Subscribe
SOSIOLOGI HINDU
PERKAWINAN PADA GELAHANG
Oleh
I Pt. Ngurah Restiada, Kmng Soeyasa, Luh Ari Liani, Ni L. P. Sri Musiartini S., Ni Kt. Martini D. Ni Kd. Budiantari, D. A. Dewi Purnawati , Kadek Rusmini & Ni Wayan Megawati
(Kelompok Mahasiswa IHDN Denpasar Kampus Singaraja)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali merupakan pulau yang memiliki adat istiadat dan budaya yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar beragama Hindu. Dimana antara budaya dan agama telah menyatu, bagaikan gambar dalam kepingan logam. Sehingga sering disebut bahwa Agama Hindu merupakan roh dari Budaya Bali. .
Bali memiliki kebudayaan yang cukup beraneka ragam atau bervariasi yang berdeda - beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, seperti halnya : Seni Ukir, Seni Tari, Seni Tabuh, kebiasaan masyarakat daerah tertentu yang unik, yang kesemuanya itu memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam ajaran Agama Hindu, masyarakat Bali mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia , yaitu brahmacari, grhasta, wana prastha, bhiksuka. Grahastamerupakan tahapan kedua dalam kehidupan Masyarakat Bali yang berarti kehidupan di dalam berumah tangga.
Tentunya awal dari suatu kehidupan berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam Masyarakat Bali. Dalam Masyarakat Bali, ada berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Tetapi pada upacara Pernikahan Pada Gelahang tidak seperti pada umumnya. Sehingga ini menarik minat penulis untuk membuat makalah yang berjudul “ Dampak perkawinan pada gelahang tehadap perubahan sosial masyarakat Bali".
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik suatu rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Perkawinan Pada Gelahang?
2. Bagaimana Kaitan Perkawinan Pada Gelahang terhadap perubahan sosial di masyarakat Hindu?
1.3 Tujuan Penulisan
Setiap tindakan sudah barang tentu memiliki suatu tujuan, baik sesuai dengan rumusan masalah diatas adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. untuk mengetahui perkawinan Pada Gelahang
2. untuk mengetahui perkawinan Pada Gelahang terhadap perubahan sosial di masyarakat Hindu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERKAWINAN DI BALI
2.1.1 Pengertian
Sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 1 U.U. No 1/1974 tentang U.U. No 1/1974 tentang arti perkawinan itu dikandung maksud adanya ikatan lahir bhatin antara seorang purusha (pria) dengan seorang pradana (wanita) menjadi suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga (grahasta) yang bahagia dan kekal (langgeng) yang berkiblat dan berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. U.U. Perkawinan Nasional telah menampung prinsip-prinsip falsafah hidup bangsa Indonesia yang tercantum di dalam Pancasila dan UUD 1945 di satu pihak, serta menampung di dalam kenyataan hidup yang dilandasi oleh Hukum Agama dan Kepercayaan yang di anut dan hidup di dalam masyarakat dewasa ini, anrata lain:
1. Menghormati serta melaksanakan perjuangan pergerakan kedudukan serta fungsi pradana (wanita) dalam rangka emansipasi wanita Indonesia pada khususnya dan hak azasi manusia pada umumnya yang mengandung maksud antara lain:
1) Perkawinan itu harus dan patut dilakukan berdasarkan sreda cita (ikatan rasa cinta mencintai) antara calon mempelai berdua.
2) Kedudukan Ardhanareswari (suami istri) serta hak dan kewajiban adalah saling berimbang baik dalam kehidupan. berumah tangga maupun dalam kehidupan pergaulan di masyarakat.
3) Suami istri mempunyai hak yang sama terhadap harta (harta benda) bersama yang di peroleh (guna kaya) selama perkawinan.
4) Suami istri mempunyai kewajiban yang sama untuk memelihara serta mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak-anak tersebut dewasa, kawin atau dapat berdiri sendiri.Dalam hal ini orang tuanya disamping disebut guru rupaka (orang yang melahirkan anak-anak) dan juga disebut guru pengajian (orang tua sebagai pendidik).
5) Undang-Undang perkawinan ini berazaskan monogami.Hal ini harus di laksanakan secara tuntas walaupun perkawinan antara kedua orang tuanya terputus di tengah-tengah jalan karena suatu perceraian atau kematian salah satu pihak.(Nyonya. M. Mertami,1987:1-2)
2. Di dalam U.U. Perkawinan Nasional ini menganut prinsip-prinsip bahwa si calon mempelai harus mempunyai jiwa dan raga yang masak, untuk dapat mewujudkan perkawinan yang kekal dan bahagia (suka sadia rahayu) serta mampu mendapatkan keturunan yang sehat dan sempurna. U.U. No. 1/74 untuk daerah Bali tidak membawa pengaruh baru dalam bidanh hukum yang berlaku dalam perkawinan menurut agana Hindu. Bahkan merupakan peningkatan baru untuk menegaskan bahwa sahnya suatu perkawinan di dasarkan atas hukum masing-masing agamanya atau kepercayaanya. Dalam hubungan ini sejak berlakunya U.U. Perkawinan Nasional tanggal 1 Oktober 1974, maka persyaratan syahnya suatu perkawinan bagi Umat Hindu ditambah satu syarat lagi yaitu harus mencatatkan perkawinannya melalui proses administrasi pencatatan, untuk mendapatkan kepastian hukum sebagai alat pembuktian yang sah dan kuat. (Nyonya. M. Mertami,1987:2)
Pengertian wiwaha artinya perkawinan suatu gejala sosial masyarakat yang memasuki Grahasta Asrama dalam Catur Asrama. Perkawinan menurut Hindu adalah perintah agama yang dianggap suatu jalan untuk melepaskan derita leluhurnya/ orang tuanya yang telah meninggal.
Menurut Manawa Dharmasastra, Maharesi Manu menyebutkan :
Untuk menjadikannya ibu maka wanita diciptakannya dan pria diciptakan untuk dijadikan bapak dan karena itu weda itu akan di abadikan oleh dharma yang harus di lakukan oleh wanita pria sebagai suami istri. (Ida Bagus Anom,1-2)
3. Arti dan Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Hindu.
Setelah upacara wiwaha maka pasangan pria dan wanita telah di pandang resmi menjadi suami istri ( damphati) dan berkewajiban melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai grhastin. Wiwaha menurut Hindu adalah mulia dan luhur karena dengan kawin akan melahirkan keturunan yang akan menebus dosa leluhurnya.
Tujuan utama adalah memperoleh keturunan yang suputra yaitu anak hormat kepada orang tua, cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti kepada Tuhan, jadi wiwaha sebagai yajna. Menurut Manawa Dharma Sastra wiwaha itu sama dengan samsara yang mendudukkan perkawinan sebagai lembaga yang erat kaitannya dengan agama hindu sehingga semua persyaratan yang di tentukan harus ditaati oleh umat Hindu. Perkawinan suatu puncak upakara manusa yadnya untuk membayar hutang kepada orang tua atau leluhur sehingga perkawinan adalah suatu dharma. Wiwaha samshara yaitu penyucian diri melalui perkawinan.
Menurut Menawa Dharma Sastra, perkawinan di anggap sah menurut hukum Hindu bila :
1) Dilakukan oleh rohaniawan atau pejabat Agama Hindu memenuhi syarat
2) Kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.
(Ida Bagus Anom,4-5)
2.1.2 Jenis perkawinan
Salah satu keunikan yang kita jumpai hingga saat ini di Bali ialah adanya bentuk-bentuk atau jenis perkawinan yang cukup banyak yang mungkin tidak kita jumpai di daerah lainnya di Indonesia. Menurut hukum adat di Bali, kita jumpai tidak hanya satu jenis perkawinan saja melainkan ada dua jenis perkawinan yaitu :
2.1.2.1 Jenis pertama
Terdiri dari 3 bentuk perkawinan :
1. Memadik atau Ngidih atau Meminang
Ialah suatu bentuk perkawinan yang di dahului dengan tata cara peminangan yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki, kepada pihak calon istri/wanita. Peminangan ini dilakukan pada hari-hari yang baik ( menurut Dewasa). Sebelum peminangan resmi dilakukan dalam pelaksanaan dilakukan beberapa kali utusan yang disebut ngecub untuk merundingkan hari dan datangnya utusan keluarga pihak pria. Apabila pinangan itu sudah dapat disetujui oleh pihak calon wanita, maka pada hari yang telah ditentukan untuk itu, pihak keluarga laki-laki membawa dan menyerahkan “Paweweh” dan “Basan pupur” beserta “sirih pinang” yang diserahkan kepada keluarga pihak wanita. Paweweh ini berupa sejumlah uang kepeng yang melambangkan kejujuran, sedangkan Basan pupur yang terdiri dari pakaian wanita beserta alat-alat perhiasan. Kemudian dari pihak keluarga calon istri akan membalas pula dengan Paweweh yang juga berupa uang kepeng dan pakaian pria. Dengan selesainya serah terima untuk paweweh ini, dianggap sahlah pertunangan kedua calon mempelai itu. Beberapa hari kemudian saat baik yang telah ditentukan bersama oleh kedua belah pihak, maka dapatlah diselenggarakan upakara perkawinan dengan natab bebanten.
2. Mejangkepan/ Kapekardiang
Suatu bentuk perkawinan yang inisiatifnya sebetulnya timbul dari pihak orang tua kedua calon mempelai. Merekalah sebenarnya menghendaki supaya perkawinan ini dilaksanakan. Biasanya mereka itu adalah orang yang bertalian kekeluargaan dekat satu sam lainnya ( paternalisme)., dengan maksud untuk mempererat hubungan kekeluargaan yang sudah ada diantara mereka. Kedua belah pihak orang tua masing-masing akan berusaha membujuk anak mereka agar menuruti kehendak orang tua masing-masing.
3. Merangkat/Ngerorod/ Ngelayat
Yang dimaksud dengan bentuk perkawinan ini ialah suatu bentuk perkawinan yang diselenggarakan atas inisiatif sendiri yang bebas oleh kedua calon mempelai dengan jalan melarikan diri bersama-sama. Dalam bentuk perkawinan ini baik si pria maupun si wanita adalah merupakan pelaksana yang aktif. Dengan demikian merangkat hanya mungkin dilakukan atas dasar kehendak dan kemauan bersama dari kedua belah pihak atas dasar cinta mencintai dan tidak ada unsur paksaan. Pada jenis perkawinan ini tampak jelas titik puncak kemerdekaan wanita Bali untuk memilih jodoh mereka, bebas dari rintangan-rintangan dan hambatan - hambatan. Namun tidak terlepas pula, bahwa seandainya si gadis dilarikan dengan adanya unsur paksaan (diluar kehendak si gadis) di samping diancam oleh UU, maka menurut adat/Agama Hindu di Bali sendiri adalah suatu pelanggaran yang disebut melegandang dan dapat dijatuhi hukuman-hukuman adat.
2.1.2.2 Bentuk perkawinan yang kedua
Perkawinan nyeburin ialah suatu perkawinan, dimana upacara/upakara itu diselenggarakan oleh pihak keluarga istri dan diselenggarakan di tempat kelahiran istri (wanita). Dalam perkawinan ini merupakan kebalikan dari semua jenis perkawinan-perkawinan diatas. Di sini si suamilah yang dilepaskan hubungannya dari sanak keluarganya dan dimasukkan ke keluarga si istri. Dengan demikian si istri tetap menjadi ahli waris dari ayahnya sendiri. Oleh karena itu bentuk perkawinan ini merupakan perkawinan yang mempunyai sifat tersendiri, maka perkawinan ini dianggap sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Betul-betul orang tua si wanita tidak mempunyai anak laki-laki.
2. Upacara/upakara dilakukan di rumah si wanita (calon istri) dan semua ditanggung sepenuhnya oleh pihak si wanita.
3. Mendapat persetujuan dari keluarga besar kedua pihak keluarga calon pengantin dan disaksikan oleh para pamong desa adat/dinas.
4. Sudah dengan sendirinya si calon pengantin saling mencintai dan tidak ada unsur paksaan.(Nyonya. M. Mertami,1987:2-7)
Menurut Manawa Dharma Sastra III. 21. Jenis perkawinan terdiri dari :
1. Brahma Wiwaha adalah perkawinan suka sama suka dari semua pihak keluarga dan calon pengantin dengan upacara di hias dan pemberian permata dan dipuja oleh pendeta.
2. Daiwa Wiwaha adalah penyerahan gadis calon penganti yang dihias dan telah dipuja oleh pendeta.
3. Rsi/Arsa Wiwaha adalah penyerahan gadis calon mempelai oleh orang tua setelah calon pengantin pria menyerahkan lembu kepada keluarga perempuan.
4. Prajapati Wiwaha adalah penyerahan setelah ayah si wanita berpesan kepada kedua mempelai, setelah si gadis memberi penghormatan kepada pengantin pria.
5. Asura wiwaha adalah Pria menerima si gadis setelah menyerahkan mas kawin.
6. Gandharwa Wiwaha adalah perkawinan antara pria dan wanita berdasar saling mencintai yang timbul dari nafsunya bertujuan berhubungan kelamin.
7. Raksasa Wiwaha adalah kawin paksa, dimana pria melarikan gadis untuk dikawininya secara paksa.
8. Paisaca Wiwaha adalah seorang pria secara diam-diam mencuri memperkosa wanita sedang tidur / mabuk/ bingung, lalu dikawini. (Ida Bagus Anom:5-6)
2.1.3 Pelaksanaan Perkawinan
2.1.3.1 Secara Adat dan Agama Hindu
1. Bagi jenis perkawinan mapadik didahulukan upacara paweweh.
2. Melaksanakan upacara/upakara pengluku.
3. Melakukan upacara/upakara natab banten kalameji.
4. Melakukan upacara/upakara natab banten mekala-kalaan.
5. Melakukan upacara/upakara natab banten pesakapan/ widi widana.
6. Membawa ketipat bantal (mejauman) ke rumah mempelai wanita dengan tujuan mohon maaf dan pamitan (ngunye).
2.1.3.2 Secara Administrasi
1. Bagi umat Hindu di Bali yang berhasrat mengesahkan perkawinannya secara adat dan agama Hindu, sebelumnya harus memberitahukan kehendaknya kepada Kepala Desa dengan mengisi formulir.
2. Kepala desa bersama-sama kelihan dinas dan kelihan adat meneliti identitas calon mempelai, apakah tidak melanggar ketentuan adat dan agama serta peraturan yang berlaku.
3. Apabila sudah lolos secrining maka upacara/upakara perkawinan dapat dilangsungkan yang dipimpin oleh rohaniawan atau sulinggih yang telah “ngloka phala sraya” dengan disaksikan oleh kepala desa, kelihan desa adat, kelihan dinas, kelihan adat banjar serta para pemuka desa yang lainnya.
4. Setelah selesai upacara/upakara perkawinan itu barulah dapat dikeluarkan surat keterangan perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam formulir.
5. Surat kepala desa tersebut disampaikan kepada Camat selaku pegawai pencatat perkawinan bagi Umat Hindu, lalu diterbitkan akte perkawinannya.
2.1.4 Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan bagi umat Hindu di Bali disebut dengan nama Pesakapan, Pekalaa-kalaan, Pawiwahan, pekeraban, atau kerab kambe. Upacara perkawinan adalah merupakan suatu persaksian baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan, ataupun kehadapan masyarakat, bahwa kedua mempelaai mengikat diri sebagai suami istri, sehingga hubungan sexnya dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Secara rohaniah, upacara tersebut merupakan pembersihan terhadap kedua mempelai, terutama sukla swanita kedua bibit mereka, yaitu kama jaya, bibit dari laki-laki dan kama ratih bibit dari perempuan. Pembersihan ini mengharapkan agar kedua bibit itu bebas dari pengaruh-pengaruh roh buruk, sehingga bila keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah suatu janin (manik) yang sudah bersih, dengan demikian dapat diharapkan “roh” yang akan menjiwai janin itu atau roh yang akan menjelma adalah roh yang suci dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang baik sesuai dengan keturunan mereka. (Nyonya. M.Mertami,1987:8)
2.1.5 Rangkaian Upacara
2.1.5.1 Upacara Pendahuluan
Upacara byakala kecil atau byakawon (yang akan dilanjutkan dengan upacara lainnya).
2.1.5.2 Upacara Pokok
Upacara ini merupakan upacara pamuput (penyelesaian) baik secara adat agama maupun kemasyarakatan , serta kesuciannya dan kesalahannya tidak diragukan , yang dapat dibedakan menjadi dua:
1. Upacara Madengen-dengen atau mekala-kalaan.
Merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara perkawinan, karena pada upacara inilah dilakukan pembersihan terhadap kedua mempelai, terutama sukla swanita mereka, pesaksian terhadap Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan dan masyarakat. Banten/sajen untuk upacara mekala-kalaan ini adalah:
1) Tikeh dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih muda, yang melambangkan kesucian selaput dara mempelai wanita.
2) Kala Sepetan adalah sebah bakul yang berisi telur ayam,batu bulitan,kunir,keladi/talas,andong kemudian ditutupi dengan serbut kelapa yang dibelah tiga,diikat dengan benang tridatu dan didalam serabut itu diisi sebuah kwangen.
3) batang dadap/dadapsrerp.ketiganya diikat diisi sasap(terbuat dari janur) pada ujungnya satunya digantungkan sebuah periuk tanah yang tertutup,sedangkan ujung satunya lagi digantungi bakul yang
4) Sok pedagangan adalah sebuah bakul yang berisi beras,bumbu-bumbuan,pohon kunir,keladi dan andong(tanaman hias berdaun mer,berbentuk panjang).
5) Paneteg adalah tiang untuk pemujaan keluarga=adegan sanggah kemulan dihias dengan kain putih kuning.
6) Pepegatan adalah dua buah cabang dadap/dadapsrep yang ditancapkan agak berjauhan didekat upacar kemudian dihubungkan keduanya dengan benang putih (benang bebali atau benang kapas)
7) Tetimpug adalah tiga potong bamboo mentah yang masih kedua ruasnya, (bamboo itu sebelum dipakai dicuci, diberi sedikit minyak kelapa), lalu diisi sasap dari janur.
2. Upacara Natab Banten Beduur (Mewidi Widana)
Merupakan penyempurnaan didalam pelaksaan upaca wiwaha,untuk meningkatkan pembersihan yang telah dilakukan pada upacara mekala - kalaan,dipimpin oleh pinpinan upacara (Sulinggih/IdaPeranda).
3. Upacara Mepejati /Mejauman (Ngabe Tipat Bantal)
Upacara ini adalah upacara mapejati atau mejauman atau ngabe tipat bantal, sebagai lanjutan dari upaca pokok, yang bertujuan untuk menentukan status dari pihak wanita (pradana) ke pihak laki-laki (purusha). (Nyonya. M. Mertami,1987:9-12)
2.2 PERKAWINAN PADA GELAHANG
2.2.1 Pengertian Perkawinan Pada Gelahang
Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut bentuk perkawinan Pada Gelahang seperti, perkawinan negen dua, mapanak bareng, negen dadua mepanak bareng, nadua umah, makaro lemah, magelar warang, ada juga yang menyebutkan lumayan panjang seperti : perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit. Apapun istilah yang diperlukan pada dasarnya mengandung makna yang sama. Dalam konteks perkawinan yang dilangsungkan umat hindu, istilah-istilah tersebut mengandung makna, perkawinan yang dilangsungkan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (dikenal pula dengan sebutan “kawin keluar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kejeburin atau “kawin kedalam”), melainkan suami dan istri tetap berstatus kapurusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggug jawab dan kewajiban (swadarma), yaitu meneruskan tanggugjawab istri dan juga meneruskan tanggug jawab suami, sekala maupun niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.
Menurut Ida Bagus Sudarsana, seorang tokoh Agama Hindu Dibali mengemukakan bahwa "perkawinan dengan sistem makaro lemah atau madua umah ini sangat didasarkan oleh kekerabatan yang sama, karena waris kewaris dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut. Pada pewaris nanti diharapakan dari keturunan sang pengantin diberikan hak dan kewajiban masing-masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta sama cinta, suka sama suka dan mendapat persetujuan dari kedua keluarga".
Walaupun dikenal banyak istilah untuk menyebut bentuk perkawinan ini, dalam uraian selanjutnya akan dipergunakan perkawinan Pada Gelahang, yang berarti duenang sareng atau “memiliki bersama”. Dipilihnya istilah ini disebabkan 2 hal yaitu :
1. Istilah ini mudah dimengerti karena sudah umum dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Istilah ini juga sejalan dalam salah satu prinsip dasar dalam mewujudkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat dibali, yaitu duenang sareng atau “memiliki bersama”, yang mengandung makna “saling menghargai”. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI, dkk,2008:23-26)
2.2.2 Faktor Penyebeb Perkawinan Pada Gelahang
Perkawinan Pada Gelahang oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya, disebabkan karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal dirumahnya masing-masing, sehingga tidak mungkin melihat bentuk perkawinan biasa atau bentuk perkawinan nyentana. Beberapa pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Berdasarkan beberapa contoh pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, dapat diketahui bahwa faktor yang membelakangi pasangan pengantin dan keluarga sepakat melangsungkan perkawinan Pada Gelahang adalah :
1. Adanya kekhwatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan leluhur , baik yang berwujud tanggug jawab atau kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan.
2. Adanya kesepakatan di antara calon pengantin beserta keluarganya, untuk melangsungkan perkawinan Pada Gelahang.
Munculnya kekhwatiran bahwa warisan yang ditinggalakan oleh orang tua dan leluhurnya tidak ada yang mengurus dan meneruskan, didasarkan atas dua hal. Pertama, calon pasangan suami istri adalah anak tunggal dirumahnya masing-masing. Kedua. Adanya keyakinan bahwa saudaranya yang lain, tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu seperti : sakit yang tidak mungkin disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan atau karena sudah melangsungkan perkawinan biasa (kawin keluar).
2.2.4 Proses Melangsungkan Perkawinan Pada Gelahang
2.2.4.1 Cara Melangsungkan Perkawinan
Pada bab sebelumnya sudah di jelaskan bahwa ada dua cara melangsungkan perkawin yang lazim dilaksanakan berdasarkan hukum adat Bali, yaitu (1) Perkawinan dengan cara memadik (meminang) dan (2) perkawinan dengan cara ngerorod (lari bersama).
Tata cara melangsungkan pepadikan dalam perkawiana biasa atau perkawinan nyentana, dengan beberapa pembicaraan tambahan berupa kesepakantan tambahan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari.
Persamaannya antara lain dilaksanakan sesuai tata cara yang sudah lazim berjalan seperti (memadik) sesuai dengan ajaran agama hindu. Pembicaraan dimulai dari kedua calon pengantin, dilanjutkan dengan melibatkan orang tua kedua belah pihak terakhir melibatkan keluarga yang lebih luas serta disaksikan oleh prajuru (perangkat pimpinan) banjar atau desa pakraman masing-masing. Materi pembicaraan tambahan mengenai pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari , dapat dijelaskan sebagai berikut. (Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:51-52)
2.2.4.2 Upacara perkawinan
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam hal melangsungkan perkawinan biasa, keluarga laki-laki relative lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga perempuan, karena upacaranya dilangsungkan di tempat kediaman pengantin laki-laki. Sebaliknya dalam melangsungkan perkawinan nyentana, keluarga perempuan relatif lebih sibuk karena berbagai hal yang harus disiapkan dan dilaksanakan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan di tempat kediaman perempuan, menjadi tanggung jawab keluarga perempuan, sementara keluarga laki-laki hanya bersikap nodia atau mengikuti rangkaian upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan upacara perkawinan menurut Agama Hindu dan hukum adat Bali.
Dalam hal melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, kesibukan tampak dikedua belah pihak, baik keluarga laki-laki, maupun keluarga perempuan. Hal ini disebabkan karena semua pasangan pengantin yang memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang sepakat melangsungkan upacara perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat. Ditempat kediaman suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang sama. Soal di tempat mana dilaksanakan lebih dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan kedua belah pihak beserta keluarganya. Ada yang melangsungkan melangsungkan upacara di tempat kediaman suami lebih dulu, kemudian dilanjutkan dengan upacara yang sama di tempat kediaman istri, atau sebaliknya, ditempat kediaman istri pada pagi hari, kemudian pada sore hari atau pada hari yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama ditempat kediaman suami.
Semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, tidak melanjutkanya dengan melaksanakan upacara mapejati di tempat pemujaan keluarga (sanggah). Selain itu, semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, juga merumuskan kesepakatan keluarga mengenai masa depan kehidupan pasangan suami istri ini, pada waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang (memadik) mengenai bentuk dan substansi pokok kesepatan keluarga yang dimaksud, tampak seperti di uraikan di bawah ini.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk, 2008: 52-53)
2.2.5 Kesepakatan Keluarga
Adanya kesepakantan calon pengantin dan keluarganya bahwa mereka akan melangsukan perkawinan Pada Gelahang, merupakan salah satu unsur penting dapat dilangsungkannya perkawinan yang dimaksud. Rintisan kearah tercapainya kesepakatan biasanya telah dimulai secara informal oleh orang tuan masing-masing, semasa calon pengantin masih berstatus berpacaran (magelanan). Apabila peluang dianggap terbuka, barulah melanjutkan dengan pembicaraan yang lebih formal, pada waktu pembicaraan antara orang tua kedua belah pihak. Kesepakatan yang di dapat pada waktu pembicaraan informal ini diteruskan dalam penentuan formal, yaitu pada waktu melangsungkan Pepandikan (meminang). Disaksikan keluarga yang lebih luas dan perangkat pimpinan (prajuru) banjar atau Desa Pakraman.
Lebih dari itu, kesepakan keluarga mengenai bentuk perkawinan Pada Gelahang yang dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung jawab (swadarma) para pihak dikemudian hari terhadap kelurga dan orang tua masing-masing, serta keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara lisan dengan disaksikan oleh prajuru adat dan keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa keluarga saja yang membuat kesepakan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau pernyataan tertulis.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:53-54)
2.2.6 Administrasi Perkawinan
Perubahan signifikan dalam hubungan dengan melaksanakan perkawinan dan perceraian diBali, terjadi setelah berlakunya U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan terutama tampak pada persyaratan perkawinan dan perceraian serta penyelesaian administrasi atau akte perkawinan dan akte perceraian bagi pasanagan suami istri yang bercerai. Walaupun pada awal berlakunya, ketentuan ini tidak efektif, tetapi sekarang ini tidak ada pasangan suami istri yang telah kawin, tidak memiliki akte perkawinan. Demikian pula halnya dengan akte perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai.
Akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang memilih bentuk perkawinan nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte perkawianan yang berlaku secara nasional, dengan catatan yang menerangkan bahwa “pihak istri yang berkedudukan sebagai purusa”.
Akte perkawinan untuk bentuk perkawianan Pada Gelahang, sampai sekarang belum ada persamaan persepsi, sehingga belum beragam. Hal itu dapat diketahui dari beberapa akte perkawinan pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, yang dilangsungkan sebelum maupun sesudah berlakunya undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.2.7 Keanggotaan Didesa Pakraman
Berkaitan dengan domisili sesudah perkawinan dilangsungkan, ditemui adanya variasi domosili. Ada pasangan suami istri yang telah memilih dirumah suaminya, ditempat kediaman yang baru dan ada pula yang menggunakan semacam jadwal. Dalam hal ini yang penting bukan domisilinya, melaikan keanggotaannya didesa pakramannya. Sesuai dengan latar belakang dan faktor penyebab dilangsungkannya perkawianan Pada Gelahang, maka dengan sendirinya pasangan suami istri ini tercatat sebagai anggota (krama desa) didua desa pakraman, kalau pasanagn suami istri ini berasal dari desa pakraman yang berbeda. Tetapi kenyataanya , keanggotaannya (pipil) mereka sering kurang jelas. Kekurang jelasan ini disebabkan oleh dua hal.
Sampai sekarang krama desa memang belum meliliki kartu tanda krama desa (KTKD) bagi semua anggota keluarga ditempat yang bersangkutan tercatat (mipil), sehinggah segala kewajiban (swadharma)terhadap masyarakat dilaksanakan oleh orang tua atau mertuanya. Sesudah anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri Pada Gelahang dianggap dewasa dan orang tuanya bestatus nyada, barulah pipil di Desa Pakraman digantikan oleh salah seorang keturunannya.
2.2.8 Perkawinan Pada Gelahang Dimasa Depan
Keberadaan perkawinan Pada Gelahang dilangsungkan di Bali, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa dari tahun ketahun pelaksanaan Pada Gelahang, senantiasa mengalami peningkatan. Tim peneliti menduga, pada tahun mendatang jumlah pasangan suami istri yang melilih bentuk perkawinan ini cendrung akan semakin meningkat. Munculnya kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal.
Kemajuan dalam bidang pendidikan yang mendorong semakin tumbuhnya kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, serta semakin tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan. (Dr.Wayan P. Windia,SH.,M.SI,2008:59-69 )
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Perkawinan Pada Gelahang adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Perkawinan Pada Gelahang tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu. Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban gandan dalam melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, adapun saran - saran yang dapat penulis berikan yaitu adalah sebagai berikut:
1. Sistem Perkawinan Pada Gelahang hendaknya dapat dijadikan solusi di dalam sistem perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali.
2. Hendaknya masyarakat memiliki pemikiran yang luas dan memahami persamaan gender di dalam Masyarakat Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Martami, Ny. M. 1993. Tata Rias Pengnatin Bali. Denpasar : Upada Satra
Ida Bagus Anom. Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu. Denpasar : Cv. Kayu Mas Agung.
P. Windia,Wayan,dkk. 2008. Perkawinan Pada Gelahang di Bali. Denpasar : Udayana University Press.
Pudja.G.M.A. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta : Hanoman Sakti.
Undang-undang Perkawinan no 1 Tahun 1974.
SUMBER : http://padmayowana.blogspot.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERKOMENTARLAH DENGAN BIJAK DENGAN MENJAGA TATA KRAMA TANPA MENGHINA SUATU RAS, SUKU, DAN BUDAYA