rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak
untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali
melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia
menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan
arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang
sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti
yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan
burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana
berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan
berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang
dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Di gubuk
itu ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihat Candra Kirana
sedang memasak. Akhirnya sihir dari nenek sihir pun hilang karena perjumpaan
itu. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya beserta nenek yang baik hati
tersebut ke istana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Dewi Galuh pada
Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya.
Dewi Galuh lalu mendapat hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut,
maka dia melarikan diri ke hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden
Inu Kertapati pun berlangsung, dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya
mereka hidup bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA